Share

Bab 3

Author: QueenShe
last update Last Updated: 2025-10-06 09:27:03

Sorenya, Raya sedang merapikan dokumen untuk meeting Ares ketika suara yang paling tidak ingin didengarnya menyelinap dari pintu masuk. "Wah, wah... lihat siapa ini."

Raya menoleh. Kenzie berdiri di sana dengan senyum sinis, tangan terlipat di dada. Matanya mengamati Raya dari ujung rambut sampai ujung sepatu, muatan ejekan jelas terpancar dari tatapannya.

"Mengubah penampilan?" Kenzie berjalan mengelilingi meja Raya, menatapnya dari berbagai sudut dengan pandangan mengejek. "Rambut model baru. Baju baru. Makeup tebal."

Ia berhenti tepat di depan Raya, mencondongkan badan agar wajah mereka sejajar.

"Jadi ini caramu menarik perhatian ayahku? Supaya dapat nilai di atas standar?" Kenzie tertawa kecil, nada suaranya dingin dan meremehkan, "Atau… kamu sengaja tampil begini supaya aku tergoda lagi?"

Raya menatapnya tanpa gentar, meminjam ketenangan dan tatapan tajam yang sering ia pelajari dari Ares. Senyum tipis terangkat di sudut bibirnya.

"Anda terlalu percaya diri, Pak Kenzie. Mungkin sebaiknya Anda bercermin dulu, supaya sadar, dunia ini tidak berputar hanya di sekitar Anda."

Kenzie tertawa pelan, tapi tawa itu justru membuat darah Raya mendidih. Matanya melirik ke kancing atas kemeja Raya yang sedikit terbuka, lalu berucap berucap dengan nada mengejek, "Benarkah? Asal kamu tahu, penampilanmu ini terlalu jelas untuk menggoda pria. Sebegitu putus asanya kamu putus dariku?"

Kata terakhir itu seperti tamparan, namun Raya tidak akan mundur. "Silahkan anda berpikir sesuka hati Anda, Pak Kenzie," jawabnya sambil kembali menatap layar komputer. "Saya tidak perlu menjelaskan pilihan penampilan pada Anda. Karena anda sudah bukan siapa-siapa bagi saya."

Kenzie menatap tajam Raya, senyumnya sirna, nadanya berubah jadi mengancam. "Sepertinya aku harus mengingatkanmu. Aku mantan pacarmu. Pacar pertamamu. Pemilik ciuman pertamamu juga. Dan aku yang paling mengenalmu."

"Justru karena itu," Raya menatap balik dengan pandangan yang membuat Kenzie sedikit terkejut, "Anda tentu tahu saya mudah lupa dengan hal yang tak penting. Dan Anda tidak sepenting itu dalam hidup saya."

Kenzie hendak membuka mulut, tapi pada saat itu pintu ruang Ares terbuka.

"Kenzie," suara Ares terdengar datar. "Sedang apa kamu disini? Kamu tidak bekerja? Ingat perusahaan tidak membayarmu untuk mengobrol."

Kenzie meluruskan tubuhnya, ekspresinya berubah menjadi profesional. "Ya, Dad. Aku mau meeting dengan Pak Hendra." Matanya masih tak lepas dari Raya yang fokus menatap ayahnya dengan tatapan yang berbeda

Merasa masih belum puas, Sebelum pergi, Kenzie menunduk hampir membungkuk ke arah Raya, berbisik pelan agar Ares tak mendengarnya, “Ternyata kamu benar-benar mau menggoda ayahku?” Ejeknya tapi terdengar nada cemburu di dalamnya. “Sebaiknya kamu menyerah saja. Kamu tidak akan pernah bisa menarik perhatian ayahku. Dia sudah terbiasa dengan wanita-wanita yang jauh lebih cantik dan berpengalaman darimu. Jadi, jangan banyak bermimpi."

Kenzie mengangguk sebentar pada Ares, lalu melangkah meninggalkan jejak aroma cologne mahal. Di atas meja, tangan Raya mengepal, kuku menancap di telapak. Kata-kata itu meresap seperti racun, membuat hatinya semakin bertekad untuk membuktikan dia bisa mendapatkan Ares.

"Kamu salah, Kenzie. Aku akan mendapatkan ayahmu," ucapnya dalam hati.

