"Ayo makan siang bersama hari ini? Aku tahu tempat dengan steak terenak di sekitar kantor, aku traktir. Jangan menolak. by: L"
Dahi govan mengerut, sesaat rasa gugup menyerangnya tanpa alasan yang jelas. Ia mengangkat kepalanya, menoleh ke arah pintu kantornya yang tertutup rapat.
"Apa laras yang menaruh kertas ini di sini?" gumamnya, sedetik kemudian ia mendesah pelan, menaruh kembali kertas itu di atas meja tanpa niat membalas.
Govan mengabaikannya begitu saja, menganggap ajakan itu hanya basa-basi belaka. Ia bukan tipe pria yang tertarik dengan makan siang gratis.
***
Kruuuuk...
Nabila terbangun dengan perut keroncongan. Ia mengusap matanya yang masih setengah mengantuk, beranjak dari tempat tidur dan berjalan menuju dapur dengan langkah malas.
Di meja makan, sudah tersaji hidangan yang disiapkan sepiring nasi goreng dengan lauk yang terlihat menggoda, aromanya menggelitik hidung. Tanpa berpikir dua kali, ia segera duduk dan mulai melahap makanan itu.
"Seperti biasa, masakan Paman selalu enak!" gumamnya puas, berbicara sendiri sambil mengunyah.
Setelah selesai makan, Nabila tidak melakukan apa-apa. Ia kembali ke kamar dan menyalakan laptopnya, melanjutkan maraton drama Korea yang sedang ia ikuti. Selama liburan semester ini, hampir seluruh waktunya dihabiskan di rumah, tenggelam dalam dunia drama yang penuh dengan romansa dan ketegangan.
Nabila sih pengen aja liburan keluar kota, namun Govan selalu melarangnya, katanya takut terjadi apa-apa nanti susah.
"Kok nasibnya sama ya denganku, kasihan banget," komen Nabila melihat adegan seorang gadis bertubuh gemuk tengah menghadapi hinaan dan ejekan dari orang-orang di sekitarnya.
Nabila terbawa suasana, ia membayangkan jika gadis di dalam drama adalah dirinya sendiri. Sang tokoh utama berjuang keras menurunkan berat badan, ia berubah menjadi sosok yang cantik, anggun dan akhirnya menemukan cinta sejatinya.
"Andai aku bisa sperti dirinya," gumam Nabila pelan, menoleh ke arah perutnya yang buncit, lalu menghela napas panjang.
"Kalau aku diet, apa aku juga bisa jadi secantik dia?" gumamnya pelan.
Entah kenapa, drama yang baru saja ia tonton membekas dalam pikirannya. Ada dorongan dalam dirinya untuk mencoba yang namanya diet.
***
Langit sore mulai menguning ketika Govan pulang membawa sekantong cemilan. Begitu pintu terbuka, Nabila yang sedang bersantai di ruang tamu langsung melompat girang.
"Cemilannya mana?" tanyanya dengan mata berbinar.
Govan mengusap kepalanya dengan lembut sebelum menyerahkan kantong tersebut. "Ini, dasar bocah rakus," godanya.
Nabila mengambil cemilan itu dengan senyum lebar, lalu duduk kembali di depan televisi, melanjutkan menonton drama India kesukaannya. Tangannya sibuk memasukkan makanan ke mulut, matanya terpaku pada layar, sementara sesekali ia tertawa atau berseru mengikuti alur cerita.
"Ini cerita apa sih?" tanya govan melirik layar, ikut duduk di dekatnya, sambil membuka bungkus cemilan lain dan mulai ngemil santai.
"Drama India," jawab Nabila tanpa mengalihkan pandangan. "Pemerannya gagah banget!"
Govan terdiam sejenak, lalu menjilat jarinya dengan santai, menatap ke arah Nabila dengan ekspresi serius.
Merasa ada yang aneh, Nabila menoleh. Saat itu juga, tatapan mereka bertemu, seperti ada sengatan kecil di udara.
