Home / Romansa / Menggoda Sang Paman / Sakit tak berdarah

Share

Sakit tak berdarah

Author: Centong ajaib
last update Last Updated: 2025-02-03 15:30:38

"Mereka," gumam hati Nabila, tubuhnya menegang melihat bayangan dua wanita yang tadi mengejeknya masuk dengan senyuman licik.

Salah satunya adalah wanita berambut panjang dengan gaun ketat yang membuatnya tampak bak model.

Satunya lagi lebih pendek, dengan wajah yang tak kalah cantik, matanya dipenuhi rasa puas setelah mengucapkan hinaan barusan.

"Astaga, aku masih gak percaya dia bisa makan sebanyak itu. Serius, kasihan banget cowok ganteng itu, pasti terpaksa nemenin dia," ujar suara perempuan itu dengan nada mengejek.

Jantung Nabila berdegup kencang pelan-pelan, ia menoleh ke belakang.

Mereka berdua kaget saat menyadari keberadaan Nabila, keduanya terdiam sesaat. Lalu, seolah tak merasa bersalah, perempuan bergaun ketat itu menyeringai sinis.

"Oh? Lihat siapa yang ada di sini," katanya sambil menyilangkan tangan di dada.

Nabila menelan ludah. Tangannya gemetar, tapi ia tetap berdiri tegak, mencoba terlihat tidak terpengaruh.

"Apa ada yang mau kalian bicarakan denganku?" suaranya terdengar lebih tenang dari yang ia rasakan.

"Oh, jadi kamu dengar? Yah, maaf, tapi aku cuma mengatakan yang sebenarnya. Maksudku… lihat dirimu." wanita yang lebih pendek terkikik menatap geli Nabila.

Tatapan mereka menyapu tubuh Nabila dari atas ke bawah dengan pandangan meremehkan.

"Kasihan banget sih cowok itu. Ganteng, tapi harus punya cewek kayak kamu? Apa kamu pakai pelet, hah?" timpal wanita berambut panjang.

Seketika, darah Nabila mendidih, tapi di saat yang sama, ada rasa sakit yang tak bisa ia tolak. Ia ingin membalas ngata-ngatain mereka dengan sesuatu yang bisa membungkam mereka, tapi lidahnya terasa kelu.

Dan sebelum ia bisa berpikir lebih jauh, perempuan bergaun ketat itu melangkah mendekat, lalu mencondongkan tubuhnya ke depan.

"Apa pun yang kamu lakukan, kamu gak akan pernah pantas buat pria seperti dia. Gendut," bisiknya pelan, tepat di telinga Nabila.

Lalu, dengan tawa kecil, kedua wanita itu berjalan keluar, meninggalkan Nabila yang masih berdiri membeku.

Saat pintu toilet tertutup, Nabila merasakan seluruh tubuhnya melemah. Tangannya menggenggam erat wastafel, kepalanya tertunduk, napasnya berat.

"Ugh... Hiks... Hiks..." Nabila tak bisa menahan air matanya, ia menggigit bibirnya, mencoba mengabaikan perkataan mereka.

Nabila menghapus air matanya, membasuh wajahnya, mencoba menenangkan diri sebelum keluar dari toilet. Ia menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan diri. Tapi bagaimana pun ia mencoba, dadanya tetap terasa sesak.

Ketika ia kembali ke meja, Govan masih duduk di sana, perlahan mengunyah makanannya. Begitu melihat mata Nabila yang memerah, alisnya bertaut.

"Kamu kenapa?" tanyanya, suaranya terdengar penuh perhatian.

"Mata aku kemasukan debu," jawab Nabila cepat, buru-buru menghindari tatapannya, ia mencoba tersenyum seperti tidak terjadi apa-apa.

Govan menatapnya lama, seolah tidak percaya. Tapi akhirnya, ia hanya menghela napas pelan, tanpa berkata apa-apa, ia mengambil potongan daging steak dari piringnya dan meletakkannya di piring Nabila.

