Share

Bab 4

Penulis: QueenShe
last update Terakhir Diperbarui: 2025-10-06 09:27:39

Hari kedua misi menggoda Ares. Raya sengaja tiba di kantor lebih pagi dari biasanya, memakai kemeja putih dengan potongan yang lebih fitted, kancing bagian atas ia biarkan terbuka, tapi tidak terlalu vulgar. Cukup untuk menunjukkan lekuk leher dan sedikit tulang selangkanya. Bawahnya memakai rok pensil merah maroon yang membentuk pinggul dan pahanya dengan sempurna. tak lupa heels merah setinggi sepuluh sentimeter, juga lipstik merah menyala.

Langkah pertama yang harus dilakukannya adalah membuat kopi hitam, seperti yang selalu diminum Ares. Ia sudah memperhatikan kebiasaan Ares selama sebulan penuh. Atasannya itu akan meminum kopi pertamanya lima belas menit setelah tiba di kantor. Biasanya pria itu membuatnya sendiri. Tapi hari ini, Raya ingin mendahului. Ia ingin menunjukan perhatiannya pada Ares.

Tepat pukul delapan, pintu lift khusus terbuka. Ares keluar dengan langkah pasti, mengenakan jas navy yang membuat tubuh atletisnya terlihat sempurna. Ekspresinya tenang, tegas, dan berwibawa seperti biasa.

“Selamat pagi, Pak,” sapa Raya dengan senyum lembut.

Ares menoleh, sedikit terkejut melihat Raya sudah ada. “Pagi. Kamu datang lebih awal hari ini.”

“Iya, Pak. Ada yang perlu saya siapkan lebih awal." Raya mengangkat cangkir kopi yang baru ia seduh. "Saya sudah membuatkan kopi untuk Anda. Hitam, setengah sendok gula, seperti yang Anda suka."

Ares menatap cangkir itu, kemudian menatap Raya dengan tatapan yang sulit dibaca. “Kamu tidak perlu melakukan itu. Aku biasa membuat kopiku sendiri.”

"Saya tahu, Pak," jawab Raya sambil melangkah lebih dekat, menyerahkan cangkir itu. "Tapi sebagai sekretaris Anda, saya ingin memastikan Anda bisa langsung fokus pada pekerjaan tanpa harus direpotkan hal kecil seperti ini."

Jari mereka bersentuhan sekilas saat Ares menerima cangkirnya. Sentuhan singkat, tapi cukup untuk menyalakan percikan kecil di antara keduanya.

Ares menarik tangannya dengan cepat, tatapannya bertahan di wajah Raya lebih lama dari biasanya. “Terima kasih,” katanya akhirnya, suaranya sedikit lebih rendah.

“Sama-sama, Pak.” Raya juga tersenyum sedikit lebih lama dan lebih hangat dari biasanya.

Ares menatapnya sejenak lagi sebelum berbalik dan masuk ke ruangannya. Raya menahan napas, jantungnya berdegup cepat. Langkah pertama. Selesai. Senyum tipis menghiasi wajah Raya.

Sepanjang hari, Raya akan menjalankan strateginya dengan halus, tidak berlebihan, tapi konsisten. Setiap kali ia membawa dokumen, ia akan sedikit membungkuk, cukup untuk memperlihatkan belahan dada tanpa terlihat disengaja.

Saat berbicara, ia berdiri lebih dekat dari biasanya, menatap mata Ares sedikit lebih lama. Dengan nada hangat, gestur penuh perhitungan.Senyum lembut yang membuat wajahnya terlihat lebih hangat.

Semua itu dilakukan sesuai dengan tips menggoda yang ia pelajari dari youtube dan film-film.

Dan semua itu ternyata lumayan berhasil, Ares mulai memperhatikannya. Raya bahkan sempat menangkap tatapan pria itu yang turun sesaat ke dadanya sebelum cepat kembali ke wajahnya. Raya berpura-pura tidak menyadarinya, tapi dalam hati, ia mencatatnya sebagai kemenangan kecil.

Meski begitu, Ares tetap seperti biasanya, dingin, terkontrol, dan tenang. Namun Raya tahu ada sesuatu yang berubah. Rahang Ares menegang setiap kali ia berada terlalu dekat.

Tangannya mengepal, seolah menahan sesuatu yang tidak boleh lepas.

Menjelang sore, Ares masuk ke ruang rapat untuk mengecek persiapan meeting dengan dua klien penting dari Jepang. Dan Raya ada di sana, sibuk menyiapkan peralatan presentasi.

"Semuanya sudah siap?" tanya Ares, menatap sekeliling ruangan.

