Share

Bab 9

Author: Eriana
Bukti nyata terpampang di depan mata.

Kedua kakakku tampak terpukul. Selama bertahun-tahun, mereka menghormati Bibi yang ternyata adalah pembunuh orang tua mereka. Mereka memanjakan Hilda seperti harta paling berharga yang ternyata dia adalah anak dari pembunuh itu.

Sementara aku, satu-satunya adik yang tulus mencintai mereka, justru menjadi sasaran penderitaan mereka selama ini.

Di saat itu, aku merasa puas, bahkan tertawa hingga meneteskan air mata. "Jadi, jadi selama ini kedua kakakku hanyalah orang bodoh yang dimanipulasi seperti mainan di tangan orang lain!"

Wajah kedua kakakku menjadi semakin muram. Kakak pertama berdiri kaku di tempatnya, matanya terpaku pada sosok Bibi di kejauhan.

Kakak kedua, dengan emosi yang meledak-ledak, langsung melompat dan mencengkeram kerah Bibi sambil berteriak marah, "Dasar wanita busuk! Kenapa? Kenapa kamu lakukan ini?!"

"Ayah dan Ibu selalu baik sama kamu dan Paman, juga selalu membantu kalian. Kenapa kamu membalas kebaikan dengan pengkhianatan?!"
Continue to read this book for free
Scan code to download App
Locked Chapter

Latest chapter

  • Menghadapi Kematian di Depan Mata   Bab 10

    Bibi kehilangan banyak darah dan meninggal sebelum sempat dibawa ke rumah sakit. Kakak pertama yang kini didakwa dengan tuduhan penganiayaan berat, langsung ditahan dan dikirim ke penjara.Kakak kedua berdiri di sana dengan wajah penuh rasa bersalah. Dia perlahan menoleh ke arahku, mencoba berbicara, "Winona, aku ...."Namun, sebelum dia bisa melanjutkan, Hilda langsung melangkah di depanku, memotong pembicaraan. Dengan air mata berlinang, dia melompat ke pelukan kakak kedua sambil gemetar ketakutan."Kak, maafkan aku, sungguh maafkan aku .... Tapi aku benar-benar nggak tahu apa-apa soal semua ini. Aku nggak bersalah, kamu harus percaya sama aku! Kak, aku takut sekali. Kamu nggak akan meninggalkanku, 'kan?"Kakak kedua terlihat bingung dan tidak bisa bergerak, seperti terikat oleh tangisan dan rengekan Hilda. Melihat wajahnya yang penuh dilema, aku hanya memutar mata dan pergi begitu saja.Kemudian, aku kembali ke kompleks untuk menunjukkan rumahku kepada calon pembeli. Pembeli tersebu

  • Menghadapi Kematian di Depan Mata   Bab 9

    Bukti nyata terpampang di depan mata.Kedua kakakku tampak terpukul. Selama bertahun-tahun, mereka menghormati Bibi yang ternyata adalah pembunuh orang tua mereka. Mereka memanjakan Hilda seperti harta paling berharga yang ternyata dia adalah anak dari pembunuh itu.Sementara aku, satu-satunya adik yang tulus mencintai mereka, justru menjadi sasaran penderitaan mereka selama ini.Di saat itu, aku merasa puas, bahkan tertawa hingga meneteskan air mata. "Jadi, jadi selama ini kedua kakakku hanyalah orang bodoh yang dimanipulasi seperti mainan di tangan orang lain!"Wajah kedua kakakku menjadi semakin muram. Kakak pertama berdiri kaku di tempatnya, matanya terpaku pada sosok Bibi di kejauhan.Kakak kedua, dengan emosi yang meledak-ledak, langsung melompat dan mencengkeram kerah Bibi sambil berteriak marah, "Dasar wanita busuk! Kenapa? Kenapa kamu lakukan ini?!""Ayah dan Ibu selalu baik sama kamu dan Paman, juga selalu membantu kalian. Kenapa kamu membalas kebaikan dengan pengkhianatan?!"

