LOGINHappy Reading
***** Suasana makan malam terasa begitu canggung setelah kejadian tak senonoh di dapur tadi. Harsa bungkam bahkan sekedar untuk mengatakan jika masakan yang dibuat Ardha enak, lelaki itu tak mampu. Ardha sendiri bersikap biasa saja. Seolah-olah tidak terjadi apa pun. Sampai Jenni mencicipi makanan buatannya. Bola mata bergerak dan menatap pembantu barunya dengan tatapan aneh. "Dari mana kamu belajar memasak masakan ini?" Tatapan nyonya rumah begitu mengintimidasi. "Saya belajar dari ibu saya di kampung." Ardha menjawab dengan menundukkan pandangan. Kedua tangannya menyatu di depan perut dan saling meremas. "Menurutmu, bagaimana rasa rawon ini, Sayang?" Jenni kini beralih menanyai suaminya. Diam sambil mengunyah makanannya, Harsa cukup familier dengan rasa masakan Ardha. Lelaki itu kembali memasukkan kuah rawon ke mulutnya. "Apa kamu kenal seorang perempuan bernama Zika Catradananta?" Tatapan Harsa lurus menembus pertahanan Ardha. Walau begitu menakutkan, nyatanya Ardha tidak gentar sama sekali. "Siapa Zika Catradananta, Pak? Apakah mantan kekasih atau … selingkuhan, Bapak?" "Ardha!" Bentak Jenni. Kelopak matanya melebar bahkan pupilnya nyaris keluar. "Mulutmu sungguh lancang. Belum ada sehari di rumah ini, kamu sudah membuat onar. Apa hakmu bertanya seperti itu pada suami saya?" Santai, Ardha malah menaikkan garis bibirnya. Kelakuannya itu sudah seperti orang gila saja. "Maaf, jika Ibu tersinggung. Biasanya, lelaki itu akan selalu menyebut-nyebut nama mantan terindahnya. Jadi ...." "Jangan kamu teruskan kesimpulan yang tidak berdasar itu," sahut Harsa menghentikan perkataan Ardha selanjutnya. Tuan rumah tersebut tampak marah, tetapi tidak berusaha menjelaskan apa pun. Dia berdiri, meninggalkan istrinya yang masih memasukkan makanan ke mulut. "Kamu bisa istirahat. Biar saya yang membereskan semuanya ini," usir Jenni setelah mendengar ponselnya berdering. Mengangguk sambil membungkukkan badan, Ardha berlalu meninggalkan majikannya. *** Membuka seragam kerja yang diberikan Jenni, Ardha melihat tampilan dirinya di cermin. Tubuhnya terlihat sangat seksi dengan beberapa bagian yang menonjol. Tidak pernah ada seorang lelaki yang menolak keindahan tubuhnya itu. Sekarang, Ardha berjanji akan menggunakan keindahan tubuhnya itu untuk memikat majikan lelakinya. “Aku harus bisa,” Ardha bergumam lirih. Sekelebat ingatan masa lalu membuatnya mengepalkan tangan. Bagaimanapun, ia harus melakukan ini. Suka atau tidak suka. Ia tidak punya pilihan lain. Ardha lantas menanggalkan pakaiannya, meninggalkan bra di bagian atas. Dan saat itulah seseorang sudah berdiri di belakang Ardha. Melingkarkan kedua tangannya di perut rata sang pembantu. "Gimana kalau kamu melanjutkan apa yang aku minta tadi?" ucap Harsa sambil mengeratkan lingkaran tangannya di pinggang si pembantu. Bukannya menolak pelukan sang majikan, Ardha malah mengelus pergelangan tangan Harsa. "Gimana kalau Bu Jenni kembali memergoki kita?" ucapnya sedikit mendesah akibat rangsangan di bukit kembarnya oleh tangan Harsa. "Kenapa harus takut? Jika dia memergoki kita, aku akan langsung mengajaknya untuk bergabung. Pasti akan jauh lebih mengasyikkan," bisik Harsa sambil menggigit cuping telinga si pembantu. Sekuat tenaga, Ardha melepaskan lingkaran tangan sang majikan di perutnya. Lalu, berbalik sambil menatap tajam. "Jangan gila, Pak. Saya bukan pelacur yang bisa Anda perlakukan