~Celeste~
Setelah memarkirkan mobil di halaman kampus, aku setengah berlari menuju kantor jurusanku. Suasana kampus sedang sepi karena perkuliahan sudah dimulai. Aku melihat sahabatku melambai-lambaikan tangannya ke arahku. Aku segera mendekatinya.
Melihat wajah bahagianya, aku mengerutkan kening. Kemarin Nola masih terlihat berduka karena khawatir tidak akan bisa membayar biaya kuliahnya untuk semester berikutnya. Jadi, dia mulai mencari-cari pekerjaan paruh waktu yang bisa dilamarnya untuk membantu memenuhi kebutuhan keluarganya sekaligus biaya kuliahnya.
Orang tuanya masih mencicil rumah dan kendaraan mereka, karena itu pendapatan bulanan mereka selalu habis untuk kebutuhan sehari-hari dan tagihan kredit. Yang disimpan juga hanya cukup untuk membayar biaya pendidikan Nola dan adik-adiknya.
“Terima kasih banyak, Cel.” Dia memeluk aku, lalu melompat-lompat bahagia. Aku terpaksa ikut melompat karenanya. Aku masih bingung dengan apa yang terjadi. “Papa dan mamaku sudah mendapatkan gaji mereka.” Aku membulatkan mataku tidak percaya. “Aku serius.”
“Syukurlah!” Aku memeluknya dan kini kami melompat-lompat bersama. Sepertinya Om Jarvis sudah mengirim uang yang dijanjikannya sehingga Papa bisa membayar gaji semua karyawan. Dua bulan gaji yang belum dibayarnya. Aku senang sekali bisa membantu.
“Apakah kamu sudah bertemu dengan dosen pembimbingmu?” tanyaku begitu teringat dengan tujuan utamaku datang ke kampus.
“Sudah. Sepertinya aku tidak perlu membayar biaya kuliah untuk semester depan. Hanya tinggal dua bab terakhir dan aku akan bisa maju sidang skripsi, Cel,” ucapnya bahagia.
“Semoga aku juga begitu. Aku harus menemuinya sekarang. Tunggu aku di sini.” Aku segera masuk ke kantor jurusanku dan menuju ruangan yang sudah berulang kali aku masuki di lantai dua.
Pria separuh baya yang menjadi dosen pembimbingku menerima kedatanganku. Dia mengambil setumpuk kertas yang segera aku kenali sebagai bahan karya ilmiahku. Satu per satu halaman pada bab yang sudah diperiksanya dijelaskannya kepadaku dan aku membulatkan mata ketika dia berkata bahwa sudah tidak ada masalah lagi pada bab tersebut.
Setelah satu bulan bergelut pada satu bab itu saja, aku akhirnya bisa bernapas lega. Pria itu hanya tertawa melihat ekspresi wajahku. Bab terakhir adalah bab yang paling mudah dan aku sudah menulis beberapa poin penting yang aku temui pada saat melakukan penelitian. Aku hanya perlu menggabungkannya ke dalam empat bab sebelumnya dan skripsiku pun selesai.
“Apakah besok Bapak datang ke kampus?” tanyaku dengan antusias.
“Kamu sudah menyelesaikan bab terakhir?” tanyanya agak terkejut. Aku mengangguk dengan cepat. “Datanglah pada waktu yang sama. Aku akan ada di sini. Jangan terlambat, karena aku ada jadwal mengajar pada pukul sepuluh.”
“Baik, Pak,” ucapku menurut. Aku pamit dan segera keluar dari ruangan itu, karena mahasiswa bimbingan yang lain sudah menunggu giliran mereka untuk berdiskusi dengannya.
Aku menarik napas panjang dan memeluk map dalam genggamanku. Kerja kerasku selama berbulan-bulan membuahkan hasil juga. Hanya tinggal bab terakhir. Aku segera menemui Nola di lantai bawah. Sahabatku itu sedang menatap tidak suka kepada pemuda yang sedang berbicara kepadanya. Pras.
“Apakah ada masalah, Nola?” tanyaku yang berdiri di dekatnya. Pemuda itu mendesah keras, lalu melihat ke arahku.
“Mengapa setiap kali aku berusaha berbicara dengan Nola, kamu selalu menganggap bahwa ada masalah di antara kami?” ucap Pras dengan kesal.
