LOGINHari kedua misi menggoda Ares. Raya sengaja tiba di kantor lebih pagi dari biasanya, memakai kemeja putih dengan potongan yang lebih fitted, kancing bagian atas ia biarkan terbuka, tapi tidak terlalu vulgar. Cukup untuk menunjukkan lekuk leher dan sedikit tulang selangkanya. Bawahnya memakai rok pensil merah maroon yang membentuk pinggul dan pahanya dengan sempurna. tak lupa heels merah setinggi sepuluh sentimeter, juga lipstik merah menyala.
Langkah pertama yang harus dilakukannya adalah membuat kopi hitam, seperti yang selalu diminum Ares. Ia sudah memperhatikan kebiasaan Ares selama sebulan penuh. Atasannya itu akan meminum kopi pertamanya lima belas menit setelah tiba di kantor. Biasanya pria itu membuatnya sendiri. Tapi hari ini, Raya ingin mendahului. Ia ingin menunjukan perhatiannya pada Ares. Tepat pukul delapan, pintu lift khusus terbuka. Ares keluar dengan langkah pasti, mengenakan jas navy yang membuat tubuh atletisnya terlihat sempurna. Ekspresinya tenang, tegas, dan berwibawa seperti biasa. “Selamat pagi, Pak,” sapa Raya dengan senyum lembut. Ares menoleh, sedikit terkejut melihat Raya sudah ada. “Pagi. Kamu datang lebih awal hari ini.” “Iya, Pak. Ada yang perlu saya siapkan lebih awal." Raya mengangkat cangkir kopi yang baru ia seduh. "Saya sudah membuatkan kopi untuk Anda. Hitam, setengah sendok gula, seperti yang Anda suka." Ares menatap cangkir itu, kemudian menatap Raya dengan tatapan yang sulit dibaca. “Kamu tidak perlu melakukan itu. Aku biasa membuat kopiku sendiri.” "Saya tahu, Pak," jawab Raya sambil melangkah lebih dekat, menyerahkan cangkir itu. "Tapi sebagai sekretaris Anda, saya ingin memastikan Anda bisa langsung fokus pada pekerjaan tanpa harus direpotkan hal kecil seperti ini." Jari mereka bersentuhan sekilas saat Ares menerima cangkirnya. Sentuhan singkat, tapi cukup untuk menyalakan percikan kecil di antara keduanya. Ares menarik tangannya dengan cepat, tatapannya bertahan di wajah Raya lebih lama dari biasanya. “Terima kasih,” katanya akhirnya, suaranya sedikit lebih rendah. “Sama-sama, Pak.” Raya juga tersenyum sedikit lebih lama dan lebih hangat dari biasanya. Ares menatapnya sejenak lagi sebelum berbalik dan masuk ke ruangannya. Raya menahan napas, jantungnya berdegup cepat. Langkah pertama. Selesai. Senyum tipis menghiasi wajah Raya. Sepanjang hari, Raya akan menjalankan strateginya dengan halus, tidak berlebihan, tapi konsisten. Setiap kali ia membawa dokumen, ia akan sedikit membungkuk, cukup untuk memperlihatkan belahan dada tanpa terlihat disengaja. Saat berbicara, ia berdiri lebih dekat dari biasanya, menatap mata Ares sedikit lebih lama. Dengan nada hangat, gestur penuh perhitungan.Senyum lembut yang membuat wajahnya terlihat lebih hangat. Semua itu dilakukan sesuai dengan tips menggoda yang ia pelajari dari youtube dan film-film. Dan semua itu ternyata lumayan berhasil, Ares mulai memperhatikannya. Raya bahkan sempat menangkap tatapan pria itu yang turun sesaat ke dadanya sebelum cepat kembali ke wajahnya. Raya berpura-pura tidak menyadarinya, tapi dalam hati, ia mencatatnya sebagai kemenangan kecil. Meski begitu, Ares tetap seperti biasanya, dingin, terkontrol, dan tenang. Namun Raya tahu ada sesuatu yang berubah. Rahang Ares menegang setiap kali ia berada terlalu dekat. Tangannya mengepal, seolah menahan sesuatu yang tidak boleh lepas. Menjelang sore, Ares masuk ke ruang rapat untuk mengecek persiapan meeting dengan dua klien penting dari Jepang. Dan Raya ada di sana, sibuk menyiapkan peralatan presentasi. "Semuanya sudah siap?" tanya Ares, menatap sekeliling ruangan. "Hampir, Pak. Saya