LOGINHappy Reading
*****
Harsa diam, dia juga tidak taahu mengapa hatinya begitu mudah luluh pada pembantu barunya itu. Setiap melihat sorot mata Ardha, lelaki berambut lurus dengan rahang tegas tersebut merasakan jantungnya berdebar keras.
"Sa, kamu sudah berusaha sejauh ini bahkan kamu mendapatkan semua harta ini dengan susah payah. Begitu mudahnya kamu memberikan harta itu pada orang lain yang kemungkinan besar punya niat buruk mendekatimu," nasihat sang pengacara dengan pemilik nama Yandra
"Aku juga tidak tahu mengapa, Yan. Yang jelas, aku melihat ketulusan di matanya saat membantuku menangani Jenni."
Yandra mendengkus. "Sadar, Sa. Dulu, kamu juga pernah mengatakan jika Jenni adalah orang paling tulus padamu, tapi kenyataannya. Dia tidak lebih baik dari baik dari Zika. Terkadang, aku merasa kamu salah menilai Zika."
"Apa maksudmu? Zika itu cuma memanfaatkan aku saja karena kemiskinan. Semua keluarganya keluarganya menjadikanku sapi perah. Bangsat!" umpat Harsa dengan mata merah dan melotot.
"Tidak perlu kamu ingat lagi, semua kejadian itu sudah berlalu. Sekarang kamulah pemilik perusahaan dan aset Catradananta. Jadi, berhati-hatilah dalam menilai perempuan. Jangan sampai kamu dipermainkan oleh kecantikan dan kepura-puraan yang sengaja ditampilkan," peringat sang pengacara.
"Terima kasih nasihatnya, Yan. Kali ini, aku tidak salah menilai pembantuku itu. Dia memang tulus membantuku," kata Harsa.
Yandra berdiri dan menepuk pundak sahabat sekaligus kliennya. Mereka berdua adalah orang miskin yang mencari peruntungan di kota. Sama-sama mengadu nasib demi perbaikan ekonomi keluarga. Sayangnya, Harsa tidak seberuntung Yandra yang bisa bertemu dengan perempuan baik dan mendukung semua kariernya.
"Aku akan mengubah surat wasiat itu, satu bulan kemudian. Aku mau kamu berpikir jernih."
"Yan, kelamaan kalau satu bulan. Jenni pasti sudah bertindak jauh dengan surat yang sudah aku bubuhkan cap jempol. Aku tidak bisa menemukan keberadaan kertas itu." Wajah Harsa menegang.
Bukannya dia tidak berusaha merebut surat itu, tetapi kertas tersebut tidak bisa ditemukan. Entah di mana Jenni menyembunyikan kertas yang sudah dibubuhi cap jempol tersebut. Harsa terlalu meremehkan istrinya itu.
Yandra terdiam, tetapi bola matanya bergerak dengan tatapan menerawang jauh. "Aku punya ide," ucapnya beberapa menit kemudian.
"Apa?"
"Kamu bisa meminta pembantumu untuk mendapatkan kertas itu. Sekalian, kamu bisa menguji ketulusannya. Apakah benar-benar berpihak padamu atau dia memang punya tujuan lain membantumu."
Harsa manggut-manggut. Ucapan sahabat dan pengacaranya itu, ada benarnya. "Baiklah, aku akan mencoba saran dan nasihatmu. Tapi, kamu harus tetap mengubah surat wasiatku itu. Kamu, kan, tahu jika aku sudah tidak memiliki siapa pun di dunia ini. Jadi, aku ingin harta itu juga bisa bermanfaat untuk orang lain."
"Kamu tenang saja. Aku pasti melaksanakan permintaanmu itu." Yandra, sekali lagi menepuk pundak sahabatnya. "Jalani hidupmu dengan baik. Jangan terlalu memikirkan hal-hal yang bisa membuat kesehatanmu memburuk. Ingat, racun yang ada di tubuhmu belum sepenuhnya hilang."
Kembali, Harsa mengangguk, membenarkan semua ucapan Yandra.
"Terima kasih untuk semua nasihatmu," ucap Harsa. Dia berdiri, menjulurkan tangannya untuk berjabat. Yandra menerima uluran tangan sahabatnya, lalu mereka berpelukan.
