Share

Menyampaikan Rencana

Author: Syatizha
last update Last Updated: 2021-07-16 12:09:21

Masuk ke dalam rumah, aku senyam-senyum sendiri. Bersyukur banget sikap Abang tidak berubah.

“Ayu, kenapa senyum-senyum gitu, Nak? Hmmm ... dianterin pacarnya ya?” Bunda menggodaku saat berpapasan di ruang tamu.

“Pacar apaan? Gak ada cowok yang mau sama si Ayu, Bun. Cewek jelek begitu!” timpal Abang duduk di sofa ruang tamu.

“Dih, sembarangan! Gini-gini banyak tau, cowok yang suka sama aku!” balasku memajukan bibir beberapa centi.

“Masa? Gak caya! Pacaran aja ama cowok pesbuk! Cowok maya! Soalnya, cowok nyata gak pada mau ama lo kan? Hahahha.” Masih saja diledekin. Asem banget dah!

“Sembarangan!” kutimpuk Abang dengan bantal sofa.

“Dendy ....” panggil Bunda lembut. Mencoba melerai pertikaian diantara kami.

“Bunda ....”

“Minta maaf sama Ayu. Bilang kalau Ayu cantik. Cepetan, Nak ....” Abang menghela napas. Menatapku dengan memelas. Berdiri mendekatiku.

“Maafin gue ya. Iya lo cantik. Cantik banget.” Aku tersenyum manis.

“Tapi, boong!” seru Abang berjingkat masuk kamar. Sialan!

“Abaaaangg!!!”

“Sudah-sudah, Abang kamu itu emang jail. Ayu mandi dulu, abis Maghrib kita makan bareng.”

“Iya, Bun.”

Gak bisa banget tuh orang memuji dengan tulus. Emangnya aku beneran jelek apa? Ish dasar bewok!

*** 

Usai Salat Maghrib, kulipat mukena, mengenakan kerudung, lalu keluar kamar. Di meja makan, Bunda sudah duduk menunggu.

“Ayo, Sayang duduk. Kita makan. Bunda masakain masakan kesukaan Ayu lho!” ucap Bunda berbinar. Mengambilkan piring, dan menyendok kan secentong nasi.

“Waah ... makasih banyak ya, Bun." 

“Iya, sama-sama.”

Menarik kursi, lalu duduk. Aku melihat kursi Abang masih kosong. 

Kemana tuh orang?

“Bunda, Abang kemana?”

“Ada tuh di kamarnya.”

“Gak makan?”

“Bilangnya nanti. Lagi beresin laporan kerjaan dari karyawan. Tadi kan Abang gak masuk kantor.” Aku manggut-manggut.

“Bunda, insya Allah Minggu depan Ayu udah mulai sidang skripsi. Doanya ya, Bun? Biar dilancarkan dan dipermudah." Pintaku disela makan. Bunda menatapku tersenyum.

“Iya, Sayang, pasti bunda doain. Kamu, Dendy selalu ada dalam doa-doa Bunda.” Aku terharu mendengar penuturan Bunda. Kasih sayang Bunda sudah melebihin kasih sayang seorang ibu angkat. Kasih sayangnya selama ini tak pernah dibeda-bedakan antara aku dan Abang. Justru terkadang Bunda seperti lebih sayang padaku.

“Bunda ....” Aku menyimpan sendok  setelah makanan di atas piring sudah habis.

“Kenapa, Nak?” tanya Bunda mengakhiri suapan terakhir. Lalu meneguk air minum sampai setengah gelas.

“Hmm ... kalau kuliah Ayu udah selesai, terus Ayu udah dapat kerja, Ayu pengen ngontrak. Boleh, ya?” Kataku menatap Bunda dengan tatapan memohon. Kedua mata Bunda memicing. Dahinya mengkerut. Lalu menyimpan alat makan, menumpu tangan di atas meja.

“Kenapa? Apa Ayu gak nyaman tinggal bersama Bunda? Apa Bunda punya salah sama Ayu?” Aku menggeleng cepat.

