MasukDi dalam lift yang meluncur turun menuju lobby, Ares menatap pantulan dirinya di cermin dinding. Wajahnya pucat, garis kelelahan tercetak jelas di bawah mata yang merah dan sayu. Rambutnya sedikit berantakan, mencerminkan isi kepalanya yang kacau. Ia baru saja melewati perang yang tak pernah ia bayangkan akan terjadi. Perang melawan masa lalu. Melawan kebohongan yang bertahun-tahun ia pendam. Melawan perempuan yang pernah ia cintai sepenuh hati. Namun perang itu belum benar-benar selesai. Kini ia harus menghadapi konsekuensinya. Raya. Perempuan yang terseret ke dalam kekacauan hidupnya. Perempuan yang mungkin kini merasa hancur, dipermalukan, dan sendirian. Dan Kenzie—anak yang ia besarkan dengan seluruh cintanya—mungkin kini sangat membencinya. Pintu lift terbuka di lobby. Ares menarik napas panjang, lalu meraih ponselnya. Ia menelepon Teddy. "Teddy," sapanya, berusaha terdengar setenang mungkin. "Res? Apa yang terjadi?" suara Teddy terdengar waspada. "Kamu baik-baik saja? Aku
Lulu menyerang Ares dengan tangan mengepal, memukul dadanya berkali-kali dengan kekuatan penuh amarah dan keputusasaan. "KAMU MENGHANCURKAN HIDUP ANAKKU! KAMU MEMBUAT KENZIE MEMBENCIKU, BAJINGAN!" teriaknya histeris, air matanya mengalir deras. Ares hanya berdiri tegak, membiarkan setiap pukulan Lulu menghantam dadanya tanpa perlawanan. Wajahnya dingin, seperti patung es yang tak terpengaruh. "Kamu puas sekarang?!" teriak Lulu pada Ares, wajahnya penuh amarah dan air mata. "Kamu membela pelacur peliharaanmu itu sampai menyakiti anakku!” Ares menatapnya dingin, rahangnya mengeras, menahan diri agar tak menghancurkan apapun. "Dengar! Sampai detik ini, aku tidak pernah ingin Kenzie tahu kalau dia bukan anakku." Ares menekankan setiap katanya. "Lalu kenapa kamu lakukan ini?!" tantang Lulu lebih histeris. "Karena kamu tidak pernah berhenti," jawab Ares tegas. "Kamu terus memanfaatkan rasa sayangku pada Kenzie untuk kepentinganmu sendiri. Kamu merugikan terlalu banyak orang, Lulu."
Ares mengatakannya tanpa sedikit pun keraguan. "Kenzie..." Ares memulai, dengan jeda yang terasa menyakitkan. "... Kamu bukan anak kandung Dad." Detik itu juga, dunia Kenzie runtuh sepenuhnya. Ia teringat lima tahun lalu, saat pernikahan orang tuanya berakhir tanpa penjelasan yang benar-benar ia pahami. Lulu hanya mengatakan satu hal, berulang kali, menanamkannya perlahan tapi pasti, 'Ayahmu berselingkuh. Ares pria yang tak setia. Ares memilih perempuan lain.' Kenzie mempercayainya. Dan sejak saat itu, hubungannya dengan Ares memburuk. Jauh. Dingin. Penuh jarak. Sekarang, ketika kebenaran menghantamnya seperti palu besar, napasnya terasa tercekat di tenggorokan. Ares kembali bicara, suaranya semakin rendah, semakin memilukan. “Maafkan Dad,” katanya lirih. Ia menarik napas panjang, mengumpulkan sisa kekuatan. “Dad terpaksa mengatakan ini sekarang, Ken. Kamu sudah dewasa. Dad harap kamu bisa mendengarnya dengan kepala dingin.” Kenzie tak menjawab. Tubuhnya kaku. Wajahnya pucat.
Kenzie melangkah masuk ke dalam suite dengan langkah ragu. Matanya langsung menangkap pemandangan yang aneh—ayahnya berdiri menghadap jendela dengan tubuh tegap namun terlihat lelah, sementara ibunya duduk di sisi ranjang dengan tangan menghapus air mata yang terus mengalir. Untuk pertama kalinya dalam lima tahun, mereka berada dalam satu ruangan. Bertiga. Kenzie menahan kesalnya pada kedua orang tuanya perihal dilabraknya Raya. Amarahnya masih mendidih, namun melihat suasana tegang ini membuatnya sedikit ragu. "Ada apa ini?" tanyanya dengan nada heran, meski tetap terdengar angkuh. Tangannya ia masukkan ke saku celana, berdiri dengan postur defensif di tengah ruangan. "Tunggu sebentar lagi," jawab Ares tanpa menoleh, suaranya datar namun berat. "Ada orang yang masih harus kita tunggu." "Siapa" Kenzie mengerutkan kening, tidak suka dengan atmosfer ini Belum sempat Ares menjawab, ketukan terdengar di pintu. Ares segera membalikkan tubuhnya, menghadap Kenzie. Kenzie melirik Ares
Ares sudah tak peduli apapun lagi. Ia terus melangkah maju, memojokan. Tatapannya tajam, menusuk. "Kalau aku membongkar semuanya sekarang," bisik Ares dengan nada berbahaya, "hidupmu akan benar-benar selesai, Lulu. Semua kebohongan, manipulasi. Semua yang kamu lakukan untuk mempertahankan citra sempurnamu di depan publik, akan hancur lebur." Mata Lulu mulai bergetar, namun bibirnya masih tertahan untuk tidak memohon. Ares tersenyum sinis. "Setelah semuanya terbongkar, Kenzie mungkin akan membencimu." Wajah Lulu berubah pucat pasi. Tubuhnya menegang. "Apa perlu aku mengatakan hal yang sejujurnya pada Kenzie?" tanya Ares dengan suara yang sangat rendah, nyaris berbisik, namun penuh ancaman. "Perbuatan ibunya? Sekarang Kenzie sudah dewasa, sudah waktunya dia tahu kebenarannya, bukan?" Lulu membeku. Matanya membelalak, penuh kepanikan yang tidak bisa ia sembunyikan lagi. "Kamu..." suaranya bergetar. "Kamu tidak akan berani." Ares menatapnya dalam-dalam, dengan tatapan yang tidak
Di seberang telepon Brandon terdiam sejenak. "Raya, sudah ketemu?" "Belum," jawab Ares dengan suara serak. "Ponselnya mati. Apartemennya juga kosong. Aku masih belum tahu dia dimana sekarang." Brandon terdengar menghela napas panjang. "Oke. Kevin dan aku akan bantu nyari. Aku juga akan kontak beberapa orang untuk menekan penyebaran video itu. Kamu fokus cari Raya. Dan... Res?" "Apa?" "Kamu harus temui Lulu. Selesaikan ini sekarang juga sebelum semakin parah." Ares menutup mata, rahangnya mengeras. Brandon benar. Ia harus menghadapi Lulu. Menghentikan semua kebohongan itu sebelum semakin merusak Raya. "Aku tahu," gumam Ares pelan. "Aku akan menemuinya sekarang." Setelah menutup telepon, Ares berdiri dengan wajah yang dingin dan penuh amarah. Ia keluar dari apartemen Raya dengan langkah cepat, masuk kembali ke mobilnya. Tujuannya sekarang jelas. Lulu. Ia harus bertemu Lulu dan menghentikan semua ini. Ares tak peduli harus melakukan apa. Yang jelas, ia tak akan membiarkan Lulu m







