Masuk ke dalam rumah, aku senyam-senyum sendiri. Bersyukur banget sikap Abang tidak berubah.
“Ayu, kenapa senyum-senyum gitu, Nak? Hmmm ... dianterin pacarnya ya?” Bunda menggodaku saat berpapasan di ruang tamu.
“Pacar apaan? Gak ada cowok yang mau sama si Ayu, Bun. Cewek jelek begitu!” timpal Abang duduk di sofa ruang tamu.
“Dih, sembarangan! Gini-gini banyak tau, cowok yang suka sama aku!” balasku memajukan bibir beberapa centi.
“Masa? Gak caya! Pacaran aja ama cowok pesbuk! Cowok maya! Soalnya, cowok nyata gak pada mau ama lo kan? Hahahha.” Masih saja diledekin. Asem banget dah!
“Sembarangan!” kutimpuk Abang dengan bantal sofa.
“Dendy ....” panggil Bunda lembut. Mencoba melerai pertikaian diantara kami.
“Bunda ....”
“Minta maaf sama Ayu. Bilang kalau Ayu cantik. Cepetan, Nak ....” Abang menghela napas. Menatapku dengan memelas. Berdiri mendekatiku.
“Maafin gue ya. Iya lo cantik. Cantik banget.” Aku tersenyum manis.
“Tapi, boong!” seru Abang berjingkat masuk kamar. Sialan!
“Abaaaangg!!!”
“Sudah-sudah, Abang kamu itu emang jail. Ayu mandi dulu, abis Maghrib kita makan bareng.”
“Iya, Bun.”
Gak bisa banget tuh orang memuji dengan tulus. Emangnya aku beneran jelek apa? Ish dasar bewok!***
Usai Salat Maghrib, kulipat mukena, mengenakan kerudung, lalu keluar kamar. Di meja makan, Bunda sudah duduk menunggu.“Ayo, Sayang duduk. Kita makan. Bunda masakain masakan kesukaan Ayu lho!” ucap Bunda berbinar. Mengambilkan piring, dan menyendok kan secentong nasi.
“Waah ... makasih banyak ya, Bun."
“Iya, sama-sama.”
Menarik kursi, lalu duduk. Aku melihat kursi Abang masih kosong. Kemana tuh orang?“Bunda, Abang kemana?”
“Ada tuh di kamarnya.”
“Gak makan?”
“Bilangnya nanti. Lagi beresin laporan kerjaan dari karyawan. Tadi kan Abang gak masuk kantor.” Aku manggut-manggut.
“Bunda, insya Allah Minggu depan Ayu udah mulai sidang skripsi. Doanya ya, Bun? Biar dilancarkan dan dipermudah." Pintaku disela makan. Bunda menatapku tersenyum.
“Iya, Sayang, pasti bunda doain. Kamu, Dendy selalu ada dalam doa-doa Bunda.” Aku terharu mendengar penuturan Bunda. Kasih sayang Bunda sudah melebihin kasih sayang seorang ibu angkat. Kasih sayangnya selama ini tak pernah dibeda-bedakan antara aku dan Abang. Justru terkadang Bunda seperti lebih sayang padaku.
“Bunda ....” Aku menyimpan sendok setelah makanan di atas piring sudah habis.
“Kenapa, Nak?” tanya Bunda mengakhiri suapan terakhir. Lalu meneguk air minum sampai setengah gelas.
“Hmm ... kalau kuliah Ayu udah selesai, terus Ayu udah dapat kerja, Ayu pengen ngontrak. Boleh, ya?” Kataku menatap Bunda dengan tatapan memohon. Kedua mata Bunda memicing. Dahinya mengkerut. Lalu menyimpan alat makan, menumpu tangan di atas meja.
“Kenapa? Apa Ayu gak nyaman tinggal bersama Bunda? Apa Bunda punya salah sama Ayu?” Aku menggeleng cepat.
“Enggak, Bun. Enggak. Ayu Cuma pengen belajar hidup mandiri.” Bunda diam. Merunduk, menghela napas panjang.
“Bunda minta maaf, kalau selama ini bikin Ayu gak nyaman. Terutama sikap Dendy.” Mendengar perkataan Bunda, aku semakin tidak enak hati.
