Share

Hinaan

Author: Centong ajaib
last update Last Updated: 2025-02-03 15:28:56

"Ayo makan siang bersama hari ini? Aku tahu tempat dengan steak terenak di sekitar kantor, aku traktir. Jangan menolak. by: L"

Dahi govan mengerut, sesaat rasa gugup menyerangnya tanpa alasan yang jelas. Ia mengangkat kepalanya, menoleh ke arah pintu kantornya yang tertutup rapat.

"Apa laras yang menaruh kertas ini di sini?" gumamnya, sedetik kemudian ia mendesah pelan, menaruh kembali kertas itu di atas meja tanpa niat membalas.

Govan mengabaikannya begitu saja, menganggap ajakan itu hanya basa-basi belaka. Ia bukan tipe pria yang tertarik dengan makan siang gratis.

***

Kruuuuk...

Nabila terbangun dengan perut keroncongan. Ia mengusap matanya yang masih setengah mengantuk, beranjak dari tempat tidur dan berjalan menuju dapur dengan langkah malas.

Di meja makan, sudah tersaji hidangan yang disiapkan sepiring nasi goreng dengan lauk yang terlihat menggoda, aromanya menggelitik hidung. Tanpa berpikir dua kali, ia segera duduk dan mulai melahap makanan itu.

"Seperti biasa, masakan Paman selalu enak!" gumamnya puas, berbicara sendiri sambil mengunyah.

Setelah selesai makan, Nabila tidak melakukan apa-apa. Ia kembali ke kamar dan menyalakan laptopnya, melanjutkan maraton drama Korea yang sedang ia ikuti. Selama liburan semester ini, hampir seluruh waktunya dihabiskan di rumah, tenggelam dalam dunia drama yang penuh dengan romansa dan ketegangan.

Nabila sih pengen aja liburan keluar kota, namun Govan selalu melarangnya, katanya takut terjadi apa-apa nanti susah.

"Kok nasibnya sama ya denganku, kasihan banget," komen Nabila melihat adegan seorang gadis bertubuh gemuk tengah menghadapi hinaan dan ejekan dari orang-orang di sekitarnya.

Nabila terbawa suasana, ia membayangkan jika gadis di dalam drama adalah dirinya sendiri. Sang tokoh utama berjuang keras menurunkan berat badan, ia berubah menjadi sosok yang cantik, anggun dan akhirnya menemukan cinta sejatinya.

"Andai aku bisa sperti dirinya," gumam Nabila pelan, menoleh ke arah perutnya yang buncit, lalu menghela napas panjang.

"Kalau aku diet, apa aku juga bisa jadi secantik dia?" gumamnya pelan.

Entah kenapa, drama yang baru saja ia tonton membekas dalam pikirannya. Ada dorongan dalam dirinya untuk mencoba yang namanya diet.

***

Langit sore mulai menguning ketika Govan pulang membawa sekantong cemilan. Begitu pintu terbuka, Nabila yang sedang bersantai di ruang tamu langsung melompat girang.

"Cemilannya mana?" tanyanya dengan mata berbinar.

Govan mengusap kepalanya dengan lembut sebelum menyerahkan kantong tersebut. "Ini, dasar bocah rakus," godanya.

Nabila mengambil cemilan itu dengan senyum lebar, lalu duduk kembali di depan televisi, melanjutkan menonton drama India kesukaannya. Tangannya sibuk memasukkan makanan ke mulut, matanya terpaku pada layar, sementara sesekali ia tertawa atau berseru mengikuti alur cerita.

"Ini cerita apa sih?" tanya govan melirik layar, ikut duduk di dekatnya, sambil membuka bungkus cemilan lain dan mulai ngemil santai.

"Drama India," jawab Nabila tanpa mengalihkan pandangan. "Pemerannya gagah banget!"

Govan terdiam sejenak, lalu menjilat jarinya dengan santai, menatap ke arah Nabila dengan ekspresi serius.

Merasa ada yang aneh, Nabila menoleh. Saat itu juga, tatapan mereka bertemu, seperti ada sengatan kecil di udara.

