Hujan turun pelan di luar jendela, mengetuk kaca seperti ikut menambah sendu malam yang sepi. Di dalam kamar, Nabila duduk memeluk lutut di atas ranjang, matanya sembab, pipinya basah. Isaknya nyaris tak terdengar, namun kepedihannya menjerit di dalam dada.
Kata-kata Govan terus terulang di kepalanya.
"Kamu boleh suka siapa saja, Bil. Termasuk Berlian. Om nggak akan larang... Asal kamu tahu batasan."
Seharusnya itu membuatnya senang, bukan? Tapi yang ia rasakan justru sebaliknya. Govan seolah melepaskannya. Seolah ia hanya gadis kecil yang akan tumbuh dan pergi, lalu Govan tetap jadi paman yang menjaga jarak.
Padahal... orang yang ia sukai bukan Berlian.
Tangis Nabila pecah lagi. Ia membenamkan wajah ke lututnya, berharap malam segera berlalu, berharap perasaannya tidak serumit ini.
Sedangkan di ruang tamu, Govan duduk membisu. Kotak kue cream melon mas
Di luar, malam semakin larut. Angin dingin menerpa dedaunan, membuat ranting-ranting menari pelan di bawah cahaya lampu jalan yang remang. Jam di dinding kamar menunjukkan pukul sebelas lebih sepuluh menit, tapi Nabila belum juga terpejam.Di balik jendela kamar, Nabila berdiri dengan boneka pemberian Berlian di pelukannya. Matanya menatap jalan, berharap sosok Govan muncul. Tapi malam hanya menghadiahkannya bayangan kosong dan cahaya bulan yang dingin."Om kapan pulang..." Nabila menghela nafas kembali duduk di kasur, menatap ponsel yang tak kunjung berbunyi. Ia merasa cemas dan sedih, membayangkan Govan bersama Laras berbahagia di acara ulang tahun.Untuk kesekian kalinya ia menghela napas, lalu berbaring di ranjang, menatap langit-langit kamar dengan mata yang berkaca-kaca.“Om...,” bisiknya pelan, berharap Govan segera pulang, rumah terasa begitu sunyi tanpa keberadaan Govan disana.***“Ayo, saya anta
Govan berdiri di depan pintu kamar Nabila. Ia sudah rapi dengan setelan jas hitam dan kemeja abu-abu yang senada, lengkap dengan sepatu kulit mengilap yang memantulkan cahaya lampu.“Bil… Om pergi dulu, ya,” katanya dari balik pintu. Tak ada sahutan.Sunyi.Govan menunggu sejenak, menempelkan telinganya ke daun pintu, berharap ada suara langkah kaki, mungkin suara desahan atau gerakan kecil. Tapi tetap hening.Ia menarik napas panjang, lalu melangkah pergi menuruni tangga. Tapi di balik tirai jendela kamar lantai atas, dua mata tengah mengintip. Nabila memperhatikan setiap langkah pamannya hingga mobil hitam itu perlahan meninggalkan halaman rumah.Dia tahu Govan pergi bersama Laras malam ini.Dan hatinya… sedikit remuk.Di tempat lain, Laras sedang berdiri di depan cermin, memeriksa penampilannya.
Beberapa hari berlalu sejak malam dingin itu, dimana Nabila menangis diam-diam dan Govan merasa menjadi pria paling jahat di dunia karena harus menjauh darinya. Sejak itu, ada batas tak kasat mata yang perlahan membentuk dinding di antara mereka.Mereka masih bicara, masih saling menyapa, bahkan sesekali tertawa kecil bersama namun tidak ada lagi pelukan hangat, tidak ada lagi kecupan, dan tidak ada lagi kepala Nabila yang bersandar manja di bahu pamannya.Govan mematuhi batas yang ia buat sendiri. Bahkan ketika ia melihat Nabila tertidur di sofa dengan buku pelajaran terbuka, ia hanya menutupi gadis itu dengan selimut dan melangkah pergi tanpa menyentuhnya.Ia pikir ini akan mudah.Tapi ternyata... tidak.***Siang itu, Govan sedang duduk di sebuah restoran kecil dekat kantornya. Di hadapannya, Laras duduk sambil memainkan sedotan es tehnya dengan cang
Mobil melaju tenang di antara hiruk pikuk jalanan kota. Di kursi penumpang, Nabila duduk bersandar, memandangi jendela dengan tatapan kosong. Cahaya pagi menari-nari di balik matanya yang masih menyimpan bekas tangis. Matanya sembap, walau sudah ditutup concealer seadanya, tak banyak yang bisa disembunyikan.Berlian melirik sekilas, lalu kembali menatap jalan. Ia sudah lama ingin bertanya, tapi takut salah waktu.“Bil...” panggilnya pelan. “Kamu kenapa? Beneran nggak papa?”“Nggak papa kok. Ini cuma... gara-gara drakor semalam.” Nabila beralasan sambil tersenyum paksa.“Drakor?” Berlian menaikkan alis. “Sampai nangis segitu parahnya? Mata kamu kaya habis diguyur banjir.”“Iya. Sedih banget, sumpah. Tokoh ceweknya ditinggal cowoknya, mirip banget sama... ya gitu deh.” Nabila tertawa kecil, hambar.