“Enggak, Bun. Rumah ini sangat nyaman buat Ayu. Bunda udah sangat baik merawat Ayu. Gitu juga Abang. Maaf ya, Bun. Ucapan Ayu bikin Bunda tersinggung.” Aku jadi menyesal berbicara seperti tadi.
“Nak, sejujurnya Bunda gak mau Ayu pergi dari rumah ini apapun alasannya. Ayu udah Bunda anggap anak perempuan Bunda satu-satunya. Kepada siapapun, Bunda gak pernah bilang tentang siapa Ayu sebenarnya. Kalau Bunda boleh memohon, jangan tinggalin Bunda. Jangan pergi dari rumah ini, ya, Nak?”
Air mataku tak terasa berlinang. Terharu mendengar ungkapan Bunda. Aku menghampiri Bunda, memeluknya erat. Bunda mengusap-usap punggungku.
“Maafin, Ayu, Bun ....” ucapku ditengah isak tangis.
“Iya, Sayang. Bunda juga minta maaf udah egois. Larang Ayu keluar dari sini.” Aku menggeleng.
“Gak apa-apa, Bun. Sekali lagi maafin Ayu.” Kucium punggung tangan Bunda takzim.
Setelahnya, aku dan Bunda merapikan piring kotor dan mencucinya.
“Bunda ke kamar duluan ya, Yu?”
“Iya, Bun.”
Bunda masuk kamar, aku melihat kamar Abang. Pintunya masih tertutup rapat. Hendak melangkahkan kaki, menyuruhnya makan dulu, aku ragu. Takut ganggu. Nanti yang ada malah ngomel-ngomel.“Udahlah, nanti juga kalau lapar makan sendiri.”
Aku berbalik, memilih masuk kamar, mengurung diri.
***
Lima belas menit usai sholat Isya, pintu kamar diketuk.“Yu! Ayu!”
Aku terhenyak. Itu kan suara Abang. Aku bergegas ke pintu kamar, setelah mengenakan kerudung.“Ada apa?”
“Anter Abang beli bakso!”
“Dih, beli bakso aja minta dianter. Manja!”
“Bukan manjaaaaa ....” Jari telunjuk Abang menekan dahiku.
“Mau gak?” tanya Abang dengan nada tinggi.
“Ada apa, Den?” tanya Bunda tiba-tiba keluar kamar.
“Mau ngajak Ayu makan bakso, Bun.”
“Bunda ikut ya? Udah lama gak makan bakso.”
“Jangaaan ... nanti gagal diet lho, Bun. Bakso itu kan lemaknya banyak. Mau Bunda nanti dibully temen-temen gar-gara gendutan?” Bunda langsung menatap perut dan memegang kedua pipi.
“Iya juga ya. Gak jadi deh.” Bunda masuk kamar lagi. Aku menatap Abang gemas. Ada-ada aja alasannya.
“Yaah ... malah liatin gue. Napa? Baru nyadar kalau gue ganteng?!”
“Dih, kepedean!”
“Ya udah buruan siap-siap! Gue nungguin di teras! Cepet!”
“Iya.”
***
“Naik motor?” tanyaku ketika melihat Abang nangkring di atas motor Ninja miliknya.“Pake nanya! Cepetan naik! Laper nih!”
“Udah minta anter, galak lagi!”
Aku berjinjit naik ke atas motor, tangan kanan memegang pundak Abang.
“Makanya jadi cewek tuh tinggian dikit. Punya tinggi minimalis.” Gerutu Abang.
“Bawel, ih!” Setelah duduk nyaman di atas motor, Abang menyerahkan helm.
“Pake nih!”
“Males ah!”
Abang menurunkan standar motor, membalikkan badan menghadapku. Memakaikan helm. Wangi parfum dari tubuh Abang menyeruak. Wajahnya yang brewokan hanya berjarak beberapa centi dari wajahku. Aku memejamkan mata.“Dah selesai! Pegangan!”