“Enggak, Bun. Enggak. Ayu Cuma pengen belajar hidup mandiri.” Bunda diam. Merunduk, menghela napas panjang.

“Bunda minta maaf, kalau selama ini bikin Ayu gak nyaman. Terutama sikap Dendy.” Mendengar perkataan Bunda, aku semakin tidak enak hati. 

“Enggak, Bun. Rumah ini sangat nyaman buat Ayu. Bunda udah sangat baik merawat Ayu. Gitu juga Abang. Maaf ya, Bun. Ucapan Ayu bikin Bunda tersinggung.” Aku jadi menyesal berbicara seperti tadi. 

“Nak, sejujurnya Bunda gak mau Ayu pergi dari rumah ini apapun alasannya. Ayu udah Bunda anggap anak perempuan Bunda satu-satunya. Kepada siapapun, Bunda gak pernah bilang tentang siapa Ayu sebenarnya. Kalau Bunda boleh memohon, jangan tinggalin Bunda. Jangan pergi dari rumah ini, ya, Nak?” 

Air mataku tak terasa berlinang. Terharu mendengar ungkapan Bunda. Aku menghampiri Bunda, memeluknya erat. Bunda mengusap-usap punggungku.

“Maafin, Ayu, Bun ....” ucapku ditengah isak tangis.

“Iya, Sayang. Bunda juga minta maaf udah egois. Larang Ayu keluar dari sini.” Aku menggeleng. 

“Gak apa-apa, Bun. Sekali lagi maafin Ayu.” Kucium punggung tangan Bunda takzim. 

Setelahnya, aku dan Bunda merapikan piring kotor dan mencucinya.

“Bunda ke kamar duluan ya, Yu?”

“Iya, Bun.”

Bunda masuk kamar, aku melihat kamar Abang. Pintunya masih tertutup rapat. Hendak melangkahkan kaki, menyuruhnya makan dulu, aku ragu. Takut ganggu. Nanti yang ada malah ngomel-ngomel.

“Udahlah, nanti juga kalau lapar makan sendiri.”

Aku berbalik, memilih masuk kamar, mengurung diri.

*** 

Lima belas menit usai sholat Isya, pintu kamar diketuk.

“Yu! Ayu!” 

Aku terhenyak. Itu kan suara Abang. Aku bergegas ke pintu kamar, setelah mengenakan kerudung.

“Ada apa?”

“Anter Abang beli bakso!”

“Dih, beli bakso aja minta dianter. Manja!”

“Bukan manjaaaaa ....” Jari telunjuk Abang menekan dahiku. 

“Mau gak?” tanya Abang dengan nada tinggi.

“Ada apa, Den?” tanya Bunda tiba-tiba keluar kamar.

“Mau ngajak Ayu makan bakso, Bun.”

“Bunda ikut ya? Udah lama gak makan bakso.”

“Jangaaan ... nanti gagal diet lho, Bun. Bakso itu kan lemaknya banyak. Mau Bunda nanti dibully temen-temen gar-gara gendutan?” Bunda langsung menatap perut dan memegang kedua pipi.

“Iya juga ya. Gak jadi deh.” Bunda masuk kamar lagi. Aku menatap Abang gemas. Ada-ada aja alasannya.

“Yaah ... malah liatin gue. Napa? Baru nyadar kalau gue ganteng?!”

“Dih, kepedean!”

“Ya udah buruan siap-siap! Gue nungguin di teras! Cepet!”

“Iya.”

*** 

“Naik motor?” tanyaku ketika melihat Abang nangkring di atas motor Ninja miliknya.

“Pake nanya! Cepetan naik! Laper nih!”

“Udah minta anter, galak lagi!”

 Aku berjinjit naik ke atas motor, tangan kanan memegang pundak Abang. 

“Makanya jadi cewek tuh tinggian dikit. Punya tinggi minimalis.” Gerutu Abang.