Govan tiba-tiba mendekatkan wajahnya, matanya menyipit penuh godaan.
"Apa aku nggak gagah?" tanyanya dengan suara rendah yang terdengar menggoda.
Wajah Nabila langsung memerah. Jantungnya berdebar tak karuan, tapi ia segera mengalihkan pandangannya, menutupi rasa gugupnya dengan merengut.
"Pamanku nggak gagah, soalnya bau!" serunya sambil menutup hidung.
Govan mengangkat alisnya, lalu mendekat lebih lagi seolah ingin membuktikan sesuatu.
"Oh ya? Bau apa?" godanya.
"Bau keringat! Cepat mandi, sana!" Nabila langsung mendorong bahunya dengan panik.
"Baiklah, baiklah. Aku mandi dulu." Govan bangkit dari sofa diiringi tertawa keras.
Ketika Govan udah hiang dari pandangan, Nabila menempelkan tangan di dadanya, mencoba menenangkan detak jantungnya yang entah kenapa terasa lebih cepat dari biasanya.
Ia mendesah, lalu kembali fokus ke drama India di layar. Tapi anehnya, wajah pemeran utama yang gagah itu perlahan-lahan tergantikan oleh sosok Govan di kepalanya.
Nabila buru-buru menggelengkan kepala.
"Astaga, aku kenapa sih?" gumamnya, lalu memasukkan segenggam cemilan ke dalam mulutnya.
***
Govan membuka kulkas, matanya menyapu isinya yang hampir kosong. Baru ia sadar, persediaan makanan di rumah sudah habis. Dengan tangan di pinggang, ia berpikir keras, lalu berjalan ke ruang tamu menemui Nabila.
"Bil, kapan terakhir kali kita makan di luar?" tanyanya sambil menyandarkan tubuh di sofa.
Nabila menoleh sekilas, lalu berpikir. "Hmm... sekitar dua bulan lalu?" jawabnya dengan ragu.
"Serius? Udah selama itu?" Govan mengernyit.
Nabila mengangguk, sambil terus mengunyah cemilan di tangannya.
"Baiklah, kita makan di luar malam ini." Govan menghela napas, lalu berdiri tegak.
"YAY! MAKAN DI LUAR!" Nabila langsung bersorak girang sambil melompat-lompat di atas sofa.
"Hei! Turun! Mau ngancurin sofa ini, hah?!" Govan langsung melotot mengomelinya.
"Cerewet banget, sih, Om!" gerutu Nabila berhenti melompat, lalu mengembungkan pipinya kesal.
Nabila segera berlari ke kamar untuk bersiap-siap. Dengan semangat, ia memilih pakaian yang simpel tapi tetap terlihat manis. Setelah memakai sedikit bedak dan lip tint, ia berdiri di depan cermin, menatap bayangannya sendiri.
"Oke, cukup cantik untuk makan malam," gumamnya puas.
Nabila berlari keluar kamar menemui Govan yang menunggunya di bawah.
"Ayo om, aku udah siap!" seru Nabila semangat.
Govan terkekeh mengusap kepala Nabila gemes, lalu mereka keluar rumah dan pergi ke sebuah restoran steak tempat biasanya mereka makan.
Malam itu, Nabila makan dengan lahap, menikmati setiap gigitan steak yang lezat di hadapannya. Govan, yang duduk di seberangnya, hanya tersenyum geli melihat keponakannya begitu menikmati makanannya.
"Om ke toilet sebentar," kata Govan, bangkit dari kursinya. Nabila hanya mengangguk tanpa menghentikan makannya.
Namun, begitu Govan pergi, suara-suara bisikan mulai terdengar di sekelilingnya. Awalnya pelan, tapi cukup jelas untuk menusuk telinganya.
"Astaga, lihat cara makannya. Rakus banget."
"Kasihan cowok itu, pasti kena pelet. Mana mungkin pria setampan itu mau sama cewek gendut begitu?"
