LOGINHappy Reading
***** Ardha diam sejenak. Dia memang membutuhkan banyak uang saat ini. Tujuannya menjadi pembantu di rumah Harsa dan Jenni memang untuk memikat sang majikan lelaki. Ia punya alasan untuk itu. Namun, ketika Harsa mengatakan demikian, dia malah bingung. "Berapa yang akan saya dapatkan jika saya membantu Bapak?" "Pastinya, apa yang akan aku berikan jauh lebih besar dari yang akan Jenni tawarkan padamu. Gimana? Apa kamu tertarik?" Harsa mengulurkan tangan, meminta persetujuan kerjasama dengan Ardha. Cuma butuh waktu sekitar dua detik, Ardha sudah menganggukan kepala sebagai tanda persetujuan. "Oke. Temui Jenni dan laporkan apa yang dia katakan." Ardha mengangguk dan sebelum perempuan itu keluar, sang majikan malah mendaratkan kecupan di pipinya. "Ingat baik-baik. Jika Jenni memintamu untuk menggodaku supaya kita berselingkuh, katakan kamu akan melakukannya." Mengembuskan napas panjang, sepertinya Ardha akan sangat kesulitan menggapai impiannya untuk merebut Harsa. Lelaki itu bahkan sudah tahu niatnya untuk menggoda. Sesampainya di depan pintu ruang kerja sang majikan, Ardha mengetuk pintu. Samar, dia mendengar suara tawa Jenni, entah dengan siapa perempuan itu berbincang, sang pembantu belum mengetahuinya. "Permisi, Bu. Boleh saya masuk?" ucap Ardha dari balik pintu. "Masuk saja, saya sudah cukup lama menunggu," sahut Jenni. Ardha memutar kenop pintu, lalu melongokkan kepala sebelum benar-benar memasuki ruang kerja milik sang majikan. "Kenapa tidak masuk saja, malah mengintip." Jenni mematikan sambungan ponselnya. Beralih menatap pada sang pembantu baru. "Duduk," perintahnya. Ragu dan sedikit takut-takut, Ardha berjalan mendekati sang majikan. Menyeret kursi yang ada di seberang meja kerja karena melihat kode yang ditujukan padanya. Ardha masih diam menunggu instruksi selanjutnya dari sang majikan. Jenni terus menatap pembantu barunya dari ujung kaki hingga kepala. "Bu, apa saya melakukan kesalahan?" tanya Ardha. Mulai meremas-remas jemari tangannya. Bayangan kekerasan akibat ulahnya menggoda sang majikan lelaki mulai membayang. "Aku tahu kamu sedang berusaha keras menggoda suamiku ...." "Bu, jangan salah paham. Saya nggak punya niat ingin merebut Pak Harsa," kata Ardha memotong perkataan sang majikan. Jenni tertawa, tetapi tatapannya tidak pernah lepas dari sang pembantu. "Bu, saya minta maaf jika memang kejadian tadi membuat Ibu marah." Suara Ardha mulai bergetar. Jenni menghentikan tawanya. Sekarang, wajahnya berubah serius. "Kamu tenang saja. Saya tidak akan marah jika kamu memang berniat menggodanya." "Hah?!" ucap Ardha, cengo. Bibirnya bahkan menganga lebar. "Kenapa terkejut?" selidik Jenni yang tidak menyangka jika reaksi pembantunya seperti sekarang. "Saya memanggilmu ke sini untuk berbisnis." "Bisnis?" tanya Ardha tak percaya. Bagaimana mungkin, semua keinginannya begitu mudah akan diraih dengan cepat? "Iya, bisnis," jawab Jenni, mantap. "Saya tahu kamu cukup tertarik dengan suami saya dan dia juga meresponmu. Maka, saya akan memfasilitasi kedekatan kalian." "Ibu nggak salah ngomong?" Ardha benar-benar terkejut dengan perkataan