Share

Bab 5

last update Last Updated: 2025-03-12 14:46:39

"Kamu sudah selesai makannya?" Hakam yang menyadari kedatangan Livia mendekat.

"Eum ... sudah." Livia menyahut singkat. Dia berjalan kearah ranjang Yazeed, Livia tersenyum melihat wajah anaknya yang tampak lebih segar dibanding tadi siang.

"Anak mama nggak rewel, kan?" Demi menghindari Hakam, Livia mengajak bayinya bicara. Perempuan itu mengusap lembut pipi Yazeed sembari tersenyum.

"Mas akan temani kalian malam ini." Hakam mendekati Livia dan bicara tepat disamping telinga perempuan itu hingga membuat Livia bergidik terkena hembusan napasnya.

"Nggak usah. Kamu temani saja Hanan dan Hanin, bukannya mereka lebih butuh kamu?" Livia mengelak menjauh. Selain sungkan dengan posisi mereka karena banyak orang di sana, Livia juga masih enggan memaafkan Hakam.

"Ck, kamu masih merajuk ternyata?" decak Hakam. Lelaki itu mengecup kepala istrinya hingga membuat Livia kesal.

"Kamu apaan, sih, Mas? Nggak liat banyak orang di sini?" kesal Livia, meski begitu tak bisa dipungkiri wajahnya ikut bersemu. Dadanya juga terasa berdebar, sebab sudah lama ia tak mendapat perlakuan manis seperti itu dari suaminya.

Hakam terkekeh geli, kemudian mengusap lembut kepala Livia dan berkata, "kamu istirahat aja, ini sudah malam. Yazeed sepertinya juga sudah mengantuk."

Livia tak menjawab, dia memilih naik keatas ranjang dan mulai membaringkan tubuhnya disamping Yazeed. Karena terlalu lelah, tanpa sadar Livia langsung terpejam dengan posisi tangannya memeluk tubuh Yazeed.

*

Menjelang tengah malam, Livia terbangun karena ingin ke kamar mandi. Namun, pandangannya terhenti begitu melihat Hakam yang tertidur dengan posisi duduk disamping ranjang Yazeed.

Jika melihat suaminya begitu, ada rasa bersalah yang kadang ia rasakan. Ada harapan besar juga, berharap suaminya selalu bisa peduli dan manis padanya dan Yazeed.

Kalau boleh jujur, Livia pun masih sangat mencintai Hakam. Hanya saja sikap tak adil laki-laki itu yang membuat Livia membencinya.

Disaat Livia tengah fokus memandang Hakam yang tertidur, tiba-tiba saja ponsel laki-laki itu berdering. Hakam menggeliat kecil, melihat suaminya terbangun buru-buru Livia berpura-pura tidur lagi.

"Hem ... ada apa, Mbak?" Suara Hakam terdengar berat, khas orang baru bangun tidur.

"Ini udah tengah malam, loh. Lagian aku juga lagi temenin Livia di rumah sakit, jagain Yazeed."

Sudah bisa Livia duga, yang menghubungi suaminya adalah Hana, saudari iparnya. Perempuan itu pasti meminta Hakam segera pulang, mana mau dia membiarkan adiknya bersama anak dan istrinya?

"Duh, Mbak. Nggak bisa besok aja apa? Kasihan Livia kalo harus sendirian jagain Yazeed." Livia masih memejamkan matanya, tapi telinganya tetap fokus mendengar pembicaraan Hakam dan Hana.

"Yasudah, aku jalan sekarang." Putus Hakam pada akhirnya.

Tak lama terdengar suara kursi yang Hakam duduki berderit, kemudian lelaki itu mengecup kepala putra dan istrinya bergantian.

Livia membuka mata, Hakam sudah berjalan menjauh keluar dari ruangan Yazeed dirawat. Terdengar hempasan napas Livia, dada perempuan itu terasa sesak. Baru saja dia akan luluh dengan suaminya, sikap laki-laki itu kembali mengurungkan niatnya.