"Makanlah yang banyak," katanya singkat.

Nabila terpaku, menatap daging itu sejenak, lalu memasukkan potongan daging itu ke mulutnya dan mengunyah pelan, Nabila rasanya sulit sekali menelan daging itu.

Makan malam terasa begitu lama dan hambar bagi Nabila. Setelah selesai, mereka meninggalkan restoran dan singgah di supermarket untuk membeli persediaan makanan.

"Kamu mau beli apa? Ambil aja," kata Govan sambil mendorong troli.

Govan memilih berbagai bahan makanan, dari ayam potong, sayuran, hingga beberapa makanan cepat saji.

"Baik om," jawab Nabila lesu.

Sepanjang perjalanan mereka di supermarket, Nabila bisa merasakan tatapan orang-orang dan bisikan-bisikan lirih yang mencoba mereka sembunyikan, tapi tetap terdengar.

"Dia gendut banget, ya. Makannya pasti banyak."

"Cowok itu pasti pacarnya, ya? Kok bisa sih?"

"Dia lebih cocok jalan sama cewek yang lebih cantik. Sayang banget..."

"Kena pelet kali ya tu cowok."

Setiap kata itu menusuk telinga Nabila seperti jarum tajam. Langkahnya melambat, matanya tertunduk.

Govan, yang sedari tadi diam saja, akhirnya berhenti di depan rak minuman dingin. Ia mengambil sebotol susu cokelat lalu menyerahkannya pada Nabila.

"Ambil ini," katanya ringan.

"Buat apa?" Nabila menatap botol itu, lalu mengangkat kepalanya menatap Govan.

 "Kamu kelihatan murung. Biasanya kalau om kasih susu cokelat, kamu langsung ceria lagi." Govan mengangkat bahu santai.Ia tahu kenapa Nabila kelihatan lesu, dan ia berusaha menghibur keponakannya itu.

Nabila terdiam merasakan sesuatu menghangat di dadanya, tapi rasa sesak itu masih terasa di dadanya.

"Makasih, om." Nabila menggenggam botol susu itu erat, lalu tersenyum kecil.

Govan mengacak rambutnya sekilas sebelum kembali mendorong troli belanja.

Setelah selesai berbelanja, mereka pulang.

Disepanjang perjalanan pulang, Govan beberapa kali melirik Nabila yang duduk diam di sebelahnya.

"Kamu mau beli martabak gak?" tawar Govan santai mencairkan suasana.

Nabila hanya diam tidak membalas, biasanya dia cerewet, selalu banyak tagihan. Tapi sejak tadi, ia hanya menatap keluar jendela dengan pandangan kosong.

"Bagimana kalau sempol? Bakor? Seblak? Atau es krim? Kamu mau yang mana?" tawar Govan lagi.

"Gak mau om. Aku mau langsung pulang aja." Nabila menggeleng tanpa menoleh.

Govan menghela napas pelan. Tanpa berkata apa-apa lagi, ia mengarahkan mobilnya langsung ke rumah.

Setibanya di rumah, mereka langsung menuju dapur untuk membereskan belanjaan. Govan meletakkan kantong belanja di meja, lalu melirik Nabila yang masih memasukkan barang ke dalam kulkas dengan wajah murung.

"Hei," panggil Govan bersandar di meja, menyilangkan tangan di dada.

Nabila menoleh.

"Kamu tetap cantik, Bil. Jangan insecure. om bakal tetap sayang sama kamu, bagaimana pun bentuk kamu." Govan menatapnya dalam, lalu berkata dengan nada yang lebih lembut dari biasanya.

Nabila membeku. Kata-kata itu begitu tulus, tapi terasa begitu menusuk di hatinya.

"Ke...kenapa om tiba-tiba bilang gitu?" tanya Nabila gagap.