Raya menarik napas dalam dan kembali fokus pada pekerjaannya. Permainan sudah dimulai. Dan ia tidak akan berhenti sampai ia menang. Apapun konsekuensinya.

"Apa Kenzie mengganggumu?" tanya Ares membuyarkan lamunannya.

Raya menoleh, agak terkejut menemukan Ares masih berdiri di ambang pintu ruangannya, bersandar pada kusen dengan pose yang entah kenapa terlihat sangat maskulin. Lengan kemeja hitamnya digulung hingga siku, memperlihatkan tangan berototnya yang tampak kuat.

"Tidak, Pak," jawab Raya cepat, berusaha menutupi kegugupan. "Hanya percakapan biasa. Tidak ada apa-apa."

Ares menatapnya tajam, seolah menembus kebohongan kecil itu. Ia melangkah pelan ke meja, penuh wibawa. "Percakapan biasa seperti apa yang membuatmu mengepalkan tangan hingga buku jarimu memutih?" tanyanya menyelidik.

Raya segera melonggarkan kepalan, mendadak malu karena Ares memperhatikan detail sekecil itu. "Bukan apa-apa, Pak," ulangnya, kali ini dengan lebih meyakinkan. "Pak Kenzie tadi hanya mampir sebentar. Urusan pekerjaan."

Ares berhenti tepat di samping mejanya. Dari posisi Raya yang duduk, Raya harus mendongak untuk menatap wajah atasannya itu. Dan entah kenapa, sudut pandang ini membuat jantungnya berdegup lebih kencang.

"Dengar baik-baik, Naraya," kata Ares dengan suara rendah yang terdengar berbahaya. "Jika Kenzie mengganggumu dalam bentuk apapun, kamu bisa melaporkannya padaku. Dia mungkin anakku, tapi di kantor ini, dia tetap karyawan. Saya tidak mentolerir pelecehan dalam bentuk apapun di perusahaanku."

Raya menatap Ares dengan mata membulat. Ucapan Ares terdengar sedikit berbeda, ada aura protektif yang lebih dari sekadar hubungan atasan dan bawahan biasa.

"Terima kasih, Pak," jawab Raya pelan. "Saya masih bisa menghandlenya sendiri. Saya bukan gadis lemah yang perlu dilindungi."

Sudut bibir Ares terangkat, bukan senyum penuh, tapi cukup membuat wajahnya melunak. "Saya tahu kamu bukan gadis lemah," katanya. "Tapi kamu harus ingat, seorang wanita kuat pun berhak mendapat dukungan ketika menghadapi pria yang tidak tahu diri."

Raya merasakan kehangatan menjalar di dadanya. Ini berbahaya. Sangat berbahaya.

"Baik, Pak," jawab Raya sambil menundukkan kepala, menyembunyikan rona merah di pipinya. "Saya akan mengingat itu."

"Bagus." Ares mengetuk meja Raya sekali dengan buku jarinya. "Meeting akan dimulai dalam sepuluh menit. Dokumennya sudah siap?"

"Sudah, Pak. Semuanya ada di folder hijau ini."

"Sempurna. Kamu memang tak pernah mengecewakan saya, Naraya."

Ares mengambil folder itu, jari-jarinya sempat menyentuh tangan Raya sekilas. Sentuhan singkat itu seperti percikan listrik. Kedua tubuh itu terhenti dalam kontak yang amat singkat, namun cukup untuk membuat keduanya kaku beberapa detik. Mereka saling menatap, hingga Raya buru-buru memutuskan kontak mata sebelum gelenyar aneh di perutnya menyebar keseluruh tubuhnya.

"Saya akan membawakan kopi Anda ke ruang meeting, Pak," kata Raya cepat, memutus kontak mata.

"Terima kasih, Raya." Suara Ares terdengar sedikit serak, atau itu hanya imajinasi Raya? Rahangnya tampak menegang saat ia berbalik dan berjalan masuk ke ruangannya, meninggalkan Raya dengan dada yang berdegup tak teratur.

Raya meletakkan telapak tangan di dada, menahan denyut yang tak karuan. Ia harus mengingatkan dirinya sendiri kalau ini hanya permainan. Ini semua hanya untuk mempermalukan Kenzie. Ayahnya hanyalah alat.