“Karena kamu sudah aku peringatkan untuk menjauh darinya dan jangan dekati dia lagi.” Aku menyilangkan kedua tangan di depan dadaku.
“Nola adalah pacarku,” protesnya.
“Mantan.” Aku segera meralatnya. “Begitu kamu jalan sambil merangkul gadis lain, hubunganmu dengan sahabatku sudah usai.”
“Nola, apakah kamu sudah bisu sehingga aku harus bicara denganmu melalui dia?” tanya Pras kepada sahabatku. Aku menatap pemuda itu dengan tajam.
“Biar aku yang bicara dengannya, Cel.” Nola menyentuh bahuku. Aku menurut. “Dengar. Sudah tidak ada lagi yang perlu kita bicarakan. Aku sudah katakan kepadamu, aku memberi kamu kesempatan terakhir. Dan aku mendapati kamu selingkuh lagi. Hubungan kita sudah berakhir.”
“Aku dan dia tidak punya hubungan apa-apa,” ucap Pras mencoba untuk menjelaskan. Lagi-lagi alasan yang sudah basi itu.
“Gadis itu tidak menganggap kamu bukan siapa-siapa. Dia mengaku bahwa kamu adalah pacarnya.” Nola meletakkan salah satu tangannya di pinggangnya. “Ada berapa mahasiswa di luar sana yang menjadi pacarmu? Atau jangan-jangan ada siswa SMU juga yang kamu dekati?”
“Kamu tidak bisa menuduh aku tanpa bukti begini,” protes Pras tidak terima.
“Kita hanya pacaran, Pras. Kamu tidak perlu bersikeras seperti ini. Kita bukan suami istri sehingga aku harus membuang waktuku untuk mendengarkan penjelasanmu lagi. Kamu sudah menyia-nyiakan kesempatan terakhirmu, ya, sudah. Kita putus. Jangan ganggu aku lagi.” Nola melihat ke arahku. “Ayo, Cel.”
Aku menatap pemuda itu dengan tajam dan berjalan bersama sahabatku menuju mobilku. Benar-benar pemuda yang tidak tahu malu. Hanya karena wajahnya ganteng sedikit, dia menebar pesona ke sana kemari menjaring cinta yang lain.
Nola membuat aku kagum hari ini. Dua bulan yang lalu dia begitu hancur hingga menangis berhari-hari saat menemukan pacarnya itu selingkuh dengan mahasiswa dari jurusan lain. Aku sampai kehabisan kata untuk membantu menghiburnya. Pemuda itu meminta maaf dan mereka kembali bersama, tetapi Nola masih merasakan sakit karena dikhianati.
Baru sebulan menjalani hubungan kembali, kami memergoki dia jalan berdua saja dengan gadis yang lain. Bukan gadis yang sama yang kami pergoki sebelumnya. Nola bertanya baik-baik siapa dia. Gadis tersebut dengan bangga menyebutnya sebagai pacar Pras. Tanpa basa-basi lagi, Nola mengatakan bahwa hubungan mereka berakhir.
Pengalaman kedua itu tidak seburuk kejadian pertama. Nola hanya menangis setiap kali mengingat kisah indah mereka dan tidak lagi menangis sepanjang hari karena laki-laki tak berguna itu. Namun Pras masih saja mengganggunya dan meminta kesempatan lagi. Dia menjanjikan hal yang sama yang sudah dilanggarnya dua kali. Siapa yang mau percaya lagi kepadanya?
“Untukmu.” Aku mengeluarkan sesuatu dari ranselku. Mata Nola membulat senang melihatnya.
“Kamu ingat hari ulang tahunku?” tanyanya tidak percaya. Aku hanya memutar bola mataku. Tentu saja aku ingat. Dia adalah satu-satunya sahabatku sejak kami menjadi mahasiswa di kampus ini. “Wah! Jam ini bagus sekali! Terima kasih, Cel.” Dia segera memeluk aku.
“Jam tangan tuamu sudah bisa dipensiunkan. Daripada kamu menghabiskan banyak uang untuk memperbaikinya, lebih baik kamu pakai jam ini.” Aku membuka pintu mobil. “Ayo, masuk.”
“Karena hari ini hari ulang tahunku, maka aku yang akan membayar makan siang kita,” ucap Nola setelah kami sama-sama duduk di jok depan. Aku tidak akan menolak makanan gratis.
