LOGIN“Rivera,” sapa Dylan dingin. Suaranya dalam dan datar, seperti dulu.
Sama sekali tidak menyiratkan kerinduan, bahkan juga bukan kemarahan. Hanya diselimuti oleh hampanya kekosongan. Calla menggigit bibir bawahnya. Ia tahu Dylan sengaja menyapanya dengan "Rivera", nama keluarga dari almarhum ayah kandung Calla, atau suami pertama Marissa. Itu adalah cara Dylan menolak mengakui mereka sebagai bagian dari keluarganya. Marissa dan Calla, akan selalu dianggap orang luar yang datang mengusik tatanan keluarga Asher. Hujan belum juga reda. Rinainya menyapu dedaunan di atas kepala, menciptakan irama sendu yang mengiringi duka di pemakaman keluarga Asher. Calla baru saja memalingkan wajah dari ibunya saat suara langkah berat terdengar mendekat. Langkah itu tak tergesa, namun setiap derapnya seperti membawa tekanan tak kasat mata, membuat udara di sekitar mereka terasa lebih berat. Dan di sanalah dia. Dylan Asher. Pria itu berdiri di hadapan mereka dengan jas hitam yang terpotong sempurna di tubuh jangkungnya. Dasi hitam, sepatu mengilap, serta tatapan kelabu yang dingin nyaris tak berubah sejak terakhir kali Calla melihatnya lima tahun lalu. Bahkan sekarang rasanya semakin menusuk. Tatapan itu langsung menancap pada Calla, membuat jantungnya berdetak sedikit terlalu cepat. “Seharusnya sekarang kamu memberikan pidato perpisahan, Marissa,” lanjut Dylan, matanya pun kemudian beralih menatap wanita berambut pirang yang berdiri di samping Calla. “Sebelum jasad ayahku dikuburkan.” Marissa sempat tertegun. Biasanya Dylan akan menyuruh salah satu pelayan menyampaikan pesan semacam ini. Ia tahu betul, Dylan lebih suka mengabaikannya, bahkan menolak bertegur sapa. Tapi kini pria itu datang sendiri, berdiri di hadapannya dan menyampaikan langsung permintaan itu. Alis Marissa seketika terangkat pelan, dan matanya melirik putrinya sesaat. Apakah ini karena kehadiran Calla? Senyum kecil pun perlahan muncul di sudut bibir Marissa. Oh, betapa menariknya. "Baiklah," ucap Marissa sambil menepuk lengan Calla lembut. "Ibu akan ke sana dulu." Namun sebelum berbalik, ia sempat memberi Calla isyarat yang sangat dikenalnya. Isyarat yang seperti berbisik, ‘Waktunya untuk mulai, Sayang.’ Calla diam saja. Napasnya tercekat, matanya menatap ibu yang kini mulai berjalan kembali ke area pemakaman utama, tempat peti jenazah Steven Asher terbaring dalam ketenangan terakhirnya. Dan kini hanya tersisa keheningan sepeninggal Marissa. Calla diam-diam melirik Dylan dengan canggung, berharap pria itu segera pergi. Namun pria itu tak bergerak satu langkah pun. Tubuhnya yang kokoh dan tegap tetap berdiri di bawah bayangan pohon, dengan sebagian wajahnya yang tersamar kabut hujan yang tipis. Lalu tatapan Dylan pun bergerak, jatuh pada lengan Calla yang memerah dan tergores bekas cengkraman ibunya tadi. Sejenak seperti ada kilatan aneh di matanya, sebelum kemudian kembali dingin seperti biasa. Calla buru-buru menarik lengannya dan menyembunyikannya di balik tubuh. Dylan tak berkata apa pun. Tapi diamnya justru lebih mencekam daripada seribu kata. Calla menunduk. Dalam hati, ia hanya ingin Dylan menghindar darinya seperti dulu. Setiap kali jika tak sengaja mereka berpapasan, Dylan