"Om tahu kamu dikata-katain." Govan menghela nafas sebelum melanjutkan kalimatnya, "Buat om, kamu berharga. Jadi jangan sedih lagi, ya? om gak suka lihat kamu sedih."

Nabila menggigit bibirnya, mencoba menahan emosi yang mendesak di dadanya. Ia ingin menangis, tapi ia tak mau Govan melihatnya begitu rapuh. Jadi, ia memaksakan senyum kecil.

"Aku gak sedih kok, om. Aku juga gak peduli kata-kata mereka. Om gak usah khawatir," kata Nabila menahan pilu.

Govan menatapnya lama, seolah tidak yakin. Tapi akhirnya, ia hanya mengusap kepala Nabila dengan kasar, seperti kebiasaannya.

"Bagus kalau gitu."

Setelah beres, Nabila kembali ke kamarnya. Ia menjatuhkan tubuhnya ke kasur, menatap langit-langit dengan kosong. Air matanya mengalir, hinan itu masih berputar di kepalanya.

Nabila menarik selimut, menutupi wajahnya, lalu menangis dalam diam. Ia menangis hingga lelah, sebelum akhirnya tertidur dengan mata yang masih basah.

***

Tok... Tok... Tok...

"Bil?" panggil Govan sambil mengetuk pintu kamar Nabila.

Tidak ada jawaban.

Govan menghela napas, lalu membuka pintu, saat melihat isi kamar itu, jantungnya berdegup lebih kencang.

"Nabila?!" suaranya meninggi, matanya membelalak kaget.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Menggoda Sang Paman   Nabila menjauh

    Sinar matahari siang menyelinap masuk melalui celah tirai kantor Wisnu. Ruangannya yang biasanya tenang kini terasa seperti ruang pengadilan. Di hadapannya, tergeletak selembar foto hasil cetakan digital yang memuat adegan yang tak seharusnya terjadi, setidaknya menurut pandangannya sebagai kakak.Foto itu menangkap Govan dan Laras sedang berciuman. Sudut pengambilan yang jelas, pencahayaan yang cukup terang, dan wajah keduanya yang terpampang jelas.Wisnu mengepalkan tangan.“Apa-apaan ini…” gumamnya, nyaris seperti geraman binatang buas yang terluka.Matanya menyipit menatap wajah Govan dalam foto itu. Lelaki itu memang terlihat ragu, tapi jelas tak menolak. Sementara Laras… terlihat tersipu, tapi bahagia. Dan itu yang membuat Wisnu semakin membara."Dasar curut sudah berani menyentuh adikku." Wisnu menghentak meja, me

  • Menggoda Sang Paman   Kesepian

    Keesokan harinya, di kantor...Govan menatap layar laptopnya dengan mata sembab. Semalaman ia tidak bisa tidur. Ciuman itu terus terbayang. Senyum Laras, mata Laras, tangan Laras yang hangat semuanya membuat pikirannya kabur.“Pak Govan,” suara lembut menyapa dari pintu.Govan menoleh. Laras berdiri di sana, mengenakan blouse hijau tua dan rok pensil hitam yang membingkai tubuhnya dengan elegan.“Istirahat yuk, makan siang bareng,” ajak Laras sambil tersenyum.Govan menggeleng pelan. “Aku nggak bisa. Masih banyak kerjaan. Deadline laporan evaluasi harus kelar sebelum jam tiga.”Laras melangkah masuk, mendekat ke meja. “Tapi Pak… eh, Govan, dari tadi belum makan apa-apa. Nanti sakit, lho.”“Aku baik-baik aja. Nanti juga makan.” Govan tersenyum lelah.

