Share

Bakso dan Bukit

Penulis: Syatizha
last update Terakhir Diperbarui: 2021-07-16 12:22:26

Sesampainya di kedai bakso, aku langsung melepaskan helm. Abang mengajak duduk di bangku paling pojok. 

Suasana kedai ini lumayan ramai. Ditambah letaknya dekat sebuah taman. Tempatnya juga rapi, bikin nyaman. Beberapa pasang muda-mudi terlihat menikmati salah satu makanan favorit orang Indonesia itu.

“Mang!” panggil Abang pada laki-laki berumur sekitar 30 tahunan. Yang dipanggil langsung menghampiri.

“Wah tumben Mas Dendy bareng cewek. Pacarnya ya, Mas?” 

“Halah si Amang kepo.” Kilah Abang cuek.

“Hehe ... Biasanya kan sendiri.”

“Bakso dua, satu mie putih doang jangan pake kecap. Satunya biasa ... campur!” seru Abang diiringi anggukan si Amang.

“Siap!” Laki-laki yang dipanggil Amang langsung membuatkan bakso.

“Abang sering ke sini?” tanyaku menatapnya. 

“Napa emang?”

“Idih, ditanya balik tanya.”

“Siapa suruh nanya.” 

Ck, menyebalkan amat jadi orang.

Tak berlangsung lama, bakso pesanan Abang sudah datang.

“Ini bakso Mas Dendy, ini buat Mbaknya.” Aku tersenyum menarik mangkuk bakso ke hadapan. 

“Makasih ya, Bang!” ucapku pada penjual bakso. 

“Amang, bukan Abang!” tukas Abang sewot.

“Iya. Makasih ya, Mang.” Aku mengulang ucapan. Si Amang malah senyam-senyum.

“Iya sama-sama. Minumannya apa, Mas, Mbak?” tanya penjual bakso ramah.

“Es jeruk peras dua,” sahut Abang tanpa bertanya dahulu padaku. Penjual bakso bergegas ke tempat bagian minuman.

Tangan Abang mengambil botol saus, sambel dan cuka.

“Abang kenapa gak tanya aku dulu sih mau pesan apa-apanya?”

“Lah kebiasaan lo kan emang gitu. Bakso mie putih doang jangan pake kecap, minuman favorit lo es jeruk peras.”  Abang mengabsen makanan dan minuman favoritku.

“Ya kan nanya aku dulu ke.”

“Halah sama aja. Kalo lo yang pesan, nanti si Amang malah natap lo. Klo gue yang pesenin kan, mau gak mau fokus lihat gue!” Aku mengerutkan dahi. 

“Maksudnya apa sih? Emang kenapa si Amang natap aku?” Aku protes. Pemikiran Abang aneh. Abang menghentikkan suapan baksonya lalu menatapku intens.

“Si Amang duda. Mau lo ditaksir laki-laki duda?” cetus Abang, matanya melotot seperti menakuti.

“Idih ... Ya gak maulah. Enak aja!”

“Ya makanya. Jangan bawel. Makan tuh baksonya!”

“Iya.” Aku mengambil satu sendok sambel tanpa saos. 

Rasa baksonya enak juga. Apalagi butiran bakso yang ukurannya paling besar, isi dalamnya penuh sama irisan daging.

Terlihat Abang memakan bakso dengan lahap. Kayaknya dia benar-benar kelaparan.

“Abang.”

“Hm?”

“Makannya pelan-pelan napa. Ntar kesedak!” Abang mendongak. Menatapku cukup lama, bikin aku salah tingkah. Aduh, bakal dikatain bawel nih.

“Iya.”

Hah? Iya doang? Tumben gak ngatain bawel, gak ngomel-ngomel. Aku tersenyum melihat cara makan Abang  yang berubah pelan-pelan. 

“Es jeruknya, Mas, Mbak.”

“Makasih, Mang!” seru Abang mendahuluiku.

Aku menyeruput es jerus peras hingga habis. Es jeruk peras memang minuman favoritku.

“Mau bungkus gak?” tawar Abang saat kami sudah menghabiskan satu mangkuk bakso. Aku menggeleng.

“Enggak ah. Kenyang!”

“Jangan kemana-mana. Abang mau bayar dulu.” Aku mengangguk.

Abang bangkit menghampiri penjual bakso. Selesai membayar, Abang mendekatiku. 

“Ayok!” 

