/ Romansa / Mengukir Impian Baru / Bab 4 - Keputusan yang Tepat

공유

Bab 4 - Keputusan yang Tepat

작가: Meina H.
last update 최신 업데이트: 2021-08-26 16:19:14

~Celeste~

Setelah memarkirkan mobil di halaman kampus, aku setengah berlari menuju kantor jurusanku. Suasana kampus sedang sepi karena perkuliahan sudah dimulai. Aku melihat sahabatku melambai-lambaikan tangannya ke arahku. Aku segera mendekatinya.

Melihat wajah bahagianya, aku mengerutkan kening. Kemarin Nola masih terlihat berduka karena khawatir tidak akan bisa membayar biaya kuliahnya untuk semester berikutnya. Jadi, dia mulai mencari-cari pekerjaan paruh waktu yang bisa dilamarnya untuk membantu memenuhi kebutuhan keluarganya sekaligus biaya kuliahnya.

Orang tuanya masih mencicil rumah dan kendaraan mereka, karena itu pendapatan bulanan mereka selalu habis untuk kebutuhan sehari-hari dan tagihan kredit. Yang disimpan juga hanya cukup untuk membayar biaya pendidikan Nola dan adik-adiknya.

“Terima kasih banyak, Cel.” Dia memeluk aku, lalu melompat-lompat bahagia. Aku terpaksa ikut melompat karenanya. Aku masih bingung dengan apa yang terjadi. “Papa dan mamaku sudah mendapatkan gaji mereka.” Aku membulatkan mataku tidak percaya. “Aku serius.”

“Syukurlah!” Aku memeluknya dan kini kami melompat-lompat bersama. Sepertinya Om Jarvis sudah mengirim uang yang dijanjikannya sehingga Papa bisa membayar gaji semua karyawan. Dua bulan gaji yang belum dibayarnya. Aku senang sekali bisa membantu.

“Apakah kamu sudah bertemu dengan dosen pembimbingmu?” tanyaku begitu teringat dengan tujuan utamaku datang ke kampus.

“Sudah. Sepertinya aku tidak perlu membayar biaya kuliah untuk semester depan. Hanya tinggal dua bab terakhir dan aku akan bisa maju sidang skripsi, Cel,” ucapnya bahagia.

“Semoga aku juga begitu. Aku harus menemuinya sekarang. Tunggu aku di sini.” Aku segera masuk ke kantor jurusanku dan menuju ruangan yang sudah berulang kali aku masuki di lantai dua.

Pria separuh baya yang menjadi dosen pembimbingku menerima kedatanganku. Dia mengambil setumpuk kertas yang segera aku kenali sebagai bahan karya ilmiahku. Satu per satu halaman pada bab yang sudah diperiksanya dijelaskannya kepadaku dan aku membulatkan mata ketika dia berkata bahwa sudah tidak ada masalah lagi pada bab tersebut.

Setelah satu bulan bergelut pada satu bab itu saja, aku akhirnya bisa bernapas lega. Pria itu hanya tertawa melihat ekspresi wajahku. Bab terakhir adalah bab yang paling mudah dan aku sudah menulis beberapa poin penting yang aku temui pada saat melakukan penelitian. Aku hanya perlu menggabungkannya ke dalam empat bab sebelumnya dan skripsiku pun selesai.

“Apakah besok Bapak datang ke kampus?” tanyaku dengan antusias.

“Kamu sudah menyelesaikan bab terakhir?” tanyanya agak terkejut. Aku mengangguk dengan cepat. “Datanglah pada waktu yang sama. Aku akan ada di sini. Jangan terlambat, karena aku ada jadwal mengajar pada pukul sepuluh.”

“Baik, Pak,” ucapku menurut. Aku pamit dan segera keluar dari ruangan itu, karena mahasiswa bimbingan yang lain sudah menunggu giliran mereka untuk berdiskusi dengannya.

Aku menarik napas panjang dan memeluk map dalam genggamanku. Kerja kerasku selama berbulan-bulan membuahkan hasil juga. Hanya tinggal bab terakhir. Aku segera menemui Nola di lantai bawah. Sahabatku itu sedang menatap tidak suka kepada pemuda yang sedang berbicara kepadanya. Pras.

