LOGINHappy Reading
*****
Ardha memukul-mukul dada sang majikan karena panggilan serta ketukan di kaca mobil semakin nyaring terdengar. Harsa pun terpaksa melepaskan pagutannya, lalu membuka setengah kaca mobil.
"Ada apa, Pak?" tanya sang direktur sekaligus owner perusahaan Catradanta.
"Sebaiknya, Bapak segera keluar. Jangan sampai berbuat mesum di sini," peringat sang penjaga parkiran.
Harsa menampilkan deretan giginya. Dia baru menyadari jika kaca mobil yang dia pakai sangat terang, jadi apa yang dilakukannya tadi dengan Ardha bisa terlihat dari luar. "Maaf, Pak. Saya tidak akan melakukannya lagi."
"Nggak papa, Pak. Pria memang suka khilaf kalau di dekat perempuan cantik," ucap si tukang parkir. Harsa pun membalasnya dengan tawa lirih tak lupa menyelipkan uang kertas senilai lima puluh ribu padanya. "Terima kasih, Pak. Maaf tentang yang tadi, saya cuma menjalankan tugas."
"Santai, Pak," jawab Harsa, "Ayo, Sayang, turun," ajaknya pada sang pembantu yang membuat perempuan di sebelahnya membulatkan sempurna.
Sebelum meninggalkan Harsa dan Ardha si tukang parkir tertawa keras.
Tanpa sungkan Harsa menggandeng tangan sang pembantu masuk ke restoran.
"Pak, jangan seperti ini nggak baik. Kalau sampai Bu Jenni tahu dan melihat kita seperti ini, beliau pasti marah," cicit Ardha. Wajahnya selalu waspada melihat sekeliling, sangat takut jika tiba-tiba bertemu dengan majikan perempuannya.
"Dia nggak akan ada di tempat ini. Jenni sibuk dengan urusan pekerjaannya. Jika sudah di butik, dia tidak akan mengingat aku sebagai suaminya. Lagian, bukankah kamu sudah ditugaskan untuk merayuku. Jadi, jika dia mendapati kita bermesraan, pasti tambah senang," jelas Harsa.
Ardha tak membalas penjelasan sang majikan. Dia menatap lurus ke restoran yang terbilang mewah tersebut. Langkah kakinya semakin pelan ketika mendekati pintu masuk. Tubuhnya menegang seketika dan hal itu dirasakan oleh lelaki yang menggenggam tangannya.
"Kamu kenapa?"
"Pak, kenapa ngajak saya masuk ke restoran mewah ini. Kita pulang saja, yuk. Saya masakin makanan untuk Bapak," cicit sang pembantu dengan wajah tegangnya.
Menoleh dengan aneh ke arah pembantunya, Harsa pun bertanya, "Sebenarnya, kenapa kamu sampai ketakukan seperti ini? Apa kamu pernah datang ke tempat ini sebelumnya?"
Ardha dengan cepat menggelengkan kepalanya. "Bukan gitu, Pak?"
"Lalu?"
"Saya nggak terbiasa masuk ke tempat dan makan di restoran mewah sebelumnya." Ardha memajukan bibirnya. Sangat menggemaskan dan lucu di mata sang majikan.
"Kamu ini ada-ada saja. Kan, ada aku. Jadi, mulai sekarang kamu harus terbiasa berada di tempat seperti ini. Oke?"
Walau berat, tetapi Ardha tetap menganggukkan kepala.
Harsa pun cuma bisa geleng-geleng kepala apalagi ketika mengingat cerita Jenni tentang latar belakang sang pembantu. Ardha selama ini hidup di pedesaan yang sangat jauh dari kata modern. Namun, melihat tampilan perempuan itu saat ini dan cara menggoda sang majikan tidak menunjukkan dia berasal dari pedesaan. Namun, saat berada di luar dan tempat mewah, barulah hal tersebut terlihat.
Semakin masuk, semakin Ardha mengeratkan genggamannya ke tangan Harsa. Sungguh, dia benar-benar gugup dengan semua kemewahan yang ada di restoran tersebut.
"Jangan takut," bisik Harsa. Lelaki itu sudah memilih ruangan private di restoran tersebut supaya Ardha tidak terlalu takut dan khawatir.
Ketika keduanya sudah berada di private room, salah seorang pelayan menghampiri dan menyapa Harsa.
"Apakah hidanganya sudah bisa dikeluarkan, Pak?" tanya sang pelayan pada lelaki berkulit putih dan berkacamata tersebut.
"Iya, keluarkan saja semua makanan yang sudah saya pesan tadi."