"Aku antar kamu keluar," kata sang pengacara.
"Boleh, sekalian aku kenalakan kamu sama Ardha."
Kening Yandra berkerut.
"Dia pembantu baru yang aku ceritakan tadi," jelas Harsa yang mengerti arti kerutan di kening sang pengacara.
"Oo." Yandra menarik garis bibirnya ke atas. "Ayo, aku penasaran juga. Dia perempuan seperti apa sebenarnya hingga membuatmu dengan mudah membelokkan keinginanmu." Keduanya pun tertawa.
"Ardha," panggil Harsa ketika pintu ruangan Yandra sudah terbuka. Perempuan dengan rambut lurus melebihi bahu tersebut menoleh pada majikannya.
"Ada yang bisa saya bantu, Pak?" tanya Ardha ketika posisinya sudah dekat dengan Harsa dan Yandra.
"Kenalkan, ini pengacaraku, Yandra," ucap Harsa.
Yandra mengulurkan tangan kananya ke arah Ardha, tetapi perempuan berkulit putih itu malah diam dan termenung. Tidak segera merespon uluran tangan sang pengacara padanya.
"Sa, dia kenapa?" bisik Yandra pada sahabatnya. Harsa cuma menggelengkan kepalanya.
"Ardha, kamu kenapa?" tanya Harsa disertai sentuhan pada lengan sang pembantu.
"Maaf, Pak," ucap Ardha. Kesadarannya kembali dan segera menerima uluran tangan Yandra. Keduanya pun berjabat erat.
Kali ini, Yandra yang terdiam. Matanya menyorot tajam ke arah perempuan yang baru dikenalkan Harsa. Sang pengacara merasa familiar dengan tatapan perempuan itu, tetapi tidak mengingat di mana mereka pernah bertemu.
"Maaf, Pak," cicit Ardha ketika sang pengacara belum melepaskan jabat tangan mereka.
"Eh," sahut Yandra. Dia segera melepas tangannya. "Tolong jaga dan bantu Harsa."
Ardha mengerutkan kening. "Kenapa saya harus menjaga Bapak? Bukankah sudah ada Bu Jenni yang akan selalu menjaga beliau?"
"See, kamu lihat dan dengar itu, Yan?" kata Harsa seolah dia ingin menunjukkan bahwa apa yang disampaikannya tadi tentang Ardha tidak salah.
"Jangan terburu-buru mengambil kesimpulan." Yandra menepuk pundak sahabatnya. "Kita pantau dalam satu bulan ini."
"Bapak dan Pak pengacara ngomongin saya?" Ardha berlagak seperti orang bodoh.
Kedua pria matang itu tertawa membuat Ardha semakin salah tingkah.
"Sudahlah, ayo pulang sebelum Jenni pulang juga." Harsa menoleh ke arah sahabatnya dan menggandeng tangan sang pembantu meninggalkan kantor sang pengacara.
Dalam perjalanan ke rumah, Harsa menghentikan kendaraannya di sebuah restoran yang terbilang mewah di kota tersebut. Restoan itu adalah tempat favoritnya makan bersama orang yang dulu sangat dicintainya.
"Pak, kenapa berhenti di sini?" tanya Ardha.
"Saya lapar. Jadi, kita makan di sini saja."
"Pulang saja, Pak. Saya bisa membuatkan masakan yang jauh lebih lezat di rumah." Wajah sang pembantu tiba-tiba berubah pucat.
"Tidak perlu. Kamu pasti capek jika sampai rumah harus memasak untukku," kata Harsa. Entah mengapa tangannya malah bergerak mengelus puncak kepala sang pembantu. Reflek Ardha berusaha menghindar.
"Pak," panggil Ardha yang hatinya tengah berperang saat ini.
"Kenapa?" Tatapan Harsa begitu tajam.
"Jangan seperti ini." Ardha meraih pergelangan sang majikan dan menjauhkan dari tubuhnya.
"Bukankah kamu sudah berusaha cukup keras untuk merayuku? Kenapa sekarang sok jual mahal?"
"Maafkan perbuatan saya sebelumnya. Saya memiliki pemikiran lain terhadap Bapak, padahal hal itu nggak seharusnya ada."