Govan tiba-tiba mendekatkan wajahnya, matanya menyipit penuh godaan.

"Apa aku nggak gagah?" tanyanya dengan suara rendah yang terdengar menggoda.

Wajah Nabila langsung memerah. Jantungnya berdebar tak karuan, tapi ia segera mengalihkan pandangannya, menutupi rasa gugupnya dengan merengut.

"Pamanku nggak gagah, soalnya bau!" serunya sambil menutup hidung.

Govan mengangkat alisnya, lalu mendekat lebih lagi seolah ingin membuktikan sesuatu.

"Oh ya? Bau apa?" godanya.

"Bau keringat! Cepat mandi, sana!" Nabila langsung mendorong bahunya dengan panik.

 "Baiklah, baiklah. Aku mandi dulu." Govan bangkit dari sofa diiringi tertawa keras.

Ketika Govan udah hiang dari pandangan, Nabila menempelkan tangan di dadanya, mencoba menenangkan detak jantungnya yang entah kenapa terasa lebih cepat dari biasanya.

Ia mendesah, lalu kembali fokus ke drama India di layar. Tapi anehnya, wajah pemeran utama yang gagah itu perlahan-lahan tergantikan oleh sosok Govan di kepalanya.

Nabila buru-buru menggelengkan kepala.

"Astaga, aku kenapa sih?" gumamnya, lalu memasukkan segenggam cemilan ke dalam mulutnya.

***

Govan membuka kulkas, matanya menyapu isinya yang hampir kosong. Baru ia sadar, persediaan makanan di rumah sudah habis. Dengan tangan di pinggang, ia berpikir keras, lalu berjalan ke ruang tamu menemui Nabila.

"Bil, kapan terakhir kali kita makan di luar?" tanyanya sambil menyandarkan tubuh di sofa.

Nabila menoleh sekilas, lalu berpikir. "Hmm... sekitar dua bulan lalu?" jawabnya dengan ragu.

"Serius? Udah selama itu?" Govan mengernyit.

Nabila mengangguk, sambil terus mengunyah cemilan di tangannya.

 "Baiklah, kita makan di luar malam ini." Govan menghela napas, lalu berdiri tegak.

"YAY! MAKAN DI LUAR!" Nabila langsung bersorak girang sambil melompat-lompat di atas sofa.

"Hei! Turun! Mau ngancurin sofa ini, hah?!" Govan langsung melotot mengomelinya.

"Cerewet banget, sih, Om!" gerutu Nabila berhenti melompat, lalu mengembungkan pipinya kesal.

Nabila segera berlari ke kamar untuk bersiap-siap. Dengan semangat, ia memilih pakaian yang simpel tapi tetap terlihat manis. Setelah memakai sedikit bedak dan lip tint, ia berdiri di depan cermin, menatap bayangannya sendiri.

"Oke, cukup cantik untuk makan malam," gumamnya puas.

Nabila berlari keluar kamar menemui Govan yang menunggunya di bawah.

"Ayo om, aku udah siap!" seru Nabila semangat.

Govan terkekeh mengusap kepala Nabila gemes, lalu mereka keluar rumah dan pergi ke sebuah restoran steak tempat biasanya mereka makan.

Malam itu, Nabila makan dengan lahap, menikmati setiap gigitan steak yang lezat di hadapannya. Govan, yang duduk di seberangnya, hanya tersenyum geli melihat keponakannya begitu menikmati makanannya.

"Om ke toilet sebentar," kata Govan, bangkit dari kursinya. Nabila hanya mengangguk tanpa menghentikan makannya.

Namun, begitu Govan pergi, suara-suara bisikan mulai terdengar di sekelilingnya. Awalnya pelan, tapi cukup jelas untuk menusuk telinganya.

"Astaga, lihat cara makannya. Rakus banget."

"Kasihan cowok itu, pasti kena pelet. Mana mungkin pria setampan itu mau sama cewek gendut begitu?"