“Apakah ada masalah, Nola?” tanyaku yang berdiri di dekatnya. Pemuda itu mendesah keras, lalu melihat ke arahku.

“Mengapa setiap kali aku berusaha berbicara dengan Nola, kamu selalu menganggap bahwa ada masalah di antara kami?” ucap Pras dengan kesal.

“Karena kamu sudah aku peringatkan untuk menjauh darinya dan jangan dekati dia lagi.” Aku menyilangkan kedua tangan di depan dadaku.

“Nola adalah pacarku,” protesnya.

“Mantan.” Aku segera meralatnya. “Begitu kamu jalan sambil merangkul gadis lain, hubunganmu dengan sahabatku sudah usai.”

“Nola, apakah kamu sudah bisu sehingga aku harus bicara denganmu melalui dia?” tanya Pras kepada sahabatku. Aku menatap pemuda itu dengan tajam.

“Biar aku yang bicara dengannya, Cel.” Nola menyentuh bahuku. Aku menurut. “Dengar. Sudah tidak ada lagi yang perlu kita bicarakan. Aku sudah katakan kepadamu, aku memberi kamu kesempatan terakhir. Dan aku mendapati kamu selingkuh lagi. Hubungan kita sudah berakhir.”

“Aku dan dia tidak punya hubungan apa-apa,” ucap Pras mencoba untuk menjelaskan. Lagi-lagi alasan yang sudah basi itu.

“Gadis itu tidak menganggap kamu bukan siapa-siapa. Dia mengaku bahwa kamu adalah pacarnya.” Nola meletakkan salah satu tangannya di pinggangnya. “Ada berapa mahasiswa di luar sana yang menjadi pacarmu? Atau jangan-jangan ada siswa SMU juga yang kamu dekati?”

“Kamu tidak bisa menuduh aku tanpa bukti begini,” protes Pras tidak terima.

“Kita hanya pacaran, Pras. Kamu tidak perlu bersikeras seperti ini. Kita bukan suami istri sehingga aku harus membuang waktuku untuk mendengarkan penjelasanmu lagi. Kamu sudah menyia-nyiakan kesempatan terakhirmu, ya, sudah. Kita putus. Jangan ganggu aku lagi.” Nola melihat ke arahku. “Ayo, Cel.”

Aku menatap pemuda itu dengan tajam dan berjalan bersama sahabatku menuju mobilku. Benar-benar pemuda yang tidak tahu malu. Hanya karena wajahnya ganteng sedikit, dia menebar pesona ke sana kemari menjaring cinta yang lain.

Nola membuat aku kagum hari ini. Dua bulan yang lalu dia begitu hancur hingga menangis berhari-hari saat menemukan pacarnya itu selingkuh dengan mahasiswa dari jurusan lain. Aku sampai kehabisan kata untuk membantu menghiburnya. Pemuda itu meminta maaf dan mereka kembali bersama, tetapi Nola masih merasakan sakit karena dikhianati.

Baru sebulan menjalani hubungan kembali, kami memergoki dia jalan berdua saja dengan gadis yang lain. Bukan gadis yang sama yang kami pergoki sebelumnya. Nola bertanya baik-baik siapa dia. Gadis tersebut dengan bangga menyebutnya sebagai pacar Pras. Tanpa basa-basi lagi, Nola mengatakan bahwa hubungan mereka berakhir.

Pengalaman kedua itu tidak seburuk kejadian pertama. Nola hanya menangis setiap kali mengingat kisah indah mereka dan tidak lagi menangis sepanjang hari karena laki-laki tak berguna itu. Namun Pras masih saja mengganggunya dan meminta kesempatan lagi. Dia menjanjikan hal yang sama yang sudah dilanggarnya dua kali. Siapa yang mau percaya lagi kepadanya?

“Untukmu.” Aku mengeluarkan sesuatu dari ranselku. Mata Nola membulat senang melihatnya.

