Share

Chapter 5: Yuna dan Edna

'Firson, maukah kamu tinggal di sini bersamaku selamanya…?'

Suaranya sangat jernih dan memikat.

'Benarkah?! Yeeey!'

Dia sangat bersemangat, ekornya bergerak ke sana kemari, dan… pelukannya terasa begitu hangat.

'Aku akan mengajakmu berkeliling, Neraka sebenarnya punya banyak tempat bagus yang bisa kita kunjungi.'

Dia mengacungkan jari telunjuknya sambil memasang wajah sok tahu.

'Lihat! Itu adalah Pohon Iblis, pohon itu tidak bisa ditebang, dan tidak mungkin mati.'

Tapi aku berhasil menebangnya. Itu adalah sebuah pohon yang sangat besar, tingginya melebihi 3000 meter, dengan diameter mencapai 1200 meter.

'Pohon itu menghasilkan buah berwarna warni, seorang iblis akan lahir saat buah itu jatuh ke tanah.'

Ya, aku telah memutus rantai kehidupan di Neraka.

'Eh?! Iblis melahirkan?! T-tentu saja bisa, t-t-tapi… kurasa i-itu masih terlalu dini…'

Wajah tersipunya sangat imut, sayang aku tidak menyadarinya waktu itu.

"B-baiklah! Kita lanjut berkeliling ya.'

Sebenarnya tidak perlu, karena aku juga sudah tahu apa yang 'kan kau tunjukkan. Tapi baiklah, ayo jelajahi Neraka dan tunjukkan padaku lebih banyak lagi. Lagipula aku ingin terus mendengar suaramu, melihat tingkah lakumu, menghirup udara di sekitarmu, menyentuh setiap inci tubuhmu, dan selamanya bersamamu.

'Firson, maafkan aku….'

Tidak, akulah yang harus meminta maaf.

'Tolong jangan lupakan aku….'

Tentu saja.

Geli… tunggu, berhenti… ah, ternyata Ibu .

"Glitik glitik glitik, ayo bangun Nak," Ibu menggelitiki aku sambil tersenyum, sepertinya dia sangat menikmatinya.

"Udah bu… aku udah bangun, aduh…"

"Hehe, ayolah Nak, sarapan sudah siap. Ayahmu udah nunggu dari tadi," ujarnya dengan suara lembut.

"Iya bu…" sahutku sambil turun dari kasur.

"Eh?! Kamu turun sendiri dari kasur?!" Yah, dulu aku adalah anak yang sangat manja, tapi aku baru tahu se-tidak percaya itu Ibu padaku.

"...cuman turun dari kasur, tentu saja aku bisa," tuturku sambil tersenyum masam.

Ibu berjongkok, menyentuh kepalaku sambil memanyunkan bibirnya. "Tapi kan, biasanya juga kamu minta tolong sama Ibu … lagian umur kamu masih 8 tahun, kamu juga masih pendek." Ibu berusaha menggodaku supaya aku merajuk.

Ingin sekali aku membuatnya puas, tapi aku terlalu malu untuk merajuk di usiaku yang sekarang ini. Jadi aku memeluknya.

"Aah, ada apa nih? Kamu tiba-tiba jadi mandiri dan manja disaat yang bersamaan," ujarnya sambil mengusap rambutku.

"Aku kangen Ibu …" kataku manja. Ini perasaanku yang sebenarnya, sudah lama sekali aku mendambakan kehangatan Ibu .

"Aaaah… ada apa sayang? Kamu mimpi apa? Sini cerita sama Ibu …" tutur Ibu sambil menggosokkan pipinya ke pipiku.

Aku menikmatinya sebentar, setelah cukup puas, aku melepaskan pelukan dan berjalan ke pintu. "Waktunya sarapan," ujarku datar.

"Eeeh… tidak mau cerita dulu?" Wajah kecewa Ibu sangat lucu.

"Kan Ayah lagi nunggu."

"Haaah… yaudah, ayo kita sarapan." Ibu berdiri lalu mengikutiku.

Di ruang makan, Ayah sedang duduk sambil minum teh, dia tersenyum tipis saat melihat aku dan Ibu . Rambut merah dan kumis tipisnya terlihat sangat gagah seperti seorang ksatria, padahal dia hanya pedagang. Usiaku saat ini adalah 8 tahun, itu berarti Ayahku sudah 30 tahun.

"Selamat pagi Nak, tidurmu nyenyak?" Tanyanya dengan ramah.

"Selamat pagi Yah, iya aku tidur nyenyak," sapaku sambil berusaha duduk ke kursi.

Ruang makan ini hanya memiliki satu meja kecil dan empat kursi. Ayah duduk di depanku, sedangkan Ibu duduk di sampingku. Masakan yang Ibu buat sudah berjajar di meja, aku selalu ingat rasanya, biar kucicipi.

Ya. Hambar, kurang matang, kurang garam, tidak terlalu enak.

Masakan Ibu tidak pernah berubah, dulu aku selalu mengomel setiap kali makan, tapi sekarang aku sangat senang bisa memakan ini semua.

Ayah berhenti makan sejenak lalu menatapku. "Nak, Ayah mau minta tolong, nanti sebelum main, kamu antarkan barang ke rumah Bibi Edna ya… Ayah harus segera berangkat ke Kota Tumin."

"Baik Ayah…"

Edna, dia satu-satunya penyihir di desa ini. Aku tidak tahu seberapa hebat dia, Edna tidak pernah menunjukkan kekuatannya.