"Lho, Bapak sudah memesan makanan?" sela si pembantu yang tidak tahu kapan majikannya memesan hidangan untuk mereka.
"Sudah, sejak perjalanan tadi, aku sudah pesan," jawab Harsa dengoan bangga dan tersenyum.
Sang pelayan menoleh ke arah Ardha, netra keduanya bertemu. Lalu, dengan cepat si pembantu memalingkan muka agar tatapannya tidak bertemu dengan si pelayan. Namun sayang, pelayan tersebut terlanjur melihat sorot mata aneh milik Ardha.
"Maaf, Bu. Apakah sebelumnya kita pernah bertemu?" tanya si pelayan penuh selidik.
"Nggak, kita nggak pernah ketemu sebelumnya. Saya baru pertama kali datang ke tempat ini," sahut Ardha dengan cepat di sertai gelengan kepala cukup keras.
"Memangnya kenapa, Mbak?" Harsa pun mulai penasaran dengan pertanyaan sang pelayan mengenai pembantu barunya.
"Anu, Pak," jawab pelayan tersebut ragu untuk menyampaikan alasan pertanyaannya tadi.
"Anu, apa?" Harsa mulai tidak sabar hingga suaranya naik satu oktaf.
"Kalau saya katakan alasan pertanyaan tadi, Bapak jangan marah, ya?"
"Katakan dengan cepat, jika tidak, maka saya pasti tambah marah," bentak Harsa membuat Ardha dan sang pelayan terkejut.
"Tatapan beliau sangat mirip dengan istri pertama Bapak," ucap sang pelayan membuat Harsa mendelik.
Happy Reading*****Semua orang menoleh ke sumber suara. Melati bahkan tak percaya jika di hadapannya kini adalah sosok lelaki yang tadi terbaring lemah tak berdaya. Perempuan paruh baya itu terpaksa maju untuk menghalau Darma, mendekati Ardha. "Kembali ke ranjangmu, dia bukan istrimu," ucap Melati tegas. Tatapannya sangat tajam, sikap seorang ibu yang melindungi anak-anaknya dari ancaman serta bahaya. "Ma, dia istriku. Kenapa aku nggak boleh dekat-dekat dengan dia? Apa aku akan tetap diam jika ada lelaki yang akan merebutnya?" Suara Darma melemah bahkan wajahnya menunjukkan sejuta penyesalan. Matanya sayu, menatap Ardha yang diam dengan tangan berpegangan pada Elang. "Ingat yang Mama katakan tadi. Dia bukan Ardha istrimu. Ardha sudah meninggal sejak kamu mengatakan akan menikahi perempuan nggak bener itu. Kamu yang sudah membu ....""Ma," cegah Ardha disertai gelengan kepala. Melati menarik napas panjang, teringat nasihat sang dokter. Elang melepas pegangan tangannya, berbaik da
Happy Reading*****Melati diam, cuma bisa menatap tiga anak muda di samping dan di depannya. Menceritakan kematian Ardha sama dengan menyayat luka yang hampir mengering. Walau Ardha bukan putri kandungnya, tetapi kehadiran perempuan itu bagai obat yang menyembuhkan segala luka di tubuh Melati. "Ma, jelaskan padaku. Apa yang terjadi dengan Ardha, mengapa dia meninggal dan kenapa menyebut nama lelaki itu sebagai penyebabnya? Bukankah Darma adalah suaminya jika Mama menyebutnya menantu?" tanya Ardha tak sabaran."Dia memang suaminya. Tapi, Darma adalah orang yang paling menyakiti Ardha." Ketika mengatakan hal tersebut, air mata Melati turun. Mungkin teringat akan kesakitan yang dialami perempuan itu. "Jadi, beneran lelaki itu yang membunuh putrinya Ibu?" tanya Yandra antusias. Jiwa sang pengacara bangkit. "Kenapa nggak lapor polisi jika memang seperti itu?""Benar kata Yandra. Kenapa Tante nggak lapor polisi saja?""Percuma lapor polisi, saat itu keluarga Darma masih sangat berkuasa