Baru saja membuka mata, Abang langsung menancapkan gas. Refleks kupeluk pinggangnya.Sesampainya di kedai bakso, aku langsung melepaskan helm. Abang mengajak duduk di bangku paling pojok.Suasana kedai ini lumayan ramai. Ditambah letaknya dekat sebuah taman. Tempatnya juga rapi, bikin nyaman. Beberapa pasang muda-mudi terlihat menikmati salah satu makanan favorit orang Indonesia itu.“Mang!” panggil Abang pada laki-laki berumur sekitar 30 tahunan. Yang dipanggil langsung menghampiri.“Wah tumben Mas Dendy bareng cewek. Pacarnya ya, Mas?”“Halah si Amang kepo.” Kilah Abang cuek.“Hehe ... Biasanya kan sendiri.”“Bakso dua, satu mie putih doang jangan pake kecap. Satunya biasa ... campur!” seru Abang diiringi anggukan si Amang.“Siap!” Laki-laki yang dipanggil Amang langsung membuatkan bakso.“Abang sering ke sini?” tanyaku menatapnya.“Napa emang?”“Idih, ditanya balik tanya
“Malah ngetawain,” ucap Abang membuang muka. Aku menutup mulut, menahan gelak tawa. “Sayang banget kalau Abang jadi suaminya Kambing. Kayak gak ada cewek yang mau aja.” Aku bergumam, menahan tawa yang mau meledak lagi. “Emang gak ada cewek yang mau.” Celetuk Abang cuek. “Masa? Itu sih tiap hari Valentine, banyak paket cokelat ama bunga! Cieee ... so insecure.” tukasku sembari mendorong pelan bahu Abang. “Tau dah!” jawabnya mengedikkan bahu. “Abang?” “Hm.” “Cewek idaman Abang emang kayak gimana sih?” Aku menguji kejujuran Abang. Laki-laki berwajah brewok tipis itu membuang napas. “Cewek idaman Abang?”Hm kebiasaan! Ditanya balik nanya. Gitu aja terus. “Iya, cewek idaman Abang. Bukan Kambing idaman Abang!” “Ngejek teruuuuusss....!” Hidungku dipencet ibu jari dan telunjuk Abang. “Lepasin dih! Sakit tau!” Aku bersungut, mengusap-usap hidung. “Mulai jail nih anak. Belajar dari s
Di dalam kamar, aku terus memikirkan sikap Abang. Apakah dia marah? Malu? Atau benci karena aku sudah lancang masuk kamarnya dan membaca buku agenda? Duh, bikin bingung aja. Pukul 01.25 mataku mulai terasa mengantuk. Menarik selimut dan tidur. ***Setelah adzan Subuh, aku mengetuk pintu kamar Abang. Biasanya jam empat dia sudah duduk di Mushola keluarga, tapi tadi saat ke Mushola masih kosong, Abang gak ada di sana. Apa mungkin Abang belum bangun? Aku masuk ke dalam rumah, menuju kamar Abang. “Bang ... Abang bangun ... udah adzan ... Bang ....” Aku menghela napas, tidak ada jawaban dari dalam. Jangan-jangan Abang beneran marah. Ya Allah .... “Tok, tok, tok ... Abang ... bangun, Bang ....” “Ayu, kamu lagi ngapain?” Aku menoleh ke asal suara. “Abang tumben belum bangun, Bun. Biasanya dari jam empat udah di Mushola,” jawabku memandang Bunda yang mengenakan mukena. “Oh ... Abang udah berangkat jam tiga tadi.”