Eh! Kenapa Abang pegang telapak tanganku? Aku berusaha melepaskan, tapi genggaman Abang justru semakin erat.

“Mang, nitip motor ya?” seru Abang saat kami keluar kedai.

“Siap, Mas!” sahut penjual bakso.

“Abang mau kemana? Ini tangan aku lepasin dulu.”

“Lo diem deh. Ntar kalo ilang, repot!”

Nih orang ngasal banget sih? Masa iya aku hilang. Akhirnya mau tak mau aku mengikuti langkah Abang.

Kami berjalan menuju arah barat. Hampir lima belas menit berjalan, Abang mengajakku naik ke atas sebuah bukit kecil. Letaknya lumayan jauh dari jalan raya. 

“Mau ngapain ke sini?” Sejujurnya, saat ini aku merasa takut. Kulirik laki-laki yang rambutnya di atas pundak dibiarkan tergerai itu. Aku menatap sekeliling. Sepi, tidak ada siapa-siapa.

“Abang!” Aku menarik tangan dengan kuat dari genggaman tangannya hingga terlepas. Abang menatapku heran.

“Napa?”

“Mau ngapain di sini?” 

“Enggak di sini. Di atas sana! Ayok naik dulu.”

“Gak mau!”

“Astaga!” Abang mengacak rambutnya. Bukan aku gak percaya sama dia. Sejujurnya saat ini aku takut. 

“Lo takut gue apa-apain? Di sini emang sepi. Tapi di atas sana banyak orang. Kalo sampe gue apa-apain, lo bisa dorong gue ke jurang.” Abang berusaha meyakinkan. Akhirnya aku mau mendaki bukit lagi. 

Memakan waktu sekitar lima menit, kami tiba di puncak. Ternyata benar, di atas banyak orang. Rata-rata pasangan muda-mudi. Ada juga beberapa pedagang jagung bakar, warung kopi dan rumah makan kecil. Pasangan muda mudi tersebut duduk beralaskan tikar. 

“Kita duduk di sana!” tunjuk Abang di sudut bukit yang mengarah selatan. Aku mengikuti. Semilir angin menembus kemeja tunik yang aku kenakan. Menyilangkan tangan ke depan dada untuk menghalau rasa dingin.

Mataku membulat, saat melihat kerlap kerlip lampu dari atas bukit. Ditambah dengan keadaan langit yang bertaburan bintang. Sangat indah.

“Masya Allah ....” Aku menutup mulut dengan kedua tangan. Merasa takjub dengan pemandangan di depan mata. Ciptaan Allah sungguh sangat indah. 

“Lo suka?” Aku menoleh. Langsung mengangguk.

“Makanya ... jangan suuzhon duluuuu ....” sindir Abang duduk di atas tikar yang sudah tersedia.

“Ya maaf ....” ucapku menyesal. Tepatnya malu sih.

“Mau kapan berdiri? Sini duduk!” Abang menepuk alas tikar samping kiri. Aku pun mengikuti titahnya.

“Abang sering ke sini?”

“Emang kenapa?”

Bugh! 

Kupukul bahunya. Sebal. Ditanya selalu balik tanya.

Abang meringis.

“Berani pukul ya sekarang? Potong duit jajan!” Ancamnya. Bibirku  mengerucut.

“Lo mau jagung bakar?” 

Aku menggeleng.

“Enggak. Masih kenyang. Bang, tempat ini indah banget. Apalagi kalau ditemenin pacar!” ujarku sumringah.

“Pacar-pacar! Pikiran lo pacaran mulu! Heran!” cerocos Abang macam emak-emak.

“Yeeeeyy ... biariin! Kalau gak pacar, sama suami juga boleh.” Abang menoleh. Sesaat, kami saling pandang.

“Lo udah kepikiran buat nikah?”

“Iyalah. Aku kan kuliah bentar lagi beres. Habis itu kerja. Habis itu nikah. Mau ngapain lagi?”

“Kalo udah nikah, lo masih mau kerja?”

“Tergantung! Kalau suaminya udah mampu nyukupin keuangan rumah tangga, di rumah aja. Masak, ngurus suami, ngurus anak, Kayak Bunda!" jawabku melirik Abang yang ternyata masih memandangku. Abang memposisikan tubuh agar lebih menghadap. Aku pun mengikutinya. Kini kami saling berhadapan.

“Lo pengen punya suami yang kayak gimana?” Kedua mata Abang menatapku serius. Mataku menerawang ke atas langit.

