LOGINWeekend akhirnya tiba, dua hari tanpa harus menghadapi tatapan menghakimi di kantor, tanpa harus mendengar bisikan-bisikan yang menyakitkan. Raya bangun dengan perasaan yang sedikit lebih ringan, meskipun masih ada beban di dadanya. Terdengar suara dari arah dapur, Raya perlahan keluar dari kamar. Dilihatnya Ares tengah memasak dengan kaos hitam ketat dan celana training, penampilan yang jarang Raya lihat, tapi sangat menarik dengan cara yang berbeda dari penampilan formalnya. Sepertinya ia baru berolahraga. "Pagi, sayang," sapa Raya sambil mendekati, memeluk Ares dari belakang. Kepalanya bersandar di punggung lebar Ares. Ares tersenyum, tangannya menangkup tangan Raya yang melingkar di perutnya. "Pagi juga, sayang. Tidur nyenyak?" "Lumayan," jawab Raya, meskipun sebenarnya ia beberapa kali terbangun di tengah malam, mimpi tentang Kenzie dan gosip-gosip di kantor. "Kapan datang?" tanyanya lagi, heran pagi-pagi Ares sudah ada apartemennya. "Satu jam lalu. Pulang lari, langsung kes
Kenzie berdiri di balkon apartemen mewahnya, gelas kristal berisi single malt whisky berharga mahal di genggamannya. Udara malam Jakarta yang dingin seharusnya terasa menenangkan, tetapi tidak bagi Kenzie. Pikirannya dipenuhi kekacauan, dan rasa panas yang membakar di tenggorokannya tidak seberapa dibandingkan dengan rasa sakit yang menggerogoti hatinya. Ia baru saja keluar dari kamar tidur, meninggalkan Alicia terlelap pulas di ranjangnya, dengan tubuh ditutupi selimut sebatas pinggang. Mereka baru saja menyelesaikan sesi intim, yang menurut Kenzie itu hanya sebatas rutinitas pelepasan biologisnya. Dan cara kasar untuk mencoba mengikis bayangan wanita lain dari benaknya. Kenzie meneguk wiski itu sampai habis. Rasa pahit dan hangat menyebar, tetapi hanya sesaat. Ia menatap pemandangan kota di depannya. Ribuan lampu berkelip, mencerminkan kekuasaan dan kekayaan yang diberikan ayahnya. Namun, semua itu terasa hampa. Kekuasaan itu tak mampu memberinya satu hal yang paling diinginkann
Pelukan Ares dari belakang begitu terasa nyaman, untuk beberapa saat Raya berharap ini akan berlangsung selamanya. Kemudian Ares bertanya dengan nada yang penuh rasa ingin tahu, "Sayang, bagaimana bisa kamu terpikir untuk menggodaku? Dari semua cara balas dendam yang bisa kamu lakukan, kenapa kamu memilih cara itu?" Raya tertawa kecil. "Aku tidak tahu. Mungkin karena aku dengar kamu playboy? Jadi kupikir akan mudah menggodamu." "Ternyata tidak semudah yang kamu kira?" tanya Ares dengan senyum kecil. "Iya!" protes Raya sambil mencubit lengan Ares dengan pelan. "Kamu sulit ditaklukkan! Aku sudah coba berbagai cara, pakaian seksi, 'tidak sengaja' menjatuhkan barang, bahkan sampai foto itu dan kamu tetap cuek! Dan sadisnya kamu membuatku menangis, disaat aku belum memakan sushi yang kupesan." Ares tertawa kencang namun sangat tulus dan hangat. "Karena aku tahu apa yang kamu lakukan, sayang. Aku sudah membaca niatmu, dan hanya ingin melihat seberapa jauh kamu akan melangkah." "Menyeba
Keheningan menggantung di udara. Mereka saling menatap penuh tanda tanya besar. Pertanyaan siapa yang memberi Raya bucket bunga itu menggantung di udara, dan membawa ketidaknyamanan baru yang belum mereka antisipasi. "Mungkin..." Raya menelan ludah, mencoba berpikir logis meskipun hatinya mulai berdebar tidak nyaman. "Mungkin salah satu dari direktur itu? Doni atau Surya? Sebagai... entahlah, jebakan atau sesuatu?" Ares menggeleng pelan, wajahnya semakin serius. Ia mengambil ponselnya lagi, membuka foto kartu ucapan yang ada di bunga tersebut dengan lebih jelas. "Bukan mereka," katanya dengan nada yang sangat yakin. "Kartunya tidak hanya bilang 'Selamat Ulang Tahun. Semoga harimu selalu penuh kebahagiaan.'" Ia menunjukkan layar pada Raya dengan lebih dekat. "Ada tulisan lain di bawahnya. Tulisan tangan. 'Selalu mencintaimu.'" Raya menatap layar. Ia membaca bagian itu, tapi tak terlalu di gubris olehnya. Kata-kata itu bisa di ucapkan oleh siapapun. "Selalu mencintaimu?" ulang Ra
Setelah tangisannya mereda, Raya melepaskan diri dari pelukan Ares dengan perlahan. Wajahnya sembab, mata merah, tapi ada kelegaan kecil di dadanya setelah melepaskan semua emosi yang terpendam. "Aku... aku harus kembali bekerja," katanya dengan suara serak. Ares mengangguk, tangannya mengusap pipi Raya dengan lembut. "Kita bicarakan ini nanti." Sisa hari itu berlalu dengan sangat lambat dan sangat tegang. Kabarnya Kenzie sudah meninggalkan gedung kantor, semejnak keluar dari ruangan Ares. Ia pergi dengan wajah yang masih berdarah, masuk ke mobilnya, dan pergi tanpa pamit pada siapapun. Dan ia tidak kembali hingga siang. Raya mencoba fokus pada pekerjaannya, tapi tangannya gemetar setiap kali mengetik. Matanya terus melirik ke pintu ruangan Ares yang tertutup rapat, tidak ada suara dari dalam, tidak ada panggilan, tidak ada apapun. Gosip menyebar seperti api. Raya bisa mendengar bisikan-bisikan di pantry, di lorong, bahkan di toilet. "Jadi benar apa engga kalau Naraya itu maina
Kenzie bangkit sambil mengusap darah di bibirnya. "Aku tahu semuanya, Dad. Aku mengikuti Raya kemarin. Aku tahu Dad memberikannya apartemen mewah di daerah. Jadi sebenarnya Raya memang menjual tubuhnya untuk dijadikan simpanan pria tua kaya!" Raya terpaku. Air matanya jatuh tanpa suara, tapi setiap kata Kenzie terasa seperti pisau yang diseret di kulitnya. "Dan yang paling lucu, adalah..." Kenzie menatap Raya dengan tatapan penuh kemenangan yang kejam, "niatmu yang katanya untuk balas dendam. Katanya mau menggoda ayahku untuk membalas dendam padaku. BULLSHIT!" teriak Kenzie kehilangan kendali. Ia menunjuk Raya dengan jari yang gemetar karena amarah. "Sejak awal kamu memang menargetkan Dad. Kamu cuma ingin kemewahan instan. Kamu lelah jadi tumpuan keluargamu setelah ayahmu pergi, kan? Jadi kamu cari jalan pintas." Suara Kenzie semakin mengejek. Senyum Kenzie semakin kejam. "Makanya kamu membungkus semuanya dengan kata ‘balas dendam’, padahal hanya untuk membenarkan tindakan kotormu







