Home / Romansa / Menggodamu Hingga Takluk Padaku / 2. Tatapan Kelabu Yang Sama

Share

2. Tatapan Kelabu Yang Sama

Author: Black Aurora
last update Last Updated: 2025-08-04 13:45:15

“Rivera,” sapa Dylan dingin. Suaranya dalam dan datar, seperti dulu.

Sama sekali tidak menyiratkan kerinduan, bahkan juga bukan kemarahan. Hanya diselimuti oleh hampanya kekosongan.

Calla menggigit bibir bawahnya. Ia tahu Dylan sengaja menyapanya dengan "Rivera", nama keluarga dari almarhum ayah kandung Calla, atau suami pertama Marissa.

Itu adalah cara Dylan menolak mengakui mereka sebagai bagian dari keluarganya.

Marissa dan Calla, akan selalu dianggap orang luar yang datang mengusik tatanan keluarga Asher.

Hujan belum juga reda.

Rinainya menyapu dedaunan di atas kepala, menciptakan irama sendu yang mengiringi duka di pemakaman keluarga Asher.

Calla baru saja memalingkan wajah dari ibunya saat suara langkah berat terdengar mendekat.

Langkah itu tak tergesa, namun setiap derapnya seperti membawa tekanan tak kasat mata, membuat udara di sekitar mereka terasa lebih berat.

Dan di sanalah dia. Dylan Asher.

Pria itu berdiri di hadapan mereka dengan jas hitam yang terpotong sempurna di tubuh jangkungnya.

Dasi hitam, sepatu mengilap, serta tatapan kelabu yang dingin nyaris tak berubah sejak terakhir kali Calla melihatnya lima tahun lalu. Bahkan sekarang rasanya semakin menusuk.

Tatapan itu langsung menancap pada Calla, membuat jantungnya berdetak sedikit terlalu cepat.

“Seharusnya sekarang kamu memberikan pidato perpisahan, Marissa,” lanjut Dylan, matanya pun kemudian beralih menatap wanita berambut pirang yang berdiri di samping Calla.

“Sebelum jasad ayahku dikuburkan.”

Marissa sempat tertegun. Biasanya Dylan akan menyuruh salah satu pelayan menyampaikan pesan semacam ini.

Ia tahu betul, Dylan lebih suka mengabaikannya, bahkan menolak bertegur sapa.

Tapi kini pria itu datang sendiri, berdiri di hadapannya dan menyampaikan langsung permintaan itu.

Alis Marissa seketika terangkat pelan, dan matanya melirik putrinya sesaat.

Apakah ini karena kehadiran Calla?

Senyum kecil pun perlahan muncul di sudut bibir Marissa. Oh, betapa menariknya.

"Baiklah," ucap Marissa sambil menepuk lengan Calla lembut. "Ibu akan ke sana dulu."

Namun sebelum berbalik, ia sempat memberi Calla isyarat yang sangat dikenalnya. Isyarat yang seperti berbisik, ‘Waktunya untuk mulai, Sayang.’

Calla diam saja. Napasnya tercekat, matanya menatap ibu yang kini mulai berjalan kembali ke area pemakaman utama, tempat peti jenazah Steven Asher terbaring dalam ketenangan terakhirnya.

Dan kini hanya tersisa keheningan sepeninggal Marissa.

Calla diam-diam melirik Dylan dengan canggung, berharap pria itu segera pergi.

Namun pria itu tak bergerak satu langkah pun. Tubuhnya yang kokoh dan tegap tetap berdiri di bawah bayangan pohon, dengan sebagian wajahnya yang tersamar kabut hujan yang tipis.

Lalu tatapan Dylan pun bergerak, jatuh pada lengan Calla yang memerah dan tergores bekas cengkraman ibunya tadi.

Sejenak seperti ada kilatan aneh di matanya, sebelum kemudian kembali dingin seperti biasa.

Calla buru-buru menarik lengannya dan menyembunyikannya di balik tubuh.

Dylan tak berkata apa pun. Tapi diamnya justru lebih mencekam daripada seribu kata.

Calla menunduk. Dalam hati, ia hanya ingin Dylan menghindar darinya seperti dulu.

