Share

BAB 6 "VIDEO YANG HILANG"

“Cha? Kamu liat di mana nama Ardio Hendratmo?” desak Mas Ricky terus menerus.

Aku melengos, berusaha cuek saja. “Tauk, lupa, Mas!” jawabku ketus. “Jawab dulu, Mas. Suaminya si Tanti bakal marah nggak kalau tahu kalian masih deketan?”

“Kamu nggak hubungin Dio, kan?” tanya suamiku dengan wajah khawatir. "Kamu apa liat media sosialnya Tanti? Kamu stalking, ya?" 

Mas Ricky semakin terlihat khawatir. Aku juga semakin berpikir, kenapa dia takut sekali? Katanya cuma berteman? Bersahabat? Sampai kemarin bilang ke Tanti, "Salam untuk Dio." 

Aku kira, Mas Ricky kenal dengan Ardio, sampai titip salam begitu. Kenapa sekarang jadi panik begini? Sebenarnya bagaimana kisah mereka di waktu lalu? Aku semakin penasaran. 

“Dih, ngapain aku hubungan sama suami orang? Emangnya aku Tanti? Sorry, ya!” jawabku sinis. Kupastikan wajahku terlihat sinis supaya dia paham istrinya ini sedang cemburu luar biasa.

Mas Ricky diam. Ia menatapku galau. Bukan salahku, dong. Sudah seharusnya semua yang berhubungan dengan mantan itu dibuang jauh-jauh. Jadikan rumpon di dasar laut.

"Kamu belum jawab, Mas. Apa Ardio tahu, kamu dan Tanti berhubungan baik? Apa Ardio tahu, istrinya kirim hadiah sampai belasan juta? Duit siapa itu yang dibelanjain, Mas?" Kuberondong suamiku dengan pertanyaan telak. Ala-ala smash di badminton.

“Udah deh, nggak usah dibahas lagi, Cha. Kita mau senang-senang. Jangan bete lagi, ya?” pintanya menatapku, sedikit tersenyum.

“Hmm,” jawabku datar. Dalam hati aku semakin penasaran. Kenapa Mas Ricky seperti ketakutan ketika aku menyebut nama Ardio? Suaminya Tanti? Aku harus mencari tahu kisah sebenarnya.

***

Sepanjang rekreasi kami ke Malang, aku semakin mual melihat Mama Enik memakai tas Guess yang diberi Tanti. Apa tidak ada tas lain sampai harus pakai yang itu?

“Cha, mau bakso apa siomay?” tanya Mas Ricky menawarkan dua menu yang sebenarnya menjadi favoritku. Namun, entah kenapa aku malas sekali makan.

“Apa aja deh, Mas. Terserah kamu,” jawabku pasrah. “Aku malas makan!”

“Orang hamil jangan malas makan, Cha. Nanti cucu Mama kurang gizi gimana?” sela Mama Enik menegurku.

Kupandang mertuaku dengan takjub. Benar-benar dia tidak ada rasa bersalah padaku. Padahal, dia yang membuat hari ini menjadi hari yang menyebalkan untukku.

Aaargh! Andai saja aku tidak dididik untuk selalu patuh dan hormat kepada orang tua, mungkin sudah kutegur perilaku mertuaku ini. 

“Mama benar, Sayang. Ayo, makan yang banyak,” imbuh Mas Ricky membawa semangkuk bakso ke hadapanku. “Aku suapin, ya?”

“Cieeee! Kayak manten baru aja!” goda Dessy tertawa melihat kemesraan kami.

“Hmm,” jawabku mengangguk dan mulai membuka mulut. 

Jujur, aku menyukai bagaimana Mas Ricky mesra kepadaku. Selalu ada saja caranya meluluhkan hatiku. Apakah aku terlalu mudah memaafkan?

“Ricky, gimana kerjaanmu? Sudah naik pangkat, harus hati-hati. Biasanya banyak yang sirik!” pesan Mama Enik sembari menyeruput es jeruk.

“Iya, Ma. Aku selalu hati-hati, Kok.” Mas Ricky mengangguk setuju.

“Apalagi Anissa hamil. Hati-hati karena orang sirik suka nyerang keluarga, kalau nggak berhasil nyerang kamu!” lanjut mertuaku semakin membuat suasana mencekam.

“Udah, Ma. Nanti aku ketakutan sendiri, loh,” timpalku bercanda.

“Mama serius ini! Kalian harus ke orang pinter! Minta perlindungan! Wajib itu!” tegas Mama Enik.

“Nggak boleh, Ma. Itu termasuk musyrik nanti,” tolakku tidak kalah tegas.

“Ah, kamu itu sok tahu, Anissa! Mbok ya nurut saja kalau Mama kasih tau. Pacar-pacar Ricky dulunitu selalu nurut, loh, kalau Mama kasih nasihat!”

Kalimat Mama Enik membuat bakso ini menjadi hambar. Bahkan, seperti ada satu biji bakso yang mencekat tenggorokan hingga membuatku sulit bernapas. Lagi-lagi membawa mantan untuk menegurku. Ish!