seenaknya." Harsa tertawa lebar saat mendengar penuturan Ardha. "Jika bukan pelacur, kamu tidak akan pernah menggodaku seperti sekarang. Tidak usah munafik, deh," cibirnya. "Kapan saya menggoda Bapak? Bukannya, Bapak sendiri yang selalu ingin merayu saya?" Ardha membalik perkataan majikannya. Suara tawa Harsa meledak. Raut mukanya bahkan terkesan meremehkan. "Apa istriku yang memintamu untuk merayu?" Cepat, Ardha menggelengkan kepalanya. "Ibu nggak pernah menyuruh saya merayu Bapak." "Benarkah?" "Benar. Untuk apa saya bohong." Indera penglihatan Ardha menyipit. "Bapak itu aneh, mana ada seorang istri menyuruh perempuan lain menggoda suaminya." Harsa mencebik. "Aku percaya ucapanmu. Istirahatlah," pintanya. Kening Ardha makin berkerut. Semakin tidak mengerti dengan jalan pikiran majikan lelakinya. "Pak, tunggu," ucap sang pembantu baru. Dia bahkan dengan berani sudah memegang pergelangan sang majikan. Alis Harsa terangkat, gerakannya itu seolah mengungkapkan apa yang tak bisa bibirnya keluarkan. "Jadi, apakah Bapak nggak pengen melanjutkan adegan tadi?" Ardha dengan sengaja menempelkan tubuh bagian depannya yang begitu lunak tanpa tulang pada sang majikan. Gairah yang sempat padam tadi, mulai naik kembali. Harsa menarik pinggang pembantunya, lalu menempelkan bibirnya, cukup singkat, tetapi membuat lelaki itu semakin penasaran dengan rasanya. "Pak, Ibu memanggil…." Ardha lalu mendorong tubuh majikannya hingga mereka berjarak, tidak seperti tadi yang menempel erat. Suara Jenni terdengar telinga Harsa walau cukup lirih. Entah apa yang dibutuhkan perempuan tersebut. Padahal jelas-jelas tadi dia sudah meminta Ardha untuk beristirahat. "Tenang, kamu keluar saja." "Lalu, Bapak?" Pertanyaan Ardha membuat Harsa menarik garis bibirnya. "Aku akan menunggu di ranjang ini," ucap Harsa. Lelaki itu sudah duduk di tepian ranjang sang pembantu. Jantung Ardha rasanya ingin melompat keluar. Dia memang berniat menggoda majikan lelakinya, tetapi tidak berharap jika sampai menimbulkan kecurigaan dan kehilangan pekerjaannya saat ini. "Cepat buka," kata Harsa sepelan mungkin. "Jangan sampai Jenni curiga." Segera membuka pintu dan melongokkan kepalanya. Tatapan Ardha bertemu dengan Jenni. Oleh karena bagian atas tubuh Ardha hanya terbungkus bra, sang pembantu menjadikannya alasan tidak membuka pintu kamar lebar-lebar. "Kamu sudah tidur?" tanya Jenni dengan tatapan mata penuh selidik. "Hampir tertidur, Bu," jawab Ardha bahkan dia sengaja menguap untuk memperkuat alasannya. "Ibu ada perlu?" "Iya, saya ada perlu sama kamu, sebentar saja. Temuin saya di ruang kerja." "Apakah mendesak?" Kening Ardha berkerut. "Iya, saya tunggu." Tanpa banyak kata lagi, Jenni meninggalkan sang pembantu. Ardha segera menutup pintu kamar dan menatap sang majikan lelaki. "Bapak dengar tadi?" tanyanya. "Turuti saja permintaannya. Lalu, kamu laporkan apa yang dia katakan," sahut Harsa. Bibir sang pembantu mencebik. "Apa yang akan saya dapatkan ketika saya melaporkan semua yang Bu Jenni bicarakan nanti?" Mendengkus, Harsa berdiri dan mendekati sang pembantu, lalu mencengkeram kuat dagunya "Berani kamu berbisnis denganku?" Tanpa rasa takut sama sekali, Ardha menatap sang majikan tajam. "Kenapa saya nggak berani? Memangnya Bapak hantu?" Tawa Harsa menggema. Lelaki itu makin tertantang dengan sikap pembantunya. Belum pernah dia menemui seorang pegawai yang bekerja di bawah naungannya