“Bawel, ih!” Setelah duduk nyaman di atas motor, Abang menyerahkan helm.

“Pake nih!” 

“Males ah!” 

Abang menurunkan standar motor, membalikkan badan menghadapku. Memakaikan helm. Wangi parfum dari tubuh Abang menyeruak. Wajahnya yang brewokan hanya berjarak beberapa centi dari wajahku. Aku memejamkan mata.

“Dah selesai! Pegangan!”

Baru saja membuka mata, Abang langsung menancapkan gas. Refleks kupeluk pinggangnya.

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (2)
goodnovel comment avatar
Istatik
lagian bunda biarin aja sih dendy sama ayu nikah, malah baguslah jadi mahromnya kan jadi gak hawatir dosa
goodnovel comment avatar
Isabella
lucu banget sih abNg
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Menikah Dengan Abang (Abang Angkat)   Melahirkan

    PoV Abang Setelah acara peresmian selesai, aku segera meninggalkan tempat acara. Ingin cepat-cepat menemui Ayu. Tadi Bunda menelepon, katanya Ayu sudah dibawa ke rumah sakit. Dokter bilang, Ayu sudah mulai pembukaan dua. “Bang, tunggu!” seru Sabrina yang memang ikut datang bersama Sudira. Aku menghentikkan langkah, membalikkan badan. Sabrina dan Dira mendekati. “Ada apa?” sabrina mengatur napas. “Papa gimana kabarnya?” Aku menghela napas. “Udah nemuin belum?” Aku balik tanya. Kali ini Sabrina harus mau menemui Papanya. Kasihan Om Rahmat, kesepian. Aku tidak akan membiarkan salah satu amggota keluarga hidup sebatang kara lagi. Sabrina menggeleng. “Kamu temui dulu. Sorry, gue lagi buru-buru.” Aku melanjutkan langkah dengan cepat menuju parkiran. tapi pasangan itu terus mengikuti. “Bang, aku serius. Papa gimana keadaannya?” Sabrina berusaha mensejajarkan langkah. “Nanti aku kirim alamat apartemennya.” Ucapku masuk ke dalam mobil. “Ada apa sih buru-buru?” Rina tidak sabaran. “Ay

  • Menikah Dengan Abang (Abang Angkat)   Peresmian dan Persalinan

    PoV Abang“Om gak nyangka secepat ini ditinggalkan Cindy. Padahal Om mulai yakin, kalau dia benar-benar sayang Om. Tidak hanya menginginkan uang Om.” Tutur Om Rahmat di tengah isak tangisnya. Aku menghela napas sebelum menanggapi.“Jodoh, rejeki, kematian, itu semua rahasia Tuhan. Om harus sabar dan ikhlas, biar Cindy tenang di sana.” Kucoba menghibur Papanya Sabrina. Ia terlihat sedih sekali. Kepalanya merunduk. Sesekali menyeka cairan yang keluar dari hidung dan mata. Aku tahu bagaimana rasanya kehilangan orang yang kita sayangi. Saat kehilangan Ayah, berbulan-bulan kehilangan gairah hidup. Murung di kamar, enggan berbicara, bahkan kebiasaanku menjahili Ayu pun hilang dalam beberapa waktu.“Iya, Den. Om akan berusaha untuk ikhlas. Terima kasih.”Aku melongok ke atas, melihat keadaan apartemen yang sebagiannya sudah hangus terbakar. Api sudah tidak lagi berkobar.&