hanya perlu mengatur proyektor," jawab Raya menatap Ares sekilas, sebelum kembali pada perkerjaannya. Raya berdiri di ujung ruangan, menjangkau remote yang tersimpan di rak tinggi. Ia berjinjit, tubuhnya sedikit terangkat, hingga rok pensilnya naik beberapa senti, memperlihatkan sedikit pahanya. "Siapa sih yang nyimpen remotenya disini," gumamnya kesal. Ares berjalan mendekatinya. "Minggir." Tapi alih-alih minggir, Raya justru berbalik, tepat ketika Ares sudah berada sangat dekat di belakangnya. Tubuh mereka nyaris bertabrakan. Dada bertemu dada, wajah mereka hanya berjarak beberapa senti. Waktu seakan berhenti di sekitar mereka. Raya bisa melihat setiap detail wajah tampan Ares dari jarak sedekat ini, garis rahangnya, bulu mata tebal, bibir tipis yang terlihat begitu, dagunya yang di tumbuhi janggut yang di benruk rapi berbahaya. Tatapan Ares turun sekilas ke bibir Raya yang merah menyala, lalu cepat kembali ke matanya. Ia membuka mulut, hendak bicara, tapi kalimatnya tak pernah sempat keluar. Dalam sepersekian detik, nalar Ares runtuh. Ia sudah lebih dulu menarik pinggang Raya dan menyambar bibirnya. Segalanya terjadi begitu cepat. Ciuman itu bukan lembut, bukan ragu, tapi dorongan dari seseorang yang sudah terlalu lama menahan diri. Raya sempat terpaku, matanya membesar karena terkejut, tapi tubuhnya bereaksi lebih cepat. Ia berjingjit, melingkarkan tangan ke leher Ares, membalas ciuman itu sama intens dan dalam. Udara di antara mereka mendadak berat. Aroma kopi dan cologne Ares berpadu, memenuhi ruang sempit itu. Dada mereka saling menekan, napas mereka bertubrukan. Ciuman itu bergeser dari terkejut menjadi menuntut, dan untuk sesaat, waktu berhenti. Ares mencengkeram pinggang Raya semakin erat, jemarinya menekan kain tipis kemejanya, seakan takut perempuan itu akan menghilang jika ia melepaskan. Raya merasakan debaran dada Ares menabrak dadanya sendiri, keras dan tidak teratur. Ia menahan napas, membiarkan dirinya tenggelam. Namun, di tengah derasnya emosi, Ares tiba-tiba menghentikan semuanya. Ia menarik wajahnya menjauh, napasnya memburu. Matanya menatap Raya tajam, pupilnya membesar, campuran antara gairah, marah, dan… entah apa lagi, seperti penyesalan. “Lain kali, suruh orang lain yang membereskannya,” katanya pelan, tapi nada suaranya berat dan berbahaya. Raya masih terdiam, bibirnya basah, napasnya belum pulih. Ares mengulurkan tangan, mengambil remote proyektor di rak di atas bahu Raya tanpa benar-benar menatapnya. Gerakannya kaku, terlihat jelas menahan sesuatu agar tidak pecah lagi. “Meeting dimulai lima menit lagi,” katanya, suaranya berusaha terdengar normal, tapi serak di ujungnya. “Pastikan semuanya siap.” Ia mundur selangkah. Hening menekan ruangan, hanya terdengar detak jam dan napas mereka yang masih berat. Tapi jarak yang tercipta tidak benar-benar mendinginkan udara. Ketegangan di antara .erema justru makin pekat, menggantung di udara seperti listrik sebelum badai. “Terima kasih, Pak,” bisik Raya akhirnya, suaranya nyaris tak terdengar. Ia menerima remote itu, tapi tatapannya tetap menahan Ares di tempat. Tatapan yang dalam, menantang, namun dihatinya merayakan kemenangan kecil yang nyaris tidak tersamarkan. Ares menatap balik hanya sebentar sebelum memalingkan wajah, melangkah menuju pintu. Tapi sesampainya di ambang, ia berhenti. Bahunya tegang. “Rapikan lipstikmu sebelum meeting dimulai,” ucapnya datar, tanpa menoleh. Lalu ia pergi, langkahnya cepat, terlalu cepat, melarikan diri dari sesuatu yang baru saja ia nyalakan sendiri. Tangan kirinya dimasukkan ke dalam saku celana, menyembunyikan jemari yang masih