Share

Chapter 4: Kembali

Danau… ya, sebuah danau. Aku melihat pantulan seorang pria dari air danau. Dia terlihat sangat berantakan, tak ada ekspresi apapun di wajahnya, mata ungunya sangat redup, sepertinya dia tidak memiliki motivasi apapun untuk hidup. Tapi… selain pria, aku melihat hal lainnya, sebuah harapan yang berawal dari keputusasaan.

Seorang Kakek duduk di sebuah tahta cahaya, dia sedang melihat telapak tangan kanannya. 

"Umur 19 menemukan permata 'Omithyst' sekaligus mendapatkan kekuatannya, umur 20 mati dan masuk ke dalam Neraka." Kakek itu menaikkan alisnya. "Setelah mendapat kekuatan, kau malah mati. Kau pasti orang paling tolol sedunia."

"..." aku tidak menanggapi ejekannya.

"Umur 21 terbunuh sebanyak 3 kali oleh iblis, air sungai, dan buah mangga…" dia berhenti berbicara lalu menatapku dengan jijik. "Air sungai? Dan juga mangga? Kau mati oleh buah mangga? Bagaimana mungkin?"

"Yah, kau tahu… Hutan Siksaan. Aku memakan buah mangga karena merasa lapar. Tapi setelah itu, isi perutku malah menjadi panas, hingga organ dalamku meleleh semua. Setelah aku bangkit, aku merasa sangat haus, jadi aku pergi ke sungai dan meminum airnya. Waktu kencing, yang keluar malah darah, dan itu terus keluar sampai darah dalam tubuhku habis semua," ujarku dengan wajah datar.

Si Kakek sepertinya merasa bersalah karena telah bertanya. "Ehem…! Umur 22 sampai 2000 sepertinya tidak ada yang menarik–"

"Apa maksudmu? Umur 654 aku menjadi master pedang, 766 membunuh Panglima dan Raja Iblis, 972 membantai seluruh iblis Neraka, 1180 keluar dari Nera–"

"Ya, cukup! Aku tahu semua perbuatan licikmu itu." Kakek itu menyergah dengan tidak senang. "Aku tahu bagaimana kau menjadikan raja terkuat dan terbodoh sebagai sekutumu, lalu kau manfaatkan dia untuk membunuh orang-orang kuat yang bisa menjadi penghalang bagimu, kemudian kau mengkhianatinya tanpa ada keraguan di dalam hatimu," tuturnya dengan nada menyindir.

Aku melipat tangan di dadaku. "Kusebut itu sebagai kejeniusan, lagipula tetap akulah yang harus membunuh orang-orang itu, aku hanya butuh informasi tentang keberadaan orang-orang kuat dari Clasius."

Kakek itu tersenyum sinis. "Heh, kejeniusan, itu namanya buang-buang waktu. Kenapa kau tidak langsung mengeluarkan Gerbang Neraka saja?" tanyanya.

"Kukira Pencipta itu pintar, ternyata tidak lebih pintar dari seekor kuda," ujarku sambil tersenyum menyindir.

Dia langsung naik pitam. "KAU BAJ–"

"Dengar," tukasku. "Jika aku langsung mengeluarkan mantra ilahi, maka orang-orang itu pasti menemukan sebuah cara untuk bertahan." Wajahku menjadi serius. "Dan jika mereka berhasil bertahan, ada kemungkinan mereka membalikkan keadaan. Kau setidaknya harus tahu sifat ciptaanmu bukan?"

Kakek itu sepertinya masih marah. "Tch, aku hanya mengujimu saja," katanya.

Aku mengangguk, mengiyakan perkataannya. "Baiklah, kalau begitu langsung saja kembalikan aku ke masa lalu."

Si Kakek melemaskan tubuhnya sambil bersandar pada tahta cahaya. "Firson Elgad, kau sudah menghancurkan duniaku, kenapa kau malah meminta hadiah?" tanyanya.

"Karena kau tidak punya pilihan lain."

Si Kakek menaikkan satu alisnya. "Tidak punya pilihan lain? Aku masih bisa membuat dunia baru."

"Terlalu lama untuk terciptanya peradaban, kekuatanmu juga sudah sangat menurun drastis. Cukup dengan argumennya, ambil kekuatan Omithyst di mataku, lalu kembalikan dunia ke masa lalu dengan aku sebagai pusatnya."

