Pukul 01.25 mataku mulai terasa mengantuk. Menarik selimut dan tidur.
***
Setelah adzan Subuh, aku mengetuk pintu kamar Abang. Biasanya jam empat dia sudah duduk di Mushola keluarga, tapi tadi saat ke Mushola masih kosong, Abang gak ada di sana. Apa mungkin Abang belum bangun? Aku masuk ke dalam rumah, menuju kamar Abang.“Bang ... Abang bangun ... udah adzan ... Bang ....” Aku menghela napas, tidak ada jawaban dari dalam. Jangan-jangan Abang beneran marah. Ya Allah ....
“Tok, tok, tok ... Abang ... bangun, Bang ....”
“Ayu, kamu lagi ngapain?” Aku menoleh ke asal suara.
“Abang tumben belum bangun, Bun. Biasanya dari jam empat udah di Mushola,” jawabku memandang Bunda yang mengenakan mukena.
“Oh ... Abang udah berangkat jam tiga tadi.”
“Dimatiin?” Pertanyaan Silvi mengalihkan kekesalanku.“Iya.” Aku menghempaskan tubuh di atas kasur lipat. Memandang langit-langit kamar. Senyumku tersungging, mengingat omongan Abang “Abang juga kangen.”“Gelo nih anak! Eh! Tadi ngomel-ngomel, sekarang senyam-senyum? Lo kenapa? Kerasukan?!” Omelan Silvi tak aku gubris.Bangkit, duduk bersila dan menghadap cewek berkacamata tebal itu.“Gue lagi bingung nih ....” ucapku mengawali curhat-mencurhat.“Bingung napa?” Silvi mencomot cemilan, menyuapnya.Mataku melirik cewek berpipi tembam yang duduk di sebelahku. “Tapi lo janji ya? Jangan bilang siapa-siapa!” Kuacungkan jari kelingking di depan mukanya. Silvi menjilat jari.“Idih jorok ah!” Aku menyembunyikan jari ke belakang punggung.“Gue kan abis ngemil, kalau gak gue
“Jelas-jelas dia sebut nama lo, napa bilang salah sambung?” Silvi menelisik. Sejak malam itu, aku sudah ilfeel banget ama si Firman. “Gak apa-apa. Ilfeel aja ama cowok kek dia. Dah ah, jangan dibahas!” Aku mengecek handphone kembali. Menekan foto profil WA Abang, lukisan sebuah taman. Abang termasuk orang yang jarang banget upload foto. Setahuku, Abang gak punya F******k, I*******m, apalagi Telegram. Dia Cuma WA. Aku mengetahui hal itu, saat pinjem handphonenya. “Abang gak punya I*, F*, Tele?” “Gak,” sahutnya ketika itu. “Kenapa?” “Gak suka.” “dih, norak!” Mengingat itu, aku tersenyum lagi. “Sil?” panggilku pada Silvi yang sudah asyik main game. “Hm.” “Kayaknya gue gak sanggup deh!” Dia menghentikkan main game, memerhatikanku. “Gak sanggup hidup?” “Bukan! Gak sanggup nahan gak chat ama Abang. Gue kangen tau!” Aku bersungut sambil memerhatikan WA Abang, gak online. “Serah lo! Gue kan Cuma kasih saran!” Kedua mata gadis itu fokus kembali pada handphone di tangan. Aku menge
PoV Abang“Iya.”Hanya itu yang kuucapkan ketika Ayu mengatakan kejujurannya. Antara mau marah, malu dan senang. Marah karena dia telah lancang masuk kamar, membaca buku harianku dan menguping pembicaraanku dengan Bunda. Malu, karena ia telah tahu perasaanku yang sebenarnya. Dan senang, karena tanpa mengungkapkan, Ayu udah tahu sendiri. Tapi aku juga bingung, harus bersikap bagaimana setelah ini. Aku mengacak rambut frustasi.Kurebahkan diri di atas kasur. Bayangan Ayu seketika berkelebat. Aku menyukai semua yang ada dalam diri gadis yang dua puluh tahun lalu diangkat anak oleh orang tuaku. Senyumnya, marahnya, dan ketawanya.Sudah pukul tiga dini hari mata tak juga terpejam. Sedari tadi yang kulakukan, main game, mengecek laporan perusahaan, corat-coret dan memandangi foto Ayu yang terselip dalam dompet.“Gak beres ini! Gue harus menghindar dari si Ayu. Dari pada serba