Aku tertawa kecil saat mengetahui Nola memilih untuk makan siang di restoran milik keluargaku. Kami disambut dengan baik dan diantar ke meja yang masih kosong yang ada di lantai dua. Seorang pelayan memberikan kami buku menu dan kami menyebutkan pesanan kami masing-masing.
Nola adalah putri dari salah satu koki dan kasir yang bekerja di restoran ini. Namun aku baru mengetahuinya saat dia makan malam bersama keluarganya di restoran untuk merayakan ulang tahun salah satu adiknya. Aku hanya tahu dia adalah teman sekelasku di kampus.
Dia mengaku bahwa dia mengenal siapa aku ketika aku menyebut nama lengkapku. Namun dia segan mengobrol denganku karena aku adalah anak dari atasan orang tuanya. Setelah satu jam lebih memperbincangkan banyak hal, kami menemukan bahwa kami memiliki banyak kecocokan. Kami bersahabat baik sejak hari itu.
“Minuman dingin pesanan kalian,” ucap seorang pelayan dengan wajah ceria.
“Terima kasih,” ucapku dan Nola serentak. Kami mencicip minuman itu dan mendesah nikmat.
Suasana di dalam restoran jauh berbeda dibandingkan beberapa hari yang lalu saat aku datang untuk menemui Papa di ruang kerjanya. Wajah pegawai yang semula lesu dengan senyum yang dipaksakan, kini terlihat cerah tanpa beban. Mereka melakukan pekerjaan mereka dengan senyum bahagia yang menghiasi wajah mereka.
“Semua orang terlihat bahagia, ya?” ucap Nola, membenarkan dugaanku. “Mereka pasti baru mendapatkan gaji juga.” Aku mengangguk setuju.
Dengan keadaan ekonomi yang baik sekalipun, mencari pekerjaan baru bukanlah hal yang mudah. Namun aku tahu alasan mereka tetap bertahan. Mereka ingin menunjukkan kesetiaan mereka kepada Papa yang telah menjadi atasan yang baik selama mereka bekerja dengannya.
Koki dan pegawai yang bekerja bersama orang tuaku juga aku kenal dengan baik. Mereka rata-rata sudah menikah dan memiliki tanggung jawab atas keluarganya. Jika restoran ini ditutup, ke mana para pegawai akan mencari nafkah?
Apalagi aku melihat sendiri betapa sedih dan khawatirnya Nola dengan biaya kuliahnya karena gaji orang tuanya terlambat dibayar. Aku bisa membayangkan bahwa pegawai lain juga mengalami kesulitan yang sama. Jadi, menikah dengan Jason adalah pilihan yang tepat.
“Nah, makanan kita sudah datang!” Nola menepuk tangannya. “Semoga saja semua ini masakan papaku!” Aku dan pelayan yang mengantarnya tertawa.
Yang menjadi pertanyaan adalah orang seperti apa Jason yang sebenarnya? Apakah dia benar-benar pria yang ramah dan bersahabat seperti yang disampaikan oleh orang-orang di media? Untuk fisiknya, aku tidak punya keluhan. Yang aku khawatirkan adalah perangainya. Semoga saja dia tidak sama seperti adiknya yang aneh itu.