“Dimatiin?” Pertanyaan Silvi mengalihkan kekesalanku.“Iya.” Aku menghempaskan tubuh di atas kasur lipat. Memandang langit-langit kamar. Senyumku tersungging, mengingat omongan Abang “Abang juga kangen.”“Gelo nih anak! Eh! Tadi ngomel-ngomel, sekarang senyam-senyum? Lo kenapa? Kerasukan?!” Omelan Silvi tak aku gubris.Bangkit, duduk bersila dan menghadap cewek berkacamata tebal itu.“Gue lagi bingung nih ....” ucapku mengawali curhat-mencurhat.“Bingung napa?” Silvi mencomot cemilan, menyuapnya.Mataku melirik cewek berpipi tembam yang duduk di sebelahku. “Tapi lo janji ya? Jangan bilang siapa-siapa!” Kuacungkan jari kelingking di depan mukanya. Silvi menjilat jari.“Idih jorok ah!” Aku menyembunyikan jari ke belakang punggung.“Gue kan abis ngemil, kalau gak gue
“Jelas-jelas dia sebut nama lo, napa bilang salah sambung?” Silvi menelisik. Sejak malam itu, aku sudah ilfeel banget ama si Firman. “Gak apa-apa. Ilfeel aja ama cowok kek dia. Dah ah, jangan dibahas!” Aku mengecek handphone kembali. Menekan foto profil WA Abang, lukisan sebuah taman. Abang termasuk orang yang jarang banget upload foto. Setahuku, Abang gak punya F******k, I*******m, apalagi Telegram. Dia Cuma WA. Aku mengetahui hal itu, saat pinjem handphonenya. “Abang gak punya I*, F*, Tele?” “Gak,” sahutnya ketika itu. “Kenapa?” “Gak suka.” “dih, norak!” Mengingat itu, aku tersenyum lagi. “Sil?” panggilku pada Silvi yang sudah asyik main game. “Hm.” “Kayaknya gue gak sanggup deh!” Dia menghentikkan main game, memerhatikanku. “Gak sanggup hidup?” “Bukan! Gak sanggup nahan gak chat ama Abang. Gue kangen tau!” Aku bersungut sambil memerhatikan WA Abang, gak online. “Serah lo! Gue kan Cuma kasih saran!” Kedua mata gadis itu fokus kembali pada handphone di tangan. Aku menge
PoV Abang“Iya.”Hanya itu yang kuucapkan ketika Ayu mengatakan kejujurannya. Antara mau marah, malu dan senang. Marah karena dia telah lancang masuk kamar, membaca buku harianku dan menguping pembicaraanku dengan Bunda. Malu, karena ia telah tahu perasaanku yang sebenarnya. Dan senang, karena tanpa mengungkapkan, Ayu udah tahu sendiri. Tapi aku juga bingung, harus bersikap bagaimana setelah ini. Aku mengacak rambut frustasi.Kurebahkan diri di atas kasur. Bayangan Ayu seketika berkelebat. Aku menyukai semua yang ada dalam diri gadis yang dua puluh tahun lalu diangkat anak oleh orang tuaku. Senyumnya, marahnya, dan ketawanya.Sudah pukul tiga dini hari mata tak juga terpejam. Sedari tadi yang kulakukan, main game, mengecek laporan perusahaan, corat-coret dan memandangi foto Ayu yang terselip dalam dompet.“Gak beres ini! Gue harus menghindar dari si Ayu. Dari pada serba
Di balik pintu kamar, tubuhku melorot. Air mata mengalir deras. Hatiku sakit dianggap sebagai cewek gampangan. Padahal selama ini, hanya hitungan jari aku pergi atau diantar oleh laki-laki selain Abang. Itu pun selalu sepengetahuannya. Kulangkahkan kaki gontai ke kamar mandi. Membersihkan diri.Pukul sepuluh malam, suara pintu diketuk.“Siapa?” tanyaku sambil menyeka air mata. Namun tak ada jawaban. Aku menyambar kerudung bergo, memakainya.“Abang mau ngomong,” ucap Abang saat pintu terbuka. Aku mengikuti langkahnya ke ruang tamu. Laki-laki berambut di atas bahu itu duduk di sofa yang bersebrangan denganku. Beberapa menit hening. Aku enggan memulai bicara. Memilih diam dan merunduk.“Ini hapenya. Nanti charger lagi, belum penuh.” Abang meletakkan handphone di atas meja. Aku tak bergeming, membuang muka sambil menyeka cairan yang keluar dari hidung dengan ujung jilbab.&nb
Setelah dokter memeriksa keadaanku, seseorang muncul dari balik pintu. Rupanya Bang Dion. Sahabat Abang sedari SMP.“Hallo, Ayu ....” Bang Dion masuk menyapa. Tangannya membawa sekeranjang buah-buahan.“Ngapain lo ke sini?” sungut Abang, matanya mendelik. Aku menghela napas panjang.Bang Dion dan Abang sahabatan sudah sejak tapi kalau ketemu, kayak Tom and Jerry. Berantem ... Terus.“Jenguk Ayu-lah,” sahut Bang Dion cuek. Tak peduli dengan sikap Abang yang menyebalkan.“Kemana aja, Bang? Belakangan jarang main ke rumah.” Tanyaku begitu Bang Dion berjalan mendekat.Bang Dion menyenggol Abang supaya bangun dari tempat duduk.“Apaan?”Abang mendongak, memicing kedua mata.“Bangun. Gantian gue yang duduk.” Jelas Bang Dion sambil terus menyenggol bahu Abang.A