"Kamu sudah selesai makannya?" Hakam yang menyadari kedatangan Livia mendekat.
"Eum ... sudah." Livia menyahut singkat. Dia berjalan kearah ranjang Yazeed, Livia tersenyum melihat wajah anaknya yang tampak lebih segar dibanding tadi siang. "Anak mama nggak rewel, kan?" Demi menghindari Hakam, Livia mengajak bayinya bicara. Perempuan itu mengusap lembut pipi Yazeed sembari tersenyum. "Mas akan temani kalian malam ini." Hakam mendekati Livia dan bicara tepat disamping telinga perempuan itu hingga membuat Livia bergidik terkena hembusan napasnya. "Nggak usah. Kamu temani saja Hanan dan Hanin, bukannya mereka lebih butuh kamu?" Livia mengelak menjauh. Selain sungkan dengan posisi mereka karena banyak orang di sana, Livia juga masih enggan memaafkan Hakam. "Ck, kamu masih merajuk ternyata?" decak Hakam. Lelaki itu mengecup kepala istrinya hingga membuat Livia kesal. "Kamu apaan, sih, Mas? Nggak liat banyak orang di sini?" kesal Livia, meski begitu tak bisa dipungkiri wajahnya ikut bersemu. Dadanya juga terasa berdebar, sebab sudah lama ia tak mendapat perlakuan manis seperti itu dari suaminya. Hakam terkekeh geli, kemudian mengusap lembut kepala Livia dan berkata, "kamu istirahat aja, ini sudah malam. Yazeed sepertinya juga sudah mengantuk." Livia tak menjawab, dia memilih naik keatas ranjang dan mulai membaringkan tubuhnya disamping Yazeed. Karena terlalu lelah, tanpa sadar Livia langsung terpejam dengan posisi tangannya memeluk tubuh Yazeed. * Menjelang tengah malam, Livia terbangun karena ingin ke kamar mandi. Namun, pandangannya terhenti begitu melihat Hakam yang tertidur dengan posisi duduk disamping ranjang Yazeed. Jika melihat suaminya begitu, ada rasa bersalah yang kadang ia rasakan. Ada harapan besar juga, berharap suaminya selalu bisa peduli dan manis padanya dan Yazeed. Kalau boleh jujur, Livia pun masih sangat mencintai Hakam. Hanya saja sikap tak adil laki-laki itu yang membuat Livia membencinya. Disaat Livia tengah fokus memandang Hakam yang tertidur, tiba-tiba saja ponsel laki-laki itu berdering. Hakam menggeliat kecil, melihat suaminya terbangun buru-buru Livia berpura-pura tidur lagi. "Hem ... ada apa, Mbak?" Suara Hakam terdengar berat, khas orang baru bangun tidur. "Ini udah tengah malam, loh. Lagian aku juga lagi temenin Livia di rumah sakit, jagain Yazeed." Sudah bisa Livia duga, yang menghubungi suaminya adalah Hana, saudari iparnya. Perempuan itu pasti meminta Hakam segera pulang, mana mau dia membiarkan adiknya bersama anak dan istrinya? "Duh, Mbak. Nggak bisa besok aja apa? Kasihan Livia kalo harus sendirian jagain Yazeed." Livia masih memejamkan matanya, tapi telinganya tetap fokus mendengar pembicaraan Hakam dan Hana. "Yasudah, aku jalan sekarang." Putus Hakam pada akhirnya. Tak lama terdengar suara kursi yang Hakam duduki berderit, kemudian lelaki itu mengecup kepala putra dan istrinya bergantian. Livia membuka mata, Hakam sudah berjalan menjauh keluar dari ruangan Yazeed dirawat. Terdengar hempasan napas Livia, dada perempuan itu terasa sesak. Baru saja dia akan luluh dengan suaminya, sikap laki-laki itu kembali mengurungkan niatnya. Tak ingin banyak pikiran, Livia memutuskan kembali tidur dengan memeluk Yazeed yang tampak pulas. * Setelah beberapa hari Yazeed di rawat, pada hari ke tiga akhirnya ia diizinkan pulang karena kondisinya yang sudah mulai membaik. Selama Yazeed di rumah sakit, Hakam selalu datang saat jam makan siang dan membawakan makanan untuk Livia, begitu juga saat malam. Tapi, seperti biasa laki-laki itu tak pernah menginap dan selalu pulang menjelang tengah malam. Livia sudah tak pernah ambil pusing, ia tak peduli dengan suaminya yang tak pernah mau menemani dia serta anaknya. Seperti siang ini, Livia sudah memberitahu Hakam bahwa Yazeed sudah diperbolehkan pulang. Tanggapan laki-laki itu biasa saja, dia hanya mengatakan agar Livia berhati-hati. "Kita baliknya naik angkot aja, ya, Nak?" kata Livia pada Yazeed yang masih berbaring diatas ranjang. Livia menggendong Yazeed menggunakan kain jarik, setelah itu ia