"Hampir, Pak. Saya hanya perlu mengatur proyektor," jawab Raya menatap Ares sekilas, sebelum kembali pada perkerjaannya.

Raya berdiri di ujung ruangan, menjangkau remote yang tersimpan di rak tinggi. Ia berjinjit, tubuhnya sedikit terangkat, hingga rok pensilnya naik beberapa senti, memperlihatkan sedikit pahanya.

"Siapa sih yang nyimpen remotenya disini," gumamnya kesal.

Ares berjalan mendekatinya. "Minggir."

Tapi alih-alih minggir, Raya justru berbalik, tepat ketika Ares sudah berada sangat dekat di belakangnya. Tubuh mereka nyaris bertabrakan. Dada bertemu dada, wajah mereka hanya berjarak beberapa senti. Waktu seakan berhenti di sekitar mereka.

Raya bisa melihat setiap detail wajah tampan Ares dari jarak sedekat ini, garis rahangnya, bulu mata tebal, bibir tipis yang terlihat begitu, dagunya yang di tumbuhi janggut yang di benruk rapi berbahaya.

Tatapan Ares turun sekilas ke bibir Raya yang merah menyala, lalu cepat kembali ke matanya. Ia membuka mulut, hendak bicara, tapi kalimatnya tak pernah sempat keluar.

Dalam sepersekian detik, nalar Ares runtuh. Ia sudah lebih dulu menarik pinggang Raya dan menyambar bibirnya.

Segalanya terjadi begitu cepat. Ciuman itu bukan lembut, bukan ragu, tapi dorongan dari seseorang yang sudah terlalu lama menahan diri.

Raya sempat terpaku, matanya membesar karena terkejut, tapi tubuhnya bereaksi lebih cepat. Ia berjingjit, melingkarkan tangan ke leher Ares, membalas ciuman itu sama intens dan dalam.

Udara di antara mereka mendadak berat.

Aroma kopi dan cologne Ares berpadu, memenuhi ruang sempit itu. Dada mereka saling menekan, napas mereka bertubrukan.

Ciuman itu bergeser dari terkejut menjadi menuntut, dan untuk sesaat, waktu berhenti.

Ares mencengkeram pinggang Raya semakin erat, jemarinya menekan kain tipis kemejanya, seakan takut perempuan itu akan menghilang jika ia melepaskan.

Raya merasakan debaran dada Ares menabrak dadanya sendiri, keras dan tidak teratur. Ia menahan napas, membiarkan dirinya tenggelam.

Namun, di tengah derasnya emosi, Ares tiba-tiba menghentikan semuanya.

Ia menarik wajahnya menjauh, napasnya memburu. Matanya menatap Raya tajam, pupilnya membesar, campuran antara gairah, marah, dan… entah apa lagi, seperti penyesalan.

“Lain kali, suruh orang lain yang membereskannya,” katanya pelan, tapi nada suaranya berat dan berbahaya.

Raya masih terdiam, bibirnya basah, napasnya belum pulih.

Ares mengulurkan tangan, mengambil remote proyektor di rak di atas bahu Raya tanpa benar-benar menatapnya. Gerakannya kaku, terlihat jelas menahan sesuatu agar tidak pecah lagi.

“Meeting dimulai lima menit lagi,” katanya, suaranya berusaha terdengar normal, tapi serak di ujungnya. “Pastikan semuanya siap.”

Ia mundur selangkah.

Hening menekan ruangan, hanya terdengar detak jam dan napas mereka yang masih berat. Tapi jarak yang tercipta tidak benar-benar mendinginkan udara. Ketegangan di antara .erema justru makin pekat, menggantung di udara seperti listrik sebelum badai.

“Terima kasih, Pak,” bisik Raya akhirnya, suaranya nyaris tak terdengar. Ia menerima remote itu, tapi tatapannya tetap menahan Ares di tempat. Tatapan yang dalam, menantang, namun dihatinya merayakan kemenangan kecil yang nyaris tidak tersamarkan.

Ares menatap balik hanya sebentar sebelum memalingkan wajah, melangkah menuju pintu. Tapi sesampainya di ambang, ia berhenti. Bahunya tegang. “Rapikan lipstikmu sebelum meeting dimulai,” ucapnya datar, tanpa menoleh.

Lalu ia pergi, langkahnya cepat, terlalu cepat, melarikan diri dari sesuatu yang baru saja ia nyalakan sendiri. Tangan kirinya dimasukkan ke dalam saku celana, menyembunyikan jemari yang masih gemetar.

Raya tetap berdiri di tempat, mematung beberapa detik sebelum akhirnya menghela napas panjang. Napasnya berat, jantungnya berdegup kencang.

