Share

Bab 2

Author: Lavender
last update Last Updated: 2022-11-22 15:56:37

Alara pernah mendengarkan semua teman-temannya membahas tentang pernikahan. Pun dengan mereka yang sebagiannya telah menikah. Lantas, bagaimana dengan Alara? Jika pertanyaan itu ditujukan untuk Alara, maka jawabannya ‘ya dan ingin’. Alara perempuan. Tentunya mencintai dan dicintai menjadi satu kesatuan yang takkan terpisah. Alara ingin melakukannya. Sungguh, bahkan sebelum bertemu dengan Bahtiar Gema, Alara ingin menikah. Dengan seseorang yang bersamanya bisa Alara percayai tentang kata-kata jatuh cinta di setiap harinya.

Sayangnya, setiap jalan saja memiliki titik di mana bisa menjatuhkan para pengendara mobil, motor, bahkan yang bermuatan besar. Maka sama halnya dengan Lara yang mempunya titik terlemah dalam hidupnya. Di samping harus mengalah dan mengakui kekalahannya di medan perang, Lara tutup semua pintu untuk mengakses hatinya. Ketika menyukai seseorang, hanya ada di sebatas mengagumi yang diam-diam Alara pendam. Ketika ada yang datang untuk mendekati, akan Alara coba sekuat tenaga menjauh secara perlahan. Hidup Alara sudah sangat hambar ketika seseorang yang paling berharga merenggut ‘kepemilikannya’ dan berpindah ke lain hati.

Namun juga ada fakta lain yang tidak bisa Alara singkirkan mengingat bagaimana dirinya sudah rusak sejak dulu. Melihat rekam jejak bagaimana dunia membuatnya terpojok dan meratapi nasibnya sendiri. Alara tidak punya kesempatan untuk bahagia. Jika pun bisa Alara gapai bahagianya, olokan demi olokan akan mengiringi perjalanannya. Dan seseorang yang Alara anggap rumah, akan pergi secara perlahan membiarkan dirinya kembali sendirian. Di selimuti sepi, di kelubungi embun gelap dan menelannya.

Teman-teman Alara yang sudah menikah juga bercerita. Tidak perlu mencari pasangan yang sempurna. Itu belum tentu nyata. Kadang kita pun perlu tertipu ilusi mata. Mudah menjatuhkan pada seseorang yang terlihat ‘sempurna’ meski kala itu telah memiliki satu yang sanggup mengisi separuh jiwa. Karena pada akhirnya yang menjadi tujuan terakhirnya hanya satu; yang sanggup menyediakan rumah untuk di tinggali. Dan jika sudah di temukan pun dengan satu yang menjadi kepercayaannya untuk memulangkan segala cerita dan sanggup berbagi banyak hal sampai menua bersama dalam usia.

Damai sekali, ya, kalau bisa menemukan satu orang yang bersedia bersama-sama menua dalam usia. Yang sayangnya dalam benak Alara itu hanya bagian dari mimpinya. Entah kapan saat-saat seperti itu akan tiba menyambangi dirinya. Katanya, jika bukan kita yang bertindak dan keluar dari zona nyaman kehidupannya, takkan ada yang datang menghampiri. Tapi Alara terlalu takut untuk mencoba. Alara terlalu takut jatuh kembali. Alara terlalu takut untuk sakit hati kembali.

Senyum Alara terbit. Sangat kecil terkesan samar. Kedutan di sudutnya menghantarkan denyutan sakit padahal matahari belum tinggi sepenuhnya. Musim kemarau mulai menyapa bumi dan panasnya tidak tanggung-tanggung. Hanya berdiri beberapa menit di luar ruangan, telah merembeskan seluruh cairan ke bajunya.

“Masuk.” Vokal dari dalam yang memerintah tidak Alara hiraukan. “Ayo Ara.” Sekali lagi dan Alara masih melirik-lirikkan matanya ke segala penjuru. Pasalnya, ini masih di lingkungan kantor. Akan sangat berbahaya jika ada pegawai lain yang melihatnya. “Kamu yang masuk atau saya yang turun.”

Ancamannya berlaku. Sehingga Alara bergegas masuk dan mengembuskan napasnya lega. Astaga! Tadi itu jantungnya hampir copot dari tempatnya. Aduh, Alara mulai berlebihan.

“Bapak tuh kayak jailangkung. Datang sesuka hati, pergi juga seenak jidat,” gerutu Alara. Tidak merasa bersalah dengan omongannya meski Gema mengerutkan dahinya. “Jangan berhubungan di jam kantor, sih, pak.”

“Kamu malah lebih berani.” Omo?! Apa ini? Kenapa Alara merasa sangat terancam. Jilid II setelah tadi Gema serukan tindakannya yang hendak membongkar hubungan keduanya. “Kamu datang ke ruangan saya dan menawarkan seks yang lebih dari saya menyuruh kamu untuk masuk ke mobil.”

