Share

Chapter 6: Portal

"Terimakasih."

*Buk!*

Edna menutup pintu tanpa menjawab pertanyaan Yuna.

Dia menatapku dengan heran. "Apa kain itu sangat spesial sampai Bi Edna merahasiakannya?" tanyanya.

Aku berbalik, lalu berjalan, Yuna mengikuti di sampingku. "Tidak usah dipikirkan. Kain itu tidak terlalu spesial, hanya kain sutra yang sangat nyaman, dan memang harganya lumayan mahal."

Tampaknya dia masih belum paham. "Benarkah? Kok kamu bisa tahu, Firson?"

"Ya, itu kan barang jualan ayahku."

"Ooh, benar juga," dia seperti tercerahkan. "Ayahmu seorang pedagang ya…"

"Iya," sahutku pendek.

Jari telunjuk Yuna menyentuh bibirnya. "Apa ayahmu menjual gaun tuan putri?" tanyanya.

"Gaun tuan putri? Apa itu?"

"Itu gaun paling mewah yang pernah aku lihat, kamu tahu… nah… bentuknya… terus…."

Entah kenapa, percakapan ini terasa familiar. Apakah dulu aku pernah membicarakan hal serupa dengan Yuna?

Tidak… aku rasa bukan dengannya….

'Lihat Firson! Aku jadi semakin cantik, kan? Hehe… aku mencurinya dari ruang harta Kerajaan.'

Gaun hitam mewah dipadukan dengan rambutnya yang berwarna emas, tidak ada kata yang lebih cocok selain 'sempurna'. Tiara silver di kepalanya sangat cocok dengan tanduk putihnya yang memanjang ke belakang.

'Hey… kenapa kamu bengong? Apa aku memang secantik itu?'

Ya, kamu memang cantik, sangat cantik. Tunggu aku, aku akan mencari cara untuk menjumpaimu. Entah berapa lama, tapi tolong… tunggulah aku Destia.

"......Firson, kamu melamun?"

"Hah?" celetukku sambil melihat Yuna yang tengah cemberut di sampingku.

"Dari tadi aku cerita panjang lebar tentang gaun Tuan Putri…" ujar Yuna sambil merengut.

"Oh, maaf…" tuturku sambil menggaruk kepala. "aku agak pusing."

"Eeeh…! Berarti kamu ga bakal ikut main?" tanyanya dengan cemas.

Main ya, apa aku benar-benar harus bermain dengan para bocah? Kurasa bermain hanya buang-buang waktu. Tapi aku mendapatkan permata Omithyst saat usiaku 19 tahun, itu berarti aku masih punya waktu sebelum Raja Iblis mendapatkannya dan terbebas dari segelnya. Ya, masalah berat lebih baik jangan terlalu dipikirkan.

"Aku ikut, lagipula aku sudah bilang akan ikut."

Yuna malah terlihat lebih khawatir. "Sebaiknya jangan memaksakan diri, Firson…" ujarnya dengan lembut.

Aku mengernyit mendengar hal itu. "Bukannya kamu tadi cemas jika aku tidak ikut bermain? Kenapa sekarang malah menasihatiku?"

Dia menjalin jari-jemari di belakang tubuhnya, pipinya agak merah. "Emm… ga bakal seru kalau kamu ga ikut… tapi jangan maksain juga, nanti sakitnya tambah parah," katanya sambil terbata-bata.

Hmm? Yuna… apa dia… tidak, tidak, aku bukan Om-om pedofil yang menyukai anak usia 12 tahun.

"Aku baik-baik saja, hanya sedikit mengantuk, kalau main pasti langsung segar."

Yuna tersenyum manis. "Begitu ya…" katanya. "Yaudah, ayo kita pergi ke lapangan, temen-temen kayaknya udah nunggu."

"Ya."

Teman teman, berarti ada 3 orang ya. Aku hanya ingat Felisha, 2 lagi aku tidak tahu. Kalau dipikir-pikir, Yuna dan 2 orang itu tidak ada saat usiaku 19 tahun, mereka sepertinya pergi ke kota untuk mencari pekerjaan. Berbeda dengan aku yang malas mencari pekerjaan ataupun berdagang.

"Nah, itu mereka," ujar Yuna sambil melihat ke tiga orang di lapangan yang tidak begitu luas, kecil sebenarnya. Di belakang mereka ada Hutan yang dipenuhi pepohonan rindang, itu adalah Hutan bagian barat desa.

"Oooy…! Yuna, Firson, kalian lama sekali!" teriak seorang bocah lelaki berambut pirang.

Di sisinya, ada Felisha yang cemberut saat melihatku. Sisi satu lagi ada seorang gadis bermuka datar yang sedang duduk dengan kedua lututnya disatukan di depan dadanya.

"Maaf Rey, tadi kita pergi ke rumah Bi Edna dulu…" sahut Yuna sambil mendekati mereka bertiga.

"Bi Edna? Ngapain?" tanya bocah bernama Rey itu.

"Firson harus mengantarkan barang dagangan ayahnya."

Mulut Rey membentuk O besar. "Oooh…. Yaudah, kita langsung main aja," katanya sambil menggaruk kepalanya. "Tadinya kita mau main petak umpet, gimana sama kalian?"

"Boleh aja sih, tadinya aku sama Firson mau main kejar-kejaran, tapi petak umpet juga gapapa." Yuna menoleh padaku. "Gimana Firson?" tanyanya.

"Iya, boleh," sahutku singkat.

"Oke deh." Rey menoleh ke gadis yang sedang duduk di sampingnya. "Seren, ayo berdiri, kita mau mulai nih," desaknya.