Happy Reading*****Yandra dan Elang yang duduk di bangku tak jauh dari ruang UGD, masuk dan melihat keadaan lelaki yang mereka bawa tadi. Suara Melati serta Ardha membuat kedua lelaki tersebut panik. "Dek, ada apa?" tanya Elang."Ar, kamu nggak papa, kan?" tambah Yandra. Kedua lelaki itu berdiri di sisi kanan dan kiri perempuan wajahnya memucat. Sementara itu, Melati berjalan ke arah dokter supaya untuk mengetahui keadaan lelaki yang tdi muntah darah ketika berbincang dengannya. "Aku nggak papa, tapi lelaki tadi muntah darah setelah ngobrol sama Mama. Apalagi pas baca kertas yang diberikan Mama. Dia makin terlihat kesakitan," jelas Ardha. "Adek duduk saja di luar, biar Mas yang tanya Tante Mel. Kenapa sampai lelaki yang baru sadar itu muntah darah." ELang merangkul sang kesayangan keluar UGD diikuti Yandra di belakang keduanya yang mengepalkan tangan dengan kuat, menahan amarah. Walau jelas-jelas cintanya ditolak olah Ardha berkali-kali, tetapi rasa Yandra masih tetap kukuh dan
Happy Reading*****Melati menoleh ke sumber suara yang sangat dia kenal. Bola matanya melebar, wajah terkejutnya tidak bisa disembunyikan lagi. Benar-benar tidak menyangka jika Ardha sudah berdiri di belakangnya. "Kebenaran apa, sih, Ar?" kata Melati. Berusaha setenang mungkin supaya anak angkatnya tidak menaruh curiga berlebihan. "Ma, jangan bohong lagi. Mama pasti mengenal siapa lelaki yang tergeletak tadi," kata Ardha mengungkapkan apa yang ada di pikirannya. "Ma, orang itu terus saja manggil-manggil namaku. Jadi, nggak mungkin cuma wajah saja yang melekat pada diriku, nama pemberian Mama dan Ayah pasti juga terkait dengan lelaki itu."Melati menurunkan ponselnya yang menempel di daun telinga setelah mendengar perkataan serta arahan orang di seberang sana. "Mama akan jelaskan, tapi Mama harus tahu siapa lelaki yang tergeletak tadi. Mama nggak mau salah orang, Ar." Melati memegang pundak putri angkatnya. "Oke, kita ke rumah sakit sekarang. Biar Thalia yang menemani Za di sini,"
Happy Reading*****Ardha menatap Melati tajam, menuntut perempuan paruh baya itu untuk menjawab pertanyaannya tadi. Walau sang mama angkat belum mau membuka suara, tetapi gestur tubuhnya sudah menunjukkan jika Melati menyimpan banyak rahasia dalam dirinya. "Ma," panggil Ardha, "Kalau Mama nggak mau cerita, aku telpon Kakak atau Ayah supaya menjelaskan semua. Aku nggak mau dituduh macam-macam nantinya, Ma.""Jangan," cegah Melati. "Kenapa?" tanya Ardha dan Thala bersamaan. "Nenek sama Mami lagi ngobrol apa, sih? Kok, Za nggak ngerti." Si Kecil menggaruk kepala, bingung. "Kita main di luar, yuk. Tante mau ajak Za jalan-jalan di dekat danau buatan depan sana. Pemandangannya bagus banget. Mau, ya?" ajak Thalia. Sengaja memberi kesempatan pada sang sahabat dan orang tua angkatnya untuk membahas masalah mereka. "Ayok, Tan. Za juga pengen jalan-jalan, boleh ajak Papi juga, ngak?" Zanitha sudah menggandeng tangan sahabat maminya ke arah luar. "Papi lagi ada urusan yang sangat mendesak.
Happy reading*****Ardha menatap foto yang dipegang lelaki yang tengah terbaring bersimbah darah di tanah. Lalu, mengambil foto tersebut di tangannya. Foto perempuan itu memang sangat mirip dengan dirinya sekarang. Namun, dia tidak mengenal siapa lelaki tersebut. Mengapa sampai lelaki itu bersimbah darah seperti sekarang, Ardha sama sekal tidak mengetahuinya. "Bu, saya nggak kenal siapa beliau. Tapi, kenapa beliau memegang foto saya? Ibu nggak menuduh saya yang menganiaya beliau, kan?" kata Ardha gugup. Pasalnya, dia benar-benar tidak tau siapa lelaki yang tergeletak tersebut. Si ibu mengangkat kedua tangan, lalu menggoyangkannya serta menggelengkan kepala. "Saya nggak pernah berpikir demikian, Mbak. Cuma agak kaget saja. Foto yang dipegang orang ini sangat mirip sama mbaknya. Saya juga nggak begitu kenal sama beliau. Cuma, kemarin beliau ini datang bersama salah satu teman anak tertua saya. Pagi ini, saya melihat dia sudah tergeletak dengan darah berceceran," jelasnya. "Dek, ad







