LOGINAres memakai polo shirt hitam yang memeluk tubuhnya dengan sempurna, celana golf berwarna krem, dan topi yang membuatnya terlihat lebih muda dan lebih santai dari biasanya. Ia sedang tertawa pada sesuatu yang dikatakan salah satu temannya, tangan di saku, sama sekali tidak menyadari kehadiran Raya. Tapi yang membuat dada Raya sesak adalah, Ares tak berjalan sendiri, ada wanita yang berjalan disampingnya. Melingkarkan tangannya di lengan Ares, terlihat sangat manja, tertawa dengan suara yang sedikit terlalu keras dan centil, seakan sengaja memamerkan kedekatannya dengan pria itu. Raya mengenali wajah itu. Siska, influencer terkenal yang sering digosipkan sebagai simpanan berbagai pria kaya, termasuk Ares. Wajahnya sering muncul di berita online, selalu dengan pria berbeda, selalu dengan barang-barang branded yang mungkin bukan dari hasil kerjanya sendiri. Siska memakai dress golf yang sangat pendek, memperlihatkan kaki jenjangnya, rambut dikepang dengan sangat rapi, makeup flawless,
Raya duduk di kursi restoran padang kelas atas yang bisa di datanginya bersama Kenzie dulu. Tepat di seberangnya Kenzie yang sedang membukakan tutup botol air mineral untuk ibunya. Mantan kekasihnya itu bertingkah seperti kekasih sempurna yang dulu selalu memanjakan ibunya. Ratih tersenyum, matanya berbinar. Ibunya begitu bahagia berpikir putrinya mendapatkan pria yang luar biasa. Padahal tidak. Sama sekali tidak. Kenzie menatapnya sekilas, dengan senyum samar di sudut bibir. Senyum yang begitu lembut, Raya merasa muak melihat tingkahnya Namun tatapannya berbicara. "Lihat, ibumu masih merestuiku. Aku masih bisa duduk di meja keluargamu, bahkan tanpa izinmu." Raya menggenggam sendoknya erat-erat. "Gimana kerjaan-mu sekarang, Nak?" tanya Ratih dengan nada antusias. "Baik, Bu. Cukup sibuk," jawab Raya, memaksakan senyum. "Oh iya, Nak Kenzie bilang kamu kerja di perusahaan Papa-nya ya sekarang?" Kenzie menatapnya lama. Sorot matanya menantang. Raya menelan ludah. "Iya, Bu," jawabnya
Jantung Raya berhenti sejenak membaca pesan terakhir. Dengan tangan yang gemetar, Raya langsung menelepon ibunya. Sekali. Dua kali. Tiga kali. Tidak diangkat. "Jangan sampai Ibu menelepon Kenzie? Oh tidak. Oh tidak, tidak, tidak!" Raya segera bergegas, berlari ke kamar, mengambil tas dan dompetnya dengan tergesa-gesa. Ia mengganti dress-nya dengan celana jeans dan kaos yang lebih praktis dan tak terlalu mencolok, lalu berlari keluar apartemen. Di dalam taksi online yang ia pesan, Raya masih terus mencoba menghubungi ibunya. Tapi tidak ada jawaban. Ponselnya bahkan mulai tidak aktif, mungkin kehabisan baterai. "Kenapa aku tidak mendengar teleponnya tadi? Kenapa aku harus sibuk beberes sampai lupa cek ponsel? Kenapa, kenapa, kenapa?" gerutunya pada diri sendiri. Perjalanan dari apartemen mewah di kawasan elit ke kost-an sederhana di daerah kampus terasa sangat lama, meskipun sebenarnya hanya sekitar tiga puluh menit. Setiap menit terasa seperti satu jam bagi Raya yang semakin panik
Raya terbangun. Ia menggeliat pelan, lalu menatap Ares dengan mata yang masih setengah terpejam dan senyum malas. “Pagi…” gumamnya lembut. Ares menatap wajahnya sejenak, kilatan cemas sesaat muncul di matanya sebelum ia berhasil mengendalikannya, lalu membalas, “Pagi, sayang.” Suaranya berat, nyaris serak, mencium bibir Raya dengan lembut. Sebuah ciuman yang terasa seperti mencari sebuah kepastian. Raya mengangkat kepala, melihat ekspresi Ares yang berbeda. “Kenapa? Kamu gak tidur?" Wajah Ares terlihat lelah dengan lingkaran hitam samar dibawah mata. Ares menarik napas pelan. “Tidur. Mungkin masih kurang, atau gara-gara ada murid nakal yang membuatku kelelahan,” jawabnya sedikit bercanda untuk mengalihkan perhatian. "Kemarin aku bukan murid, aku nurse." Raya tertawa kecil, sambil mencium bibir Ares yang ikut terkekeh. "Aku harus segera mandi terus membeli pil dulu, Ares." Raya segera bangkit menyadari hari sudah siang. "Aku sudah memanggil Anita, dia sedang dalam perjalanan
Ares menarik Raya ke dalam pelukannya, keduanya masih terengah-engah, tubuh berkeringat, tapi ada kepuasan yang sangat mendalam di mata mereka. "Kamu luar biasa," bisik Ares sambil mengecup kening Raya dengan lembut. "Selalu luar biasa." Raya tersenyum, wajahnya bersandar di dada Ares, mendengarkan detak jantungnya yang masih berdetak cepat. "Kamu juga tidak kalah luar biasa, Dokter Ares." Mereka berbaring dalam keheningan yang nyaman, tangan Ares mengusap punggung Raya dengan gerakan yang menenangkan. Mata Raya mulai sayu, rasa kantuk menyerang dan hampir tertidur saat tiba-tiba sesuatu muncul di benaknya. Matanya langsung terbuka lebar, tubuhnya menegang. "Ares," panggilnya dengan suara yang tiba-tiba tegang. "Hmm?" Ares merespon dengan mengantuk, matanya sudah setengah terpejam. "Tadi... kamu... kamu tidak pakai pengaman kan?" Keheningan. Ares membuka matanya, menatap langit-langit kamar dengan ekspresi yang tiba-tiba menyadari sesuatu, namun tetap tenang dan santai. "Oh."
Ares menutup pintu kamar dengan tendangan pelan kakinya. Raya masih dalam gendongannya, melingkarkan lengan di leher Ares. Wajahnya berseri, penuh antisipasi dan kenakalan. Perlahan Ares menurunkan Raya dengan lembut di tengah ranjang, kemudian berlutut di depannya, menatapnya dengan intensitas seorang dokter yang siap mendiagnosis penyakitnya. "Jadi," kata Ares, suaranya kini kembali tenang, namun mengandung nada otoritas yang baru dan menggoda. "Pasien Naraya, sepertinya Anda mengalami gejala aneh. Detak jantung yang berlebihan, dan mungkin... sedikit kekebalan terhadap gravitasi. Sepertinya hari ini anda terlalu nakal Nona." Raya tertawa, menarik Ares mendekat. "Iya, Dokter. Makanya saya butuh pemeriksaan menyeluruh. Karena ini, ini dan ini terasa sakit semua." Raya menunjuk bibir, leher, juga dadanya. "Terutama di bagian yang ini, rasanya ada yang kosong." Ia menunjuk bagian pangkal pahanya. Ares tersenyum miring, senyum yang mematikan. Ia melingkarkan kedua tangannya di pingg