akan berbalik dan menghilang begitu saja. Tapi sayangnya tidak untuk kali ini. Pria itu tetap berdiri di sana. Diam dan seperti mengawasinya. Lima tahun lalu, tatapan Dylan yang dingin adalah hal paling menyakitkan yang pernah Calla alami. Ia pernah berharap Dylan akan menerimanya sebagai adik, atau setidaknya seseorang yang bisa ia percaya. Tapi tidak. Dylan tak pernah bersikap hangat. Sejak awal, ia selalu menunjukkan bahwa Calla dan ibunya tak pernah diterima. Dan yang lebih menyakitkan, Calla sempat menyimpan rasa pada pria itu. Cinta pertama yang tumbuh diam-diam di dalam hati yang tak diinginkan. Namun kini semuanya telah berubah. Kini ada Knox. Pria yang tulus mencintainya. Pria yang membuatnya merasa hidup dan dihargai. Tetapi meskipun begitu… Calla tetap tak bisa menyangkal pesona pria di hadapannya ini. Dylan Asher, dengan mata kelabunya yang seperti bisa membaca isi hatimu. Dengan rahang tegas dan sikap dingin yang entah mengapa… tetap saja memikat. "Uhm…" Calla membersihkan tenggorokannya yang tiba-tiba terasa kering. “Aku turut berduka untuk ayahmu,” ucapnya pelan. Dylan tidak langsung menjawab. Ia menatap Calla, seperti sedang menelusuri makna di balik ucapannya. "Kenapa kamu datang ke sini?" tanyanya akhirnya. Nada suaranya seperti cambuk yang melukai telinga. Calla mengerjap. Masih seperti dulu. Dylan tak pernah tahu caranya menyapa dengan hangat. "Aku hanya ingin memberikan penghormatan terakhir untuk Tuan Steven Asher," jawab Calla dengan suara nyaris berbisik. “Aku akan segera pergi setelah acara ini selesai.” Dylan menatapnya, lama. Seolah mempertimbangkan apakah jawaban itu jujur atau hanya alasan. “Bagus,” ucap pria itu akhirnya. “Pergilah jika pemakamannya selesai.” Setelah berkata demikian, Dylan pun melangkah pergi tanpa menoleh sedikit pun. Langkahnya mantap, tak tergesa, seakan Calla bukan siapa-siapa. Dan memang begitulah Dylan selalu memperlakukannya. Calla berdiri dengan kaku di tempatnya. Ia lalu menghembuskan napas panjang mencoba menenangkan diri. Seharusnya ia merasa lega. Bukankah ia memang mengharapkan Dylan untuk menjauh? Tapi kenapa hatinya malah terasa berat? Seolah bagian terdalam dari dirinya masih berharap, bahwa pria itu akan sedikit berubah. Akan menanyakan kabarnya. Akan peduli. Akan menyapa tanpa nada yang dingin seperti salju abadi. Tapi Calla pun sadar, jika harapan itu tak lebih dari ilusi masa lalu. Calla lalu mengalihkan pandangannya ke arah pemakaman, tempat Marissa kini mulai memberikan pidato di hadapan para pelayat. Kata-katanya terdengar manis, penuh kepalsuan yang begitu lihai dibungkus dalam isak tangis pura-pura. Calla tahu, semua itu hanya sandiwara. Dan yang lebih menyedihkan, dia sudah terlalu terbiasa melihatnya. Dylan pun tahu. Dan mungkin itulah alasan mengapa ia selalu menyebut mereka "Rivera". Karena baginya, darah mereka tidak pernah menyatu. Calla melirik ke arah Dylan yang kini berdiri di dekat peti sang ayah, menunduk singkat di tengah kerumunan. Ia masih tak menyangka jika Dylan mau menyapanya hari ini, meskipun pada akhirnya hanya untuk menyuruhnya pergi. Namun Calla terkesiap kaget, ketika Dylan tiba-tiba mengangkat kepala dan menatapnya tajam