Seren menatap Rey sebentar, lalu berdiri tanpa mengatakan apa pun. Gadis itu memiliki rambut hitam sebahu, ekspresinya sangat datar, sepertinya tidak tertarik pada permainan yang akan kita mainkan.

"Jadi, siapa yang pertama jaga?" tanya Yuna.

"Firson," celetuk Felisha sambil menunjukku.

Yah, aku tidak keberatan sih, tapi Felisha sepertinya masih menaruh dendam karena kejadian kemarin.

"Baiklah, aku yang jaga," ucapku sambil tersenyum tipis

Rey mengacungkan jempolnya. "Oke, hitungannya sampai 50 ya." Rey melihat sekelilingnya. "Tempat sembunyinya di daerah Hutan, tapi jangan terlalu jauh."

"Ya." Felisha dan Yuna menjawab bersamaan.

"Hmm," gumam Seren.

Aku memutar badan, lalu menutup mata menggunakan kedua lenganku. "Satu, dua, tiga…"

Jejak kaki yang terburu-buru berlarian ke sana kemari, aku terus menghitung dengan jujur sampai 50. Setelah selesai, aku menurunkan lengan dan melihat di sekitar sudah tak ada orang.

Aku tahu tempat mereka berempat bersembunyi, aku bisa melihat semak-semak yang bergoyang, mendengar cekikikan mereka, merasakan keberadaan mereka. Tapi tentu saja, aku akan memberi mereka kesempatan untuk berpuas diri. Untuk sekarang aku ingin mengecek sesuatu di Hutan.

Aku berjalan memasuki hutan lebat, hutan ini adalah tempat dimana aku menemukan permata Omithyst. Ada satu pohon yang lebih besar dari pohon lainnya, diameternya 3 kali lebih lebar dari pohon biasa, dan tingginya sekitar 180 meter. Aku tidak tahu nama pohon ini, jadi aku hanya menyebutnya pohon jangkung.

Saat itu aku sedang tertidur di pohon jangkung, tiba-tiba sebuah permata ungu jatuh ke kakiku, entah dari langit atau ranting besar yang berada tepat di atas kepalaku. Saat aku pegang, permata itu langsung bersinar terang dan menghilang begitu saja, aku belum menyadari kekuatannya sampai aku melihat seorang penduduk desa.

Sangat tidak mungkin permata itu jatuh lagi ke Bumi, apalagi sekarang belum waktunya. Tapi aku agak berharap ada sesuatu yang terjadi. Bagaimanapun, tidak ada cara untuk mengalahkan Naesvil tanpa permata itu. Karena selain melihat masa depan, Omithyst memiliki kekuatan lain, yaitu menghancurkan keabadian.

Seluruh iblis diberkati keabadian, apalagi Raja Iblis sendiri, dia sering mengoceh sebelum kubunuh, katanya dia adalah wujud keabadian itu sendiri.

Itu dia, pohon jangkung. Dan sepertinya ada seseorang yang sedang bersembunyi di sini. Felisha, apakah kau bodoh? Pohon ini sangat besar, tapi daster merahmu dapat terlihat dengan jelas di balik pohon. Sebaiknya aku biar–

"AAAHHH!"

Aku langsung berlari menuju Felisha yang berteriak cukup kencang. Tapi anehnya teriakan itu tiba-tiba hilang seolah diserap oleh sesuatu, dan… Felisha tidak ada di balik pohon.

"Firson, ada apa?" Yuna keluar dari tempat persembunyiannya dengan wajah khawatir, dia berjalan mendekatiku. "Apa… itu?" tanyanya, mulutnya menganga tidak percaya.

Sebuah portal hitam seukuran manusia dewasa. Aku tahu kemana tujuan portal ini.

Aku menatap Yuna dengan wajah serius. "Yuna, ajak semua temanmu untuk pulang, dan jangan bermain di hutan ini lagi," tegasku.

Yuna terlihat sangat gelisah. "Apa tadi suara Felisha?" tanyanya dengan cepat.

"Ya, sepertinya Felisha masuk ke dalam portal ini."

Matanya terbuka lebar, tangannya menutupi mulutnya yang menganga. "Kalau begitu, kita harus menolongnya," ujarnya serius.

Aku menggelengkan kepala. "Aku akan masuk ke portal ini, kamu pulang–"

"Tidak mau!" sergah Yuna. "Kita akan menolongnya bersama."

Aku melembutkan ekspresiku, lalu menggenggam tangannya. "Dengar Yuna, aku akan masuk ke portal ini untuk menyelamatkan Felisha, aku tahu ke mana tujuan portal ini, jadi aku akan baik-baik saja," tuturku sambil tersenyum percaya diri.

"...kamu yakin?" Kekhawatiran nampak jelas di wajahnya.

"Iya… sekarang kamu pulang ya…."

Butuh waktu sebelum akhirnya dia mengangguk. "Janji, kamu harus pulang…" ucapnya lirih.

Aku mengecup tangannya. "Iya, aku janji."

Yuna tampak tersipu, dia langsung melepaskan pegangan tanganku, lalu berbalik dan jalan dengan perlahan. Aku pun ikut berbalik dan langsung masuk ke dalam portal, namun baru satu kakiku masuk, aku mendengar langkah cepat dari belakang.

Aku menengok, terkejut melihat Yuna sedang berlari ke arahku. "Tunggu Yuna–" sebelum aku menyelesaikan kalimat, Yuna melompat dan menabrak tubuh kecilku. Akhirnya kami berdua masuk ke dalam portal itu.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status