seberani itu. Ardha menepis tangan sang majikan dari wajahnya. "Jangan membuang-buang waktu, saya harus segera menemui Bu Jenni atau saya akan kehilangan pekerjaan nantinya." Mulai memakai pakaiannya lagi, Ardha tak menggubris keberadaan Harsa yang masih terus menatapnya tajam. Beberapa detik kemudian, saat si pembantu akan membuka pintu kamar. Harsa dengan kuat mencekal pergelangan tangan Ardha. "Jika nanti Jenni memintamu untuk menggodaku, iyakan saja semua permintaannya. Aku akan memberikan uang yang lebih banyak jika kamu bisa menuruti apa yang aku minta tadi." Menarik garis bibirnya ke atas, Ardha berkata, "Mana mungkin ada seorang istri yang sukarela menyerahkan suaminya pada orang lain. Bapak ada-ada saja." "Turuti perkataanku tadi jika kamu masih ingin tetap bekerja di sini," ancam Harsa dengan wajah menakutkan.Happy Reading *****Ardha menatap si mas yang sudah merebut foto dari tangan si adik. Sepertinya, perempuan itu mencari dukungan dari lelaki yang selalu menyayanginya itu. Mencoba memastikan jika pemikiran mereka sama. Elang pun menoleh ke arah sang pujaan, ketika tatapan mereka bertemu, lelaki itu menganggukkan kepala seolah mengatakan jika apa yang ada di pikiran Ardha adalah benar. "Aku cuma merasa jika foto ini mirip seseorang, Tan. Memangnya, siapa bayi ini?" Elang memberikan foto yang dipungut Ardha tadi. "Kita bahas foto itu nanti, ya. Tante mau hubungi papanya Darma dulu. Keluarga meeka harus tahu jika anaknya masuk rumah sakit. Jangan sampai kamu terbebani untuk menjaganya terus menerus." Tanpa menunggu jawaban Elang, Melati sudah menelepon keluarga Darma dan dalam hitungan detik, perempuan paruh baya itu sudah mengucapkan hallo pada lawan bicaranya di seberang sana."Kamu jemput anak manjamu sekarang juga di rumah sakit. Jangan sampai anakku tahu jika dia membuat ulah la
Happy Reading*****Semua orang menoleh ke sumber suara. Melati bahkan tak percaya jika di hadapannya kini adalah sosok lelaki yang tadi terbaring lemah tak berdaya. Perempuan paruh baya itu terpaksa maju untuk menghalau Darma, mendekati Ardha. "Kembali ke ranjangmu, dia bukan istrimu," ucap Melati tegas. Tatapannya sangat tajam, sikap seorang ibu yang melindungi anak-anaknya dari ancaman serta bahaya. "Ma, dia istriku. Kenapa aku nggak boleh dekat-dekat dengan dia? Apa aku akan tetap diam jika ada lelaki yang akan merebutnya?" Suara Darma melemah bahkan wajahnya menunjukkan sejuta penyesalan. Matanya sayu, menatap Ardha yang diam dengan tangan berpegangan pada Elang. "Ingat yang Mama katakan tadi. Dia bukan Ardha istrimu. Ardha sudah meninggal sejak kamu mengatakan akan menikahi perempuan nggak bener itu. Kamu yang sudah membu ....""Ma," cegah Ardha disertai gelengan kepala. Melati menarik napas panjang, teringat nasihat sang dokter. Elang melepas pegangan tangannya, berbaik da
Happy Reading*****Melati diam, cuma bisa menatap tiga anak muda di samping dan di depannya. Menceritakan kematian Ardha sama dengan menyayat luka yang hampir mengering. Walau Ardha bukan putri kandungnya, tetapi kehadiran perempuan itu bagai obat yang menyembuhkan segala luka di tubuh Melati. "Ma, jelaskan padaku. Apa yang terjadi dengan Ardha, mengapa dia meninggal dan kenapa menyebut nama lelaki itu sebagai penyebabnya? Bukankah Darma adalah suaminya jika Mama menyebutnya menantu?" tanya Ardha tak sabaran."Dia memang suaminya. Tapi, Darma adalah orang yang paling menyakiti Ardha." Ketika mengatakan hal tersebut, air mata Melati turun. Mungkin teringat akan kesakitan yang dialami perempuan itu. "Jadi, beneran lelaki itu yang membunuh putrinya Ibu?" tanya Yandra antusias. Jiwa sang pengacara bangkit. "Kenapa nggak lapor polisi jika memang seperti itu?""Benar kata Yandra. Kenapa Tante nggak lapor polisi saja?""Percuma lapor polisi, saat itu keluarga Darma masih sangat berkuasa