“Yang pasti dia sayang aku, hargai aku sebagai istrinya, tanggung jawab, hmmm rajin sholat. Hehehe.” Abang manggut-manggut.

“Gak harus ganteng kan?”

“Harus sih, tapi ganteng juga percuma kalau playboy!” Tukasku memutar badan menghadap selatan.

“Kalau suaminya Abang, mau?”

Seketika aku terkejut mendengar pertanyaan Abang. Aku menoleh kembali.

“Suaminya siapa?” tanyaku pura-pura tak mendengar. Raut wajah Abang nampak kesal. Dia mendesah.

“Bang, suaminya siapa?” tanyaku mendesak. 

"Abang ... Suaminya siapa??" Aku mengulang pertanyaan sembari menggoyang-goyangkan bahunya.

“Kambinggg!!”

"Hwahahhahaa ...." Tawaku seketika pecah. Abang-Abang ... gengsian banget!

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (5)
goodnovel comment avatar
Dewi Atin
seru sih..tp harus pakek koin..
goodnovel comment avatar
Asri Maulianaa
ngakak terus daritadi .........
goodnovel comment avatar
Farida Tan
Seru seru lanjut baca
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terbaru

  • Menikah Dengan Abang (Abang Angkat)   Melahirkan

    PoV Abang Setelah acara peresmian selesai, aku segera meninggalkan tempat acara. Ingin cepat-cepat menemui Ayu. Tadi Bunda menelepon, katanya Ayu sudah dibawa ke rumah sakit. Dokter bilang, Ayu sudah mulai pembukaan dua. “Bang, tunggu!” seru Sabrina yang memang ikut datang bersama Sudira. Aku menghentikkan langkah, membalikkan badan. Sabrina dan Dira mendekati. “Ada apa?” sabrina mengatur napas. “Papa gimana kabarnya?” Aku menghela napas. “Udah nemuin belum?” Aku balik tanya. Kali ini Sabrina harus mau menemui Papanya. Kasihan Om Rahmat, kesepian. Aku tidak akan membiarkan salah satu amggota keluarga hidup sebatang kara lagi. Sabrina menggeleng. “Kamu temui dulu. Sorry, gue lagi buru-buru.” Aku melanjutkan langkah dengan cepat menuju parkiran. tapi pasangan itu terus mengikuti. “Bang, aku serius. Papa gimana keadaannya?” Sabrina berusaha mensejajarkan langkah. “Nanti aku kirim alamat apartemennya.” Ucapku masuk ke dalam mobil. “Ada apa sih buru-buru?” Rina tidak sabaran. “Ay

  • Menikah Dengan Abang (Abang Angkat)   Peresmian dan Persalinan

    PoV Abang“Om gak nyangka secepat ini ditinggalkan Cindy. Padahal Om mulai yakin, kalau dia benar-benar sayang Om. Tidak hanya menginginkan uang Om.” Tutur Om Rahmat di tengah isak tangisnya. Aku menghela napas sebelum menanggapi.“Jodoh, rejeki, kematian, itu semua rahasia Tuhan. Om harus sabar dan ikhlas, biar Cindy tenang di sana.” Kucoba menghibur Papanya Sabrina. Ia terlihat sedih sekali. Kepalanya merunduk. Sesekali menyeka cairan yang keluar dari hidung dan mata. Aku tahu bagaimana rasanya kehilangan orang yang kita sayangi. Saat kehilangan Ayah, berbulan-bulan kehilangan gairah hidup. Murung di kamar, enggan berbicara, bahkan kebiasaanku menjahili Ayu pun hilang dalam beberapa waktu.“Iya, Den. Om akan berusaha untuk ikhlas. Terima kasih.”Aku melongok ke atas, melihat keadaan apartemen yang sebagiannya sudah hangus terbakar. Api sudah tidak lagi berkobar.&

