“Cha? Kamu liat di mana nama Ardio Hendratmo?” desak Mas Ricky terus menerus.
Aku melengos, berusaha cuek saja. “Tauk, lupa, Mas!” jawabku ketus. “Jawab dulu, Mas. Suaminya si Tanti bakal marah nggak kalau tahu kalian masih deketan?”
“Kamu nggak hubungin Dio, kan?” tanya suamiku dengan wajah khawatir. "Kamu apa liat media sosialnya Tanti? Kamu stalking, ya?"
Mas Ricky semakin terlihat khawatir. Aku juga semakin berpikir, kenapa dia takut sekali? Katanya cuma berteman? Bersahabat? Sampai kemarin bilang ke Tanti, "Salam untuk Dio."
Aku kira, Mas Ricky kenal dengan Ardio, sampai titip salam begitu. Kenapa sekarang jadi panik begini? Sebenarnya bagaimana kisah mereka di waktu lalu? Aku semakin penasaran.
“Dih, ngapain aku hubungan sama suami orang? Emangnya aku Tanti? Sorry, ya!” jawabku sinis. Kupastikan wajahku terlihat sinis supaya dia paham istrinya ini sedang cemburu luar biasa.
Mas Ricky diam. Ia menatapku galau. Bukan salahku, dong. Sudah seharusnya semua yang berhubungan dengan mantan itu dibuang jauh-jauh. Jadikan rumpon di dasar laut.
"Kamu belum jawab, Mas. Apa Ardio tahu, kamu dan Tanti berhubungan baik? Apa Ardio tahu, istrinya kirim hadiah sampai belasan juta? Duit siapa itu yang dibelanjain, Mas?" Kuberondong suamiku dengan pertanyaan telak. Ala-ala smash di badminton.
“Udah deh, nggak usah dibahas lagi, Cha. Kita mau senang-senang. Jangan bete lagi, ya?” pintanya menatapku, sedikit tersenyum.
“Hmm,” jawabku datar. Dalam hati aku semakin penasaran. Kenapa Mas Ricky seperti ketakutan ketika aku menyebut nama Ardio? Suaminya Tanti? Aku harus mencari tahu kisah sebenarnya.
***
Sepanjang rekreasi kami ke Malang, aku semakin mual melihat Mama Enik memakai tas Guess yang diberi Tanti. Apa tidak ada tas lain sampai harus pakai yang itu?
“Cha, mau bakso apa siomay?” tanya Mas Ricky menawarkan dua menu yang sebenarnya menjadi favoritku. Namun, entah kenapa aku malas sekali makan.
“Apa aja deh, Mas. Terserah kamu,” jawabku pasrah. “Aku malas makan!”
“Orang hamil jangan malas makan, Cha. Nanti cucu Mama kurang gizi gimana?” sela Mama Enik menegurku.
Kupandang mertuaku dengan takjub. Benar-benar dia tidak ada rasa bersalah padaku. Padahal, dia yang membuat hari ini menjadi hari yang menyebalkan untukku.
Aaargh! Andai saja aku tidak dididik untuk selalu patuh dan hormat kepada orang tua, mungkin sudah kutegur perilaku mertuaku ini.
“Mama benar, Sayang. Ayo, makan yang banyak,” imbuh Mas Ricky membawa semangkuk bakso ke hadapanku. “Aku suapin, ya?”
“Cieeee! Kayak manten baru aja!” goda Dessy tertawa melihat kemesraan kami.
“Hmm,” jawabku mengangguk dan mulai membuka mulut.
Jujur, aku menyukai bagaimana Mas Ricky mesra kepadaku. Selalu ada saja caranya meluluhkan hatiku. Apakah aku terlalu mudah memaafkan?
“Ricky, gimana kerjaanmu? Sudah naik pangkat, harus hati-hati. Biasanya banyak yang sirik!” pesan Mama Enik sembari menyeruput es jeruk.
“Iya, Ma. Aku selalu hati-hati, Kok.” Mas Ricky mengangguk setuju.
“Apalagi Anissa hamil. Hati-hati karena orang sirik suka nyerang keluarga, kalau nggak berhasil nyerang kamu!” lanjut mertuaku semakin membuat suasana mencekam.
“Udah, Ma. Nanti aku ketakutan sendiri, loh,” timpalku bercanda.
“Mama serius ini! Kalian harus ke orang pinter! Minta perlindungan! Wajib itu!” tegas Mama Enik.
“Nggak boleh, Ma. Itu termasuk musyrik nanti,” tolakku tidak kalah tegas.
“Ah, kamu itu sok tahu, Anissa! Mbok ya nurut saja kalau Mama kasih tau. Pacar-pacar Ricky dulunitu selalu nurut, loh, kalau Mama kasih nasihat!”