gemetar. Raya tetap berdiri di tempat, mematung beberapa detik sebelum akhirnya menghela napas panjang. Napasnya berat, jantungnya berdegup kencang. Ia menutup mata sebentar. Senyum kecil lolos dari bibirnya, antara tidak percaya, dan puas. "Aku dan Pak Ares berciuman," gumam Raya pelan, jemarinya menyentuh bibir yang masih terasa hangat. Senyum kecil mulai muncul di wajahnya, berubah perlahan menjadi senyum puas. Ada rasa lega, ada juga getar kemenangan yang sulit disembunyikan. Matanya berkaca-kaca, campuran antara euforia dan kelegaan. “Aku berhasil,” bisiknya. Ares sudah kehilangan kontrol. Bahkan Ares yang memulainya. “Yee… gak sia-sia aku habisin gajiku buat semua ini,” ujarnya pelan dengan nada geli, sambil berputar kecil di tempat, lalu meloncat-loncat pelan seperti anak kecil yang baru menang undian. Ia menggigit bibir bawahnya, nyaris tak percaya pada dirinya sendiri. Tanpa disadarinya ada mata yang memperhatikannya di balik dinding kaca ruang meeting. Sorotnya begitu tajam, senyum sinis menghiasi wajahnya. Ketidaksukaannya pada Raya terlihat begitu ketara. Sementara Raya masih larut dalam euforia kecilnya, ia tidak sadar bahwa sejak detik permainannya mulai menarik perhatian lawan yang jauh lebih berbahaya dari yang ia kira.Brandon, seperti biasa, menjadi orang pertama yang berhasil menguasai rasa kagetnya. Ia langsung mengangkat kedua tangan tinggi-tinggi, seperti sedang ditodong polisi. "Aduh... sumpah, Res. Maaf! Kita nggak tahu kamu lagi..." Brandon tampak mencari-cari kata yang tepat, matanya bergulir kiri–kanan. "euh... sibuk." Ia menyeringai canggung, mencoba menutupi rasa kagetnya dengan tawa kecil yang dipaksakan. Geri di sampingnya langsung menggaruk kepala, tertawa kering. "Serius, kita kira kamu sendirian. Harusnya kita ketuk pintu kayak orang ngeronda." Kevin dan Fattah saling pandang, lalu mengangguk sopan pada Raya yang terlihat malu setengah mati. Mereka menahan senyum geli. Tapi Bella? Wanita itu justru berdiri kaku dengan wajah yang mulai memerah, bukan karena merasa bersalah, tapi kesal yang jelas terpancar dari matanya. Di sampingnya, Maura—yang semua orang tahu adalah simpanan Kevin—menganga tanpa berusaha menutup mulutnya. Tatapannya bolak-balik antara Ares dan Raya, seolah ba
Tok. Tok. "Masuk," suara Ares terdengar datar sekaligus tegas dari dalam. Pintu perlahan dibuka, menampilkan Raya yang melangkah masuk dengan berkas di tangannya. Ares tengah berdiri di depan meja, melepas jasnya dan menggantungnya di kursi. Ia langsung berbalik menatap kekasihnya. Kemeja putihnya digulung sampai siku, membuatnya tampak jauh lebih kasual tapi tetap berwibawa, dan jauh lebih berbahaya bagi ketenangan Raya. "Kok lama," ujar Ares sambil merapikan lengan kemejanya. "Kurirnya telat?" Raya menutup pintu dengan hati-hati, berusaha menjaga profesionalisme yang tersisa. "Maaf, Pak. Tadi Sisca sama Dina ngajak ngobrol sebentar." Alis Ares terangkat pelan. Ia dapat membaca dari wajah Raya, kalau mereka bukan mengobrol obrolan biasa. "Ngobrol apa?" Raya melangkah beberapa langkah mendekat. Napasnya terasa berat, bukan karena lelah, tapi karena beban informasi yang baru saja ia terima. "Soal Mbak Sari." Ares terdiam. Sorot matanya berubah tegas, nyaris dingin. Ia telah men