Tak ingin banyak pikiran, Livia memutuskan kembali tidur dengan memeluk Yazeed yang tampak pulas.

*

Setelah beberapa hari Yazeed di rawat, pada hari ke tiga akhirnya ia diizinkan pulang karena kondisinya yang sudah mulai membaik.

Selama Yazeed di rumah sakit, Hakam selalu datang saat jam makan siang dan membawakan makanan untuk Livia, begitu juga saat malam. Tapi, seperti biasa laki-laki itu tak pernah menginap dan selalu pulang menjelang tengah malam.

Livia sudah tak pernah ambil pusing, ia tak peduli dengan suaminya yang tak pernah mau menemani dia serta anaknya. Seperti siang ini, Livia sudah memberitahu Hakam bahwa Yazeed sudah diperbolehkan pulang. Tanggapan laki-laki itu biasa saja, dia hanya mengatakan agar Livia berhati-hati.

"Kita baliknya naik angkot aja, ya, Nak?" kata Livia pada Yazeed yang masih berbaring diatas ranjang.

Livia menggendong Yazeed menggunakan kain jarik, setelah itu ia meraih tas bawaannya dan mulai keluar dari ruangan itu.

Sedikit kepayahan perempuan itu berjalan, dia harus membawa tas sambil menggendong Yazeed. Kemudian berjalan keluar dari pekarangan rumah sakit menuju halte.

"Hhh ... kita tungguin angkot di sini dulu ya, Nak? Kamu yang anteng, InsyaAllah habis ini kita bisa istirahat di rumah dengan nyaman." Livia mengusap pipi Yazeed yang tengah sibuk mengemut jari-jari kecilnya.

Cuaca siang ini lumayan terik, beruntung halte rumah sakit ini dalam keadaan sepi. Jadi Livia tak perlu takut anaknya akan terkena polusi dari asap rokok orang-orang.

Sementara itu, Hakam memelankan laju mobilnya saat melihat sosok sang istri yang tengah duduk di halte sambil mengipas sang anak dengan ujung kain jarik. Dada Hakam mencelos melihat keadaan istrinya, terbesit rasa kasihan terhadap sang istri hingga ia berniat berhenti.

Hana yang sudah lebih dulu menyadari keberadaan Livia di sana segera membisikkan sesuatu ke telinga sang putri. Kemudian ia menepuk pundak Hakam yang hendak menepikan mobil.

"Ngapain?" tanyanya saat Hakam menoleh.

"Itu ada Livia, sepertinya Yazeed sudah diperbolehkan pulang." Laki-laki itu menjawab sambil melempar pandang kearah depan sana. Ia menghentikan mobil sedikit jauh dari halte.

"Terus?"

Kening Hakam berkerut mendengar pertanyaan sang kakak, kemudian menjawab, "ya, aku mau ajak pulang sekalian. Emang mau apa lagi?"

"Ckk, nggak usah! Ini Hanin katanya sakit perut, pengen cepet-cepet sampai rumah. Udah biarin aja dia naik angkot," cegah Hana.

Hakam dilema, dia menoleh pada Hanin yang tengah meringis sambil memegang perut, kemudian menoleh pada istrinya didepan sana.

"Bener apa kata mbakmu, kita langsung balik aja. Kasihan Hanin kesakitan gitu. Lagian memangnya dia ada ngabarin kamu minta dijemput? Enggak, kan?" timpal Dania.

Hakam terdiam kemudian menggeleng. Livia memang tak meminta agar Hakam menjemput mereka, perempuan itu hanya mengabari akan pulang hari ini. Tapi ... apa dia harus membiarkan anak dan istrinya menunggu angkutan umum ditengah cuaca yang begitu terik ini?