Kakek itu memegang dahinya, menghela napas, lalu menatapku. "Apa kau tidak merasa bersalah sedikit pun? Kau telah membunuh ratusan juta makhluk hidup."

"Aku memiliki satu alasan. Dan aku siap melakukan segalanya demi satu alasan itu."

"Hanya balas dendam yang tidak–"

"Bukan!" sergahku dipenuhi amarah. "Bukan dendam… aku ingin bertemu lagi dengannya…."

Si Kakek menggaruk kepalanya lalu berkata dengan nada serius. "Dengarkan aku… waktu memang akan diputar ulang, tapi ada sebuah konsekuensi yang akan menimpa dunia."

"Konsekuensi apa?"

"Permata Omithyst tidak akan jatuh ke Bumi, itu akan tetap berada di Gerbang Destiny. Dan kau pasti tahu siapa yang akan menjadi pemiliknya," ucap Kakek itu sambil menyipitkan matanya.

"...Naesvil?"

"Ya, Raja Iblis itu pasti mendapatkan Omithyst. Ketika permata itu berada di tangannya, maka Surga akan ditaklukkan dengan sangat mudah. Dan aku yakin dia tidak akan berhenti sampai disitu."

Baiklah, aku tidak memikirkannya sejauh itu, tapi…

"Aku akan membunuhnya lagi."

"Firson… kau terlalu meremehkan Raja Iblis. Ingatlah, saat itu 13 senjata Dewa menancap di tubuhnya. Kau mengalahkan seorang iblis cacat yang hanya bisa duduk di tahtanya…"

"Ya, akan kupikirkan caranya nanti, untuk sekarang kembalikan saja aku," ucapku sambil berjalan mendekat ke tahtanya. 

Kakek itu menghela napas berat. "...Baiklah, lagipula aku tidak peduli pada bajingan sepertimu," katanya dengan nada lelah.

Saat jarak kami sudah sangat dekat, Kakek itu menutup mataku menggunakan telapak tangan kanannya.

"Kupastikan kau mengalami kehidupan yang jauh lebih mengerikan dibanding hidup di Neraka."

"Aku tak keberatan, selama aku bisa menikmatinya."

"...Dasar gila."

Cahaya putih menyelimuti seluruh tubuhku, lama kelamaan… cahaya putih itu semakin bersinar terang. Memaksaku untuk menutup mata.

***

"...son"

Siapa?

"Fi…n"

Dimana? Kenapa sangat gelap…

"Firson!"

Aku membuka mata, terkesiap mendengar teriakan nyaring dari jarak yang sangat dekat.

"Kenapa kamu malah tidur?! Kamu, kan ceritanya jadi pengawal aku?" Seorang gadis kecil membentakku sambil berwajah cemberut.

Rambut hitamnya yang panjang dikepang satu kuncir kuda, terlihat benih kecantikan di wajahnya yang masih belia. Tapi aku tahu bagaimana rupanya saat sudah dewasa, ekspresi jijik tak bisa kutahan, itu keluar dengan alami ketika melihatnya.

Gadis itu terlihat khawatir. "Firson…? Kamu kenapa?" Tangan gadis itu akan menyentuh pundakku, tapi langsung aku tepis dengan kasar.

"Jangan menyentuhku jalang," ujarku dengan nada dingin.

Wajahnya mengernyit, bibirnya manyun, air mata merebak, dia lari sambil menutup matanya lalu berteriak. "Firson jahaaaaaat!!"

***

Aku duduk di kursi bersama orangtuaku, mereka ada di samping kiri dan kananku. Di seberang meja, ada gadis itu bersama kedua orangtuanya, dia masih menangis tersedu-sedu, Ibunya terus mengelap air mata itu menggunakan saputangan. 

"Firson, cepat minta maaf ke Felisha." Ibu menatapku sambil pura-pura marah, wajahnya masih terlihat sangat cantik di usianya yang ke-27, aku bersyukur rambut hitam dan mata ungunya yang indah diwariskan kepadaku.

"Maaf," ucapku datar.

"Nak, minta maaf yang benar, kamu sudah membuat seorang gadis menangis, harusnya kamu malu." Ayahku cukup tegas tentang masalah ini. "Ayo, tundukkan kepalamu dan minta maaflah dengan tulus."