"Dia nggak malu apa makan banyak gitu? Pantesan badannya segede itu."

Nabila meremas garpu di tangannya, tiba-tiba selera makannya lenyap begitu saja. Ia menunduk, menatap steak yang belum habis, perutnya terasa mual, bukan karena kenyang, tapi karena hinaan yang tanpa henti menyerangnya.

Ketika Govan kembali, ia langsung menyadari perubahan ekspresi Nabila. Wajah gadis itu terlihat murung, dan yang lebih aneh, steaknya masih utuh.

"Bil? Kenapa nggak dimakan?" tanyanya bingung, menatap piring Nabila.

Nabila terdiam sesaat sebelum akhirnya beranjak dari kursinya.

"Aku ke toilet dulu," katanya pelan, lalu berjalan menjauh tanpa menoleh ke arah Govan.

Nabila berjalan cepat menuju toilet, mencoba menahan emosi yang bercampur aduk di dadanya. Suara-suara hinaan tadi masih menggema di telinganya, membuat dadanya terasa sesak. Ia ingin menangis, tapi menahannya sekuat tenaga.

Begitu masuk ke dalam toilet, ia berdiri di depan cermin, menatap bayangannya sendiri. Bibirnya bergetar, matanya berkaca-kaca.

"Apa aku memang seburuk itu?" pikirnya, tangannya mengepal di sisi tubuhnya.

Namun, sebelum ia sempat menenangkan diri, suara langkah kaki terdengar masuk ke dalam toilet. Suara hak sepatu yang familiar mengetuk lantai dengan angkuh.

Nabila menegang melihat sosok itu dari pantulan cermin.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Menggoda Sang Paman   Nabila menjauh

    Sinar matahari siang menyelinap masuk melalui celah tirai kantor Wisnu. Ruangannya yang biasanya tenang kini terasa seperti ruang pengadilan. Di hadapannya, tergeletak selembar foto hasil cetakan digital yang memuat adegan yang tak seharusnya terjadi, setidaknya menurut pandangannya sebagai kakak.Foto itu menangkap Govan dan Laras sedang berciuman. Sudut pengambilan yang jelas, pencahayaan yang cukup terang, dan wajah keduanya yang terpampang jelas.Wisnu mengepalkan tangan.“Apa-apaan ini…” gumamnya, nyaris seperti geraman binatang buas yang terluka.Matanya menyipit menatap wajah Govan dalam foto itu. Lelaki itu memang terlihat ragu, tapi jelas tak menolak. Sementara Laras… terlihat tersipu, tapi bahagia. Dan itu yang membuat Wisnu semakin membara."Dasar curut sudah berani menyentuh adikku." Wisnu menghentak meja, me

  • Menggoda Sang Paman   Kesepian

    Keesokan harinya, di kantor...Govan menatap layar laptopnya dengan mata sembab. Semalaman ia tidak bisa tidur. Ciuman itu terus terbayang. Senyum Laras, mata Laras, tangan Laras yang hangat semuanya membuat pikirannya kabur.“Pak Govan,” suara lembut menyapa dari pintu.Govan menoleh. Laras berdiri di sana, mengenakan blouse hijau tua dan rok pensil hitam yang membingkai tubuhnya dengan elegan.“Istirahat yuk, makan siang bareng,” ajak Laras sambil tersenyum.Govan menggeleng pelan. “Aku nggak bisa. Masih banyak kerjaan. Deadline laporan evaluasi harus kelar sebelum jam tiga.”Laras melangkah masuk, mendekat ke meja. “Tapi Pak… eh, Govan, dari tadi belum makan apa-apa. Nanti sakit, lho.”“Aku baik-baik aja. Nanti juga makan.” Govan tersenyum lelah.