"Jangan lupa bawa air minum juga Nak," ucap Ibu sambil tersenyum.

"...iya bu…"

***

Sebuah wadah air yang terbuat dari kulit hewan digantungkan di pinggangku. Kemudian aku keluar dari rumah sambil membawa barang yang dibungkus oleh kain biru, entah apa yang ada di dalamnya.

Rumah Edna… benar juga, dimana itu? Aku lupa…

Haruskah aku kembali ke rumah dan bertanya…? Tidak, aku langsung jalan saja, lagipula desa ini kecil, nanti juga pasti ketemu.

"Firson!" Seseorang memanggil ketika aku sedang berjalan.

Gadis yang memiliki rambut krem dan mata emas…. Siapa…? Aku ingat samar-samar wajahnya, tapi aku tidak ingat sama sekali namanya. Dia mendekat, ayolah Firson… mengingat nama seseorang bukan masalah besar, kau pasti bisa.

"Hey Firson, kamu mau kemana?"

Baiklah, dia sudah berada di depanku, dia lebih tinggi dariku, tapi harusnya usia kami tidak beda jauh.

"Firson? Halooo?" Dia melambai-lambaikan tangannya di depan mataku. Untuk sekarang lebih baik aku jawab dulu pertanyaannya sambil tersenyum.

"Aku mau pergi ke rumah Bibi Edna…"

"Bibi Edna? Bukannya rumah Bi Edna ada di sebelah sana?" Dia menunjuk ke arah yang berlawanan dari arahku berjalan saat ini.

"...aku mau mengelilingi desa dulu sebelum ke rumah Bi Edna…" berbohong kepada anak kecil untuk menyembunyikan kesalahan ternyata sangat memalukan.

"Oooh… oke deh, kalau gitu ayo kita berangkat!"

Hah? Apa-apaan bocah ini, memangnya aku mengajakmu? Tapi biarlah, dengan begini aku tidak akan tersesat.

*****

Kami mulai berjalan melewati rumah-rumah petani yang terbuat dari kayu dan batu, dengan atap jerami yang melengkung. Jalan setapak tanah yang kasar membelah desa, ada juga toko-toko kecil yang menjual berbagai barang dagangan.

Nyanyian burung di pepohonan, dan desisan angin yang menerpa ladang-ladang hijau. Orang-orang desa bekerja keras, mereka menggembalakan ternak, serta bercocok tanam. Tercium aroma kayu bakar yang dibakar di perapian, dan juga wangi bunga-bunga liar yang mekar di tepi jalan.

Dia sepertinya sangat menikmati perjalanan ini, caranya berjalan sambil melompat terkesan sangat kekanak-kanakan.

Dia menoleh ke arahku. "Ngomong-ngomong, ada perlu apa ke rumah Bi Edna?" tanyanya.

"Aku mau memberikan barang titipan Ayah buat Bibi Edna," ujarku sambil menjulurkan bungkusan kain

"Oooh… barang apa?"

"Aku tidak tahu."

"Buka dong…"

Hmm… aku rasa tidak apa-apa dibuka, tapi aku tidak terlalu penasaran.

"Tidak usah."

"Ehh… ayolah… plissss…. Ya? Ya?" Bujuknya sambil menusuk-nusukkan telunjuknya ke pipiku.

"Haaah, ya, ya, ini dia."

Aku membuka bungkusan itu sedikit, sepertinya isinya adalah kain….

Tidak, ini… tumpukan celana dalam.

Gadis itu mendekatkan wajahnya. "Apa ini?"

"Ini kain," kataku sembari menutup bungkusan itu kembali.

"Oooh…"

Sepertinya dia sudah kehilangan minat.

"Firson, nanti kita mau main apa?"

Tiba-tiba ganti topik pembicaraan?

"Entahlah."

Memangnya aku punya waktu untuk bermain bersama bocah? Aku harus mencari cara untuk mengalahkan Raja Iblis….

"Gimana kalau main kejar-kejaran? Aku lagi semangat banget nih!"

"...ya, ayo main itu…"

Sesekali kurasa tidak masalah, lagipula aku ingin menikmati kehidupan ini.

"Hehe, kalau kalah jangan nangis yaa…"

Apa dulu aku se-cengeng itu?

"...ya."

Selama 15 menit dia terus berbicara tanpa pernah berhenti, semua yang keluar dari mulutnya adalah hal-hal tidak berguna.

"Ah, akhirnya kita sampai, ayo Firson."

Dia menuntunku ke suatu rumah kecil yang terbuat dari kayu. Gadis itu mengetuk pintu tiga kali, tuk tuk tuk.

"Bibi Edna…" panggilnya dengan sebuah nada.

Karena tidak ada jawaban, gadis itu mengetuk lagi, tuk tuk tuk

"Bi Edna… Fir–"

*kreeek*

Pintu terbuka memperlihatkan sosok wanita dewasa yang memakai gaun tidur hitam, rambut coklatnya acak-acakan, matanya juga masih setengah menutup. Dia menguap sambil menggaruk kepalanya.

"Hmmm? Yuna… Firson… ada apa?

Oh… jadi nama dia Yuna.

"Ini barang dari Ayah, Bi," ujarku sambil menjulurkan barang itu.

"Oohh! Jadi barang itu ya…" wajah lesunya sudah hilang entah kemana. Dengan semangat dia mengambil bungkusan itu dari tanganku.

Yuna terlihat agak kebingungan. "Memangnya kain itu spesial, Bi?"

Ya, memangnya apa yang spesial dari celana dalam itu?

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status