"Dia nggak malu apa makan banyak gitu? Pantesan badannya segede itu."
Nabila meremas garpu di tangannya, tiba-tiba selera makannya lenyap begitu saja. Ia menunduk, menatap steak yang belum habis, perutnya terasa mual, bukan karena kenyang, tapi karena hinaan yang tanpa henti menyerangnya.
Ketika Govan kembali, ia langsung menyadari perubahan ekspresi Nabila. Wajah gadis itu terlihat murung, dan yang lebih aneh, steaknya masih utuh.
"Bil? Kenapa nggak dimakan?" tanyanya bingung, menatap piring Nabila.
Nabila terdiam sesaat sebelum akhirnya beranjak dari kursinya.
"Aku ke toilet dulu," katanya pelan, lalu berjalan menjauh tanpa menoleh ke arah Govan.
Nabila berjalan cepat menuju toilet, mencoba menahan emosi yang bercampur aduk di dadanya. Suara-suara hinaan tadi masih menggema di telinganya, membuat dadanya terasa sesak. Ia ingin menangis, tapi menahannya sekuat tenaga.
Begitu masuk ke dalam toilet, ia berdiri di depan cermin, menatap bayangannya sendiri. Bibirnya bergetar, matanya berkaca-kaca.
"Apa aku memang seburuk itu?" pikirnya, tangannya mengepal di sisi tubuhnya.
Namun, sebelum ia sempat menenangkan diri, suara langkah kaki terdengar masuk ke dalam toilet. Suara hak sepatu yang familiar mengetuk lantai dengan angkuh.
Nabila menegang melihat sosok itu dari pantulan cermin.
Esok harinya, langit tampak cerah. Matahari menggantung tinggi saat Govan dan Nabila tiba di rumah besar milik Anes dan, Dian. Rumah dua lantai bergaya klasik itu terletak di sebuah kompleks elit, jauh berbeda dari lingkungan rumah sederhana tempat mereka biasa tinggal.Begitu mobil Govan berhenti di halaman, pintu depan langsung terbuka.“Wah! Sudah datang juga!” seru Dian ramah, melangkah cepat menuruni anak tangga. “Masuk, masuk!”Govan membalas dengan senyum sopan, “Makasih, Dian. Maaf ganggu.”“Apa ganggu? Justru seneng banget kalian mau mampir.” Dian menepuk bahu Govan, lalu menoleh ke arah Nabila. “Dan ini pasti Nabila, ya? Ya ampun, cantik banget sekarang. Kayak bukan anak kecil yang dulu deh.”Nabila hanya tersenyum kecil. “Iya, Om... makasih,” ujarnya pelan.Rasa tidak nyaman la
Riang tawa dan denting gelas saling bersahutan di dalam aula megah tempat pesta pernikahan berlangsung. Musik lembut mengalun, tamu-tamu terus berdatangan dan mengisi meja-meja yang disusun rapi.Di meja tengah yang paling dekat ke pelaminan, keluarga besar memusatkan perhatiannya bukan hanya pada pasangan pengantin, tetapi pada sosok lain yang mencuri sorotan, Nabila."Siapa sih tadi cewek cantik yang datang bareng Govan?" bisik seorang tante bermake-up tebal, mencondongkan tubuhnya ke arah sepupu perempuan Anes."Yang bajunya hijau itu? Cantik banget, ya ampun… mukanya kayak artis!" ujar sepupu lain, matanya tak lepas dari sosok Nabila yang kini tengah menyendokkan sup jamur dengan anggun."Aku sempat nanya ke Mbak Retno, katanya itu keponakan Anes, Si Nabila. Yang dibawa Govan dulu…""Tapi masa iya? Bukannya Nabila itu gendut ya, dulu kan waktu kecil dia ge
