Share

Bab 3

last update Last Updated: 2025-03-02 12:22:37

Hakam tengah duduk dengan Dania dan juga Hana, disudut lain si kembar Hanin dan Hanan tengah sibuk menikmati ayam KFC yang tadi dibelikan Hakam.

"Kenapa kalian nggak cerita dari awal kalau Livia bicara kasar seperti tadi?" tanya Hakam menatap Dania dan Hana gantian.

"Awalnya kita juga mau cerita, tapi ... mama takut kamu bakal marah sama Livia." Dania menunduk, berpura-pura baik pada Livia didepan Hakam

"Ya, pasti aku bakal marah, Ma! Kalau dia memperlakukan kalian kasar seperti itu masa aku cuma diem?" berang Hakam.

Dania dan Hana saling pandang dengan senyum terkulum, rencana mereka berhasil. Livia harus tau, jika dia ditakdirkan untuk hidup menjadi bulan-bulanan mereka.

"Aku bakal kasih pelajaran padanya. Mama sama mbak tenang aja, aku nggak akan biarin dia berani kurang ajar sama kalian," tekad Hakam penuh dendam.

Sementara itu, Livia menatap langit yang sudah mulai gelap, tapi Hakam tak juga datang. Berulang kali sudah ia coba hubungi tak satu pun panggilan Livia ia angkat.

"Kemana, sih, kamu sebenarnya, Mas?" gumam Livia.

Perempuan itu cemas, sebab pampers dan keperluan Yazeed yang tak ia bawa. Saat pergi tadi, dia hanya membawa satu pampers dan satu pasang baju ganti untuk Yazeed karena tak tau akan dirawat inap.

"Eum ... permisi, Bu. Boleh saya titip anak saya sebentar? Saya mau pulang dulu, mau ambil keperluan yang ketinggalan." Livia menghampiri ranjang pasien disampingnya.

Seorang wanita yang umurnya lebih tua dari Livia itu menoleh, kemudian menjawab, "boleh, Mbak. Ditinggal aja anaknya. Kalau boleh tau, mbak pulangnya naik apa?"

"Terimakasih banyak, Bu. Kayaknya saya balik nyari ojek aja, mudah-mudahan saja masih ada ojek yang mangkal didepan."

"Mending mbak bawa motor saya aja, kasihan kalau mbak harus nyari ojek lagi. Takutnya kelamaan nanti anaknya ditinggal. Bukan saya nggak mau dititipin lama, cuma anaknya mbak 'kan masih nyusu," tawar wanita itu.

"Eh, nggak usah, Bu. Saya naik ojek aja, didepan pasti masih ada yang mangkal." Livia menolak halus tawaran wanita itu.

"Nggak apa. Bawa saja, mbak bisa bawa motor, kan?" Wanita itu tetap memaksa, bahkan meminta anaknya yang lain untuk mengantar Livia sampai pada motornya.

Livia terharu dengan kebaikan dan ketulusan wanita itu, dengan sungkan ia terpaksa menerima kunci motor yang disodorkan ke tangannya. Tak lupa ia mengucapkan banyak terimakasih karena sudah sudi membantu.

Begitu sampai di parkiran, Livia langsung menaiki motor dan mengenakan helm. Tanpa menunggu lama, dia mulai tancap gas. Dia harus segera tiba di rumah dan menyiapkan semuanya, dia tak mungkin meninggalkan Yazeed terlalu lama meski wanita itu bersedia menunggunya.

Beberapa menit perjalanan, akhirnya Livia sampai juga. Dahi wanita itu berkerut saat melihat mobil Hakam yang sudah terparkir rapi didepan rumah mertuanya. Dada Livia terbakar emosi, ternyata suaminya sudah pulang sedang dia menunggu dengan sabar di rumah sakit.

"Mas Hakam!" teriak Livia sembari membuka kasar pintu rumah mertuanya.

Hakam yang kebetulan tengah bermain bersama dua keponakannya tersentak mendengar teriakan Livia. Melihat bagaimana asiknya sang suami menemani keponakannya bermain, hati Livia kembali berdenyut nyeri. Bagaimana bisa Hakam setega itu padanya dan Yazeed?

Dada Livia bergelombang menahan amarah, napasnya memburu dengan mata memerah. Perlahan tapi pasti, ia mendekati Hakam yang sudah berdiri menatapnya datar.

Plak! Satu tamparan mendarat keras di pipi laki-laki itu. Hakam yang tak siap dengan serangan Livia jelas terkejut, dia memegangi pipinya yang terasa panas. Disaat bersamaan, Hanin menangis kencang. Mungkin kaget melihat kemarahan Livia yang tak biasa.

Mendengar tangisan Hanin, Hana dan Dania yang tengah berada di dapur langsung berlari menghampiri. Keduanya terkejut dengan kedatangan Livia, terlebih saat perempuan itu menatap tajam kearah mereka.