Mas Ricky langsung menggenggam tanganku. Memberi isyarat agar tidak menjawab lagi. Tabiat Mama Enik yang tidak pernah mau dilawan atau disalahkan, membuatku harus ekstra sabar lagi dalam membina rumah tangga bersamanya. 

Aku kembali terdiam. Harusnya hari ini menjadi hari yang berbahagia. Merayakan kehamilanku. Namun, ternyata justru berubah menjadi hari yang menyedihkan untukku.

***

Malam ini Mas Ricky seperti biasa sudah tidur lebih dulu dan mengorok dengan begitu cepat. Pikiranku masih ruwet. Ada video yang seakan memanggil untuk dilihat. Ada nama Ardio pula yang masih mengganjal di benakku.

Ucapan Mbak Lelly yang mengatakan Mas Ricky misterius kembali terngiang. Benar kata sahabatku itu. Aku tidak terlalu banyak tahu tentang masa lalu suamiku. Kini, aku hanya bisa menggigit jari. Kebingungan sendiri.

Aku melirik ponselnya. Kubuka atau tidak? Rasa penasaran dengan video itu membuat mataku tidak bisa terpejam. Namun, aku juga takut kalau ternyata video itu membuatku pingsan.

Aaaah! Biarlah! Aku ambil ponselnya. Kutekan pola garis untuk membuka password. Segera kubuka penyimpanan media. Kucari folder rahasia yang kemarin.

Loh? Kenapa medianya bersih? Kemana semua gambar-gambar Tanti dan video misterius itu? Mataku mendelik. Siapa tahu aku salah buka folder? Kubuka semua, satu per satu, dengan teliti. Tidak ada lagi folder itu!

Aku jengkel setengah mati. Kenapa tidak kubuka sejak kemarin? Kalau begini, aku bisa penasaran sampai tua, bukan? Apa isi video itu, dan kenapa sudah dihapus?

***

“Ya, mungkin suamimu karena tahu kamu hamil terus tobat, Cha?” ucap Mbak Lelly menanggapi cerita soal video yang sudah tidak ada.

“Ah, mana mungkin, Mbak? Secepat itu? Nggak mungkin! Justru aku semakin curiga ada sesuatu beneran!”

“Positif thinking, Cah Ayu! Suami sendiri kok dijadikan tersangka terus?” kekeh Mbak Lelly.

Aku menghela napas kasar. Hati yang resah bertemu dengan rasa mual yang tidak berkesudahan membuatku sangat ingin marah dan menangis. Permasalahan dengan Tanti benar-benar menguras emosi dan kewarasanku.

“Eh, buka medsos suami Tanti, ah! Ardio Hendratmo,” celetukku teringat hal lain yang membuatku tidak bisa tidur selamalaman.

“Ngapain stalking suami orang?” tegur Mbak Lelly kurang suka.

Biar saja, nanti akan kuceritakan kepadanya tentang Mas Ricky yang ketakutan kalau aku mengenal Ardio.

Kutekan namanya dari medsos Tanti. Wow, memang benar-benar tampan orang ini! Pujiku dalam hati. Wajahnya seperti artis. Gayanya juga sangat stylish. Sudah ganteng begini, kenapa Tanti masih ruwet saja dengan suamiku?

“Dih, liat deh, Mbak. Masak suaminya Tanti ternyata ikut club mobil Ferarri di Jakarta,” gumamku asal bunyi.

“Orang kaya dong?” timpal Mbak Lelly kemudian mengambil ponsel dari tanganku. “Eh, iya, loh. Kuliahnya aja di USA!”

Belum sempat aku melihat lebih lanjut kehidupan seorang Ardio Hendratmo, pandangan tertuju pada bayangan yang ada di depan kaca. 

Pintu showroom terbuka dan seorang lelaki bermata sipit, berdagu agak runcing, dan berkulit putih bersih memasuki ruangan. Ia memakai hem lengan panjang berwarna biru tua yang digulung sampai sebatas siku. Celana kain berwarna hitam dengan model pensil. Sepatunya jelas terlihat mahal dari model dan pantulan cahaya di kulit sepatu yang berwarna hitam legam mengkilat.

“Selamat pagi,” sapanya ramah menatap kami berdua.

“P-pagi,” jawabku terbata karena masih silau dengan ketampanan lelaki itu.

“Selamat pagi, Pak Andre,” balas Mbak Lelly balik menyapa.

Aku bingung, kok dia bisa tahu nama orang ini? “Kok tahu namanya, Mbak?” bisikku.

“Ya ampun, Cha! Dia kan anaknya Pak Mukmin! Pemilik showroom kita!” jelas Mbak Lelly juga berbisik-bisik.

Kagetlah aku! Kenapa aku tidak tahu sama sekali mengenai dirinya?

“Anissa?” panggilnya duduk di depan mejaku.

“Ya, P-Pak?” balasku gugup.

BERSAMBUNG

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status