meraih tas bawaannya dan mulai keluar dari ruangan itu. Sedikit kepayahan perempuan itu berjalan, dia harus membawa tas sambil menggendong Yazeed. Kemudian berjalan keluar dari pekarangan rumah sakit menuju halte. "Hhh ... kita tungguin angkot di sini dulu ya, Nak? Kamu yang anteng, InsyaAllah habis ini kita bisa istirahat di rumah dengan nyaman." Livia mengusap pipi Yazeed yang tengah sibuk mengemut jari-jari kecilnya. Cuaca siang ini lumayan terik, beruntung halte rumah sakit ini dalam keadaan sepi. Jadi Livia tak perlu takut anaknya akan terkena polusi dari asap rokok orang-orang. Sementara itu, Hakam memelankan laju mobilnya saat melihat sosok sang istri yang tengah duduk di halte sambil mengipas sang anak dengan ujung kain jarik. Dada Hakam mencelos melihat keadaan istrinya, terbesit rasa kasihan terhadap sang istri hingga ia berniat berhenti. Hana yang sudah lebih dulu menyadari keberadaan Livia di sana segera membisikkan sesuatu ke telinga sang putri. Kemudian ia menepuk pundak Hakam yang hendak menepikan mobil. "Ngapain?" tanyanya saat Hakam menoleh. "Itu ada Livia, sepertinya Yazeed sudah diperbolehkan pulang." Laki-laki itu menjawab sambil melempar pandang kearah depan sana. Ia menghentikan mobil sedikit jauh dari halte. "Terus?" Kening Hakam berkerut mendengar pertanyaan sang kakak, kemudian menjawab, "ya, aku mau ajak pulang sekalian. Emang mau apa lagi?" "Ckk, nggak usah! Ini Hanin katanya sakit perut, pengen cepet-cepet sampai rumah. Udah biarin aja dia naik angkot," cegah Hana. Hakam dilema, dia menoleh pada Hanin yang tengah meringis sambil memegang perut, kemudian menoleh pada istrinya didepan sana. "Bener apa kata mbakmu, kita langsung balik aja. Kasihan Hanin kesakitan gitu. Lagian memangnya dia ada ngabarin kamu minta dijemput? Enggak, kan?" timpal Dania. Hakam terdiam kemudian menggeleng. Livia memang tak meminta agar Hakam menjemput mereka, perempuan itu hanya mengabari akan pulang hari ini. Tapi ... apa dia harus membiarkan anak dan istrinya menunggu angkutan umum ditengah cuaca yang begitu terik ini?Setelah melalui perdebatan yang cukup sengit dengan mertua dan iparnya, akhirnya jenazah Hakam dibawa pulang ke rumah baru mereka. Berkat dukungan para anggota keluarga korban yang ikut kecelakaan bersama Hakam, Livia bisa membawa suaminya ke rumah mereka dan mengurus segala keperluan untuk fardhu kifayah suaminya, termasuk mengantar jasad laki-laki itu hingga ke peristirahatan terakhirnya."Neng, yang sabar, ya? Banyak-banyak ikhlas dan do'a. InsyaAllah kalau kamu ikhlas, Hakam pasti bisa pergi dengan tenang," kata Masitah lembut, wanita itu ikut berjongkok disamping Livia yang masih saja menangisi batu nisan suaminya.Livia tergugu, dia meremas tanah makam suaminya yang masih basah. Seolah yang ia lakukan itu bisa mengusir sesak yang terus berkelindan dalam dadanya.Satu persatu tetangga yang ikut mengantar Hakam mulai membubarkan diri. Hanya tersisa Livia, Masitah, Alia dan Muis. Dania dan Hana juga masih di sana, wajah keduanya juga masih sembab karena terus menangisi kepergian Ha
"Dimana perempuan pembawa sial itu? Dimana dia? Akan ku bunuh kamu Livia ...!" Dania berteriak bak orang kesurupan.Suasana duka berubah kacau, kedatangan Dania benar-benar mengubah suasana di sana. Yang tadinya orang-orang sibuk menangisi anggota keluarga yang meninggal berubah menjadi keributan akibat kedatangan Dania yang tiba-tiba.Livia yang berada didalam ruang jenazah tengah menangisi suaminya langsung kaget saat mendengar suara mertuanya. Dengan detak jantung yang mulai tak beraturan, dia berbalik dan siap menghadapi kemarahan mertua serta iparnya."Dasar perempuan pembawa sial ...!" Dania berlari kearah Livia dan menarik rambut perempuan itu hingga ia mengaduh kesakitan.Orang-orang yang berada diluar langsung ikut menyaksikan keributan itu. Mereka merasa kasihan pada Livia, ditengah duka karena kehilangan suaminya, mertuanya malah datang dan menyerangnya.Alia berusaha keras melepas cengkraman Dania dari rambut Livia. Terlihat Livia tak lagi menangis, dia seakan lelah dan pa