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (6)
goodnovel comment avatar
Putri Cikal
laki laki yg tidak punya pendirian kesel aku Sam s Hakam teganya ngebiatin anak istri kepanasan nungguin angkot
goodnovel comment avatar
Hersa Hersa
jadi perempuan bisa sebodoh itu ya, dan ada mertua ama ipar yg setan ber ujud manusia
goodnovel comment avatar
Dian Rahmat
berarti si istri emang bodoh smntara suaminya jahat. klop deh
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Mengemis Maaf Istriku    Bab 80

    "Gheza! Apa yang sedang kalian lakukan?!" Murka Ghani.Kedatangan sang Papa yang tiba-tiba tentu saja mengejutkan Gheza. Laki-laki itu langsung mendorong Kaluna hingga perempuan itu terjengkang jatuh, sedang dia langsung berdiri gugup sambil merapikan pakaiannya yang sedikit berantakan.Kaluna mengaduh kesakitan dan segera dibantu berdiri oleh Sahira –sekretaris pribadi Gheza. Ghani sendiri masih berdiri ditempatnya tanpa mengalihkan pandangannya dari sang putra.Tatapan mata pria itu tajam bagai elang, dia murka sebab tak menyangka jika sang putra akan seberani itu dan melakukannya di kantor."Pa, ini semua tidak seperti yang Papa bayangkan," kata Gheza gugup, dia mendekati Ghani yang masih saja menatapnya."Alasan apa yang ingin kamu lontarkan, Gheza? Dengan melihat posisi kalian saja, Papa tau apa yang akan terjadi selanjutnya jika kami tidak segera datang. Iya, kan?!" cemooh Ghani.Kaluna menundukkan wajah, dari gesturnya sengaja ia buat seolah merasa bersalah didepan Ghani. Padah

  • Mengemis Maaf Istriku    Bab 79

    "Mama? Mama memecat Mbak Livia, Mbok?" tanya Ghaida tak percaya. Masitah hanya mengangguk mengiyakan, setelahnya Ghaida langsung berlari masuk meninggalkan Masitah di sana. Sementara itu, Masitah kembali ke dapur. Ghaida sendiri masuk kedalam sembari memanggil-manggil sang Mama. Nia yang tengah berada didalam kamar pun langsung keluar begitu mendengar panggilan Ghaida. "Ada apa, sih, Ghaida?" gerutu Nia. "Bener Mama mecat Mbak Livia?" Ghaida menatap sang Mama dengan mata berkaca-kaca, Nia tergemap tapi segera bisa menguasai diri. "Iya." Nia mengangguk, Ghaida menghempaskan napas kasar. "Kenapa? Apa salah Mbak Livia, Ma? Apa karena perintah Papa?" cecar Ghaida. "Mbak Livia itu kerja untuk biaya hidup dia dan Yazeed, Ma. Dia butuh kerjaan ini, kenapa Mama tega sekali?" tambah Ghaida lagi. Nia menghempaskan napas pelan, kemudian wanita itu berjalan santai menuju ruang tengah. Ghaida mengekor dibelakang sang Mama, bahkan ikut duduk sesaat setelah Nia menghempaskan bokongnya

  • Mengemis Maaf Istriku    Bab 78

    "Ta–tapi ... apa salah saya, Nya?" Suara Livia terdengar lirih, mungkin tak menyangka jika hari ini adalah hari terakhir ia bekerja.Nia menggigit bibir, ia tak kuasa menatap wajah Livia maka ia memilih memalingkan wajah. Keputusan itu diluar kendalinya, ia terpaksa melakukan itu demi kebaikan perempuan itu juga."Apa pekerjaan saya kurang memuaskan, Nya? Saya mohon, beri saya satu kesempatan lagi dan saya janji akan memperbaiki semuanya. Sa–saya sangat butuh pekerjaan ini, Nya ... saya ... saya nggak mau bergantung hidup terus sama Si Mbok tanpa membantu sedikit pun." Livia memohon, mencoba merayu sang majikan. Namun, Nia tak sedikit pun menoleh padanya. Wanita itu hanya menggeleng menandakan ia tetap pada keputusannya."Maaf Livia, keputusan saya mungkin mengecewakanmu. Tapi maaf, saya tidak bisa mempertahankan kamu di sini lagi." Nia berusaha tegas.Livia menitikkan air matanya, perempuan itu menunduk dalam sembari memandang amplop cokelat yang diberikan sang majikan. Yazeed yang d