  • Menghadapi Kematian di Depan Mata   Bab 8

    Aku langsung mendorong kakak kedua menjauh dan kembali duduk di sofa dengan santai. Sepertinya dia tidak menyangka aku akan melawan. Dia terhuyung mundur dengan mata terbelalak dan terkejut di tempatnya.Melihat tidak ada yang benar-benar berani berbuat apa-apa padaku, Hilda mengedarkan pandangannya ke sekeliling ruangan sambil mengerutkan alis."Kakak, sejak kecil aku sudah menjadi yatim piatu. Kakak-kakak kita sibuk dan di malam-malam ketika aku nggak bisa tidur, cuma Bibi yang selalu menemaniku."Hilda tiba-tiba berlutut di hadapanku. Bahkan, dia sengaja bergeser sedikit agar tidak berlutut di atas pecahan piring."Kakak, kumohon, Bibi sangat penting bagiku. Dia sudah menganggapku seperti putrinya dan aku juga menganggapnya sebagai ibu yang harus kuhormati. Tolong, bicaralah dengan polisi dan bebaskan dia. Kalau ada hukuman yang harus diterima, aku bersedia menanggungnya!"Kain putih di lututnya perlahan menjadi merah karena darah, sangat mencolok."Cukup!" Kakak pertama tiba-tiba b

  • Menghadapi Kematian di Depan Mata   Bab 7

    Aku merasa muak dengan semua ini. Baik yang bagus maupun yang buruk, aku membersihkan seluruh isi rumah tanpa sisa.Sejak tahun kedua Hilda tinggal di rumah, uang sakuku sudah dihentikan. Selama bertahun-tahun, aku mengandalkan usahaku sendiri untuk bertahan hidup dan menghidupi diriku sendiri.Rumah ini kubeli beberapa tahun lalu, awalnya memang harus berhemat dan hidup seadanya. Namun sekarang, perusahaan yang kudirikan sudah berjalan stabil, dengan nilai pasar yang berlipat kali dari awal, bahkan jauh melampaui perusahaan milik kakakku.Meski begitu, aku tidak pernah melupakan masa-masa sulit dulu, itulah sebabnya aku tetap mempertahankan rumah ini. Namun alasan utamaku adalah karena aku masih sayang pada kedua kakakku, rumah ini dekat dengan kompleks vila mereka. Namun sekarang, semua itu tidak berarti lagi.Aku langsung memasang iklan penjualan rumah ini secara online dengan harga murah. Sebagai tanda terima kasih atas "perawatan" mereka selama bertahun-tahun, aku juga mengirimkan

  • Menghadapi Kematian di Depan Mata   Bab 6

    "Jangan bergerak!"Dalam sekejap, pintu utama didobrak, dan polisi muncul. Pemabuk itu segera dilumpuhkan, sementara aku terkulai lemas di lantai, seperti habis melewati ratusan pertempuran.Polisi membawa pemabuk dan bibiku pergi. Aku juga ikut ke kantor polisi untuk memberikan keterangan.Karena bibiku sangat tidak kooperatif, aku terus-menerus diinterogasi dan diminta mengingat dan menceritakan ulang pengalaman yang nyaris membunuhku. Aku hampir menghabiskan semalaman di kantor polisi. Ketika akhirnya keluar, langit sudah mulai terang.Selama itu, kedua kakak yang tahu apa yang terjadi padaku, tidak datang menjengukku sekali pun dan bahkan tidak menanyakan kabar. Saat aku membuka ponsel, hanya ada satu pesan singkat dan dingin.[ Perayaan untuk Hilda nggak bisa ditinggalkan. Aku sudah panggil orang untuk membantu. Jaga dirimu. ]Pesan itu menusuk hatiku berkali-kali.Saat aku kembali ke kompleks dengan keadaan lusuh, aku menemukan kedua kakakku sudah berada di sana. Hilda duduk deng

  • Menghadapi Kematian di Depan Mata   Bab 5

    Bibiku masih mencoba berdalih. Dia segera berkata dengan nada tergesa-gesa, "Nggak apa-apa, cuma nggak sengaja jatuh dan menabrak pintu. Jangan sampai Hilda kelaparan, kalian cepat pergi saja, aku tutup telepon ini ya!"Namun, saat bibiku berbicara, suara pukulan keras di pintu terus berlanjut tanpa henti."Bibi, kamu lagi bohong ya?" Suara dingin kakakku terdengar. Meskipun dalam bentuk pertanyaan, nadanya penuh keyakinan. "Seberapa sering orang bisa jatuh sampai begitu?"Bibiku tergagap. Dia tidak bisa memberikan alasan yang masuk akal, lalu langsung merebut telepon dan hendak menutupnya."Kalian lihat rekaman kamera di depan pintu Winona, periksa apa yang sedang terjadi." Sebelum telepon terputus, suara kakakku terdengar jelas di telinga kami.Wajah bibiku seketika memucat, dia langsung terkulai di lantai. Aku menghela napas lega, tubuhku terasa ringan. Aku berbaring di lantai dan merasa aman. Aku tahu, aku telah diselamatkan.Namun, belum sempat aku benar-benar merasa lega, mataku

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status