  • Menikah Dengan Abang (Abang Angkat)   Kebakaran

    PoV Abang Pukul delapan pagi, tiba di kantor. Bertepatan dengan kedatangan Dion. Kami bertemu di area parkir. “Dira udah datang dari jam tujuh katanya,” ujar Dion mensejajari langkahku. “Wah tumben? Ada apa?” “Ada yang mau dibicarain soal perumahan itu. Dia mau langsung ke sana hari ini.” Saat melewati lobby, terlihat Dira sedang berbincang dengan seorang wanita. Aku dan Dion menghampiri Dira seketika pembicaraan mereka terhenti. “Pagi, Pak Dendi, Pak Dion.” Sapa Dira berdiri. Wanita di sampingnya membuang muka, menyeka air mata. “Pagi. Eh, bukannya itu Rina ya?” tanyaku melongok wanita yang kini berdiri di samping Dira. “Iya, Bang. Aku Rina,” sahut anak kedua Om Rahmat. “Ya udah, Ayo kita naik ke atas.” Ajakku pada mereka. Dion sudah lebih dahulu naik ke atas. Mungkin mempersiapkan beberapa berkas terkait proyek perumahan yang ditangani Dira. “Aku nunggu di sini aja,” ucap Rina. “Kamu ikut. Ada yang mau saya bicarakan.” Kataku berjalan lebih dulu dari Sabrina dan Sudira. M

  • Menikah Dengan Abang (Abang Angkat)   Bidadari Dalam Mimpi

    PoV BundaAku hanya menghela napas. Bingung, harus bersikap bagaimana. Kakak kandungku menikah dengan wanita yang pernah dekat dengan Mas Bram. Haruskah berdiam diri, membiarkan Bang Yadi dikuras uangnya perlahan-lahan?“Riana, aku berani sumpah. Aku tidak pernah lagi menghubungi dia. Aku juga gak tahu, kalau dokter punya hubungan dengannya? Riana aku minta maaf.” Menoleh, menatap kedua netra laki-laki yang telah bertahun-tahun aku cintai. Kupaksakan bibir ini untuk tersenyum.“Aku percaya sama kamu, Mas.” Mas Bram terlihat lega. Ia menggenggam telapak tanganku lalu mengecupnya berkali-kali.“Aku janji! Gak akan mendekati wanita lain lagi. Apalagi mendekati Cindy atau Sari. Tidak akan, Riana!”“Sari? Maksud Mas apa?” Aku heran, kenapa Mas Bram menyebut nama Sari? Sikap suamiku salah tingkah kembali. Ia sekarang tampak gusar. Melepas

  • Menikah Dengan Abang (Abang Angkat)   Perubahan Dokter Rahmat

    PoV BundaTak kusangka, dokter Rahmat yang tak lain adalah Kakak kandungku bertandang ke rumah lagi. Mas Bram yang kebetulan sedang ada di rumah menyambutnya cukup ramah, seolah kejadian malam tempo hari itu tidak terjadi. Bang Yadi dan Mas Bram duduk di kursi teras, mereka berbincang seolah tidak terjadi apa-apa. Aku ke dalam membawa dua cangkir kopi, menyuguhkannya pada suamiku dan Bang Yadi.“Jadi, kau juga sudah menemui Ibu?”Degh!Pertanyaan Mas Bram yang dilontarkan untuk Bang Yadi membuatku tersentak. Maksud Mas Bram Ibu siapa ya? Aku menarik kursi satunya, duduk di sebelah Mas Bram.“Sudah. Aku yakin, kalau beliau memang wanita yang telah melahirkanku dan Tari.”Jawaban Bang Yadi membuatku salah tingkah. Mas Bram dan Bang Yadi sudah bertemu dengan wanita itu, dan mereka sangat yakin kalau wanita yang tinggal di rumah Dendi adalah Ibuku dan B

  • Menikah Dengan Abang (Abang Angkat)   Pemakaman

    PoV Abang“On, telepon Pak Heru. Kita nunggu di rumah Firman aja. Sekalian bilang ke Pak Heru, jenazah Herlina langsung urus di sana. Dari mulai dimandiin, dikafanin, dan juga dishalatin. Biar nanti di daerah kediaman Firman, kita persiapkan pemakamannya aja.” Kataku sambil menyetir.“Oke.” Dion langsung menghubungi komandan Heru Rudhiat.Sekian menit Dion berbicara dengan Komandan Heru. Sesekali aku menoleh, memastikan segala yang aku usulkan disanggupi.“Gimana, On?” tanyaku, begitu Dion mengakhiri sambungan telepon.“Iya. Jenazah Herlina diurus di sana. Tadi Pak Heru bilang, jam dua siang, Herlina dibawa ke rumah sakit. Sempat mengalami perawatan. Nah jam tiga, dia meninggal.”“Oh begitu. Sekarang udah dikafani belum?”“Tadi katanya lagi dimandiin sama pihak pemandi mayat rumah sakit

