LOGINDi mejanya, Raya mencoba fokus pada pekerjaan. Tapi pikirannya terus melayang pada percakapan di dalam ruangan Ares. Suara mereka tidak terdengar. Ruangan itu memang kedap suara, tapi Raya bisa melihat dari jendela kaca buram bagaimana bayangan Kenzie berbicara dengan gestur yang agresif, bagaimana Ares menatap anaknya dengan ekspresi yang lelah dan frustrasi. Sepuluh menit kemudian, Kenzie keluar dengan wajah yang merah, rahangnya mengeras. Ia melirik Raya dengan tatapan yang penuh dengan kebencian sebelum berjalan menuju lift dengan langkah yang keras. Raya menatap pintu ruangan Ares yang masih tertutup. Sebagian dirinya ingin masuk, ingin bertanya apakah Ares baik-baik saja. Tapi ia tidak melakukannya. Karena simpanan yang sempurna tahu kapan harus memberi ruang. Dan akan datang saat si pemilik dirinya memanggilnya untuk memberikan pelayanan. *** Di dalam ruangan, Ares duduk di kursinya dengan kepala bersandar dan mata tertutup. Percakapan dengan Kenzie tadi membuat kepalany
Alarm di ponselnya berbunyi dengan keras, membuat Raya yang masih tertidur dengan posisi memeluk bantal Ares terbangun dengan gerakan yang kaget. Raya meraih ponselnya, mematikan alarm, dan menatap layar dengan mata yang masih setengah tertutup. Pukul enam pagi. Ia harus bersiap untuk bekerja. Gerakannya begitu lambat. Tubuhnya masih terasa lelah dari aktivitas semalam. Raya bangkit dari tempat tidur dan berjalan ke kamar mandi. Pantulannya di cermin membuat ia berhenti sejenak. Banyak tanda-tanda merah di lehernya. Di tulang selangkanya. Di dadanya. Perut. Hampir seluruh tubuhnya tak luput dari jejak kepemilikan yang Ares tinggalkan semalam. Raya menyentuh salah satu tanda itu dengan jari-jarinya, merasakan kulitnya sedikit sensitif di sana. Sesuatu di dalam dadanya terasa hangat. Meskipun Ares pergi, ia meninggalkan bukti bahwa ia pernah ada di sini, bahwa malam kemarin benar-benar terjadi. Tapi kehangatan itu dengan cepat digantikan dengan kekosongan yang familiar. "Tanda di
Beberapa menit kemudian, setelah napas mereka mulai kembali normal, Ares bangkit dari tempat tidur dengan gerakan yang lembut. "Jangan bergerak," bisiknya pada Raya yang masih terbaring dengan mata tertutup, tubuhnya masih gemetar dengan sisa-sisa kesenangan. Ares berjalan ke kamar mandi dan kembali dengan handuk hangat yang sudah ia basahi. Dengan gerakan yang sangat lembut, sangat penuh dengan perhatian, ia membersihkan tubuh Raya, mengusap dengan hati-hati setiap bagian yang perlu dibersihkan. Raya membuka matanya, menatap Ares dengan tatapan yang lembut. "Kamu tidak perlu melakukan ini. Aku bisa—" "Aku ingin melakukannya," potong Ares dengan lembut sambil terus membersihkan dengan gerakan yang sangat hati-hati. "Kamu sudah memberikan begitu banyak untukku malam ini. Ini yang paling sedikit bisa aku lakukan." Setelah selesai, ia melempar handuk ke keranjang dan berbaring di samping Raya, menarik perempuan itu ke dalam pelukannya dengan erat seakan tak ingin melepaskannya. Mer
Ares menarik Raya ke atas dengan gerakan yang agak kasar, bukan karena marah, tapi karena keinginan yang masih membara. Ia mencium bibir Raya dengan sangat dalam, tangannya bergerak ke lingerie hitam yang masih menempel di tubuh perempuan itu. "Giliranku," gumamnya dengan suara yang sangat gelap, sangat penuh dengan janji. Dengan gerakan yang cepat tapi tetap lembut, ia melepas lingerie itu, merobek beberapa bagian karena tidak sabar, tapi ia terlalu ingin melihat Raya tanpa penghalang apa pun. Raya tertawa kecil saat tubuhnya terjatuh ke atas kasur, pantulan halus di bawah punggungnya membuat rambutnya berantakan, matanya berbinar antara tantangan dan takluk. Ares naik menindihnya, kedua tangannya menahan sisi wajah Raya, menatapnya dari jarak yang terlalu dekat. Suaranya berat, gelap, seperti malam yang tidak memberi ruang lari. "Sekarang," desisnya, "aku yang memegang kendali. Aku akan tunjukkan akibatnya kalau kamu berani membuatku kehilangan akal." Raya mengangkat dagu, se
Tangan lentik Raya mengurut kejantanan Ares dengan gerakan lambat namun dengan ritme yang memabukan. Terdengar suara geraman rendah saat Raya menjilat-jilat untuk kenjantanan Ares seperti es krim lezat, dengan kedua tangan mengurut naik turun membuat urat disana membesar. Raya semakin menggoda milik Ares dengan menghisap dua bola di bawahnya, menjilat menghisap hingga tangan Ares refleks mengumpulkan rambut Raya dan di jambak lembut. Permainan Raya begitu lambat membuat Ares semakin tak sabar dan ingin segera mengambil kendali. Namun setiap kali Ares hendak menarik Raya untuk menciumnya, tangan Raya menahan dadanya. "Sayang, tunggu sebentar, ini masih milikku." Ares bersandar ke belakang, napasnya berat, pupilnya menggelap. “Raya… kamu tahu aku tidak suka menunggu.” "Aku tahu," jawab Raya, senyum kecil muncul di bibirnya. "Tapi justru itu yang membuatmu semakin ingin, kan?" Tangannya yang lentik bergerak dengan gerakan yang sangat lambat namun dengan ritme yang memabukkan, naik
Raya berdiri di depan cermin apartemen mewahnya, menatap pantulannya dengan perasaan campur aduk, gugup, takut, tapi juga tekad yang kuat. Ia mencukur seluruh rambut dan bulu di tubuhnya, hingga mulus bersih. Setelah pulang dari kantor, ia sengaja mampir ke butik lingerie mewah di kawasan Senayan. Di sana, dengan bantuan sales yang sangat profesional, ia memilih set lingerie hitam yang sangat berani. Lace dengan detail yang rumit, potongan yang sangat sensual namun tetap elegan. Warnanya kontras sempurna dengan kulitnya yang putih, dan potongannya hampir tidak menutupi apa-apa, tapi justru itulah yang membuatnya terlihat sangat menggoda. Di luar lingerie itu, ia mengenakan kemeja putih milik Ares. Kemeja yang pria itu tinggalkan beberapa minggu lalu untuk berganti pakaian. Kemeja itu terlalu besar untuknya, ujungnya hanya menutupi hingga pertengahan pahanya, dan baunya masih sangat Ares. Cologne maskulin yang membuat jantung Raya berdegup lebih cepat. Makeup-nya ia buat lebih sens