Kalimat Mama Enik membuat bakso ini menjadi hambar. Bahkan, seperti ada satu biji bakso yang mencekat tenggorokan hingga membuatku sulit bernapas. Lagi-lagi membawa mantan untuk menegurku. Ish!
Mas Ricky langsung menggenggam tanganku. Memberi isyarat agar tidak menjawab lagi. Tabiat Mama Enik yang tidak pernah mau dilawan atau disalahkan, membuatku harus ekstra sabar lagi dalam membina rumah tangga bersamanya.
Aku kembali terdiam. Harusnya hari ini menjadi hari yang berbahagia. Merayakan kehamilanku. Namun, ternyata justru berubah menjadi hari yang menyedihkan untukku.
***
Malam ini Mas Ricky seperti biasa sudah tidur lebih dulu dan mengorok dengan begitu cepat. Pikiranku masih ruwet. Ada video yang seakan memanggil untuk dilihat. Ada nama Ardio pula yang masih mengganjal di benakku.
Ucapan Mbak Lelly yang mengatakan Mas Ricky misterius kembali terngiang. Benar kata sahabatku itu. Aku tidak terlalu banyak tahu tentang masa lalu suamiku. Kini, aku hanya bisa menggigit jari. Kebingungan sendiri.
Aku melirik ponselnya. Kubuka atau tidak? Rasa penasaran dengan video itu membuat mataku tidak bisa terpejam. Namun, aku juga takut kalau ternyata video itu membuatku pingsan.
Aaaah! Biarlah! Aku ambil ponselnya. Kutekan pola garis untuk membuka password. Segera kubuka penyimpanan media. Kucari folder rahasia yang kemarin.
Loh? Kenapa medianya bersih? Kemana semua gambar-gambar Tanti dan video misterius itu? Mataku mendelik. Siapa tahu aku salah buka folder? Kubuka semua, satu per satu, dengan teliti. Tidak ada lagi folder itu!
Aku jengkel setengah mati. Kenapa tidak kubuka sejak kemarin? Kalau begini, aku bisa penasaran sampai tua, bukan? Apa isi video itu, dan kenapa sudah dihapus?
***
“Ya, mungkin suamimu karena tahu kamu hamil terus tobat, Cha?” ucap Mbak Lelly menanggapi cerita soal video yang sudah tidak ada.
“Ah, mana mungkin, Mbak? Secepat itu? Nggak mungkin! Justru aku semakin curiga ada sesuatu beneran!”
“Positif thinking, Cah Ayu! Suami sendiri kok dijadikan tersangka terus?” kekeh Mbak Lelly.
Aku menghela napas kasar. Hati yang resah bertemu dengan rasa mual yang tidak berkesudahan membuatku sangat ingin marah dan menangis. Permasalahan dengan Tanti benar-benar menguras emosi dan kewarasanku.
“Eh, buka medsos suami Tanti, ah! Ardio Hendratmo,” celetukku teringat hal lain yang membuatku tidak bisa tidur selamalaman.
“Ngapain stalking suami orang?” tegur Mbak Lelly kurang suka.
Biar saja, nanti akan kuceritakan kepadanya tentang Mas Ricky yang ketakutan kalau aku mengenal Ardio.
Kutekan namanya dari medsos Tanti. Wow, memang benar-benar tampan orang ini! Pujiku dalam hati. Wajahnya seperti artis. Gayanya juga sangat stylish. Sudah ganteng begini, kenapa Tanti masih ruwet saja dengan suamiku?
“Dih, liat deh, Mbak. Masak suaminya Tanti ternyata ikut club mobil Ferarri di Jakarta,” gumamku asal bunyi.
“Orang kaya dong?” timpal Mbak Lelly kemudian mengambil ponsel dari tanganku. “Eh, iya, loh. Kuliahnya aja di USA!”
Belum sempat aku melihat lebih lanjut kehidupan seorang Ardio Hendratmo, pandangan tertuju pada bayangan yang ada di depan kaca.
Pintu showroom terbuka dan seorang lelaki bermata sipit, berdagu agak runcing, dan berkulit putih bersih memasuki ruangan. Ia memakai hem lengan panjang berwarna biru tua yang digulung sampai sebatas siku. Celana kain berwarna hitam dengan model pensil. Sepatunya jelas terlihat mahal dari model dan pantulan cahaya di kulit sepatu yang berwarna hitam legam mengkilat.
“Selamat pagi,” sapanya ramah menatap kami berdua.
“P-pagi,” jawabku terbata karena masih silau dengan ketampanan lelaki itu.
“Selamat pagi, Pak Andre,” balas Mbak Lelly balik menyapa.
Aku bingung, kok dia bisa tahu nama orang ini? “Kok tahu namanya, Mbak?” bisikku.
