Ia bahkan tak bisa membayangkan dirinya menggoda Govan. Wajahnya kembali memerah, membuat Wiwin dan Riska semakin penasaran.
"Nabila, seriusan deh, siapa sih orangnya?" tanya Rita.
"Udahlah, jangan bahas aku. Mending kita pesen dessert lagi!" Nabila buru-buru mengalihkan pembicaraan.
Namun, Wiwin dan Riska hanya saling berpandangan dengan tatapan penuh kecurigaan. Sementara itu, Nabila berusaha menenangkan debaran jantungnya.
"Bagaimana kalau mereka tahu siapa orang yang sebenarnya ada di hatiku?
Apa mereka akan menghakimiku?" gumam hati Nabila.
***
Govan meletakkan sendoknya, menatap sisa makan malamnya yang masih tersisa di piring. Rasanya hambar. Bukan karena masakannya, tapi karena suasana rumah terasa sepi tanpa kehadiran Nabila.
Selesai makan, ia beranjak ke ruang tamu dan menyalakan TV, mencari hiburan dari
Pagi itu, suasana di kamar rias Puspa dipenuhi dengan hiruk-pikuk persiapan. Para penata rias sibuk menyempurnakan tampilan Puspa yang duduk anggun di depan cermin besar. Gaun pengantin berwarna putih gading dengan detail renda halus membalut tubuhnya, sementara rambutnya ditata dalam sanggul modern yang elegan.Di sudut ruangan Ratu, adik Puspa, tengah mengenakan kebaya seragam berwarna biru pastel yang senada dengan anggota keluarga lainnya. Ia menatap cermin, memastikan setiap detail penampilannya sempurna."Mama, Om Govan dapat baju seragam juga nggak?" tanya Ratu sambil membetulkan antingnya.Anes, sedang duduk di sofa sambil menyeruput teh hangat, melirik Ratu melalui cermin."Nggak, dia nggak dikasih. Lagipula, dia bukan bagian dari keluarga inti kita," jawab Mira dengan nada datar."Tapi dia kan Adik, Mama," ujar Ratu, sedikit bingung. "Keluarga mama yan
Tengah Malam di Kamar Govan.Cahaya laptop menerangi wajah Govan yang duduk bersandar di ranjang. Di meja samping, secangkir kopi sudah dingin. Jam dinding menunjukkan pukul 00.47. Kota sudah terlelap, tapi pikirannya masih berisik.Ia membuka Instagram, sekadar ingin melepas penat setelah seharian bekerja. Jempolnya menggulir layar, lalu berhenti pada sebuah postingan yang memuat potret seorang influencer wanita berdiri anggun dengan gaun berwarna hijau zamrud. Lengan gaun mengembang ringan, pita kecil menghias pinggangnya, dan kainnya jatuh sempurna hingga menutupi betis. Wajah modelnya tersenyum lembut di bawah cahaya sore.Tapi Govan tidak terlalu fokus pada modelnya. Matanya terpaku pada gaun itu. Warnanya, potongannya, keanggunan sederhana yang dibawanya, semuanya terasa... Nabila.Ia terdiam. Jantungnya berdetak lebih kencang tanpa alasan yang bisa
Perjalanan dari Jakarta dimulai sejak pukul enam pagi. Nabila duduk di kursi penumpang dengan jaket jeans menutupi tubuhnya, mata memandangi jalanan tol yang mulai dipadati kendaraan lain. Ia belum banyak bicara, hanya sesekali menjawab ringan obrolan Govan.Govan sendiri tampak santai, mengenakan kaus hitam polos dan celana jeans gelap. Tapi sesekali, tatapannya mencuri pandang ke arah Nabila. Gadis itu tampak gugup, dan itu membuatnya ingin menggenggam tangan keponakannya, menenangkan, mengatakan bahwa semua akan baik-baik saja. Tapi ia hanya bisa menggenggam setir lebih erat.“Ngantuk?” tanya Govan setelah dua jam perjalanan.“Nggak, cuma mikir.” Nabila menggeleng pelan.“Mau cerita?”“Mau sih, tapi takut nanti malah jadi mellow dan bikin Om bad mood.” Nabila tersenyum tipis.“Om nggak bakal
Dua hari setelah percakapan mereka di kamar, tepat saat makan malam bersama di meja dapur yang tenang, Nabila akhirnya membuka suara.Dengan nada pelan namun tegas, ia menatap Govan yang tengah menuangkan sup ke mangkuknya.“Aku... mau ikut ke acara pernikahan Puspa,” ucap Nabila sambil menatap sendoknya, tak berani langsung menatap mata sang paman.Govan menghentikan gerakannya sejenak. Matanya berpindah ke wajah Nabila yang tampak serius. “Kamu yakin?”Nabila mengangguk kecil. “Iya. Aku akan izin ke dosen nanti kalau aku gak masuk.”“Kamu nggak harus ikut kalau nggak nyaman, Bil,” kata Govan lembut, menaruh sendok di piringnya. “Om gak maksa. Om paham banget perasaan kamu soal mereka.”Nabila menggigit bibir bawahnya. “Aku tahu... Tapi aku juga ngerasa, kalau aku terus-terusan menghindar, aku
Hujan rintik-rintik turun mengguyur rumah duka. Langit seolah ikut berkabung bersama kabar duka yang mengguncang dunia kecil seorang gadis berusia 12 tahun Nabila.Ia berdiri di antara orang dewasa yang menatapnya dengan tatapan iba, tangannya menggenggam erat ujung bajunya yang sudah basah. Wajahnya pucat, matanya bengkak karena terlalu lama menangis. Ia tidak mengerti apa yang sedang terjadi.Satu hari sebelumnya ia masih bisa melihat senyum ibunya yang lembut. Hari ini, dua peti tertutup itu membuat semua terasa seperti mimpi buruk yang tak kunjung selesai.“Bila...” suara lirih terdengar dari sampingnya. Itu suara Govan lelaki muda berusia dua puluhan kala itu. Ia duduk di samping Nabila, mengusap pundak gadis kecil itu.Nabila hanya menatap kosong ke depan, tangannya menggenggam boneka kelinci kecil yang sudah kumal.Tak jauh dari sana, sekelompok kel
Jam menunjukkan pukul delapan malam ketika Govan memarkirkan mobilnya di garasi. Lampu-lampu rumah sudah menyala, namun suasananya tampak sunyi. Tidak terdengar suara tawa, tidak ada langkah kaki kecil Nabila yang biasa berlari ke arahnya menyambut kepulangannya.Govan membuka pintu dan masuk ke rumah yang senyap. Suara pintu tertutup pun terdengar nyaring di antara keheningan. Ia melongok ke ruang tamu dan dapur pun kosong.“Bil?” panggilnya pelan. Tidak ada sahutan. Tapi ia tahu, Nabila pasti ada di kamarnya.Tanpa mengganggu lebih jauh, Govan berjalan pelan menuju kamarnya sendiri. Ia melepas jas, menaruhnya dengan rapi di gantungan, lalu beranjak ke kamar mandi. Air hangat mengalir membasahi tubuhnya, membilas lelah dan perasaan ganjil yang masih menggantung sejak sore tadi.Setelah mandi, Govan berdiri di depan cermin. Tubuhnya yang tinggi dan atletis terpantul jelas. Dadanya b