Harsa mengerutkan keningnya. "Apa mungkin dia mendengar percakapanku dengan Yandra? Kenapa sikapnya berubah drastis? Tapi, bukankah tadi jarak duduknya sangat jauh dari ruangan Yandra," katanya dalam hati.
"Kenapa? Apa kamu sudah tidak tertarik padaku lagi?"
"Bukan ... bukan begitu. Pak Harsa selalu membuat saya tertarik. Ketampanan dan kemapanan Bapak, cewek manapun pasti tertarik."
"Jadi, kenapa kamu menghindariku?"
"Saya takut," cicit Ardha.
"Takut kenapa?"
"Saya takut akan jatuh cinta beneran pada Bapak padahal jelas-jelas tujuan saya merayu Bapak cuma untuk kemewahan semata."
Saat itu juga, Harsa menarik wajah sang pembantu. Sedikit tergesa, Harsa meraup bibir Ardha, ganas. Keduanya pun saling memagut hingga terdengar ketukan di kaca mobil.
"Permisi," ucap seseorang.
Happy Reading*****Melirik arlojinya, Thalia bangkit dari singgasananya. Sudah saatnya dia bertemu dengan istri sah Yandra. Sebelum benar-benar keluar dari kantor, perempuan itu menyempatkan diri ke ruangan Elang. "Aku ijin keluar dulu," ucap Thalia. Mendengar suara sang asisten yang masuk tanpa mengetuk pintu di ruangannya, si bos mendongak. "Mau ke mana? Baru juga masuk kantor." Mata si bos menyipit. "Nggak sedang janjian ketemu sama pengacara sontoloyo itu, kan?""Nggak, sembarangan aja kalau ngomong." Thalia merogoh tas, mengeluarkan benda pipih pintar miliknya. "Lihat ini. Aku ada janji sama dia."Membenarkan letak kacamatanya, Elang membulatkan mata. "Kamu nggak takut ketemuan sama dia?" "Ngapain takut. Aku nggak ngerebut suaminya, ya," kata Thalia enteng. "Tapi, kamu sudah jadi kekasih gelapnya Yandra selama lebih dua tahun. Sudah bisa dikatakan sebagai pelakor." Elang tertawa keras setelah mengatakannya. "Enak aja ngatain aku pelakor." Melempar kertas ke hadapan si bos,
Happy Reading***"Yan, lepas," pinta Thalia terbata, tetapi sang pengacara malah mengetatkan tangannya. Sang asisten hampir kehabisan napas. Air matanya sudah mengajak sungai, isakan pun mulai terdengar. Yandra menatap sang kekasih, raut wajahnya berubah sedih dan perlahan tangannya mengendur."Maafkan aku, Honey. Aku nggak bermaksud menyakitimu." Kedua tangan sang pengacara menangkup pipi Thalia. Bergerak perlahan mengusap air mata yang berjatuhan. Lalu, lelaki itu menyatukan kening mereka. Ada banyak kesedihan di mata sang pengacara melihat kekasihnya kesakitan."Kamu gila, Yan. Kenapa ada pengacara yang memiliki sifat sepertimu," bentak Thalia sambil berusaha melepaskan diri. "Honey, jangan katakan itu. Aku cuma terlalu mencintaimu, aku sangat takut kamu pergi. Meninggalkan aku dengan sejuta harapan dan rencana masa depan kita," ucap sang pengacara begitu memilukan.Andai Thalia benar-benar jatuh cinta pada Yandra, mungkin kalimat yang dikeluarkan tadi sangat menyentuh hati sehi
Happy Reading*****Jenni diam, tetapi tatapannya berpindah-pindah antara Elang dan Harsa. Sepertinya, perempuan itu sedang mencari dukungan dari salah satu lelaki di hadapannya. "Apakah benar bukti yang kamu katakan itu adalah hasil tes DNA janinmu?" tanya Harsa mengulang pertanyaan Elang sebelumnya.Elang tersenyum. "Bagus jika kamu melakukannya. Jadi, nggak akan ada nama pria lain yang tercemar karena ulah pengacara itu," ucapnya. "Aku cuma belajar darimu, Lang," ucap Jenni. Tak ada lagi panggilan manja pada lelaki yang pernah berhubungan dekat dengannya. Elang mendengkus, lalu tertawa lirih. "Jadi, kamu sudah menduga jika hal-hal seperti ini akan terjadi?""Pastinya. Hubungan kami tidak terjalin dalam satu atau dua bulan dan kami sering melakukan hubungan intim. Yandra tidak pernah mau memakai pengaman saat kami melakukannya." Cukup lantang, Jenni membeberkan hubungan intimnya bersama Yandra tanpa ada rasa penyesalan sedikitpun. Perempuan itu bahkan seolah mengabaikan kehadira