Happy Reading*****Yandra dan Elang yang duduk di bangku tak jauh dari ruang UGD, masuk dan melihat keadaan lelaki yang mereka bawa tadi. Suara Melati serta Ardha membuat kedua lelaki tersebut panik. "Dek, ada apa?" tanya Elang."Ar, kamu nggak papa, kan?" tambah Yandra. Kedua lelaki itu berdiri di sisi kanan dan kiri perempuan wajahnya memucat. Sementara itu, Melati berjalan ke arah dokter supaya untuk mengetahui keadaan lelaki yang tdi muntah darah ketika berbincang dengannya. "Aku nggak papa, tapi lelaki tadi muntah darah setelah ngobrol sama Mama. Apalagi pas baca kertas yang diberikan Mama. Dia makin terlihat kesakitan," jelas Ardha. "Adek duduk saja di luar, biar Mas yang tanya Tante Mel. Kenapa sampai lelaki yang baru sadar itu muntah darah." ELang merangkul sang kesayangan keluar UGD diikuti Yandra di belakang keduanya yang mengepalkan tangan dengan kuat, menahan amarah. Walau jelas-jelas cintanya ditolak olah Ardha berkali-kali, tetapi rasa Yandra masih tetap kukuh dan
Happy Reading*****Melati menoleh ke sumber suara yang sangat dia kenal. Bola matanya melebar, wajah terkejutnya tidak bisa disembunyikan lagi. Benar-benar tidak menyangka jika Ardha sudah berdiri di belakangnya. "Kebenaran apa, sih, Ar?" kata Melati. Berusaha setenang mungkin supaya anak angkatnya tidak menaruh curiga berlebihan. "Ma, jangan bohong lagi. Mama pasti mengenal siapa lelaki yang tergeletak tadi," kata Ardha mengungkapkan apa yang ada di pikirannya. "Ma, orang itu terus saja manggil-manggil namaku. Jadi, nggak mungkin cuma wajah saja yang melekat pada diriku, nama pemberian Mama dan Ayah pasti juga terkait dengan lelaki itu."Melati menurunkan ponselnya yang menempel di daun telinga setelah mendengar perkataan serta arahan orang di seberang sana. "Mama akan jelaskan, tapi Mama harus tahu siapa lelaki yang tergeletak tadi. Mama nggak mau salah orang, Ar." Melati memegang pundak putri angkatnya. "Oke, kita ke rumah sakit sekarang. Biar Thalia yang menemani Za di sini,"
Happy Reading*****Ardha menatap Melati tajam, menuntut perempuan paruh baya itu untuk menjawab pertanyaannya tadi. Walau sang mama angkat belum mau membuka suara, tetapi gestur tubuhnya sudah menunjukkan jika Melati menyimpan banyak rahasia dalam dirinya. "Ma," panggil Ardha, "Kalau Mama nggak mau cerita, aku telpon Kakak atau Ayah supaya menjelaskan semua. Aku nggak mau dituduh macam-macam nantinya, Ma.""Jangan," cegah Melati. "Kenapa?" tanya Ardha dan Thala bersamaan. "Nenek sama Mami lagi ngobrol apa, sih? Kok, Za nggak ngerti." Si Kecil menggaruk kepala, bingung. "Kita main di luar, yuk. Tante mau ajak Za jalan-jalan di dekat danau buatan depan sana. Pemandangannya bagus banget. Mau, ya?" ajak Thalia. Sengaja memberi kesempatan pada sang sahabat dan orang tua angkatnya untuk membahas masalah mereka. "Ayok, Tan. Za juga pengen jalan-jalan, boleh ajak Papi juga, ngak?" Zanitha sudah menggandeng tangan sahabat maminya ke arah luar. "Papi lagi ada urusan yang sangat mendesak.







