Share

Bakso dan Bukit

Sesampainya di kedai bakso, aku langsung melepaskan helm. Abang mengajak duduk di bangku paling pojok. 

Suasana kedai ini lumayan ramai. Ditambah letaknya dekat sebuah taman. Tempatnya juga rapi, bikin nyaman. Beberapa pasang muda-mudi terlihat menikmati salah satu makanan favorit orang Indonesia itu.

“Mang!” panggil Abang pada laki-laki berumur sekitar 30 tahunan. Yang dipanggil langsung menghampiri.

“Wah tumben Mas Dendy bareng cewek. Pacarnya ya, Mas?” 

“Halah si Amang kepo.” Kilah Abang cuek.

“Hehe ... Biasanya kan sendiri.”

“Bakso dua, satu mie putih doang jangan pake kecap. Satunya biasa ... campur!” seru Abang diiringi anggukan si Amang.

“Siap!” Laki-laki yang dipanggil Amang langsung membuatkan bakso.

“Abang sering ke sini?” tanyaku menatapnya. 

“Napa emang?”

“Idih, ditanya balik tanya.”

“Siapa suruh nanya.” 

Ck, menyebalkan amat jadi orang.

Tak berlangsung lama, bakso pesanan Abang sudah datang.

“Ini bakso Mas Dendy, ini buat Mbaknya.” Aku tersenyum menarik mangkuk bakso ke hadapan. 

“Makasih ya, Bang!” ucapku pada penjual bakso. 

“Amang, bukan Abang!” tukas Abang sewot.

“Iya. Makasih ya, Mang.” Aku mengulang ucapan. Si Amang malah senyam-senyum.

“Iya sama-sama. Minumannya apa, Mas, Mbak?” tanya penjual bakso ramah.

“Es jeruk peras dua,” sahut Abang tanpa bertanya dahulu padaku. Penjual bakso bergegas ke tempat bagian minuman.

Tangan Abang mengambil botol saus, sambel dan cuka.

“Abang kenapa gak tanya aku dulu sih mau pesan apa-apanya?”

“Lah kebiasaan lo kan emang gitu. Bakso mie putih doang jangan pake kecap, minuman favorit lo es jeruk peras.”  Abang mengabsen makanan dan minuman favoritku.

“Ya kan nanya aku dulu ke.”

“Halah sama aja. Kalo lo yang pesan, nanti si Amang malah natap lo. Klo gue yang pesenin kan, mau gak mau fokus lihat gue!” Aku mengerutkan dahi. 

“Maksudnya apa sih? Emang kenapa si Amang natap aku?” Aku protes. Pemikiran Abang aneh. Abang menghentikkan suapan baksonya lalu menatapku intens.

“Si Amang duda. Mau lo ditaksir laki-laki duda?” cetus Abang, matanya melotot seperti menakuti.

“Idih ... Ya gak maulah. Enak aja!”

“Ya makanya. Jangan bawel. Makan tuh baksonya!”

“Iya.” Aku mengambil satu sendok sambel tanpa saos. 

Rasa baksonya enak juga. Apalagi butiran bakso yang ukurannya paling besar, isi dalamnya penuh sama irisan daging.

Terlihat Abang memakan bakso dengan lahap. Kayaknya dia benar-benar kelaparan.

“Abang.”

“Hm?”

“Makannya pelan-pelan napa. Ntar kesedak!” Abang mendongak. Menatapku cukup lama, bikin aku salah tingkah. Aduh, bakal dikatain bawel nih.

“Iya.”

Hah? Iya doang? Tumben gak ngatain bawel, gak ngomel-ngomel. Aku tersenyum melihat cara makan Abang  yang berubah pelan-pelan. 

“Es jeruknya, Mas, Mbak.”

“Makasih, Mang!” seru Abang mendahuluiku.

Aku menyeruput es jerus peras hingga habis. Es jeruk peras memang minuman favoritku.

“Mau bungkus gak?” tawar Abang saat kami sudah menghabiskan satu mangkuk bakso. Aku menggeleng.

“Enggak ah. Kenyang!”

“Jangan kemana-mana. Abang mau bayar dulu.” Aku mengangguk.

Abang bangkit menghampiri penjual bakso. Selesai membayar, Abang mendekatiku. 

“Ayok!” 

Eh! Kenapa Abang pegang telapak tanganku? Aku berusaha melepaskan, tapi genggaman Abang justru semakin erat.

“Mang, nitip motor ya?” seru Abang saat kami keluar kedai.

“Siap, Mas!” sahut penjual bakso.

“Abang mau kemana? Ini tangan aku lepasin dulu.”

“Lo diem deh. Ntar kalo ilang, repot!”

Nih orang ngasal banget sih? Masa iya aku hilang. Akhirnya mau tak mau aku mengikuti langkah Abang.

Kami berjalan menuju arah barat. Hampir lima belas menit berjalan, Abang mengajakku naik ke atas sebuah bukit kecil. Letaknya lumayan jauh dari jalan raya. 