Suasana lobby gedung Mahardika Group siang ini cukup ramai—karyawan berlalu-lalang, beberapa tamu menunggu di sofa, suara obrolan, langkah sepatu, dan dering telepon bercampur jadi satu. Raya berdiri di area terbuka dekat pintu masuk, tempat orang datang–pergi secara konstan. Mata Raya fokus pada lift kaca di sisi kanan lobby, lalu bergeser pada pintu putar kaca besar. Ia sedang menunggu kurir lapangan yang seharusnya tiba lima menit lalu, membawa berkas penting yang Ares butuhkan sebelum rapat sore. Ia mengecek ponsel lagi. Chat terakhir bertuliskan Kurir: On the way, Mbak. Lima menit lagi. "Raya!" Suara yang terlalu lantang itu membuatnya menoleh cepat. Ia langsung melihat Sisca dan Dina datang terburu-buru, seperti dua reporter yang menemukan bahan gosip bernilai miliaran rupiah. Bahkan dari jauh saja ekspresi keduanya sudah seperti ingin meledakan informasi yang ditahannya. Raya tersenyum ramah. "Hai... dari mana?" Sisca mendekat seperti agen rahasia yang takut disadap. Be
Raya segera menghampiri Ares begitu melihat Ratih masuk kembali ke kamar untuk beristirahat. Pria itu masih duduk di sofa kecil ruang tamu, satu tangan memijat keningnya seperti baru saja melewati ujian berat. Mendengar langkah kaki Raya, Ares membuka mata. Senyumnya langsung mengembang sempurna, hangat dan lega. Tangannya terulur, meminta Raya mendekat. "Sini," ucapnya pelan dan lembut. Raya mendekat, duduk di samping Ares. Wajahnya terlihat khawatir. Kekasihnya langsung meraih tangannya, menggenggamnya erat sambil membelai pipi Raya dengan tangan satunya. "Sayang," bisiknya pelan, seolah kata itu adalah mantra yang menenangkan. Raya refleks menegakkan bahu, antara tersipu dan khawatir. "Kenapa mukanya kaya tegang banget?" Raya menatap wajah Ares, dipenuhi rasa penasaran bercampur cemas. "Ibu tanya apa aja? Kamu gak apa-apa kan?" Ares menahan tawa kecil, menggelengkan kepala "Rahasia. Cuma bahasan antara calon menantu dan ibu mertua,” ujarnya, Raya mengangkat alis. "Serius?"
Keesokan harinya, Ratih sudah diperbolehkan pulang dari rumah sakit ditemani Raya dan Dio. Anita yang mengantar mereka sampai rumah, memastikan semuanya berjalan lancar. Namun perjalanan pulang itu terasa hening. Ratih tampak banyak berpikir, menatap keluar jendela sambil sesekali melirik Raya. Sesampainya di rumah, Ratih langsung masuk kamar untuk beristirahat. Fisiknya sudah pulih, tapi jelas pikirannya penuh beban. Sore hari, bel rumah tiba-tiba berbunyi. Raya yang membuka pintu langsung terbelalak. Ares berdiri di depannua, mengenakan kaos putih polos dengan celana chino. Wajahnya serius tapi sopan. "Ares?" bisik Raya kaget. "Kok bisa disini? Bukannya—" "Aku gak bisa ninggalin kamu sendirian disini, jadi aku gak jadi pulang ke Jakarta." "Tapi gimana kamu bisa tahu rumahku? Mau apa kesini?" Ares tersenyum kecil. "Mudah sekali mendapatkan alamat karyawanmu sendiri, sayang." Tangan Ares terulur mengusap pipi kekasihnya. Padahal baru semalam saja mereka tak bertemu tapi Ares s
Di salah satu kamar suite hotel bintang lima di Ares berdiri di depan jendela besar yang menghadap kota Surabaya dengan lampu-lampu yang berkelip di kejauhan. Tangannya terkepal di saku celana, rahangnya mengeras. Ia urung pulang ke Jakarta seperti yang dikatakannya pada Raya. Hati dan pikirannya mengatakan ia harus tetap berada di Surabaya. Berjaga-jaga kalau Raya membutuhkannya, atau terjadi sesuatu yang tak diinginkan. Dan ternyata instingnya benar. Beberapa menit yang lalu ia mendapatkan laporan pelaku penyebaran foto dan video Raya. David duduk beberapa meter dibelakangnya tengah membuka laptop, melihat berbagai bukti digital yang telah dikumpulkan selama beberapa hari terakhir. "Tuan," panggil David. "Semuanya sudah terkonfirmasi. Pelakunya memang Sari." Ares tak berbalik, hanya mengangguk pelan, wajahnya begitu dingin. "Selama ini dia memang menguntit Nona Raya," lanjut David sambil membaca laporan di layar. "Hampir seluruh kegiatan Nona di kantor, saat gathering, bahkan