“Ya ampun, Cha! Dia kan anaknya Pak Mukmin! Pemilik showroom kita!” jelas Mbak Lelly juga berbisik-bisik.
Kagetlah aku! Kenapa aku tidak tahu sama sekali mengenai dirinya?
“Anissa?” panggilnya duduk di depan mejaku.
“Ya, P-Pak?” balasku gugup.
BERSAMBUNG
Lelaki yang bernama Pak Andre itu duduk di depan meja penerima tamu, persis di depanku. Ia memanggil namaku dengan lantang dan jelas.“Duduk,” pintanya. Heran melihatku masih berdiri.Aku melirik ke Mbak Lelly. Ya ampun! Dia sudah duduk juga ternyata. Kenapa aku terpaku, berdiri sendirian seperti orang bodoh? Gerutuku dalam hati.“Sudah jual berapa unit bulan ini?” tanya Pak Andre begitu aku duduk.“Lima, Pak.” Aku menjawab dengan bangga. Lumayan banyak jumlah itu untuk tipe mobil seperti yang kujual.“Saya dengar kamu top seller di sini. Bagus! Pertahankan, ya!” pesannya mengacungkan jempol.“Eh, iya. Makasih, Pak,” jawabku salah tingkah. Kenapa orang ini terlihat charming sekali? Sampai aku masih silau dan salah tingkah.“Ya, sudah. Saya ke atas dulu. Oh, ya. Kalau ada teman mau jadi sekretaris, boleh melamar. Saya cari sekretaris.”“Syaratnya apa,
“Ngapain direbut gitu HP-nya? Ayo, jawab! Siapa Iin?” tanyaku memakai nada tinggi. Beberapa orang di sekitar sampai melirik ke arah kami kemudian berghibah.Mas Ricky langsung mematikan layar ponsel dan berjalan menuju kasir, membayar semua makan malam dan kembali kepadaku. “Ayo, pulang! Malu-maluin aja kamu teriak-teriak!” desisnya menatapku kesal.Aku pun memberinya tatapan kesal dan marah. Apa dia pikir hanya dia yang bisa marah? Enak saja! Aku juga bisa marah! Kuhentakkan kaki menuju mobil. Pintu mobil kututup dengan cara membantingnya sekencang mungkin.“Woy! Copot itu pintu!” tegur Mas Ricky jengah denganku.“Biarin! Emang gue pikirin?” sahutku dengan judes yang semakin menjadi.Sambil menggelengkan kepala, Mas Ricky menyalakan mesin mobil dan segera meninggalkan warung bebek di belakang kami.“Siapa Iin?” tanyaku lagi semakin marah.“Teman kantor dulu, sebelum ak
Temani Pak Andre sarapan? Memangnya dia tidak ada teman lain selain aku? Eh, kenapa jadi GR begini akunya? Detik demi detik berlalu dengan aku masih membeku. Tidak tahu harus menjawab apa. Jadi gosip atau tidak kalau aku pergi dengannya?Sebuah mobil jaguar berwarna silver memasuki pelataran parkir. Pak Andre melihatnya dengan jengah. “Tidak jadi sarapan. Kalau ada yang cari, saya di ruang kerja, ya,” ucapnya datar kemudian kembali menaiki tangga dan menghilang ke lantai dua.Seorang wanita turun setelah supir membukakakan pintu. Wajahnya bagai artis korea. Sangat bening, sangat cantik. Tubuh tinggi semampai dan sangat seksi. Kedatangan memakai hem ketat press body berwarna hijau muda dengan rok span kain berwarna senada, sepanjang lutut. High heels sembilan sentimeter semakin memperjelas betapa elegan wanita ini.Sudah bisa jelas terlihat, dia orang kaya raya. Datang ke sini berarti hendak membeli mobil. Customer untukku! Dengan cepat, kurapikan pak
Sepasang manusia tanpa memakai sehelai kain pun sedang bermesraan di atas ranjang. Keduanya saling membelai tubuh satu sama lain. Sang lelaki sudah memakai cincin pernikahan di jemari manis, sementara sang wanita tidak memakai cincin serupa. Mereka baru saja selesai memadu kasih dua jam yang lalu. Setelah bercinta dengan panas, Ricky memesan makanan melalui room service. Keduanya makan, bahkan saling suap. Ciri khas seorang Ricky. Ia tidak memperbolehkan wanitanya memakai pakaian saat mereka berduaan. Sama seperti saat ia dengan Anissa di rumah. Ricky memangku Iin saat mereka melahap makan malam. Tubuh mereka berhadapan dengan posisi dada Iin tepat berada di depan wajah Ricky. Saat wanita itu menyuapi Ricky, sesekali tangan nakal si lelaki bergerilya ke dada montok kemudian meremasnya. Membuat Iin melenguh nikmat. Ingin membuat malam ini semakin liar, ia menggoda pacar gelapnya itu. Iin diminta untuk terus menyuapi sementara jari tengah Ricky bermain di sebua