  • Menikah Dengan Abang (Abang Angkat)   Kabar Duka

    PoV AbangSetelah dua hari istirahat di rumah, akhirnya aku bisa keluar juga. Menghadiri acara pernikahan Mama Dahlia dan Pak Supriyatna. Acaranya dilaksanakan di kediaman baru Pak Supriyatna yang berlokasi tidak jauh dari rumah Ibu.“Kalau kata Ibu, Pak Supri sengaja beli rumah dekat rumah Ibu supaya Mama Dahlia ada temannya. Udah gitu kan, ibu sama Mama Dahlia lagi produksi usaha kue kering.” Jelas Ayu saat aku bertanya alasan Pak Supri membeli rumah di daerah situ.Tidak hanya aku dan Ayu yang datang di acara pernikahan orang tua Silvi itu, Nenek, Bi Sumi dan Bang Parto pun ikut datang.Setelah semuanya siap, kami meluncur ke lokasi acara tersebut. Bang Parto yang mengemudikan mobil.Tidak memerlukan waktu lama, kami telah sampai di tempat. Suasana sudah mulai ramai. Aku memapah dan memperkenalkan Nenek pada Ibu dan yang lainnya. Alhamdulillah mereka menerima dan percaya kalau N

  • Menikah Dengan Abang (Abang Angkat)   Dion Mengingatkan

    PoV AbangAku membiarkan Nenek dan Om Rahmat hanyut dalam isak tangis kerinduan. Meninggalkan mereka dan Masuk ke dalam kamar, air mataku turut mengalir. Ayu yang sedang berselonjor di atas pembaringan terhenyak.“Bang, Abang kenapa?” Bergegas Ayu menghampiriku, duduk di tepi ranjang. Menyeka air mata.“Om Rahmat mengakui Nenek sebagai Ibunya?” Aku menoleh, menganggukkan kepala.“Alhamdulillah ....” Ayu memeluk pinggangku. Aku membelai kepalanya, mengecup cukup lama.“Abang terharu ya?”“Iya. Tapi sayang, Abang gagal bikin Bunda mau menemui Nenek.” Ayu mengembuskan napas. Mengusap punggung tanganku.“Gak apa-apa. Insya Allah, Bunda juga sebentar lagi mau mengakui Nenek.”“Sebentar lagi kan, Ayu mau lahiran. Abang pengen semua keluarga berkum

  • Menikah Dengan Abang (Abang Angkat)   Ibu

    PoV dokter RahmatApa benar begitu? Perasaan sayang yang aku rasakan pada Tari, karena kami ada hubungan darah?Memang, kerap kali Tari merasa tersakiti, hatiku ikut tersakiti. Melihatnya bahagia, hatiku pun ikut bahagia. Apalagi jika mengingat kejadian malam itu. Di mana sebelumnya kami tertawa bersama, namun sikap kasar yang dilakukan oleh Bram terhadap Tari membuatku sangat amat marah.“Om, kalau ingin mendengar cerita lebih jelasnya, Om bisa ikut saya untuk ketemu Nenek. Kasihan Nenek, Om. Apakah Om tidak merindukan sosok wanita yang telah mengandung dan melahirkan Om?”“Kau ... telah bertemu dengan dia?” Bergetar aku melempar tanya.“Iya.”“Apa kau yakin, kalau dia wanita yang telah melahirkan Om dan Bundamu?”“Yakin. Walaupun kami belum melakukan tes DNA, tapi saya yakin kalau be

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status