majikan perempuannya. Walau sebelumnya Harsa sudah membocorkan apa yang akan dibicarakan Jenni, tetapi mendengar langsung dari bibir sang nyonya rumah, jelas membuatnya sangat terkejut. Keputusan Jenni untuk mendukung Ardha mendekati suaminya sangat di luar nalar kewarasan seorang istri. Perempuan mana yang dengan senang hati memberi umpan serta kebebasan berselingkuh pada suaminya? "Apa yang saya katakan adalah kebenaran dan saya menginginkan kita bisa bekerja sama untuk memikat hati Harsa. Jika kamu berhasil membuat Harsa jatuh cinta dan tidur denganmu, maka kamu berhak mendapatkan rumah dan juga uang seratus juta." Kelopak mata Ardha membulat sempurna. Membayangkan uang dan harta yang akan didapatkan sungguh sangat membahagiakan. Dia juga teringat perkataan Harsa yang akan memberi hadiah yang lebih besar dari tawaran Jenni asal mau berpihak pada lelaki tersebut. "Gimana, Ar? Kamu mau menerima tawaran bisnis ini, kan?" Jenni bertanya dan menatap sang pembantu dengan serius, sangat berharap jika Ardha akan menerima tawarannya. "Baiklah, saya setuju dengan tawaran Ibu. Tapi, saya mau Ibu melakukan kesepakatan hitam di atas putih. Saya menginginkan kontrak kerja sama resmi yang bisa dipertanggungjawabkan di depan hukum, baru saya bersedia menjalankan tugas ini. Gimana?" "Oke, saya setuju. Besok, surat perjanjian kerja sama kita akan segera aku berikan. Tapi, ingat. Kerja sama kita berdua jangan sampai bocor. Jangan biarkan orang lain tahu," peringat sang nyonya rumah yang cuma diangguki oleh Ardha. "Sekarang, kamu bisa kembali ke kamar." "Baik." Ardha berdiri, berbalik dan berniat meninggalkan ruang kerja sang majikan. Namun, langkahnya terpaksa berhenti karena panggilan Jenni. "Ada apa, Bu?" "Bawa ini ke kamarmu." Jenni menyerahkan bunga kaktus. Mengambil bunga pemberian sang majikan, kening Ardha berkerut. "Saya permisi, Bu," ucapnya setelah berhasil mengambil bunga tersebut. "Pergilah," perintah Jenni sambil mengibaskan tangannya. Ardha berjalan menuju kamar dengan membawa kaktus pemberian Jenni, tetapi pikirannya terus berputar dan curiga. Ada apa di balik kaktus yang Jenni berikan ini? Belum juga sang pembantu sampai di kamar, Harsa sudah menarik tangannya. Membawa Ardha ke kamar tamu yang berada di lantai satu. "Pak, jangan begini. Nanti, Ibu bisa curiga," ucap Ardha ketika mereka sudah berada di ruang tamu dengan pintu terkunci. "Dia tidak akan tahu. Jika sudah berada di ruang kerja, istriku itu tidak ingat waktu dan suaminya," jawab Harsa. "Ceritakan. Apa yang dikatakan Jenni?" Ardha mengangguk patuh, lalu menceritakan apa yang dikatakan sang majikan perempuan. Namun, pembantu itu tidak menceritakan hadiah yang sudah dijanjikan kepadanya. "Sudah kuduga. Jadi, maukah kamu berada di pihakku?" tanya Harsa. Tangannya mulai nakal, bergerak menarik pinggang ramping sang pembantu. Diperlakukan seperti itu, Ardha bereaksi dengan cepat. Menyusuri pipi sang majikan dengan kedua tangannya, bahkan dia tidak segan menempelkan dua bukit kembarnya ke dada bidang Harsa. "Saya pasti berdiri di pihak Bapak asal imbalannya jauh lebih besar dari yang