  • Menggoda Sang Paman   Kiss untuk laras

    Beberapa hari setelahnya.Govan mencoba mengalihkan pikirannya. Ia memperbanyak jam kerja, memperpanjang rapat, dan bahkan mulai meluangkan lebih banyak waktu untuk bersama Laras. Malam itu, mereka baru saja selesai makan malam di sebuah restoran tepi kota tempat yang tenang dengan lampu temaram dan alunan musik jazz lembut.Suasana di mobil saat perjalanan pulang begitu berbeda. Tidak lagi penuh canggung seperti pertemuan pertama mereka. Laras tampak lebih santai, bahkan beberapa kali tertawa kecil dengan candaan Govan. Tapi entah kenapa, malam itu ada ketegangan yang aneh mengalir di antara mereka.Mobil berhenti perlahan di depan rumah Laras. Govan mematikan mesin.“Terima kasih sudah traktir makan malamnya,” ucap Laras sambil menoleh, senyumnya hangat.“Sama-sama. Aku senang bisa ajak kamu keluar,” balas Govan.

  • Menggoda Sang Paman   Pulang belanja

    Mall sore itu cukup ramai. Suasana gerai pakaian penuh pengunjung. Laras berjalan percaya diri memasuki butik branded, disambut pegawai dengan senyum ramah."Van, kamu temenin aku ya. Biar aku nggak salah pilih," katanya sambil menggandeng lengan Govan.Nabila hanya berjalan di belakang mereka, seperti bayangan. Ia menggigit bibir, melihat tangan Laras bergelayut manja di lengan pamannya. Perasaan tidak nyaman berkecamuk di dadanya."Yang ini kayaknya bagus deh," Laras mengambil satu kemeja biru pastel. "Gimana menurutmu, Van?""Cocok. Warna itu bikin kamu kelihatan lebih dewasa." Govan mengangguk kecil ia lupa kalau dia sedang bersama Laras bukan Nabila."Dewasa? Kamu bilang aku kekanak-kanakan dong selama ini?" Laras terkekeh."Bukan gitu maksudnya. Maksudnya... lebih profesional." Govan salah tingkah.Nabila m

  • Menggoda Sang Paman   "Aku mau ikut"

    Siang itu, untuk pertama kalinya Laras melangkahkan kaki ke rumah Govan.Mobil berwarna putih berhenti rapi di depan gerbang. Laras turun sambil membawa sebuah kotak kecil berisi oleh-oleh. Senyumnya manis saat melihat rumah tempat atasannya tinggal.“Ini rumahnya, kelihatan asri sekali ya,” kata Laras antusias, matanya menelusuri halaman depan yang penuh pot bunga.Laras berjalan menuju pintu, tangannya yang lentik memencet bel.Ting tong...Tak lama pintu depan terbuka dari dalam, menampilkan sosok Nabila yang berdiri diam di ambang pintu.Gadis itu sempat menegang saat melihat siapa tamu pamannya. Namun, ia cepat-cepat menarik napas, memperbaiki raut wajahnya, dan memaksa senyum ramah.“Selamat pagi,” sapa Laras sopan."Pagi." Nabila tersenyum ramah. “Silakan masuk, Mbak laras.&rdq

  • Menggoda Sang Paman   Kamu ngerti kan

    Govan terdiam. Jawaban itu menyayat. Ia memang menjaga jarak dengan nabila akhir-akhir ini, apalagi dirinya sudah punya pacar.“Om juga bisa kasih itu. Tapi bukan... Bukan begitu caranya, Bil.” Tapi ia tetap mencoba mengendalikan dirinya.“Caranya gimana?” bisik Nabila, menggoda. “Om peluk aku tiap malam?”“NABILAA!!” Govan berseru setengah panik, lalu bangkit dari sofa, menjauh dengan ekspresi frustasi. Ia berjalan mondar-mandir sambil mengacak-acak rambutnya sendiri. “Astaga... ini anak kenapa makin hari makin gila?”Nabila tertawa puas melihat pamannya kalang kabut. Ia berdiri, melangkah pelan ke arahnya, lalu berdiri di belakang punggung Govan. Suaranya menurun lembut. “Om cemburu, ya?”Govan memutar badan cepat. “Cemburu? Enggak. Ini bukan tentang cemburu. In

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status