Walaupun aku sudah tidak sabar ingin mengerjakan skripsiku, aku tidak bisa segera pulang ke rumah. Papa masih dirawat di rumah sakit. Kakak sedang bekerja, jadi Papa pasti kesepian jika sepanjang hari ini tidak ada yang menemani. Keadaan akan berbeda andai saja Mama masih hidup. Mama sudah meninggal dunia dua tahun yang lalu karena kanker otak yang dideritanya. Kanker itu baru diketahui ketika Mama sudah tidak bisa diselamatkan lagi. Kami berjuang bersama selama hampir enam bulan ketika Mama akhirnya mengembuskan napas yang terakhir. Aku masih sering melihat Papa berwajah sedih saat dia berpikir tidak ada yang sedang melihatnya. Hidup bersama selama dua puluh lima tahun pasti tidak mudah untuk membiasakan diri hidup tanpa pasangan lagi. Karena itu, aku mengerti mengapa Papa sangat berharap bisa mempertahankan restoran miliknya. Restoran itu adalah usahanya dari nol bersama Mama. Mereka memulai dari usaha warung makan kecil yang perlahan menerima katering. Pelanggan semakin banyak da
~Jonah~ Semua peserta rapat sudah berada di dalam ruangan ketika aku masuk bersama asistenku. Dia memimpin jalannya rapat dan aku hanya membaca serta mendengarkan laporan dari setiap kegiatan yang kami adakan pada minggu lalu, dan rencana kegiatan yang akan diadakan pada minggu ini. Seharusnya rapat ini kami adakan pada hari Senin, namun karena satu dan lain hal, rapat dibatalkan. Aku segera menolak ketika salah satu dari mereka begitu bersemangat untuk menaikkan target pada minggu ini. Kami mati-matian mengerahkan tenaga dan waktu untuk mencapai target pada minggu lalu. Jika target pada minggu ini dinaikkan, aku tidak bisa membayangkan berapa banyak waktu istirahat yang harus dikorbankan demi satu persen saja. “Pak Jonah benar. Kita bisa stabil memenuhi target pada setiap minggunya sudah sebuah prestasi. Itu saja dahulu yang kita pertahankan. Bila kita semua sudah terbiasa dengan ritmenya dan tidak mengalami kesulitan lagi, kita bisa menaikkan target sebagai percobaan,” kata Fabian
~Celeste~ Jantungku berdebar-debar saat menyerahkan skripsiku yang sudah utuh tersebut dari bab awal hingga terakhir. Dosen pembimbingku langsung membaca pada bab terakhir yang belum pernah dibacanya sama sekali. Dia mengangguk-anggukkan kepalanya, kemudian tersenyum. Tanganku mulai sakit karena aku meremasnya dengan kuat untuk mengurangi ketegangan yang aku rasakan. Jika aku mendapatkan lampu hijau, maka aku tidak perlu lagi bergelut dengan penelitian yang sudah aku kerjakan selama enam bulan ini. Jujur saja, aku sudah muak membacanya. “Apakah kamu mengubah sesuatu yang sudah aku periksa pada bagian dan bab sebelumnya?” tanya pembimbingku itu. “Tidak, Pak. Semuanya masih sama seperti yang Bapak periksa kemarin,” jawabku yang semakin harap-harap cemas. Dia menganggukkan kepalanya. “Kerja yang bagus,” pujinya dengan senyum di wajahnya. Dia memberikan tanda tangannya pada bagian depan skripsiku tersebut. “Kamu bisa menemui bagian administrasi untuk mengurus jadwal sidang skripsi kam
Tepat pada pukul empat sore, aku menuruni tangga menuju pintu depan. Bu Liana membukakan pintu untukku. Aku keluar rumah bertepatan dengan pintu gerbang dibuka dan sebuah mobil masuk ke halaman rumah kami. Mobil tersebut berhenti tepat di depanku. Seorang pria muda keluar dari sisi pengemudi. Dia menundukkan tubuhnya sedikit kepadaku lalu mengeliling mobil untuk membukakan pintunya untukku. Aku melihat Tante Inggrid melambaikan tangannya kepadaku. Aku segera masuk ke mobil. “Selamat sore, Tante,” sapaku dengan ramah. “Selamat sore. Kamu cantik sekali,” pujinya dengan tulus. “Terima kasih, Tante. Tante jauh lebih cantik.” Aku membalas pujiannya. Dia tertawa kecil. “Aku sudah tidak muda lagi, kecantikanku mana bisa dibandingkan dengan kamu,” ucapnya merendah. “Aku mendengar kabar bahwa Bisma sudah pulang dari rumah sakit, apakah papamu sudah baik-baik saja?” “Sudah, Tante. Papa sedang beristirahat di kamarnya,” jawabku. Dia menganggukkan kepalanya. “Aku senang sekali Jason akhirny