Setiap kali jika tak sengaja mereka berpapasan, Dylan akan berbalik dan menghilang begitu saja.

Tapi sayangnya tidak untuk kali ini. Pria itu tetap berdiri di sana. Diam dan seperti mengawasinya.

Lima tahun lalu, tatapan Dylan yang dingin adalah hal paling menyakitkan yang pernah Calla alami.

Ia pernah berharap Dylan akan menerimanya sebagai adik, atau setidaknya seseorang yang bisa ia percaya.

Tapi tidak. Dylan tak pernah bersikap hangat.

Sejak awal, ia selalu menunjukkan bahwa Calla dan ibunya tak pernah diterima.

Dan yang lebih menyakitkan, Calla sempat menyimpan rasa pada pria itu. Cinta pertama yang tumbuh diam-diam di dalam hati yang tak diinginkan.

Namun kini semuanya telah berubah.

Kini ada Knox. Pria yang tulus mencintainya. Pria yang membuatnya merasa hidup dan dihargai.

Tetapi meskipun begitu…

Calla tetap tak bisa menyangkal pesona pria di hadapannya ini.

Dylan Asher, dengan mata kelabunya yang seperti bisa membaca isi hatimu.

Dengan rahang tegas dan sikap dingin yang entah mengapa… tetap saja memikat.

"Uhm…" Calla membersihkan tenggorokannya yang tiba-tiba terasa kering. “Aku turut berduka untuk ayahmu,” ucapnya pelan.

Dylan tidak langsung menjawab. Ia menatap Calla, seperti sedang menelusuri makna di balik ucapannya.

"Kenapa kamu datang ke sini?" tanyanya akhirnya. Nada suaranya seperti cambuk yang melukai telinga.

Calla mengerjap. Masih seperti dulu. Dylan tak pernah tahu caranya menyapa dengan hangat.

"Aku hanya ingin memberikan penghormatan terakhir untuk Tuan Steven Asher," jawab Calla dengan suara nyaris berbisik. “Aku akan segera pergi setelah acara ini selesai.”

Dylan menatapnya, lama. Seolah mempertimbangkan apakah jawaban itu jujur atau hanya alasan.

“Bagus,” ucap pria itu akhirnya. “Pergilah jika pemakamannya selesai.”

Setelah berkata demikian, Dylan pun melangkah pergi tanpa menoleh sedikit pun.

Langkahnya mantap, tak tergesa, seakan Calla bukan siapa-siapa. Dan memang begitulah Dylan selalu memperlakukannya.

Calla berdiri dengan kaku di tempatnya. Ia lalu menghembuskan napas panjang mencoba menenangkan diri.

Seharusnya ia merasa lega. Bukankah ia memang mengharapkan Dylan untuk menjauh? Tapi kenapa hatinya malah terasa berat?

Seolah bagian terdalam dari dirinya masih berharap, bahwa pria itu akan sedikit berubah.

Akan menanyakan kabarnya. Akan peduli. Akan menyapa tanpa nada yang dingin seperti salju abadi.

Tapi Calla pun sadar, jika harapan itu tak lebih dari ilusi masa lalu.

Calla lalu mengalihkan pandangannya ke arah pemakaman, tempat Marissa kini mulai memberikan pidato di hadapan para pelayat.

Kata-katanya terdengar manis, penuh kepalsuan yang begitu lihai dibungkus dalam isak tangis pura-pura.

Calla tahu, semua itu hanya sandiwara.

Dan yang lebih menyedihkan, dia sudah terlalu terbiasa melihatnya.

Dylan pun tahu. Dan mungkin itulah alasan mengapa ia selalu menyebut mereka "Rivera". Karena baginya, darah mereka tidak pernah menyatu.

Calla melirik ke arah Dylan yang kini berdiri di dekat peti sang ayah, menunduk singkat di tengah kerumunan.

Ia masih tak menyangka jika Dylan mau menyapanya hari ini, meskipun pada akhirnya hanya untuk menyuruhnya pergi.

Namun Calla terkesiap kaget, ketika Dylan tiba-tiba mengangkat kepala dan menatapnya tajam dari kejauhan.

Jantungnya pun seolah berhenti berdetak.