"Apa yang terjadi, Kam? Kenapa Hanin menangis?" cecar Dania, Hana langsung meraih kedua anaknya dan membawanya kebelakang.

Hakam tak menjawab, dia hanya menatap Livia dengan emosi memuncak. Laki-laki itu marah dengan sikap istrinya yang mulai berani. Livia sendiri tak sedikit pun takut dengan tatapan laki-laki didepannya, malah terkesan ia ikut menantang.

"Kau–"

"Apa? Kau ingin mengatakan apa? Aku perempuan kurang ajar, begitu? Kau yang lebih kurang ajar, Mas! Anakmu terbaring lemah di rumah sakit, sedangkan kau malah sibuk menemani anak orang lain di sini! Dasar manusia tak punya hati!" jerit Livia, dia kembali menyerang Hakam dengan mendorongnya. Tapi apalah daya tenaganya yang tak seberapa itu harus berhadapan dengan laki-laki bertubuh tinggi besar itu.

"Jaga mulutmu Livia! Berani sekali kamu berkata seperti itu pada anakku!" teriak Dania mendorong bahu Livia.

"Lebih sakit mana, Ma? Melihat anak yang sudah dewasa dikatai oleh istrinya, atau melihat anak yang masih bayi tak mendapat perhatian dari ayah kandungnya sendiri?" balas Livia sinis.

"Sudah cukup, Livia! Ternyata begini caramu memperlakukan mamaku?" bentak Hakam menarik tangan sang istri.

"Minta maaf sekarang! Atau aku akan memberimu pelajaran, Livia!" tegas Hakam penuh penekanan.

Bukannya takut, Livia malah tersenyum sinis menanggapi permintaan Hakam.

"Bukan aku yang seharusnya mengemis maaf, Mas. Tapi ... kalian!" tekan Livia membuat Hakam dan Dania ternganga tak percaya.

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
SumberÃrta
lawan Livia jangan takut... vangkee emang keluarga lakilu
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Mengemis Maaf Istriku    110 (Ending)

    Setahun setelah pernikahannya dengan Gheza, Livia hidup dalam kedamaian yang tak pernah ia bayangkan. Namun, satu ikatan dari masa lalu masih belum terselesaikan, keluarganya.Saat menikah dengan Gheza, Livia sengaja tak ingin menghubungi Sofian atau pun Karim. Livia dinikahkan oleh wali hakim setelah beberapa kali memohon, permintaannya diterima begitu tau permasalahannya dengan keluarganya.Sejak detik itu juga, Livia tak sedikit pun punya niat untuk bertemu lagi dengan keluarganya, termasuk ibu kandungnya, meski awalnya Livia berniat mencari keberadaan wanita itu.Dia ingin mengubur habis tentang masa lalunya yang pahit. Sebab, setelah menikah dengan Gheza dia hanya ingin merasakan kebahagiaan dengan orang baru tanpa harus melibatkan orang-orang dari masa lalunya.Suatu sore, Livia menerima pesan dari kontak tak dikenal. Pesan itu dari Hernita, ibu kandungnya, yang memohon untuk bertemu. Setelah Gheza dan Nia meyakinkannya, Livia setuju.Awalnya, Livia kaget setengah mati. Kenapa d

  • Mengemis Maaf Istriku    109

    Setahun kemudian.Livia dan Gheza menikah secara sederhana, hanya disaksikan oleh Ghani, Nia, Ghaida, Muis, Masitah, dan Alia. Rumah yang dulu dibeli Hakam untuk menjamin keselamatan Livia, kini menjadi rumah bagi tiga anak, Yazeed, Hanan, dan Hanin.Gheza mengajak Livia pindah dan sudah berencana membelikan rumah baru, tapi Livia menolak untuk saat ini. Gheza mengalah, dia memilih tinggal di rumah peninggalan Hakam bersama Livia dan anak-anak.Dania, yang akhirnya mendapat perawatan dan dukungan emosional dari keluarga Gheza, tidak lagi hancur. Ia sering datang mengunjungi cucu kembarnya, meskipun ia masih menjaga jarak dan bungkam di hadapan Livia. Namun, di matanya, ada sedikit rasa terima kasih yang tidak terucapkan.Hana, di penjara, menjalani konsekuensinya. Ia tahu, satu-satunya alasan Hanan dan Hanin hidup nyaman di bawah perlindungan hukum adalah karena kebesaran hati perempuan yang ia benci, Livia.Livia, yang dulunya adalah menantu yang tak pernah mendapat tempat di hati me