Di balik pintu kamar, tubuhku melorot. Air mata mengalir deras. Hatiku sakit dianggap sebagai cewek gampangan. Padahal selama ini, hanya hitungan jari aku pergi atau diantar oleh laki-laki selain Abang. Itu pun selalu sepengetahuannya. Kulangkahkan kaki gontai ke kamar mandi. Membersihkan diri.Pukul sepuluh malam, suara pintu diketuk.“Siapa?” tanyaku sambil menyeka air mata. Namun tak ada jawaban. Aku menyambar kerudung bergo, memakainya.“Abang mau ngomong,” ucap Abang saat pintu terbuka. Aku mengikuti langkahnya ke ruang tamu. Laki-laki berambut di atas bahu itu duduk di sofa yang bersebrangan denganku. Beberapa menit hening. Aku enggan memulai bicara. Memilih diam dan merunduk.“Ini hapenya. Nanti charger lagi, belum penuh.” Abang meletakkan handphone di atas meja. Aku tak bergeming, membuang muka sambil menyeka cairan yang keluar dari hidung dengan ujung jilbab.&nb
Setelah dokter memeriksa keadaanku, seseorang muncul dari balik pintu. Rupanya Bang Dion. Sahabat Abang sedari SMP.“Hallo, Ayu ....” Bang Dion masuk menyapa. Tangannya membawa sekeranjang buah-buahan.“Ngapain lo ke sini?” sungut Abang, matanya mendelik. Aku menghela napas panjang.Bang Dion dan Abang sahabatan sudah sejak tapi kalau ketemu, kayak Tom and Jerry. Berantem ... Terus.“Jenguk Ayu-lah,” sahut Bang Dion cuek. Tak peduli dengan sikap Abang yang menyebalkan.“Kemana aja, Bang? Belakangan jarang main ke rumah.” Tanyaku begitu Bang Dion berjalan mendekat.Bang Dion menyenggol Abang supaya bangun dari tempat duduk.“Apaan?”Abang mendongak, memicing kedua mata.“Bangun. Gantian gue yang duduk.” Jelas Bang Dion sambil terus menyenggol bahu Abang.A
“Kapan boleh pulangnya, Dok?” tanya Abang usai dokter memeriksa kesehatanku.“Besok juga udah boleh pulang. Ayu, Kepalanya masih pusing gak?” Aku menggeleng. Tersenyum manis. Dokter bernama Faris membalas senyumku. Sejenak, kami saling memandang. Abang berdehem. Mengalihkan pandanganku pada dokter tampan itu.“Periksanya udah kan, dok?” tanya Abang sambil bersidekap, aku memutar bola mata malas. Gak bisa bikin orang seneng dikit.“Sudah selesai. Ayu, jangan banyak pikiran ya. Istirahat yang cukup. Biar lekas sembuh.” Saran dokter Faris kusambut dengan wajah berbinar. Senyum pun tak lupa aku tampilkan.“Iya-iya. Nanti biar saya yang nasehatin,” seloroh Abang. Intonasi suaranya sangat menyebalkan.Tuh orang maen jawab-jawab aja. Yang ditanya siapa, yang jawab siapa.“Dokter lagi banyak pasien kan
Sudah dua puluh menit, Abang tak juga datang. Kemana belinya tuh orang? Lama bener? Tadi sore aja waktu beli biskuit, cepet banget.Aku memiringkan punggung, mengecek belakang bokong, memastikan darah menstruasi tembus apa tidak. Ish, gak enak banget sih?!Pintu terbuka, wajah Abang menyembul, terlihat kusut.“Nih!” Tanpa basa-basi Abang menyerahkan plastik minimarket padaku.“Abang kenapa?” Laki-laki berambut di atas pundak itu berjongkok di depanku. Menarik napas panjang. Abang tak juga menjawab. Jangan-jangan dia nyesel udah beliin aku pembalut.“Abang malu ya gara-gara ditanya sama mbak kasirnya?” Langsung kutebak apa yang terjadi padanya.“Bukan. Bukan Mbak kasir yang tanya. Dahlah, nanti ceritanya. Kamu pake dulu gih!” Berdiri, Abang berjalan ke bangku sofa, lalu duduk. Lengan kanannya menutup
“Assalamu’alaikum.” Tawa Abang seketika berhenti saat seseorang menguruk salam. Kuturunkan selimut dari wajah, memastikan siapa yang datang. “Waalaikumsalam.” Serempak kami menjawab salam. Rupanya Bunda sudah datang. Aku mengulas senyum menyambut kedatangan Bunda. Wanita bergaya sosialita muslimah itu dengan anggun melenggang masuk, menghampiri kursi yang diduduki Abang, tanpa disuruh lelaki berkumis tipis berdiri. “Ngetawain apa kamu, Den?” tanya Bunda, begitu duduk di atas bangku dekat ranjang. Abang gelagapan, menggaruk belakang kepala. Aku tahu sebenarnya tidak gatal, hanya menghalau kegugupannya saja. “Hm ... a-anu, Bun ....” ucap Abang terbata-bata. Bunda menoleh, keningnya berkerut. Tampak sekali penasaran dari raut wajah cantiknya. “Hush! Bicara kamu anu-anu. Gak sopan!” Tegas Bunda menegur. Lantas pandangan wanita berkerudung merah muda beralih menatapku. “Sayang, gimana keadaanmu, udah baikan?” Lembut, tangan wanita berusia enam puluh tahunan itu membelai kepalaku yan