“Kamu ingat hari ulang tahunku?” tanyanya tidak percaya. Aku hanya memutar bola mataku. Tentu saja aku ingat. Dia adalah satu-satunya sahabatku sejak kami menjadi mahasiswa di kampus ini. “Wah! Jam ini bagus sekali! Terima kasih, Cel.” Dia segera memeluk aku.

“Jam tangan tuamu sudah bisa dipensiunkan. Daripada kamu menghabiskan banyak uang untuk memperbaikinya, lebih baik kamu pakai jam ini.” Aku membuka pintu mobil. “Ayo, masuk.”

“Karena hari ini hari ulang tahunku, maka aku yang akan membayar makan siang kita,” ucap Nola setelah kami sama-sama duduk di jok depan. Aku tidak akan menolak makanan gratis.

Aku tertawa kecil saat mengetahui Nola memilih untuk makan siang di restoran milik keluargaku. Kami disambut dengan baik dan diantar ke meja yang masih kosong yang ada di lantai dua. Seorang pelayan memberikan kami buku menu dan kami menyebutkan pesanan kami masing-masing.

Nola adalah putri dari salah satu koki dan kasir yang bekerja di restoran ini. Namun aku baru mengetahuinya saat dia makan malam bersama keluarganya di restoran untuk merayakan ulang tahun salah satu adiknya. Aku hanya tahu dia adalah teman sekelasku di kampus.

Dia mengaku bahwa dia mengenal siapa aku ketika aku menyebut nama lengkapku. Namun dia segan mengobrol denganku karena aku adalah anak dari atasan orang tuanya. Setelah satu jam lebih memperbincangkan banyak hal, kami menemukan bahwa kami memiliki banyak kecocokan. Kami bersahabat baik sejak hari itu.

“Minuman dingin pesanan kalian,” ucap seorang pelayan dengan wajah ceria.

“Terima kasih,” ucapku dan Nola serentak. Kami mencicip minuman itu dan mendesah nikmat.

Suasana di dalam restoran jauh berbeda dibandingkan beberapa hari yang lalu saat aku datang untuk menemui Papa di ruang kerjanya. Wajah pegawai yang semula lesu dengan senyum yang dipaksakan, kini terlihat cerah tanpa beban. Mereka melakukan pekerjaan mereka dengan senyum bahagia yang menghiasi wajah mereka.

“Semua orang terlihat bahagia, ya?” ucap Nola, membenarkan dugaanku. “Mereka pasti baru mendapatkan gaji juga.” Aku mengangguk setuju.

Dengan keadaan ekonomi yang baik sekalipun, mencari pekerjaan baru bukanlah hal yang mudah. Namun aku tahu alasan mereka tetap bertahan. Mereka ingin menunjukkan kesetiaan mereka kepada Papa yang telah menjadi atasan yang baik selama mereka bekerja dengannya.

Koki dan pegawai yang bekerja bersama orang tuaku juga aku kenal dengan baik. Mereka rata-rata sudah menikah dan memiliki tanggung jawab atas keluarganya. Jika restoran ini ditutup, ke mana para pegawai akan mencari nafkah?

Apalagi aku melihat sendiri betapa sedih dan khawatirnya Nola dengan biaya kuliahnya karena gaji orang tuanya terlambat dibayar. Aku bisa membayangkan bahwa pegawai lain juga mengalami kesulitan yang sama. Jadi, menikah dengan Jason adalah pilihan yang tepat.

“Nah, makanan kita sudah datang!” Nola menepuk tangannya. “Semoga saja semua ini masakan papaku!” Aku dan pelayan yang mengantarnya tertawa.

Yang menjadi pertanyaan adalah orang seperti apa Jason yang sebenarnya? Apakah dia benar-benar pria yang ramah dan bersahabat seperti yang disampaikan oleh orang-orang di media? Untuk fisiknya, aku tidak punya keluhan. Yang aku khawatirkan adalah perangainya. Semoga saja dia tidak sama seperti adiknya yang aneh itu.