Livia tiba di rumah sakit dengan ditemani Alia, sedang Yazeed ia titipkan pada Muis dan Masitah. Perempuan itu tak kuasa membendung air matanya, tangis dengan luapan sesak didalam dada tak henti sejak dalam perjalanan menuju rumah sakit tempat jasad suaminya dibawa.Kerumunan para keluarga korban kecelakaan beruntun memenuhi depan ruang jenazah, mereka sama hancurnya dengan Livia begitu mendapat kabar anggota keluarga mereka ikut menjadi korban nahas itu.Livia lemah, tapi ia berusaha kuat agar bisa melihat suaminya untuk yang terakhir kalinya. Mereka masih menunggu diberi izin masuk satu persatu agar tak memenuhi ruang jenazah. "Ahm, permisi ... korban kecelakaan beruntun tadi dibawa ke sini semua?" Suara bariton yang sangat ia kenali membuat Livia mendongak.Didepannya, seorang laki-laki dengan postur tubuh yang sangat mirip dengan Gheza berdiri membelakanginya. Laki-laki itu tengah berbicara dengan salah satu keluarga korban di sana. Livia ragu, tapi juga penasaran kenapa Gheza ik
"Itukan mbak Hana? Kenapa dia bisa ada di sini?" gumam Livia masih memperhatikan Hana yang berdiri didepan gerbang rumah mewah itu.Tak lama, seseorang keluar membuka pagar tinggi itu. Seorang pria bertubuh gempal keluar hanya dengan mengenakan kaos oblong biasa dan celana panjang bahan.Tampak dari kejauhan Hana berbincang-bincang dengan pria itu, bisa Livia lihat bagaimana mata pria itu jelalatan memandangi setiap lekuk tubuh Hana yang dibungkus dengan baju yang super ketat yang dipadukan dengan jeans yang tak kalah ketatnya.Banyak dugaan yang Livia tujukan pada kakak iparnya itu. Apa Hana ada hubungan khusus dengan pria itu? Tapi ... pria itu jelas masih memiliki istri dan Livia tau. Tak mungkin juga kalau Hana jadi wanita simpanannya, kan?Ditengah kekalutan pikirannya, tiba-tiba saja dia melihat Hana mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya dan ... menyerahkannya pada pria tadi. Livia sampai menyipitkan mata demi menangkap dengan jelas benda apa yang Hana selipkan di tangan pria i
"Hai, Kak ...!" sapa Netari dari jauh begitu melihat Gheza duduk ditempat biasa mereka menghabiskan waktu.Melihat kedatangan Netari, Gheza tersenyum sumringah. Senyum lebar yang terkembang dari bibir gadis muda itu membuatnya senang. Keceriaan Netari cukup bisa mengobati lukanya, sikap gadis itu mampu menghiburnya dikala keresahan hatinya."Kak, bulan ini aku bakal diwisuda. Ntar kakak datang, ya, pas acara wisudaku? Itung-itung sebagai ganti keluarga yang mungkin berhalangan hadir," cerocos Netari, dia menarik kursi dan duduk bersampingan dengan Gheza."Oh, ya? Kapan?" tanya Gheza antusias."Eum ... ntar deh, aku kabari. Kakak bisa, kan, dateng?" tanya Netari penuh harap.Bukan tanpa alasan Netari berharap Gheza bisa datang ke acara wisudanya, orang tua juga saudaranya yang ada di kampung sudah jelas menolak datang dengan alasan ini itu. Sebab selama ini Netari tak pernah mereka jadikan prioritas, bahkan saat gadis itu secara ugal-ugalan mengejar nilai terbaik pun tak menjadikan mer
Sore itu, Dania tengah menemani 2 cucu kembarnya bermain di teras sempit kontrakan mereka. Tiba-tiba saja sebuah mobil yang cukup mewah berhenti di sana, Dania memperhatikan dengan seksama tapi tak bisa melihat siapa pengemudinya sebab seluruh kacanya berwarna hitam.Dia menunggu, tak lama pintu pengemudi terbuka. Alangkah terkejutnya Dania begitu melihat Hana keluar dari sana. Wanita itu lantas berdiri dan menghampiri Hana yang sudah berjalan kearah teras."Mobil siapa ini, Han?" tanya Dania."Punya bosku, Ma. Dikasih pinjem, soalnya aku bilang kita mau pindahan." Jawaban Hana membuat Dania sedikit tenang, tapi kembali kaget begitu sadar apa yang anaknya katakan. Pindah? Siapa yang akan pindah?"Kita pindah? Kemana?" "Mama nggak usah banyak tanya. Mending sekarang mama masuk, bungkus semua baju-baju kita. Ingat, hanya baju aja. Barang-barang ini ditinggal saja semuanya," kata Hana, dia duduk di kursi teras sambil menyibak rambutnya sebab kegerahan.Dania kembali tercengang, dia tak