dari kejauhan. Jantungnya pun seolah berhenti berdetak. Tatapan Dylan seakan mampu menembus kerumunan pelayat dan kabut hujan yang menggantung di udara. Lalu dengan gerakan yang hampir tak terlihat, pria itu mengangkat dagunya sedikit. Sebuah gestur kecil namun tegas, sebuah isyarat yang tak terbantahkan. “Ke sini," ucap bibir pria itu tanpa suara, meskipun tatapannya penuh intimidasi itu terlalu jelas dan membuat Calla berada di dalam persimpangan sebuah dilema. ***“Terima kasih telah hadir pada malam bersejarah ini.” Suara Dylan mengalun kuat ke seluruh ballroom. “Hari ini Luxterra dengan bangga memperkenalkan Edenfall yang lebih dari sekadar hunian, melainkan masa depan. Sebuah karya yang menggabungkan teknologi, estetika dan keberlanjutan. Sebuah tempat di mana kehidupan manusia dapat berkembang tanpa batas." Tepuk tangan terdengar lagi. Dari bawah panggung, Calla menatap Dylan dengan dada yang penuh sesak oleh rasa bangga… meskipun rasa takut itu masih ada. “Dan sekarang,” ujar Dylan melanjutkan, “kita akan langsung memulai hitungan mundur untuk peluncuran visual Edenfall.” Seluruh ruangan pun ikut menggema mengikuti angka mundur di layar LED. “Ten!” “Nine!” Lampu panggung mulai berpendar. “Eight!” “Seven! Six!” Hologram menara Edenfall mulai berputar di udara. “Five!” Angin AC tiba-tiba terasa sangat dingin bagi Calla, seiring dengan ketakutan yang terasa semakin besar dan membuatnya menggigit bibirnya. “Four!”
Cahaya emas dari puluhan lampu kristal menghujani ballroom hotel bintang lima itu seperti tetesan sinar matahari yang jatuh ke bumi. Karpet merah terbentang dari pintu masuk hingga panggung utama, dan para tamu undangan yang terdiri dari selebriti dunia, para miliarder, politisi, pemilik galeri seni, serta ratusan investor kelas dunia mengisi ruangan dengan penampilan terbaik dalam busana mewah mereka. Puluhan kamera media besar dari berbagai negara mengarah ke satu titik, yaitu latar panggung berhiaskan hologram tiga menara futuristik dalam efek 3D hidup. Edenfall. Sebuah nama yang sejak diumumkan sebagai proyek rahasia Luxterra sudah membuat spekulasi bergulir di seluruh dunia. Seorang reporter dari Inggris berbisik pada rekannya, “Jika malam ini benar-benar sehebat rumor yang beredar, maka Dylan Asher akan menjadi ikon baru dunia real estate global.” Di sisi lain, influencer fashion dari Korea sibuk memotret detail ruangan yang dipenuhi bunga putih. Setiap orang di dalam
Malam merambat dengan perlahan di langit Southampton. Gedung Luxterra yang megah kini hanya diterangi lampu-lampu biru redup yang memantul di dinding kaca, membuatnya tampak seperti kapal besar yang mengapung di tengah samudra gelap. Sebagian besar karyawan sudah pulang. Hanya sedikit cahaya yang tersisa di lantai eksekutif. Dan tentu saja, di ruang kerja Dylan Asher. Calla mengetuk pintu dua kali, tapi tak ada jawaban. Ia tahu Dylan tidak suka diganggu ketika sedang bekerja, tapi hatinya resah sejak tadi. Ia masih memikirkan pembicaraan pagi tadi. Tentang Bianco Holdings, tentang Stella, dan tentang Dylan yang tampak terlalu tenang menghadapi ancaman sebesar itu. Calla lalu memutuskan untuk membuka pintu perlahan. Cahaya dari lampu meja menyinari wajah Dylan yang sedang menatap layar laptop dengan ekspresi nyaris tak terbaca. Setelan jas mahalnya sudah dilepas, kemejanya tergulung sampai siku, dan rambutnya pun sedikit berantakan. Hal yang jarang sekali terlihat dari