Tetapi setiap kali Ares menatap, sentuhan kecil, sesuatu di dalam dirinya bergetar. Getaran itu bukan hal asing, itu adalah sesuatu yang lebih dari rencana balas dendam sederhana. Berbahaya, karena mulai merayap menjadi perasaan yang tak ia izinkan tumbuh.

Raya menggeleng, mengusir pikiran itu. Fokus, Raya. Fokus pada tujuanmu. Kenzie harus membayar semua rasa sakit hati yang sudah diberikan. Dan Ares... Ayah Kenzie itu hanya alat untuk mencapai tujuan itu. Tidak lebih.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Menggoda Ayah Mantan Kekasihku    Bab 201

    Brandon, seperti biasa, menjadi orang pertama yang berhasil menguasai rasa kagetnya. Ia langsung mengangkat kedua tangan tinggi-tinggi, seperti sedang ditodong polisi. "Aduh... sumpah, Res. Maaf! Kita nggak tahu kamu lagi..." Brandon tampak mencari-cari kata yang tepat, matanya bergulir kiri–kanan. "euh... sibuk." Ia menyeringai canggung, mencoba menutupi rasa kagetnya dengan tawa kecil yang dipaksakan. Geri di sampingnya langsung menggaruk kepala, tertawa kering. "Serius, kita kira kamu sendirian. Harusnya kita ketuk pintu kayak orang ngeronda." Kevin dan Fattah saling pandang, lalu mengangguk sopan pada Raya yang terlihat malu setengah mati. Mereka menahan senyum geli. Tapi Bella? Wanita itu justru berdiri kaku dengan wajah yang mulai memerah, bukan karena merasa bersalah, tapi kesal yang jelas terpancar dari matanya. Di sampingnya, Maura—yang semua orang tahu adalah simpanan Kevin—menganga tanpa berusaha menutup mulutnya. Tatapannya bolak-balik antara Ares dan Raya, seolah ba

  • Menggoda Ayah Mantan Kekasihku    Bab 200

    Tok. Tok. "Masuk," suara Ares terdengar datar sekaligus tegas dari dalam. Pintu perlahan dibuka, menampilkan Raya yang melangkah masuk dengan berkas di tangannya. Ares tengah berdiri di depan meja, melepas jasnya dan menggantungnya di kursi. Ia langsung berbalik menatap kekasihnya. Kemeja putihnya digulung sampai siku, membuatnya tampak jauh lebih kasual tapi tetap berwibawa, dan jauh lebih berbahaya bagi ketenangan Raya. "Kok lama," ujar Ares sambil merapikan lengan kemejanya. "Kurirnya telat?" Raya menutup pintu dengan hati-hati, berusaha menjaga profesionalisme yang tersisa. "Maaf, Pak. Tadi Sisca sama Dina ngajak ngobrol sebentar." Alis Ares terangkat pelan. Ia dapat membaca dari wajah Raya, kalau mereka bukan mengobrol obrolan biasa. "Ngobrol apa?" Raya melangkah beberapa langkah mendekat. Napasnya terasa berat, bukan karena lelah, tapi karena beban informasi yang baru saja ia terima. "Soal Mbak Sari." Ares terdiam. Sorot matanya berubah tegas, nyaris dingin. Ia telah men

  • Menggoda Ayah Mantan Kekasihku    Bab 199

    Suasana lobby gedung Mahardika Group siang ini cukup ramai—karyawan berlalu-lalang, beberapa tamu menunggu di sofa, suara obrolan, langkah sepatu, dan dering telepon bercampur jadi satu. Raya berdiri di area terbuka dekat pintu masuk, tempat orang datang–pergi secara konstan. Mata Raya fokus pada lift kaca di sisi kanan lobby, lalu bergeser pada pintu putar kaca besar. Ia sedang menunggu kurir lapangan yang seharusnya tiba lima menit lalu, membawa berkas penting yang Ares butuhkan sebelum rapat sore. Ia mengecek ponsel lagi. Chat terakhir bertuliskan Kurir: On the way, Mbak. Lima menit lagi. "Raya!" Suara yang terlalu lantang itu membuatnya menoleh cepat. Ia langsung melihat Sisca dan Dina datang terburu-buru, seperti dua reporter yang menemukan bahan gosip bernilai miliaran rupiah. Bahkan dari jauh saja ekspresi keduanya sudah seperti ingin meledakan informasi yang ditahannya. Raya tersenyum ramah. "Hai... dari mana?" Sisca mendekat seperti agen rahasia yang takut disadap. Be