Tatapan Dylan seakan mampu menembus kerumunan pelayat dan kabut hujan yang menggantung di udara.

Lalu dengan gerakan yang hampir tak terlihat, pria itu mengangkat dagunya sedikit. Sebuah gestur kecil namun tegas, sebuah isyarat yang tak terbantahkan.

“Ke sini," ucap bibir pria itu tanpa suara, meskipun tatapannya penuh intimidasi itu terlalu jelas dan membuat Calla berada di dalam persimpangan sebuah dilema.

***

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Menggodamu Hingga Takluk Padaku    11. Tatapan Dari Jendela

    Calla mendesah panjang untuk kesekian kalinya di sore itu. Ia menyeret langkah menuju taman belakang Mansion, di mana sebuah ayunan kayu terlihat bergoyang pelan tertiup angin. Suasana senja ini sangat menenangkan dengan langit yang mulai berwarna jingga, tapi hatinya sama sekali tak bisa ikut tenang. Dengan malas ia menjatuhkan diri ke kursi ayunan, lalu mendorongnya pelan menggunakan ujung kaki. “Dasar pria menyebalkan…” gumannya seraya mengerucutkan bibir. “Bicaranya sok dingin, sok bijak, padahal jelas-jelas sebelumnya dia~~argh!” Calla pun menoyor kepalanya sendiri, membuat ayunan bergoyang sedikit lebih keras. Ingatan itu, tentang ciuman yang tadi terjadi di ruang kerja Dylan masih melekat dengan jelas. Bahkan seolah rasa bibir Dylan masih tersisa di bibirnya, membuat tubuhnya panas dingin. Sialan. Ia mendesah kesal, menggoyangkan ayunan lebih keras, sampai rambut merahnya yang mengikal lembut beterbangan diterpa angin. “Kenapa harus aku yang jadi kacau begini,

  • Menggodamu Hingga Takluk Padaku    10. Kenapa Kamu Peduli?

    "Nona mau kemana?" Calla menghela napas pelan dan membalikkan tubuhnya dengan wajah kesal. Maniknya yang biru mendelik gusar kepada pria berseragam hitam yang menatapnya datar, namun tetap sopan dan profesional. Calla baru saja mengambil kunci salah satu dari mobil mewah koleksi ibunya, namun gerakannya yang selalu diawasi membuatnya ketahuan. "Aku cuma mau jalan-jalan ke luar sebentar," sahut Calla akhirnya. Pria itu menggeleng. "Maaf, tapi Nyonya Marissa sudah mengatakan bahwa Nona tidak bisa keluar dari Mansion dengan alasan apa pun." "Yang benar saja," tukas Calla seraya mendesah tak percaya. Ibunya sudah benar-benar keterlaluan! Setelah menahan ponsel dan dompetnya, sekarang Calla pun juga menjadi tahanan rumah?! "Aku tidak akan pergi lama," tutur gadis itu lagi, memutuskan untuk tetap pergi. Namun belum sempat kakinya melangkah, tiba-tiba saja beberapa orang pria muncul menghadangnya. Calla mengenali mereka sebagai pengawal ibunya serta penjaga keamanan Mansi

  • Menggodamu Hingga Takluk Padaku    9. Dia Yang Menyelamatkanmu

    Calla keluar dari ruang kerja Dylan dengan langkah cepat, tapi wajahnya tak bisa menyembunyikan campuran murung dan rasa malu yang membuat pipinya terus merona. Ia menggigit bibirnya yang masih terasa bengkak karena pagutan Dylan, dan... masih ada rasa pria itu yang tertinggal di sana. Ya Tuhan… tadi itu bukanlah khayalan Calla. Mereka benar-benar berciuman! Calla bahkan tak berniat untuk sejauh itu. Tujuan awalnya cuma sederhana... menebar godaan, lalu ingin melihat apakah Dylan bisa termakan. Namun entah bagaimana, kini justru diri Calla yang seolah terperangkap. Dan sekarang rasa bersalah itu langsung menyeruak, saat bayangan Knox melintas di kepalanya. Astaga, apakah ini artinya ia baru saja berkhianat? "Calla?" Langkah gadis itu hampir menabrak seseorang yang mengenakan gaun sutra elegan berwarna hitam saat hendak berbelok di lorong. Seketika Calla pun berhenti, dan jantungnya langsung menciut saat menyadari bahwa sosok itu adalah ibunya. “Bagaimana?” tanya