Mobil hitam elegan berhenti perlahan di depan gedung pernikahan mewah di pusat kota Bandung. Gedung itu berdiri megah dengan arsitektur modern yang dipadukan dengan sentuhan tradisional, dihiasi oleh lampu kristal yang berkilauan dan karpet merah yang membentang dari pintu masuk hingga ke dalam ballroom.Govan keluar terlebih dahulu, mengenakan setelan jas hitam yang rapi dan elegan. Ia kemudian membuka pintu untuk Nabila, yang melangkah keluar dengan anggun. Gaun hijau zamrud yang dikenakannya tampak berkilau di bawah cahaya matahari, memancarkan aura kemewahan dan keanggunan. Riasan wajahnya yang sempurna menambah pesonanya, membuat siapa pun yang melihatnya terpesona.“Kamu siap?” Govan menoleh sekilas.Nabila mengangguk pelan, meski jari-jarinya masih menggenggam clutch bag erat. “Aku… agak gugup, Om.”“Tenang. Kamu aman bersamaku.&rd
Pagi itu, suasana di kamar rias Puspa dipenuhi dengan hiruk-pikuk persiapan. Para penata rias sibuk menyempurnakan tampilan Puspa yang duduk anggun di depan cermin besar. Gaun pengantin berwarna putih gading dengan detail renda halus membalut tubuhnya, sementara rambutnya ditata dalam sanggul modern yang elegan.Di sudut ruangan Ratu, adik Puspa, tengah mengenakan kebaya seragam berwarna biru pastel yang senada dengan anggota keluarga lainnya. Ia menatap cermin, memastikan setiap detail penampilannya sempurna."Mama, Om Govan dapat baju seragam juga nggak?" tanya Ratu sambil membetulkan antingnya.Anes, sedang duduk di sofa sambil menyeruput teh hangat, melirik Ratu melalui cermin."Nggak, dia nggak dikasih. Lagipula, dia bukan bagian dari keluarga inti kita," jawab Mira dengan nada datar."Tapi dia kan Adik, Mama," ujar Ratu, sedikit bingung. "Keluarga mama yan
Tengah Malam di Kamar Govan.Cahaya laptop menerangi wajah Govan yang duduk bersandar di ranjang. Di meja samping, secangkir kopi sudah dingin. Jam dinding menunjukkan pukul 00.47. Kota sudah terlelap, tapi pikirannya masih berisik.Ia membuka Instagram, sekadar ingin melepas penat setelah seharian bekerja. Jempolnya menggulir layar, lalu berhenti pada sebuah postingan yang memuat potret seorang influencer wanita berdiri anggun dengan gaun berwarna hijau zamrud. Lengan gaun mengembang ringan, pita kecil menghias pinggangnya, dan kainnya jatuh sempurna hingga menutupi betis. Wajah modelnya tersenyum lembut di bawah cahaya sore.Tapi Govan tidak terlalu fokus pada modelnya. Matanya terpaku pada gaun itu. Warnanya, potongannya, keanggunan sederhana yang dibawanya, semuanya terasa... Nabila.Ia terdiam. Jantungnya berdetak lebih kencang tanpa alasan yang bisa
Perjalanan dari Jakarta dimulai sejak pukul enam pagi. Nabila duduk di kursi penumpang dengan jaket jeans menutupi tubuhnya, mata memandangi jalanan tol yang mulai dipadati kendaraan lain. Ia belum banyak bicara, hanya sesekali menjawab ringan obrolan Govan.Govan sendiri tampak santai, mengenakan kaus hitam polos dan celana jeans gelap. Tapi sesekali, tatapannya mencuri pandang ke arah Nabila. Gadis itu tampak gugup, dan itu membuatnya ingin menggenggam tangan keponakannya, menenangkan, mengatakan bahwa semua akan baik-baik saja. Tapi ia hanya bisa menggenggam setir lebih erat.“Ngantuk?” tanya Govan setelah dua jam perjalanan.“Nggak, cuma mikir.” Nabila menggeleng pelan.“Mau cerita?”“Mau sih, tapi takut nanti malah jadi mellow dan bikin Om bad mood.” Nabila tersenyum tipis.“Om nggak bakal