이 책을 계속 무료로 읽어보세요.
QR 코드를 스캔하여 앱을 다운로드하세요

최신 챕터

  • Mengukir Impian Baru   Bab 114 - Memulai Kisah Baru

    Pagi hari adalah waktu yang paling berat bagi kami berdua. Celeste sudah sulit bangun sendiri karena kondisi perutnya yang sangat besar. Aku berusaha untuk menolongnya, tetapi apa pun yang aku lakukan selalu salah di matanya. Dan dia sering sekali menangis. Sebentar lagi dia akan melahirkan, hanya itu yang membuatku bisa bertahan. Keadaan ini tidak permanen dan hanya sementara saja, aku selalu mengingatkan diri sendiri mengenai itu. Aku tidak sabar ingin bisa bertengkar lagi dengan istriku yang suka membantah. Hari ini adalah hari peringatan kematian Jason. Satu tahun sudah dia pergi meninggalkan kami dan hidup di keabadian. Tidak banyak yang berubah dalam kehidupan keluarga kami. Ayah dan Bunda sudah tidak sabar menunggu kelahiran cucu pertama mereka. Papa sibuk dengan dua restorannya. Nevan dan Naura belum juga mengalami perkembangan apa pun dalam hubungan mereka. Sembilan bulan lebih menjadi wakil Ayah, aku sangat menikmati pekerjaanku. Aku bahkan bekerja lebih santai dibandingka

  • Mengukir Impian Baru   Bab 113 - Pilihan Bunda

    Ya, ampun. Ini lebih mendebarkan dari yang aku duga. Dia sudah pernah melakukan lebih dari sekadar mencium leherku, tetapi aku tidak pernah merasakan segugup ini. Saat dia mencium tengkukku tadi, aku refleks menjauh darinya. Tenang, Este. Tenanglah. Ini hanya Jonah. Kekasihmu, cintamu, suamimu … Suamiku. Iya. Dia sudah bukan lagi sekadar tunanganku.Aku sudah terlalu lama berada di kamar mandi, jadi aku menarik napas panjang sebelum memutar kenop pintu. Aku lupa membawa pakaian ganti, maka aku hanya memakai mantel mandi untuk membungkus tubuhku. Jonah tidak bersikap aneh. Dia hanya menoleh ke arahku saat pintu terbuka, lalu dia berjalan melewatiku untuk menggunakan kamar mandi juga.Aku mendesah lega. Koperku sudah diletakkan di sisi tempat tidur. Aku mengambil celana pendek dan sebuah kaus, lalu cepat-cepat mengenakannya. Pemandangan kota pada malam hari dari jendela kamar sangat indah. Aku hanya bisa menatapnya sebentar karena aku merasa haus.

  • Mengukir Impian Baru   Bab 112 - Tidak Menyesal

    Rumah kami ramai dengan orang-orang yang membantu kami berdandan dan berpakaian dengan benar. Juga ada fotografer dan kamerawan yang mengabadikan setiap hal yang kami lakukan. Wanita yang diutus oleh event organizerlangganan keluarga kami juga datang untuk memastikan setiap persiapan akhir sudah beres.Aku sudah rapi dengan tuksedo hitamku, lengkap dengan semua asesoris yang harus aku kenakan. Aku pergi diam-diam menuju tempat pemakaman umum. Sampai di tempat peristirahatan terakhir saudaraku, aku duduk di makamnya. Korsase mawar putih yang aku bawa aku letakkan di atas kuburannya, dekat dengan nisannya.“Aku tidak mau orang lain yang menjadi pendampingku, jadi kamu harus melakukan tugas itu. Aku tidak peduli bagaimana caranya kamu bisa hadir nanti, kamu harus memakai korsase itu,” ucapku pelan. Aku menyentuh nisannya. “Bagaimana kabarmu di sana? Apakah kamu masih melakukan kebiasaan burukmu? Jangan tidur dengan sembarang perempuan lagi