Ia menutup mata sebentar.

Senyum kecil lolos dari bibirnya, antara tidak percaya, dan puas.

"Aku dan Pak Ares berciuman," gumam Raya pelan, jemarinya menyentuh bibir yang masih terasa hangat.

Senyum kecil mulai muncul di wajahnya, berubah perlahan menjadi senyum puas. Ada rasa lega, ada juga getar kemenangan yang sulit disembunyikan. Matanya berkaca-kaca, campuran antara euforia dan kelegaan. “Aku berhasil,” bisiknya.

Ares sudah kehilangan kontrol. Bahkan Ares yang memulainya.

“Yee… gak sia-sia aku habisin gajiku buat semua ini,” ujarnya pelan dengan nada geli, sambil berputar kecil di tempat, lalu meloncat-loncat pelan seperti anak kecil yang baru menang undian. Ia menggigit bibir bawahnya, nyaris tak percaya pada dirinya sendiri.

Tanpa disadarinya ada mata yang memperhatikannya di balik dinding kaca ruang meeting. Sorotnya begitu tajam, senyum sinis menghiasi wajahnya. Ketidaksukaannya pada Raya terlihat begitu ketara.

Sementara Raya masih larut dalam euforia kecilnya, ia tidak sadar bahwa sejak detik permainannya mulai menarik perhatian lawan yang jauh lebih berbahaya dari yang ia kira.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Menggoda Ayah Mantan Kekasihku   Bab 10

    Keesokan harinya, Raya datang ke kantor dengan perasaan campur aduk, malu, gugup, tapi juga sedikit penasaran. Ares sudah membaca pesannya tadi malam, tapi pria itu tidak membalas apa-apa.Apakah strateginya berhasil? Atau malah membuat Ares semakin jijik padanya, menganggapnya seperti wanita murahan?Ares tiba pukul delapan pagi, Raya menyapanya dengan formal seperti biasa. "Selamat pagi, Pak. Ini jadwal Bapak hari ini."Ares mengambil tablet dari tangannya tanpa menatapnya. "Terima kasih."Tapi Raya menangkap sesuatu. Sesaat setelah Ares mengambil tablet itu, tatapannya turun sekilas ke tubuhnya sebelum cepat berpaling.Jantung Raya berdetak lebih cepat. Apa tadi? Apa Ares baru saja meliriknya? Apa semalam berhasil?Entahlah itu berhasil atau tidak. Yang pasti Raya mulai menyadari perubahan kecil pada perilaku Ares.Saat meeting pagi dengan tim finance, Raya duduk di samping Ares untuk mencatat risalah. Beberapa kali ia menangkap Ares melirik ke arahnya, tatapan singkat yang turun k

  • Menggoda Ayah Mantan Kekasihku   Bab 9

    Sudah tiga hari sejak makan malam itu. Tiga hari Raya berusaha bersikap profesional seperti yang diminta Ares. Tiga hari ia mengenakan pakaian tertutup, berbicara formal, dan menjaga jarak.Tapi malam ini, sendirian di kost-nya, Raya menatap ponselnya dengan tatapan frustasi. Di layar terbuka grup chat dengan Liodra tadi siang. Liodra : 'Ray, jalankan jurus terakhir malam ini. Tiga hari udah cukup bikin bos-mu kehilangan sosok Raya yang menggoda.'Raya menatap saran itu lama. Sesuatu di dalam dadanya bergejolak, campuran antara ragu, malu, dan sedikit harapan yang tidak mau mati."Gila... Apa aku sudah gila?" gumamnya, tapi jemarinya sudah membuka kamera ponselnya.Ia berdiri di depan cermin besar di kamarnya, melepas semua pakaiannya kecuali celana dalam hitam satin yang seksi. Jantungnya berdegup kencang. Tangannya gemetar."Ini gila. Ini benar-benar gila," bisiknya sambil mengatur angle kamera.Tapi tangannya tidak berhenti. Ia mengambil beberapa foto dari belakang, memperlihatkan