Kantor pusat Luxterra Group pagi itu tampak lebih sibuk dari biasanya, menandakan bahwa sesuatu yang besar sedang dipersiapkan. Bagi sebagian orang, ini hanya proyek. Tapi bagi Dylan Asher, ini adalah mahakarya. Pagi itu Calla berdiri di balik kaca besar di lantai eksekutif Luxterra. Dari sana ia bisa melihat kota terhampar luas di bawahnya. Cahaya matahari memantul di jendela pencakar langit, tapi wajah Dylan memantulkan sesuatu yang jauh lebih cemerlang daripada cahaya. Pria itu duduk di kursinya dengan setelan hitam pekat dengan dasi yang sudah ia lepaskan dan entah kini berada di mana. Tangan kirinya memutar bolpoin di antara jari-jari panjangnya. Ia tampak seperti sedang berpikir, atau mungkin sedang menghitung. Tidak ada yang tahu perbedaannya ketika menyangkut Dylan Asher. Calla meliriknya melalui pintu ruang pribadi CEO yang sedikit terbuka. Suara Dylan terdengar rendah dan berat, mengisi ruangan dengan ketegangan yang nyata. “Pastikan semua departemen desai
Dylan Asher berdiri tegak dan diam, mirip seperti patung Dewa tampan yang terbuat dari baja. Ia menatap maket raksasa project Edenfall yang berdiri di tengah ruangannya. Kubah transparan, menara berputar, taman vertikal, semuanya tampak sempurna. Proyek ini bukan sekadar investasi. Ini adalah warisan yang dibangun dengan impian. Lalu tiba-tiba suara langkah lembut dan ringan menghentikan pikirannya yang tak henti berputar. Calla muncul dari arah pintu sembari membawa dua cangkir kopi yang mengepulkan uap. “Kalau kamu terus menatap maket itu setiap hari, aku mulai khawatir kamu akan jatuh cinta pada benda itu,” ucapnya sambil mengangkat alis menggoda. Dylan menoleh ke arah Calla dengan melukiskan senyum samar. “Aku tidak semudah itu jatuh cinta, Sayang. Aku lebih menulisnya dengan darah, waktu, dan kamu, sebagai akhir ceritanya.” Nada suaranya berat dan penuh arti. Calla hanya berdecak kecil, lalu menyerahkan secangkir kopi itu ke tangannya. Ia lalu berdiri di samping Dy
Lampu kristal memantul di dinding kaca butik couture yang terletak di jantung Manhattan. Aroma parfum mahal bercampur dengan wangi kain dan suara lembut asisten butik yang sibuk menata gaun di rak. Di tengah ruangan itu, Stella Bianco berdiri di depan cermin raksasa dengan tubuhnya yang terbalut renda putih dari koleksi terbaru Maison Verdiere, sebuah gaun yang harganya setara dengan apartemen di Fifth Avenue. Setiap helai kain tampak berkilau seperti serpihan cahaya yang menempel di kulitnya, dan Stella menatap bayangannya sendiri dengan ekspresi puas. “Potong sedikit bagian pinggangnya,” titahnya kepada penjahit yang menunduk di sampingnya. “Aku ingin siluetnya lebih tajam. Lebih dominan.” “As you wish, Miss Bianco,” jawab si penjahit cepat, tangannya langsung bekerja menandai bagian yang disebutkan. Stella berputar dengan perlahan seraya mengagumi pantulan dirinya di cermin dari berbagai sudut. Gaun itu sempurna. Ia tidak hanya memilih pakaian untuk hari pernikahan,