dijanjikan Bu Jenni." "Oke, saya setuju. Mulai saat ini, kamu berada di pihakku. Jangan coba-coba untuk berkhianat." Ardha cuma bisa menganggukkan kepala. Menolehkan pandangannya ke arah lain, dia tersenyum miring. ‘Selangkah lagi,’ ucap Ardha dalam hati.Happy Reading***"Yan, lepas," pinta Thalia terbata, tetapi sang pengacara malah mengetatkan tangannya. Sang asisten hampir kehabisan napas. Air matanya sudah mengajak sungai, isakan pun mulai terdengar. Yandra menatap sang kekasih, raut wajahnya berubah sedih dan perlahan tangannya mengendur."Maafkan aku, Honey. Aku nggak bermaksud menyakitimu." Kedua tangan sang pengacara menangkup pipi Thalia. Bergerak perlahan mengusap air mata yang berjatuhan. Lalu, lelaki itu menyatukan kening mereka. Ada banyak kesedihan di mata sang pengacara melihat kekasihnya kesakitan."Kamu gila, Yan. Kenapa ada pengacara yang memiliki sifat sepertimu," bentak Thalia sambil berusaha melepaskan diri. "Honey, jangan katakan itu. Aku cuma terlalu mencintaimu, aku sangat takut kamu pergi. Meninggalkan aku dengan sejuta harapan dan rencana masa depan kita," ucap sang pengacara begitu memilukan.Andai Thalia benar-benar jatuh cinta pada Yandra, mungkin kalimat yang dikeluarkan tadi sangat menyentuh hati sehi
Happy Reading*****Jenni diam, tetapi tatapannya berpindah-pindah antara Elang dan Harsa. Sepertinya, perempuan itu sedang mencari dukungan dari salah satu lelaki di hadapannya. "Apakah benar bukti yang kamu katakan itu adalah hasil tes DNA janinmu?" tanya Harsa mengulang pertanyaan Elang sebelumnya.Elang tersenyum. "Bagus jika kamu melakukannya. Jadi, nggak akan ada nama pria lain yang tercemar karena ulah pengacara itu," ucapnya. "Aku cuma belajar darimu, Lang," ucap Jenni. Tak ada lagi panggilan manja pada lelaki yang pernah berhubungan dekat dengannya. Elang mendengkus, lalu tertawa lirih. "Jadi, kamu sudah menduga jika hal-hal seperti ini akan terjadi?""Pastinya. Hubungan kami tidak terjalin dalam satu atau dua bulan dan kami sering melakukan hubungan intim. Yandra tidak pernah mau memakai pengaman saat kami melakukannya." Cukup lantang, Jenni membeberkan hubungan intimnya bersama Yandra tanpa ada rasa penyesalan sedikitpun. Perempuan itu bahkan seolah mengabaikan kehadira
Happy Reading*****"Mas Harsa?" kata Jenni terkejut. Tak menyangka Harsa masuk tanpa diketahui siapa pun.Elang tersenyum tipis. Jemarinya bergerak di dalam saku. Mematikan alat perekam yang dihidupkan tadi. Bukti itu sudah kuat. "Kenapa kamu merusak nama baik sahabat karibku?" bentak Harsa, tak terima ketika sang istri menyebut nama Yandra.Sebenarnya, sudah agak lama Harsa berdiri di depan pintu sambil menguping pembicaraan keduanya. Ingin juga mengetahui siapa ayah janin di rahim sang istri. Namun, pengakuan Jenni menjadi tamparan baginya. Harsa tak terima jika sahabat karibnya dijadikan kambing hitam oleh perempuan yang gemar berselingkuh itu. Jenni melirik Elang, berusaha mencari dukungan. Lelaki berkemeja hitam itupun menoleh ke arah Harsa. "Tenang, Sa. Nggak perlu kamu membela sahabat karibmu secara brutal. Kita ini cuma manusia biasa, tempat salah dan khilaf. Mungkin, Yandra saat ini sedang khilaf. Jadi, dia nggak peduli jika Jenni adalah istrimu sehingga menyebabkan masal