  • Menggoda Ayah Mantan Kekasihku   Bab 8

    Raya berbaring di kasurnya, menatap kosong ke arah langit-langit kamarnya. Matanya bengkak karena menangis. Tubuhnya terasa remuk.Ponselnya berdering di meja. Nama Liodra muncul di layar.Dengan tangan gemetar, Raya mengangkatnya."Ray! Gimana? Berhasil nggak? Udah jadian sama si bos ganteng?" suara cempreng Liodra memecah hening malam.Raya menutup mata, mencoba menahan sesak di dadanya. Suaranya serak saat menjawab, "Gagal. Dia tahu semuanya. Dia tahu aku cuma deketin dia buat balas dendam ke Kenzie. Dia anggap aku anak kecil.""WHAT?!" Liodra langsung teriak. "Serius?! Aduh, Ray... terus sekarang gimana? Kamu masih mau lanjutin, atau mau udahan aja?"Raya terdiam.Air matanya jatuh lagi tanpa izin. "Gak tahu. Rasanya pengen hilang aja, Li. Aku malu banget. Semua yang aku lakuin, sia-sia. Dan yang lebih parah gajiku bulan ini abis." Suara tangisnya pecah di ujung kalimat.Beberapa detik hening, hanya terdengar suara isak dan tarikan napas tertahan. “Ray...” suara Liodra kali ini t

  • Menggoda Ayah Mantan Kekasihku   Bab 7

    Pukul sebelas malam, Ares masih duduk di kursi kerjanya di ruang pribadi mansionnya. Di hadapannya, sebuah gelas whiskey setengah kosong. Ini gelas ketiganya malam ini.Ditatapnya layar komputernya yang menampilkan foto profil Raya dari database karyawan. Foto itu diambil di hari pertama Raya bekerja, tersenyum polos, mata berbinar penuh harapan, rambut diikat sederhana. Tidak perlu berdandan berlebihan pun Raya sudah terlihat menarik.Sangat berbeda dengan Raya yang ia tinggalkan tadi. Raya yang terluka. Raya yang hancur.Ares menutup mata, mencoba mengatur detak jantungnya yang memburu. Baru saja ia melakukan kebohongan terbesar dalam hidupnya. Dan yang lebih menyakitkan, ia harus menyaksikan bagaimana wajah Raya berubah dari harapan menjadi kehancuran total.Mata gadis itu berkaca-kaca. Bibirnya yang bergetar menahan isak. Tangannya yang gemetar saat menggenggam tas."Sialan," desis Ares, membuka mata dan menatap pantulannya sendiri di jendela dengan penuh kebencian.Ares meneguk w

  • Menggoda Ayah Mantan Kekasihku   Bab 6

    Malam itu, Raya duduk di kamar kost-ya, menatap kosong ke arah layar laptopnya yang membuka folder berisi foto-foto dirinya dengan Kenzie dulu, saat mereka masih bahagia."Kenzie... aku melakukan semua ini karena kamu," gumamnya getir. "Tapi kenapa diacuhkan Ares, aku malah lebih patah hati?"Ponselnya berdering. telepon dari Liodra, satu-satunya sahabat yang mengetahui niatnya menggoda Ares, ayah Kenzie."Raya, gimana udah berhasil belum misinya?" seru Liodra di seberang telepon.Raya terdiam lama, sampai akhirnya menjawab dengan nalas, "Belum. Dia sepertinya emang kebal." "Tidak mungkin! Kamu udah pake semua jurus kan?""Aku udah lakuin semuanya, Li."Sesuatu di dalam dada Raya bergejolak campuran antara putus asa, frustasi, dan sedikit harapan yang tidak mau mati."Dengerin, Ray. Sebagai 'ani-ani' profesional, aku kasih tahu ya cara yang paling ampuh. Pancing dia dengan sentuhan yang lebih berani terlebih dulu," ujar Liodra.Sebagai simpanan seorang direktur tentu Liodra lebih pah

  • Menggoda Ayah Mantan Kekasihku   Bab 5

    Raya tiba di kantor pagi itu dengan senyum penuh percaya diri. Kemarin ia berhasil membuat Ares kehilangan kontrol. Ciuman itu yang panas dan intens adalah bukti nyata bahwa rencananya berhasil. Kini, ia hanya perlu mendorong sedikit lagi.Hari ini, sengaja ia memakai gaun hitam selutut dengan potongan V di bagian dada, cukup menggoda tapi tetap terlihat profesional. Rambutnya ia gerai dengan sedikit gelombang, memancarkan aura feminin yang lebih kuat. Parfum vanilla-nya sengaja ia semprotkan sedikit lebih banyak. Di cermin toilet kantor, ia tersenyum puas melihat penampilannya."Hari ini pasti lebih berhasil," bisiknya pada bayangannya sendiri.Seperti kemarin, ia datang lebih awal dan membuatkan kopi untuk Ares. Saat pria itu tiba, Raya menyambutnya dengan senyum manis, sedikit memiringkan kepalanya, pose yang ia pelajari dari video semalam, "bagaimana terlihat menggoda secara natural"."Selamat pagi, Pak. Kopi Anda sudah siap," ucapnya dengan nada suara yang sengaja dibuat lebih le

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status