~Jonah~ “Jason belum pulang, Raihan?” tanya Bunda kepada kepala pelayan rumah kami. “Belum, Nyonya,” jawab pria itu dengan sopan. Bunda melihat ke arah Ayah. Setahuku, Jason berencana mengurus perjanjian dengan rekan bisnis Ayah untuk satu hari saja. Namun yang ada di ruang makan pada pagi harinya hanya Ayah dan Bunda. Itu artinya dia telah membatalkan kepulangannya semalam. Kali ini dia akan tinggal lebih lama untuk berapa hari? Aku tahu apa yang dia lakukan di luar sana setiap kali menunda kepulangannya saat melakukan perjalanan bisnis. Dia menghabiskan malam bersama seorang perempuan yang telah menarik perhatiannya di kota tersebut. Semakin lama dia tinggal di sana, maka semakin memuaskan wanita itu dalam melayaninya di tempat tidur. Jason sangat pintar menutupi hobi buruknya. Dia akan menggunakan waktunya pada siang dan sore hari dengan bermain golf, makan siang, atau minum kopi bersama dengan rekan bisnis yang ditemuinya sehingga Ayah tidak mencurigai motif utamanya tinggal l
~Celeste~ Makanan pesanan kami datang, Tante Inggrid yang mendominasi pembicaraan. Dia menceritakan kegiatan sehari-harinya sebagai seorang istri. Aktivitasnya lumayan padat dengan berbagai kegiatan di luar rumah. Aku berharap bahwa aku tidak perlu melakukan semua itu. Aku belum tahu apa yang menjadi tugasku nanti sebagai istri Jason. Dari cara Tante Inggrid memilih momen ini untuk menceritakan mengenai kegiatannya, sepertinya apa yang menjadi tanggung jawabku tidak akan jauh berbeda dengan itu. “Yang kamu dengar itu belum seberapa. Masih ada banyak lagi aktivitas lain yang Bunda kerjakan di luar sana,” timpal Jonah. Tante Inggrid yang baru menerima kartu kreditnya kembali dari pelayan hanya tersenyum. “Kamu akan terkejut bagaimana Bunda masih bisa mengomeli aku pada malam hari setelah mengerjakan semua hal yang melelahkan itu.” “Kira-kira seperti inilah percakapan kami di rumah nanti. Jadi kamu tidak akan terkejut lagi.” Tante tersenyum penuh arti. Melihat layar ponselnya menyala
Satu tim penata rias dan rambut datang ke rumah pada sore itu. Tante Inggrid yang mengirim mereka. Aku mempersilakan mereka untuk menunggu di ruang duduk dan aku menuju lantai atas untuk mengambil pakaian yang akan aku kenakan. Mereka menyampaikan warna apa saja yang akan mereka pilih untuk riasan pada wajahku dan model rambut yang cocok dengan tema acara yang akan aku hadiri. Aku setuju saja dengan semua pendapat mereka. Yang penting, Tante Inggrid tidak akan kecewa melihat hasilnya nanti. Wajahku dirias secara minimalis sehingga aku tidak terlihat lebih tua dari usiaku yang sebenarnya. Mereka menggunakan warna-warna lembut yang disesuaikan dengan warna gaunku. Rambutku dibiarkan tergerai dengan membentuk spiral pada ujungnya. Aku tersenyum pada bayanganku di cermin. Aku hampir tidak bisa mengenali diriku sendiri. Setelah membantu aku memakai gaunku, mereka meminta aku untuk berpose agar mereka bisa memotret hasil karya mereka tersebut. Mereka memotret aku cukup lama sampai bibirk
~Jonah~ Ada ruang kebugaran di rumah, tetapi aku lebih nyaman joging mengelilingi pekarangan setiap pagi. Aku bisa menghirup udara yang segar sekaligus mendapatkan sinar matahari yang menyehatkan. Aku juga bisa berkeringat daripada joging menggunakan treadmill di ruangan berpendingin. Terdengar deru halus mesin sebuah mobil saat aku menuju pintu depan rumah. Aku menoleh ke arah jalan masuk dari pintu gerbang rumah kami. Mobil Jason mendekat. Aku menghentikan langkah dan melihat dia keluar dari mobilnya. “Selamat pagi, adikku. Masih berusaha untuk membentuk tubuhmu supaya bisa seperti aku?” tanyanya setengah menggoda. “Kamu tahu bahwa itu sia-sia saja, ‘kan?” “Suatu hari nanti kesombonganmu itu akan merugikan dirimu sendiri,” kataku mengingatkan. “Tubuhku lebih bagus darimu. Itu adalah kenyataan.” Dia mengangkat kedua tangannya di sisi tubuhnya. Aku memutar bola mataku. “Aku membahas mengenai kepulanganmu yang sangat mendadak. Aku tidak peduli mengenai tubuh.” “Aku tidak terlamba