Aku menundukkan kepala menuruti perkataan Ayahku. "Maaf," ujarku pelan.

Ayah ikut menundukkan kepalanya. "Aku minta maaf, anakku akan kudidik lebih baik lagi," katanya.

Ayah Felisha tersenyum kecut sambil mengangkat tangannya. "Sepertinya anakku juga ikut bersalah–"

"Tidak!" sergah Felisha. "A-aku cuman nge-ngebangunin Firson, tapi d-dia tiba-tiba membentakku, te-terus ngomong a-apa gitu… aku lupa…" tuturnya dengan tersedu-sedu, ingus keluar dari hidungnya.

Ayah menatapku dengan tajam. "Benarkah itu, Firson?"

"...iya," sahutku pelan.

"Kamu bicara apa ke Felisha?"

"Aku tidak sengaja membentaknya, lalu berkata jalang…"

Ayah memegang dahinya, dan Ibu menutup mulutnya.

"Dari mana kamu tahu kata kasar seperti itu?" Ayah bertanya dengan lelah.

"Dari Ayah," sahutku.

Ayah mengernyit. "Hah? Apa maksudmu? Ayah tidak pernah mengajarimu kata-kata kasar semacam itu." 

"Waktu di kamar tidur, Ayah sering bicara seperti itu pada Ibu." Itu sebuah kebenaran, bisa kujadikan sebagai alasan supaya masalah ini tidak berlarut-larut.

Mulut Ayah menganga diikuti cekikikan Ibu.

"Emm… kurasa ini hanya kesalahpahaman, lebih baik kalian segera pulang, sebentar lagi matahari terbenam," ujar Ayah Felisha sambil tersenyum kaku.

"...baiklah… Firson jabat tangan Felisha," tegas Ayahku.

Aku turun dari kursi, mendekati Felisha, lalu menjulurkan tanganku. Jika dipikir lagi, sepertinya aku terlalu berlebihan, saat ini Felisha masih kecil, dia belum melakukan kesalahan apa pun.

"Nak, jabat tangan Firson, kalian maaf-maafan ya…" bujuk Ibu Felisha sambil mengelap ingus anaknya.

"Hmmp!" Felisha berpaling ke kanan sambil menutup mata, dia menjulurkan tangannya dengan enggan. 

Aku menggenggamnya lalu kugerakkan ke atas dan ke bawah terus menerus. Awalnya Felisha merasa kesal, tapi saat dia membuka mata dan melihat senyum ejekan dariku, gadis itu merasa tertantang, dia mempercepat gerakan tangannya. 

Lihatlah betapa imutnya dirimu saat ini, hal yang merubahmu menjadi seekor binatang… aku tidak tahu. Namun jika itu bukan disebabkan olehmu, melainkan oleh orang lain, aku mungkin, mungkin saja bisa memaafkanmu. Dan orang yang sudah merubahmu, kupastikan mati tanpa alat kelamin.

***

Bunyi gerisik dedaunan diikuti udara sejuk sore hari membuat hatiku tentram. Aku pulang bersama Ayah dan Ibu, tanganku dipegang oleh mereka berdua. Kami hanya perlu melewati beberapa rumah saja untuk sampai ke rumahku.

Desa ini cukup kecil, hanya memiliki sekitar 45 orang penduduk. Setengahnya adalah orang tua, seperempatnya orang dewasa yang sudah berkeluarga, dan sisanya adalah remaja serta anak kecil. Sedikit sekali anak-anak di bawah usia 15 tahun, hanya ada 5 kalau tidak salah. 

Hampir semua warga desa adalah orang-orang yang melempariku dengan batu sampai aku mati. Pada tahun pertamaku di Neraka, aku selalu memikirkan dendam pada orang-orang tolol ini. Tapi setelah beberapa tahun, itu semua tidak penting, Neraka sudah membuatku sadar.

"Nak, kamu jangan pernah membentak seorang gadis, apalagi berkata kasar seperti itu… nanti ga ada yang mau temenan sama kamu loh…" Ayah tiba-tiba menasihatiku.

"Iya Ayah…" sahutku pelan.

"Itu benar Nak, jangan tiru perilaku buruk Ayahmu," Ibu menimpali sambil tertawa.

Ayah sepertinya merasa malu dan menyesal karena telah berbicara, suasana harmonis inilah yang sangat aku rindukan.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status