  • Menggoda Sang Paman   Kiss untuk laras

    Beberapa hari setelahnya.Govan mencoba mengalihkan pikirannya. Ia memperbanyak jam kerja, memperpanjang rapat, dan bahkan mulai meluangkan lebih banyak waktu untuk bersama Laras. Malam itu, mereka baru saja selesai makan malam di sebuah restoran tepi kota tempat yang tenang dengan lampu temaram dan alunan musik jazz lembut.Suasana di mobil saat perjalanan pulang begitu berbeda. Tidak lagi penuh canggung seperti pertemuan pertama mereka. Laras tampak lebih santai, bahkan beberapa kali tertawa kecil dengan candaan Govan. Tapi entah kenapa, malam itu ada ketegangan yang aneh mengalir di antara mereka.Mobil berhenti perlahan di depan rumah Laras. Govan mematikan mesin.“Terima kasih sudah traktir makan malamnya,” ucap Laras sambil menoleh, senyumnya hangat.“Sama-sama. Aku senang bisa ajak kamu keluar,” balas Govan.

  • Menggoda Sang Paman   Pulang belanja

    Mall sore itu cukup ramai. Suasana gerai pakaian penuh pengunjung. Laras berjalan percaya diri memasuki butik branded, disambut pegawai dengan senyum ramah."Van, kamu temenin aku ya. Biar aku nggak salah pilih," katanya sambil menggandeng lengan Govan.Nabila hanya berjalan di belakang mereka, seperti bayangan. Ia menggigit bibir, melihat tangan Laras bergelayut manja di lengan pamannya. Perasaan tidak nyaman berkecamuk di dadanya."Yang ini kayaknya bagus deh," Laras mengambil satu kemeja biru pastel. "Gimana menurutmu, Van?""Cocok. Warna itu bikin kamu kelihatan lebih dewasa." Govan mengangguk kecil ia lupa kalau dia sedang bersama Laras bukan Nabila."Dewasa? Kamu bilang aku kekanak-kanakan dong selama ini?" Laras terkekeh."Bukan gitu maksudnya. Maksudnya... lebih profesional." Govan salah tingkah.Nabila m

  • Menggoda Sang Paman   "Aku mau ikut"

    Siang itu, untuk pertama kalinya Laras melangkahkan kaki ke rumah Govan.Mobil berwarna putih berhenti rapi di depan gerbang. Laras turun sambil membawa sebuah kotak kecil berisi oleh-oleh. Senyumnya manis saat melihat rumah tempat atasannya tinggal.“Ini rumahnya, kelihatan asri sekali ya,” kata Laras antusias, matanya menelusuri halaman depan yang penuh pot bunga.Laras berjalan menuju pintu, tangannya yang lentik memencet bel.Ting tong...Tak lama pintu depan terbuka dari dalam, menampilkan sosok Nabila yang berdiri diam di ambang pintu.Gadis itu sempat menegang saat melihat siapa tamu pamannya. Namun, ia cepat-cepat menarik napas, memperbaiki raut wajahnya, dan memaksa senyum ramah.“Selamat pagi,” sapa Laras sopan."Pagi." Nabila tersenyum ramah. “Silakan masuk, Mbak laras.&rdq

  • Menggoda Sang Paman   Kamu ngerti kan

    Govan terdiam. Jawaban itu menyayat. Ia memang menjaga jarak dengan nabila akhir-akhir ini, apalagi dirinya sudah punya pacar.“Om juga bisa kasih itu. Tapi bukan... Bukan begitu caranya, Bil.” Tapi ia tetap mencoba mengendalikan dirinya.“Caranya gimana?” bisik Nabila, menggoda. “Om peluk aku tiap malam?”“NABILAA!!” Govan berseru setengah panik, lalu bangkit dari sofa, menjauh dengan ekspresi frustasi. Ia berjalan mondar-mandir sambil mengacak-acak rambutnya sendiri. “Astaga... ini anak kenapa makin hari makin gila?”Nabila tertawa puas melihat pamannya kalang kabut. Ia berdiri, melangkah pelan ke arahnya, lalu berdiri di belakang punggung Govan. Suaranya menurun lembut. “Om cemburu, ya?”Govan memutar badan cepat. “Cemburu? Enggak. Ini bukan tentang cemburu. In

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status