Happy Reading*****Ardha dan Thalia memukul keras lengan Elang. Lalu, ketiganya pun tertawa."Apa pun yang kamu lakukan, aku percaya semua akan berakhir baik," kata Thalia. "Pokoknya, Mas Awan nggak boleh membahayakan diri sendiri demi mendapat kebenaran dari Jenni," tambah Ardha. Masih ada sisa-sisa kekhawatiran pada perempuan yang telah melahirkan Zanitha itu. "Tenang saja, Dek. Nggak usah khawatir berlebihan sama Mas," sahut Elang. Mengusap lembut kepala perempuan yang sangat disayanginya itu. "Ya, sudah. Adek percaya sama rencana, Mas Awan." Ardha berusaha menenangkan hatinya bahwa Elang pasti bisa mengatasi semua permasalahan tersebut dan mendapat bukti kuat tentang Yandra dan Jenni. "Jadi, setelah kita mendapatkan bukti-bukti kuat itu, apa yang akan kita lakukan selanjutnya?" tanya Elang pada dua perempuan di depannya. "Menurutmu, Mas?" tanya Ardha membalik pertanyaan Elang. "Kamu ini sengaja ngetes kita apa gimana, sih, Lang?" sindir Thalia, "jelas-jelas kalau kita dapa
Happy Reading*****Seketika, Ardha menoleh pada si mas. Matanya membulat dan hampir saja dia tersedak karena mendengar pertanyaan Elang. "Mas, kenapa ngambil kesimpulan seperti itu?" tanya Ardha. "Mas cuma menyimpulkan apa yang sudah didengar dari rekaman ini." Elang menunjukkan benda berbentuk bulat lonjong di tangannya. "Coba saja dengarkan, kamu pasti akan mengambil kesimpulan sama seperti yang Mas katakan sekarang."Ardha mengambil benda mungil di tangan Elang, mulai menyetel alat perekam tersebut dan mendengarkan dengan saksama. Ardha tak henti-hentinya membekap mulutnya sendiri dengan tangan ketika suara bentakan yang bernada ancaman keluar dari bibir sang pengacara. Sesekali menatap Thalia dan Elang, bergantian. Ardha benar-benar tak percaya jika ternyata Yandra jauh lebih jahat dari perkiraannya. Setelah semua rekaman sudah didengarkan, wajah perempuan itu memucat. "Mas, bagaimana bisa Yandra mengkhianati sahabat karibnya sendiri?" ucap Ardha. "Sekarang, Adek pasti berke
Happy Reading***Ardha menatap Elang disertai gelengan kepala, tanda jika lelaki itu tidak boleh meneruskan perkataan kasarnya tadi. "Li, katakan dengan jelas. Ada apa sebenarnya? Kamu nggak perlu sampai takut seperti ini." Ardha menggeser posisi duduknya lebih dekat pada sang sahabat. Penepuk-nepuk punggung Thalia lembut, menenangkan. "Ar, kamu nggak akan pernah percaya jika aku mengatakan semuanya," ucap Thalia. Detik berikutnya, dia menatap si bos. "Lang, aku nggak mau lagi dekat-dekat sama Yandra. Dia lelaki yang cukup menakutkan," keluhnya.Kening Elang berkerut, kedua alisnya hampir menyatu mendengar perkataan sang asisten. "Lia, aku mengenalmu sudah bertahun-tahun dan baru kali ini, kamu ketakutan.""Lang, Yandra ...." Ucapan Thalia terhenti karena ada yang mengetuk pintu ruangan tersebut. "Masuk," pinta Ardha. Seorang lelaki masuk dengan membawa tas plastik berisi susunan kotak makan beserta beberapa gelas jus kemasan. "Pak, ini makanan yang dipesan Bu Ardha kita kurirny