  • Mengemis Maaf Istriku    108

    Penangkapan Hana dan kehancuran Dania datang seperti hukuman ilahi. Kabar itu menyebar dengan cepat, melenyapkan semua fitnah yang pernah disebar Hana. Kebenaran tentang pekerjaan gelap Hana—pengedaran narkoba dan menjadi simpanan pria beristri—membuat Dania terisolasi total. Kebencian Dania terhadap Livia lenyap, tergantikan oleh rasa malu yang mematikan dan kepedihan melihat putrinya ditahan.Dengan Dania yang bungkam dan Hana di penjara, urusan warisan Hakam berjalan mulus. Livia, didampingi Gheza dan Pak Wibowo, berhasil memastikan semua aset Hakam—rekening bank, asuransi, dan beberapa investasi lain—dialihkan sepenuhnya atas nama Yazeed, yang diwakili oleh Livia.Ghani dan Nia menawarkan bantuan logistik penuh. Mereka bahkan menyarankan agar Dania mendapatkan bantuan hukum untuk kasus Hana, bukan karena iba pada Dania, tetapi demi menjaga citra keluarga besar. Livia, dengan kebesaran hati, setuju untuk mencabut gugatan pencemaran nama baik, asalkan Dania tidak pernah lagi mengusi

  • Mengemis Maaf Istriku    107

    Siang itu, di kantor hukum Pak Wibowo, suasana terasa mencekam. Di satu sisi meja, duduk Gheza, Livia didampingi Alia, dan Pak Wibowo, yang terkenal sebagai pengacara yang dingin dan tanpa kompromi. Di sisi lain, Dania dan Hana datang dengan pengacara mereka yang terlihat kurang berpengalaman.Dania mendengus begitu melihat Livia. "Jadi ini pengacara yang kau pamerkan, Livia? Kau pikir kau bisa menakuti kami?"Namun, senyum Dania langsung luntur saat melihat Gheza duduk tegak di sebelah Livia."Gheza?" Dania terkejut. "Apa urusanmu di sini? Bukannya kau sepupu suami Hana?""Justru itu urusanku, Tante Dania," jawab Gheza dingin. "Suami Hana sudah meninggal. Dan sekarang, aku bertindak sebagai penanggung jawab hukum untuk Livia dan Yazeed. Kau sedang berhadapan dengan pengacaraku, bukan hanya Livia."Dania memandang pengacara Livia, Pak Wibowo. Mendengar nama Pak Wibowo saja sudah membuatnya gentar, sebab ia tahu reputasi Pak Wibowo yang tak pernah kalah.Pertemuan itu dimulai dengan Pa

  • Mengemis Maaf Istriku    106

    Livia akhirnya menerima tawaran Gheza. Ia tahu risikonya besar—risiko dicap "merebut" Gheza di masa berkabung, risiko Gheza memanfaatkan situasi, dan risiko terbesarnya: keselamatan dan pekerjaan Alia serta Nenek Masitah. Namun, ketegasan Gheza meyakinkannya."Baiklah, Gheza. Aku terima," ujar Livia, tatapannya tegas. "Tapi ini hanya hubungan profesional. Aku butuh perisai hukum. Dan tolong, pastikan Mbah dan Alia aman dari papamu."Gheza tersenyum lembut. "Syarat diterima. Mari kita urus ini."*Malam itu, di rumah mewah keluarga Gheza, suasana tegang menyelimuti meja makan. Ghani telah mendengar kabar burung tentang putranya yang secara terbuka membantu Livia."Jadi, kau berani-beraninya membantu mantan ART yang sudah kita pecat, Gheza?" desis Ghani, suaranya dipenuhi amarah. "Kau bahkan menggunakan pengacara terbaik perusahaan kita untuk urusan sepele seorang janda?"Nia dan Ghaida hanya diam, menyaksikan. Nia tahu Gheza memiliki perasaan yang kuat untuk Livia, dan Ghaida, yang leb

  • Mengemis Maaf Istriku    105

    Langkah Livia terhenti di depan pintu pagar. Rasa penasaran itu cepat berganti menjadi ketakutan saat ia melihat Dania dan Hana duduk di kursi teras, seolah mereka adalah pemilik sah tempat itu. Wajah Dania terlihat dingin, sementara Hana menyeringai tipis."Hanya sebulan, sudah berani berjalan-jalan dengan bunga. Duka macam apa itu?" sambut Dania, menghilangkan semua basa-basi.Alia melangkah maju, tangannya menggenggam lengan Livia erat, melindungi. "Bunga itu dari makam Mas Hakam, Tante. Bukan untuk berjalan-jalan."Dania mengabaikan Alia, matanya fokus pada Livia. "Aku sudah tidak sabar lagi, Livia. Kami sudah menunggu cukup lama. Ini waktunya kau angkat kaki dari rumah ini."Livia menyerahkan Yazeed pada Alia, lalu berjalan menuju teras. Ia menanggapi dengan ketenangan yang sudah ia latih selama sebulan terakhir."Aku sudah bilang, Ma. Rumah ini atas namaku. Hukum melindunginya," jawab Livia tegas.Dania berdiri, raut wajahnya menahan amarah yang meletup-letup. "Hukum? Kau pikir

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status