Happy Reading*****"Mas Harsa?" kata Jenni terkejut. Tak menyangka Harsa masuk tanpa diketahui siapa pun.Elang tersenyum tipis. Jemarinya bergerak di dalam saku. Mematikan alat perekam yang dihidupkan tadi. Bukti itu sudah kuat. "Kenapa kamu merusak nama baik sahabat karibku?" bentak Harsa, tak terima ketika sang istri menyebut nama Yandra.Sebenarnya, sudah agak lama Harsa berdiri di depan pintu sambil menguping pembicaraan keduanya. Ingin juga mengetahui siapa ayah janin di rahim sang istri. Namun, pengakuan Jenni menjadi tamparan baginya. Harsa tak terima jika sahabat karibnya dijadikan kambing hitam oleh perempuan yang gemar berselingkuh itu. Jenni melirik Elang, berusaha mencari dukungan. Lelaki berkemeja hitam itupun menoleh ke arah Harsa. "Tenang, Sa. Nggak perlu kamu membela sahabat karibmu secara brutal. Kita ini cuma manusia biasa, tempat salah dan khilaf. Mungkin, Yandra saat ini sedang khilaf. Jadi, dia nggak peduli jika Jenni adalah istrimu sehingga menyebabkan masal
Happy Reading*****Ardha dan Thalia memukul keras lengan Elang. Lalu, ketiganya pun tertawa."Apa pun yang kamu lakukan, aku percaya semua akan berakhir baik," kata Thalia. "Pokoknya, Mas Awan nggak boleh membahayakan diri sendiri demi mendapat kebenaran dari Jenni," tambah Ardha. Masih ada sisa-sisa kekhawatiran pada perempuan yang telah melahirkan Zanitha itu. "Tenang saja, Dek. Nggak usah khawatir berlebihan sama Mas," sahut Elang. Mengusap lembut kepala perempuan yang sangat disayanginya itu. "Ya, sudah. Adek percaya sama rencana, Mas Awan." Ardha berusaha menenangkan hatinya bahwa Elang pasti bisa mengatasi semua permasalahan tersebut dan mendapat bukti kuat tentang Yandra dan Jenni. "Jadi, setelah kita mendapatkan bukti-bukti kuat itu, apa yang akan kita lakukan selanjutnya?" tanya Elang pada dua perempuan di depannya. "Menurutmu, Mas?" tanya Ardha membalik pertanyaan Elang. "Kamu ini sengaja ngetes kita apa gimana, sih, Lang?" sindir Thalia, "jelas-jelas kalau kita dapa
Happy Reading*****Seketika, Ardha menoleh pada si mas. Matanya membulat dan hampir saja dia tersedak karena mendengar pertanyaan Elang. "Mas, kenapa ngambil kesimpulan seperti itu?" tanya Ardha. "Mas cuma menyimpulkan apa yang sudah didengar dari rekaman ini." Elang menunjukkan benda berbentuk bulat lonjong di tangannya. "Coba saja dengarkan, kamu pasti akan mengambil kesimpulan sama seperti yang Mas katakan sekarang."Ardha mengambil benda mungil di tangan Elang, mulai menyetel alat perekam tersebut dan mendengarkan dengan saksama. Ardha tak henti-hentinya membekap mulutnya sendiri dengan tangan ketika suara bentakan yang bernada ancaman keluar dari bibir sang pengacara. Sesekali menatap Thalia dan Elang, bergantian. Ardha benar-benar tak percaya jika ternyata Yandra jauh lebih jahat dari perkiraannya. Setelah semua rekaman sudah didengarkan, wajah perempuan itu memucat. "Mas, bagaimana bisa Yandra mengkhianati sahabat karibnya sendiri?" ucap Ardha. "Sekarang, Adek pasti berke