  • Menggodamu Hingga Takluk Padaku    8. Ciuman Pertama

    “Berkas ini sudah Ibu tandatangani. Kamu yang antar ke Dylan.” Marissa menyodorkan sebuah map hitam kepada putrinya, tanpa memberi ruang untuk menolak. Saat itu hari telah sore, dan tiba-tiba saja Marissa memanggil Calla ke ruang kerjanya. Seketika Calla pun menatap ibunya curiga. “Kenapa harus aku? Ibu bisa mengantar sendiri, atau suruh saja belasan pelayan di Mansion ini.” “Karena Ibu sedang sibuk, dan karena kamu butuh alasan untuk berbicara dengannya.” Senyum kecil itu kembali muncul, senyum yang selalu membuat Calla merasa seperti pion di permainan papan catur milik ibunya. Helaan napas pelan menguar dari bibir Calla. “Berkas apa ini?” “Tidak penting bagimu, hanya kontrak properti. Yang penting dia menerimanya langsung dari tanganmu.” Calla berdecak pelan, lalu mengambil map itu. “Baiklah.” Sebelum ia pergi, Marissa menahan tangannya untuk menambahkan pesan dengan nada penuh arti. “Ingat, sayang… jangan terlalu mudah memberinya segalanya. Tapi beri cukup alasan u

  • Menggodamu Hingga Takluk Padaku    7. Taktik Untuk Menaklukkan Pria Dingin

    Pagi itu, sinar matahari menyusup malu-malu dari celah tirai kamar Calla, tapi sama sekali tak mampu mengusir kekesalannya yang menumpuk sejak semalam. Kepalanya masih terasa berat, sebagian karena kurang tidur, sebagian lagi karena bayangan Dylan yang terus mengusik pikirannya. Ia bangkit dengan rambut berantakan, berjalan ke arah meja rias, dan segera menyadari satu hal... Tas kecilnya tidak ada di sana. Dan bukan hanya tas, tapi juga ponsel serta dompetnya. “Ya Tuhan…” guman Calla, lalu ia buru-buru turun untuk mencari ke ruang tengah. Di ruang makan, Marissa duduk santai mengenakan robe sutra krem, menyendok potongan buah ke mulutnya sambil menyeruput teh. Aura tenangnya seperti menertawakan kegusaran Calla. “Ibu lihat tasku?” tanya Calla tanpa basa-basi. Marissa menoleh seraya tersenyum tipis. “Oh, tentu saja. Ibu sudah menyimpannya di tempat yang aman.” Calla menghela napas lega, tapi hanya untuk sesaat saja. “Bagus. Tolong kembalikan. Aku butuh ponselku.”

  • Menggodamu Hingga Takluk Padaku    6. Bukan Siapa-siapa

    "Aargh, bodoh sekali kau, Calla!" Gadis itu mengacak-acak rambut merahnya yang panjang, lalu membenamkan wajahnya di atas bantal sambil menggeram pelan. Benaknya pun memutar kembali pada apa yang terjadi di dapur barusan. "Aku pasti sudah gila. Ini semua gara-gara ide konyol ibu yang membuatku terpengaruh dan akhirnya benar-benar menggoda Dylan." Calla meringis dan menjambak rambutnya sebagai hukuman untuk diri sendiri. Sangat memalukan. Bukankah sudah jelas jika pria itu sama dinginnya seperti gunung es? Menggoda pria seperti itu sama saja dengan bunuh diri, terutama karena Dylan adalah kakak tirinya, sangat membencinya, dan berniat menyingkirkannya. Entah bagaimana ia harus menghadapi Dylan besok! Untung saja hanya satu hari lagi ia berada di Mansion keluarga Asher ini. Satu hari, lalu ia akan benar-benar pergi dan tak perlu melihat wajah dingin Dylan lagi. Calla pun menghela napas pelan, lalu memejamkan matanya. Mencoba untuk tidur, meskipun semua peristiwa yang

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status