“Mau ngapain ke sini?” Sejujurnya, saat ini aku merasa takut. Kulirik laki-laki yang rambutnya di atas pundak dibiarkan tergerai itu. Aku menatap sekeliling. Sepi, tidak ada siapa-siapa.

“Abang!” Aku menarik tangan dengan kuat dari genggaman tangannya hingga terlepas. Abang menatapku heran.

“Napa?”

“Mau ngapain di sini?” 

“Enggak di sini. Di atas sana! Ayok naik dulu.”

“Gak mau!”

“Astaga!” Abang mengacak rambutnya. Bukan aku gak percaya sama dia. Sejujurnya saat ini aku takut. 

“Lo takut gue apa-apain? Di sini emang sepi. Tapi di atas sana banyak orang. Kalo sampe gue apa-apain, lo bisa dorong gue ke jurang.” Abang berusaha meyakinkan. Akhirnya aku mau mendaki bukit lagi. 

Memakan waktu sekitar lima menit, kami tiba di puncak. Ternyata benar, di atas banyak orang. Rata-rata pasangan muda-mudi. Ada juga beberapa pedagang jagung bakar, warung kopi dan rumah makan kecil. Pasangan muda mudi tersebut duduk beralaskan tikar. 

“Kita duduk di sana!” tunjuk Abang di sudut bukit yang mengarah selatan. Aku mengikuti. Semilir angin menembus kemeja tunik yang aku kenakan. Menyilangkan tangan ke depan dada untuk menghalau rasa dingin.

Mataku membulat, saat melihat kerlap kerlip lampu dari atas bukit. Ditambah dengan keadaan langit yang bertaburan bintang. Sangat indah.

“Masya Allah ....” Aku menutup mulut dengan kedua tangan. Merasa takjub dengan pemandangan di depan mata. Ciptaan Allah sungguh sangat indah. 

“Lo suka?” Aku menoleh. Langsung mengangguk.

“Makanya ... jangan suuzhon duluuuu ....” sindir Abang duduk di atas tikar yang sudah tersedia.

“Ya maaf ....” ucapku menyesal. Tepatnya malu sih.

“Mau kapan berdiri? Sini duduk!” Abang menepuk alas tikar samping kiri. Aku pun mengikuti titahnya.

“Abang sering ke sini?”

“Emang kenapa?”

Bugh! 

Kupukul bahunya. Sebal. Ditanya selalu balik tanya.

Abang meringis.

“Berani pukul ya sekarang? Potong duit jajan!” Ancamnya. Bibirku  mengerucut.

“Lo mau jagung bakar?” 

Aku menggeleng.

“Enggak. Masih kenyang. Bang, tempat ini indah banget. Apalagi kalau ditemenin pacar!” ujarku sumringah.

“Pacar-pacar! Pikiran lo pacaran mulu! Heran!” cerocos Abang macam emak-emak.

“Yeeeeyy ... biariin! Kalau gak pacar, sama suami juga boleh.” Abang menoleh. Sesaat, kami saling pandang.

“Lo udah kepikiran buat nikah?”

“Iyalah. Aku kan kuliah bentar lagi beres. Habis itu kerja. Habis itu nikah. Mau ngapain lagi?”

“Kalo udah nikah, lo masih mau kerja?”

“Tergantung! Kalau suaminya udah mampu nyukupin keuangan rumah tangga, di rumah aja. Masak, ngurus suami, ngurus anak, Kayak Bunda!" jawabku melirik Abang yang ternyata masih memandangku. Abang memposisikan tubuh agar lebih menghadap. Aku pun mengikutinya. Kini kami saling berhadapan.

“Lo pengen punya suami yang kayak gimana?” Kedua mata Abang menatapku serius. Mataku menerawang ke atas langit.

“Yang pasti dia sayang aku, hargai aku sebagai istrinya, tanggung jawab, hmmm rajin sholat. Hehehe.” Abang manggut-manggut.

“Gak harus ganteng kan?”

“Harus sih, tapi ganteng juga percuma kalau playboy!” Tukasku memutar badan menghadap selatan.

“Kalau suaminya Abang, mau?”

Seketika aku terkejut mendengar pertanyaan Abang. Aku menoleh kembali.

“Suaminya siapa?” tanyaku pura-pura tak mendengar. Raut wajah Abang nampak kesal. Dia mendesah.

“Bang, suaminya siapa?” tanyaku mendesak. 

"Abang ... Suaminya siapa??" Aku mengulang pertanyaan sembari menggoyang-goyangkan bahunya.

“Kambinggg!!”

"Hwahahhahaa ...." Tawaku seketika pecah. Abang-Abang ... gengsian banget!

Komen (4)
goodnovel comment avatar
Asri Maulianaa
ngakak terus daritadi .........
goodnovel comment avatar
Farida Tan
Seru seru lanjut baca
goodnovel comment avatar
Isabella
seruh banget
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status