  • Mengemis Maaf Istriku    Bab 77

    Ghaida mengetuk pintu kamar Gheza. Gadis itu menunggu didepan kamar, tapi tak ada sahutan dari dalam. Karena khawatir dengan sang kakak, Ghaida kembali mengetuk pintu cukup keras, kemudian memutar handle pintu. Namun, Ghaida terkejut sebab pintu tak terkunci. Gadis itu bergegas masuk dan memanggil Gheza, keadaan kamar sang kakak kosong, tapi ia melihat pintu balkon kamar laki-laki itu terbuka sedikit. Dengan langkah lebar, Ghaida menuju balkon dan menemukan Gheza yang tengah berdiri membelakanginya."Mas?" panggil gadis itu lirih, dia tau keadaan sang kakak pasti tengah remuk.Gheza menoleh tanpa memutar badannya, sekilas dan kembali mengarahkan pandangannya kedepan. Ghaida mendekat dan berdiri disamping Gheza, meski kehadirannya seakan tak dihiraukan."Kamu keren, Mas," kata gadis itu membuat Gheza meliriknya dengan mata menyipit."Kamu keren karena berani ngelawan Papa." Ghaida terkekeh sesaat setelah mengucapkan kalimat itu.Gheza berdecak dan kembali membuang muka. Tatapannya jau

  • Mengemis Maaf Istriku    Bab 76

    "Anda tak punya hak bicara seperti itu padaku, Pak! Kalian bukan siapa-siapanya Livia, saya adalah suaminya yang sah secara hukum dan agama!" balas Hakam menuding wajah Muis marah."Kami memang bukan siapa-siapanya jika dilihat dari silsilah, tapi ... dengan kami lah Livia dan Yazeed merasa nyaman dan aman. Apa kalian pernah memberi secuil kebahagiaan pada mereka selama ini?" Muis menatap Hakam remeh, kemudian bergantian melirik pada Karim dan Hanum yang tertunduk dalam mendengar kalimatnya barusan."Dengar, kalau kalian memang keluarganya, tak mungkin Livia memilih rumah lain untuk dijadikan aduan. Karena apa? Karena kalian yang tak pernah menganggapnya ada." Muis menegaskan setiap katanya.Hakam semakin emosi mendengarnya, meski yang dikatakan Muis adalah sebuah fakta yang tak bisa dielakkan.Laki-laki itu maju ke depan, berhadapan langsung dengan pria paruh baya yang sudah menyembunyikan istrinya selama ini. Melihat ketegangan yang ada, buru-buru Livia melepas diri dari Masitah dan

  • Mengemis Maaf Istriku    Bab 75

    "Apa yang terjadi, Mas? Apa yang ingin kalian ceritakan?" tanya Livia.Mereka sudah duduk di teras rumah Masitah. Livia terpaksa menunda keberangkatannya sebab kedatangan tamu yang tak diduga pagi itu.Karim menarik napas panjang, kemudian bertatapan dengan Hanum yang duduk disampingnya. Hanum sendiri ragu, takut setelah Karim menceritakan itu masalah akan melebar kemana-mana."Ceritakan saja. Aku tak punya banyak waktu," desak Livia, sebab melihat Karim yang tak kunjung bersuara."Livia, Mas pernah tak sengaja mendengar percakapan Ibu dan bapak. Mereka ... membahas tentang kamu. Dan ternyata, kita tidak lahir dari rahim yang sama."Kalimat Karim barusan berhasil mengejutkan Livia. Dia tertegun, tak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar."M–maksudnya?" Livia tetap melontarkan pertanyaan itu, meski ia sendiri sudah paham dengan maksud kalimat sang kakak.Karim tak menjawab, suasana berubah hening. Tak ada satu pun diantara mereka yang berani bersuara, apalagi Hakam yang masih men

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status