  • Mengukir Impian Baru   Bab 111 - Hari yang Dinanti

    “Celeste?” tanya Retno dan Sari yang terkejut dengan kedatanganku pada pagi itu. Aku hanya tertawa kecil melihat wajah mereka.“Kamu akan menikah besok, mengapa kamu masih datang?” tanya Sari bingung.“Aku ingin menyelesaikan beberapa pekerjaan agar saat kembali nanti, Tyas tidak sengaja memberi laporan yang menggunung kepadaku.” Atasan kami itu hanya tertawa geli dari meja kerjanya.“Wah, wajah kamu terlihat lebih ceria. Beberapa hari ini kamu seperti orang yang akan menghadiri pemakaman, bukan pernikahanmu sendiri,” kata Retno menggodaku.“Hei, ini tempat kerja. Kalau mau mengobrol, nanti saat istirahat makan siang.” Tyas berseru dari mejanya. Kami tertawa cekikikan, lalu memasuki bilik kerja kami masing-masing.Pada saat istirahat makan siang, aku dan Jonah menjenguk Yosef dan Vita di kantor polisi. Aku membiarkan tunanganku bicara dengan sepupunya tanpa ikut campur. Pria itu sangat men

  • Mengukir Impian Baru   Bab 110 - Diciptakan untuk Bersama

    “Ada apa denganmu?” Aku menguatkan diriku untuk tetap bertahan menghadapinya. Tubuhku masih bergetar akibat kekuatan amarahnya. “Ini rumahku, jadi tolong jaga sikapmu.” “Kamu tidak bisa menikah dengan pria lain.” Dia berdiri dari tempat duduknya. “Apa?” Aku menatapnya tidak percaya. “Memangnya kamu siapa melarangku untuk menikah? Aku yakin Papa dan Kakak akan setuju dengan pria pilihanku. Dan hanya restu dari mereka yang aku butuhkan. Kamu dan aku bukan siapa-siapa lagi. Kita sudah putus, ingat?” “Dan kamu tidak akan mencium pria lain.” Dia berjalan mendekatiku. “Yang benar saja. Mana ada pasangan suami istri yang tidak pernah berciuman.” Aku mendengus mengejeknya. Dia berhenti di depanku dan menarik lenganku sehingga aku berdiri begitu dekat dengannya nyaris menyentuh dadanya. Aku meletakkan kedua tanganku di dadanya memberi jarak di antara kami. “Kamu juga tidak akan bercinta dengan pria lain.” Tangannya melingkari pinggangku dan bibirnya me

  • Mengukir Impian Baru   Bab 109 - Bicarakan dengan Baik

    Berani-beraninya dia mengakhiri hubungan begitu saja tanpa memberi penjelasan apa pun kepadaku. Aku bicara, berteriak, memohon, tetapi dia hanya mengabaikan aku. Tanpa perasaan sedikit pun, dia melajukan mobilnya pergi dari hadapanku. Dia boleh saja memasang wajah dingin tanpa ekspresinya itu. Tetapi aku tahu bahwa hatinya masih untukku. Dia bisa membohongi semua orang dengan omongan kasarnya, tidak denganku. Aku hanya perlu berusaha lebih keras untuk meyakinkannya lagi. Kami berdua diciptakan untuk bersama. Telepon dariku tidak diacuhkannya sepanjang malam itu. Aku tidak peduli, aku terus mengganggu dia. Jika aku tidak bisa tidur, maka dia juga tidak. Karena apa yang terjadi kepadaku adalah karena ulahnya. Aku hanya membutuhkan penjelasan. Aku berhak diperlakukan lebih baik dari ini. “Mengapa kalian masih mengikuti aku?” tanyaku kepada kedua pengawal yang langsung berjalan di sisiku saat aku keluar dari mobil Jonah. Dia yang menginginkan hubungan kami berakh

더보기
좋은 소설을 무료로 찾아 읽어보세요
GoodNovel 앱에서 수많은 인기 소설을 무료로 즐기세요! 마음에 드는 책을 다운로드하고, 언제 어디서나 편하게 읽을 수 있습니다
앱에서 책을 무료로 읽어보세요
앱에서 읽으려면 QR 코드를 스캔하세요.
DMCA.com Protection Status