  • Menggoda Ayah Mantan Kekasihku    Bab 198

    Raya segera menghampiri Ares begitu melihat Ratih masuk kembali ke kamar untuk beristirahat. Pria itu masih duduk di sofa kecil ruang tamu, satu tangan memijat keningnya seperti baru saja melewati ujian berat. Mendengar langkah kaki Raya, Ares membuka mata. Senyumnya langsung mengembang sempurna, hangat dan lega. Tangannya terulur, meminta Raya mendekat. "Sini," ucapnya pelan dan lembut. Raya mendekat, duduk di samping Ares. Wajahnya terlihat khawatir. Kekasihnya langsung meraih tangannya, menggenggamnya erat sambil membelai pipi Raya dengan tangan satunya. "Sayang," bisiknya pelan, seolah kata itu adalah mantra yang menenangkan. Raya refleks menegakkan bahu, antara tersipu dan khawatir. "Kenapa mukanya kaya tegang banget?" Raya menatap wajah Ares, dipenuhi rasa penasaran bercampur cemas. "Ibu tanya apa aja? Kamu gak apa-apa kan?" Ares menahan tawa kecil, menggelengkan kepala "Rahasia. Cuma bahasan antara calon menantu dan ibu mertua,” ujarnya, Raya mengangkat alis. "Serius?"

  • Menggoda Ayah Mantan Kekasihku    Bab 197

    Keesokan harinya, Ratih sudah diperbolehkan pulang dari rumah sakit ditemani Raya dan Dio. Anita yang mengantar mereka sampai rumah, memastikan semuanya berjalan lancar. Namun perjalanan pulang itu terasa hening. Ratih tampak banyak berpikir, menatap keluar jendela sambil sesekali melirik Raya. Sesampainya di rumah, Ratih langsung masuk kamar untuk beristirahat. Fisiknya sudah pulih, tapi jelas pikirannya penuh beban. Sore hari, bel rumah tiba-tiba berbunyi. Raya yang membuka pintu langsung terbelalak. Ares berdiri di depannua, mengenakan kaos putih polos dengan celana chino. Wajahnya serius tapi sopan. "Ares?" bisik Raya kaget. "Kok bisa disini? Bukannya—" "Aku gak bisa ninggalin kamu sendirian disini, jadi aku gak jadi pulang ke Jakarta." "Tapi gimana kamu bisa tahu rumahku? Mau apa kesini?" Ares tersenyum kecil. "Mudah sekali mendapatkan alamat karyawanmu sendiri, sayang." Tangan Ares terulur mengusap pipi kekasihnya. Padahal baru semalam saja mereka tak bertemu tapi Ares s

  • Menggoda Ayah Mantan Kekasihku    Bab 196

    Di salah satu kamar suite hotel bintang lima di Ares berdiri di depan jendela besar yang menghadap kota Surabaya dengan lampu-lampu yang berkelip di kejauhan. Tangannya terkepal di saku celana, rahangnya mengeras. Ia urung pulang ke Jakarta seperti yang dikatakannya pada Raya. Hati dan pikirannya mengatakan ia harus tetap berada di Surabaya. Berjaga-jaga kalau Raya membutuhkannya, atau terjadi sesuatu yang tak diinginkan. Dan ternyata instingnya benar. Beberapa menit yang lalu ia mendapatkan laporan pelaku penyebaran foto dan video Raya. David duduk beberapa meter dibelakangnya tengah membuka laptop, melihat berbagai bukti digital yang telah dikumpulkan selama beberapa hari terakhir. "Tuan," panggil David. "Semuanya sudah terkonfirmasi. Pelakunya memang Sari." Ares tak berbalik, hanya mengangguk pelan, wajahnya begitu dingin. "Selama ini dia memang menguntit Nona Raya," lanjut David sambil membaca laporan di layar. "Hampir seluruh kegiatan Nona di kantor, saat gathering, bahkan

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status