  • Menikah Dengan Abang (Abang Angkat)   Kebakaran

    PoV Abang Pukul delapan pagi, tiba di kantor. Bertepatan dengan kedatangan Dion. Kami bertemu di area parkir. “Dira udah datang dari jam tujuh katanya,” ujar Dion mensejajari langkahku. “Wah tumben? Ada apa?” “Ada yang mau dibicarain soal perumahan itu. Dia mau langsung ke sana hari ini.” Saat melewati lobby, terlihat Dira sedang berbincang dengan seorang wanita. Aku dan Dion menghampiri Dira seketika pembicaraan mereka terhenti. “Pagi, Pak Dendi, Pak Dion.” Sapa Dira berdiri. Wanita di sampingnya membuang muka, menyeka air mata. “Pagi. Eh, bukannya itu Rina ya?” tanyaku melongok wanita yang kini berdiri di samping Dira. “Iya, Bang. Aku Rina,” sahut anak kedua Om Rahmat. “Ya udah, Ayo kita naik ke atas.” Ajakku pada mereka. Dion sudah lebih dahulu naik ke atas. Mungkin mempersiapkan beberapa berkas terkait proyek perumahan yang ditangani Dira. “Aku nunggu di sini aja,” ucap Rina. “Kamu ikut. Ada yang mau saya bicarakan.” Kataku berjalan lebih dulu dari Sabrina dan Sudira. M

  • Menikah Dengan Abang (Abang Angkat)   Bidadari Dalam Mimpi

    PoV BundaAku hanya menghela napas. Bingung, harus bersikap bagaimana. Kakak kandungku menikah dengan wanita yang pernah dekat dengan Mas Bram. Haruskah berdiam diri, membiarkan Bang Yadi dikuras uangnya perlahan-lahan?“Riana, aku berani sumpah. Aku tidak pernah lagi menghubungi dia. Aku juga gak tahu, kalau dokter punya hubungan dengannya? Riana aku minta maaf.” Menoleh, menatap kedua netra laki-laki yang telah bertahun-tahun aku cintai. Kupaksakan bibir ini untuk tersenyum.“Aku percaya sama kamu, Mas.” Mas Bram terlihat lega. Ia menggenggam telapak tanganku lalu mengecupnya berkali-kali.“Aku janji! Gak akan mendekati wanita lain lagi. Apalagi mendekati Cindy atau Sari. Tidak akan, Riana!”“Sari? Maksud Mas apa?” Aku heran, kenapa Mas Bram menyebut nama Sari? Sikap suamiku salah tingkah kembali. Ia sekarang tampak gusar. Melepas

  • Menikah Dengan Abang (Abang Angkat)   Perubahan Dokter Rahmat

    PoV BundaTak kusangka, dokter Rahmat yang tak lain adalah Kakak kandungku bertandang ke rumah lagi. Mas Bram yang kebetulan sedang ada di rumah menyambutnya cukup ramah, seolah kejadian malam tempo hari itu tidak terjadi. Bang Yadi dan Mas Bram duduk di kursi teras, mereka berbincang seolah tidak terjadi apa-apa. Aku ke dalam membawa dua cangkir kopi, menyuguhkannya pada suamiku dan Bang Yadi.“Jadi, kau juga sudah menemui Ibu?”Degh!Pertanyaan Mas Bram yang dilontarkan untuk Bang Yadi membuatku tersentak. Maksud Mas Bram Ibu siapa ya? Aku menarik kursi satunya, duduk di sebelah Mas Bram.“Sudah. Aku yakin, kalau beliau memang wanita yang telah melahirkanku dan Tari.”Jawaban Bang Yadi membuatku salah tingkah. Mas Bram dan Bang Yadi sudah bertemu dengan wanita itu, dan mereka sangat yakin kalau wanita yang tinggal di rumah Dendi adalah Ibuku dan B

  • Menikah Dengan Abang (Abang Angkat)   Pemakaman

    PoV Abang“On, telepon Pak Heru. Kita nunggu di rumah Firman aja. Sekalian bilang ke Pak Heru, jenazah Herlina langsung urus di sana. Dari mulai dimandiin, dikafanin, dan juga dishalatin. Biar nanti di daerah kediaman Firman, kita persiapkan pemakamannya aja.” Kataku sambil menyetir.“Oke.” Dion langsung menghubungi komandan Heru Rudhiat.Sekian menit Dion berbicara dengan Komandan Heru. Sesekali aku menoleh, memastikan segala yang aku usulkan disanggupi.“Gimana, On?” tanyaku, begitu Dion mengakhiri sambungan telepon.“Iya. Jenazah Herlina diurus di sana. Tadi Pak Heru bilang, jam dua siang, Herlina dibawa ke rumah sakit. Sempat mengalami perawatan. Nah jam tiga, dia meninggal.”“Oh begitu. Sekarang udah dikafani belum?”“Tadi katanya lagi dimandiin sama pihak pemandi mayat rumah sakit

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status