Hujan turun pelan di luar jendela, mengetuk kaca seperti ikut menambah sendu malam yang sepi. Di dalam kamar, Nabila duduk memeluk lutut di atas ranjang, matanya sembab, pipinya basah. Isaknya nyaris tak terdengar, namun kepedihannya menjerit di dalam dada.Kata-kata Govan terus terulang di kepalanya."Kamu boleh suka siapa saja, Bil. Termasuk Berlian. Om nggak akan larang... Asal kamu tahu batasan."Seharusnya itu membuatnya senang, bukan? Tapi yang ia rasakan justru sebaliknya. Govan seolah melepaskannya. Seolah ia hanya gadis kecil yang akan tumbuh dan pergi, lalu Govan tetap jadi paman yang menjaga jarak.Padahal... orang yang ia sukai bukan Berlian.Tangis Nabila pecah lagi. Ia membenamkan wajah ke lututnya, berharap malam segera berlalu, berharap perasaannya tidak serumit ini.Sedangkan di ruang tamu, Govan duduk membisu. Kotak kue cream melon mas
“Bil, Om mau bilang sesuatu,” kata Govan tiba-tiba, memecah keheningan.Nabila mengangkat kepalanya dan menatap wajah Govan.“Hm? Apa, Om?”Govan menatap lurus ke arah televisi yang kini menayangkan cuplikan berita ekonomi, tapi jelas pikirannya tak ada di sana. Ia menarik napas perlahan.“Beberapa hari ini, Om perhatikan kamu sering bareng sama Berlian.”Nabila terdiam. Senyumnya perlahan memudar.“Kamu suka dia?” Govan menoleh, matanya menatap lembut tapi serius.Nabila menelan ludah. Tidak menyangka pertanyaan itu keluar dari mulut Govan malam ini, saat suasana terasa begitu tenang.“Om... kenapa tiba-tiba nanyanya gitu?” Nabila mencoba mengelak dengan senyum gugup.“Karena dari cara kamu lihat dia, cara kamu
Govan menarik Nabila ke dalam pelukannya. Awalnya lembut, tapi detik demi detik pelukan itu semakin erat, seolah ia sedang berusaha melindungi sesuatu yang rapuh… atau mungkin dirinya sendiri.Wajahnya tenggelam di atas kepala Nabila, menghirup aroma sampo yang samar, bercampur wangi tubuh gadis itu yang segar dan lembut. Tubuh mungil itu berada dalam dekapannya, membuat jantungnya berdegup lebih cepat, tapi juga terasa sesak.Apa ini benar? Apa aku seperti predator saat menatapnya seperti ini?Govan memejamkan mata erat-erat, berusaha mengusir pertanyaan-pertanyaan yang membuatnya ngeri pada dirinya sendiri. Ia mencengkeram bahu Nabila tanpa sadar, terlalu kuat untuk sebuah pelukan antara paman dan keponakan.Ini terakhir kalinya. Aku gak akan melakukannya lagi. Ini salah. Salah.Aku harus berhenti sekarang juga.Namun tubuhnya enggan melepaskan. Mungkin karena kehangatan itu terlalu nyata, atau
Langit siang tampak cerah, tapi hati Nabila mendung.Ia duduk di taman kampus dengan buku terbuka di pangkuannya, namun matanya kosong menatap rumput. Halaman yang seharusnya ia baca hanya dibolak-balik tanpa dipahami.Angin sepoi mengibaskan helai rambutnya, tapi ia tak peduli. Beberapa mahasiswa lalu lalang, tertawa dan mengobrol, sementara Nabila justru tenggelam dalam pikirannya sendiri.“Aku salah ya...?” gumamnya lirih.Ia memikirkan pamannya, Govan. Sejak kemarin, ekspresi pria itu terlihat lebih berat dari biasanya. Seolah-olah Govan sedang menahan sesuatu yang besar, dan tak ingin membaginya.“Apa aku sudah terlalu sering bikin Om risih?” pikir Nabila, menggigit ujung pulpen.Ia tahu, dirinya beban dan suka mengganggu Govan, tapi semua itu ia lakukan karena ia merasa nyaman. Karena Govan bukan hanya pamanny
Sudah beberapa hari berlalu dan Govan merasakan ada yang mengusik pikirannya, sesuatu yang semula hanya samar dan tak penting, kini tumbuh seperti benih liar di tengah dadanya.Akhir-akhir ini Nabila sering keluar rumah, sesekali pamit sekadar beli buku, kadang beralasan ingin ngumpul bareng temen. Namun ketika pulang selalu sama Berlian.Govan tidak pernah bertanya. Tapi matanya selalu menangkap detail cara Nabila tersenyum saat membuka pagar, tawa kecilnya yang renyah terdengar dari teras, dan suara motor Berlian yang mulai terasa terlalu akrab di telinganya.Disuatu pagi itu, ketika matahari baru naik setengah dan langit bersih serta udara terasa segar. Di ruang makan, Govan duduk sendiri dengan koran dan secangkir kopi. Kemejanya sudah rapi, dasi tergantung longgar di leher. Tapi tatapannya kosong. Mengarah ke halaman depan, menembus jendela.Lalu suara yang ia kenal datang lagi, ra