“Iya, buka bajumu! Aku kangen banget!” ulangnya memintaku untuk melakukan sesuatu yang sama sekali tidak ada di dalam pikiran. Aku menggelengkan kepala. “Apa-apaan? Malu, ah!” tolakku. “Ngapain malu? Kita kan udah nikah, Beb? Justru kayak begini ini semakin mempererat cinta kita,” rayunya begitu maut. “Ayoooo, please? Aku mau liat buah dada montok istriku!” pintanya terus memasang wajah melas. “Nggak mau! Kalau mau liat ya entar aja waktu pulang! Dah, sana tidur!” Aku tetap menolak. Risih sekali rasanya kalau aku harus melakukan apa yang dia minta. “Yah, kamu itu. Nyenengin suami pahalanya besar, loh!” gerutunya cemberut. “Banyak cara bikin kamu senang. Nih! Yang ada di perut aku emangnya nggak bikin kamu senang?” tukasku membalas omongannya. “He he he, seneng banget kalau itu. Jadi makin kangen! Tunggu, ya, besok lusa aku pulang, Beb.” “Hmm. Udah sana tidur! Besok kan harus pagi?” “Iya, Mama,” Mas Ricky bercanda dengan
Wajah Mas Ricky langsung kaget ketika aku menanyakan asal usul ucapan nakalnya itu. Jelas saja dia kaget karena aku pun kaget. Kita sama-sama kaget! Gila benar, dari mana dia tahu adegan minta ampun seperti itu? Aku butuh jawaban! Dan aku butuh sekarang!“Jawab, Mas!” teriakku parau.“Apaan, sih? Pertanyaanmu selalu menuduh aku berselingkuh!” jawabnya ketus.“Tinggal jawab kenapa repot amat? Tinggal bilang kamu tahu dari mana segala enak sampai minta ampun?” desakku terus.“Iya … dari … ehm … aku kadang nonton film … itulah! Tau kan? Film dewasa!” jelas Mas Ricky malah menyeringai mesum.Keningku mengernyit. Iya, aku sendiri juga pernah melihat film dewasa, tetapi hanya sedikit-sedikit. Apa iya sampai minta ampun? Perasaan cuma mendesah teriak-teriak saja? Ih, yang bener seperti apa? Aku semakin bingung.Mas Ricky menggeser duduknya, semakin mendekatiku. “Udah
“Kamu ada tabungan bonus, Mas?” tanyaku setengah tidak percaya. “Sejak kapan?”“Udah lama, kenapa?” jawab Mas Ricky balik bertanya.“Kok aku nggak pernah tau? Di rekening apa?” desakku makin panik. Kenapa dia memiliki rekening bank yang sama sekali tidak kuketahui? “Berapa jumlah saldonya?”“Lumayan, rasanya cukup untuk nutupi kekurangan opname Papa.”“Lumayan berapa? Puluhan? Ratusan? Berapa, Mas?”“Kamu kenapa, sih? Kok malah marah dengar aku punya tabungan?”“Karena aku sama sekali tidak tau! Apa lagi yang kamu sembunyikan dari aku?” rintihku menangis.“Icha, kamu kenapa? Aku heran, ya, sama kamu! Tabungan itu buat kita. Masa depan kita. Kamu, aku, dan anak-anak! Kenapa jadi masalah?” Mas Ricky mulai kesal, membuatku terhenyak mendengar ucapannya. Masa depan kami?Mama mendekat. Sepertinya dari kejauhan ia
Diskusi siang ini dengan Mbak Lelly tergolong keras dan membuat patah hatiku. Jujur, aku berharap sahabatku itu mendukung keputusan untuk mengkonfrontasi semua temuanku tadi malam di ponsel Mas Ricky. Aku kira dia akan menyarankan supaya aku cepat pergi meninggalkan suamiku.Ternyata tidak, justru sahabatku ini mengajak agar aku menggunakan logika ketimbang perasaan. Berkali-kali dia mengatakan ini bukan sinteron. Ini kenyataan dan ada konsekuensi dari setiap pilihan yang kita ambil.“A-aku ng-nggak siap, Mbak,” jawabku lirih, menyerah.“Kamu hamil, papamu sakit. Satu-satunya yang bisa membiayai papamu Cuma Ricky. Masak iya kamu mau ribut sama dia sekarang? Kalau dia terus pergi dari kamu dan lari ke Iin gimana? Siap jadi wanita hamil tanpa suami? Kemana-mana sendiri?”“Mbak! Udah, stop! Aku nggak kuat!” protesku semakin miris mendengar andai-andai dari Mbak Lelly.“Orang sabar bukan berarti kalah, loh, Cha