Benar juga. Kalau di pikir-pikir, tindakan Alara lebih frontal dari Gema. Alara bahkan menyodorkan buah dadanya untuk Gema pegang dan di mainkan dengan sensual. Ya Tuhan, di mana muka Alara saat itu? Bisa-bisanya berbuat demikian kepada atasannya sendiri.

“Ya itu kan karena memang perlu.” Gema menahan tawanya. Dengan mengalihkan pandangannya dari fokusnya menyetir dan berdeham setelah di rasa suaranya normal. “Bapak ketawain saya?”

“Enggak. Ngapain saya ketawain kamu?” Tapi memang Alara Senja memiliki tingkat keunikan yang belum pernah Gema temukan bersama perempuan mana pun. Bahkan perempuan-perempuan yang menjadi penghangat ranjang mau pun mantan-mantan pacarnya. Rata-rata mereka dewasa dan tahu bagaimana cara mengimbangi Gema. Sedang Alara … dia memang unik dan memiliki daya pikat tersendiri. Sehingga Gema pun mulai goyah pertahanannya.

“Pasti …” Jeda yang Alara lakukan membuat kepala Gema menoleh secara spontan. Telapak tangannya mendadak basah dan pikirannya buyar. “Saya kelihatan kayak bocah di mata bapak.” Oh, Gema pikir apa. Soal itu memang iya. Terpenting dari segalanya, Gema bisa merasai Alara. Tidak peduli bocah tidaknya.

“Enggak juga.” Artinya: iya. Begitu kira-kira yang Alara simpulkan. Maklum, sih. Bahtiar Gema menuju usia 33 tahun yang sudah mapan dan matang. Tinggal pendamping saja yang belum ada—hadir kembali maksudnya. Dan Alara tidak bisa mengharapkan itu di saat kondisinya tidak memberinya dukungan.

Pernah Alara bayangkan. Sekali dalam sekelebat bayangan kosongnya. Ketika sudah dirinya temukan satu orang yang sanggup menyediakan rumah bagi hati dan juga jiwanya. Alara ingat akan impiannya beberapa waktu yang lalu. Katanya cinta adalah rumah bagi jiwa. Saat nanti telah Alara temukan rumahnya, takkan sibuk dirinya mencari apa lagi untuk berpindah. Mungkin benar, sebab untuk banyak hari yang akan dilewati, cinta butuh kekuatan lebih dari sekadar rasa aman dan nyaman.

Apakah Bahtiar Gema masuk ke dalam salah satu nominasi yang Alara Senja angankan?

Tidak—tidak tahu. Alara hanya sedang menjajaki hatinya. Meraba perasaannya. Apakah benar ini yang dirinya mau atau hanya soal obsesi semata? Entah juga jika itu karena omongan orang-orang yang mengatakan seberapa kuatnya Gema di atas ranjang. Satu yang pasti, Alara ingin membuat kenangan—meski tidak banyak—dan jika itu bisa di kabulkan, tema tentang pernikahan ingin dirinya ambil.

“Jatuh cinta butuh waktu nggak, sih pak?” Pertanyaan Alara random. Tidak tahu juga mengapa ingin bertanya tentang cinta. Padahal jelas-jelas tidak boleh ada perasaan yang terlibat di antara keduanya.

“Butuh waktu. Sama halnya dengan kamu yang menggenggam cinta. Tahu nggak, perkara cinta saja kamu bakal nemuin yang namanya rasa bosan.” Alara menggeleng. Gema tanggapi dengan senyuman. “Namun yang kita butuhkan adalah kita sanggup menemukan dia yang tidak akan memberi selamat tinggal.”

Ah, kenapa perkataan Gema sama saja dengan apa yang Alara pikirkan? Mendadak sesuatu yang aneh menyusup masuk tanpa permisi. Membiarkan harapan tumbuh di sana. Alara bawa perasaan. Ada yang paham sampai sini?

“Bahagia pasti kalau menemukan pasangan yang kayak gitu.” Netra Alara lari ke luar jendela kaca. Menyaksikan penuh sesak mobil-mobil yang berhenti total terhalang macet di jam sore menuju rumah. “Kalau bapak, kenapa dulu cerai?”

Pertanyaan macam ini sudah sering Gema dapati. Ingin marah rasanya tidak pantas. Menjawab masa kelam yang sudah dirinya kubur juga bukan solusi yang tepat. Sebagian orang akan terus mengoreknya. Alih-alih mendengarkan seperti apa luka yang Gema dapatkan.

“Nggak ada manusia yang sempurna, right?” Kepala Alara mengangguk tanpa mau menatap Gema. “Dengan begitu, kita tahu seberapa perlunya intropeksi diri untuk sebuah kehidupan yang lebih baik.”

“Cuma milik Tuhan semisal bapak terlalu mengharapkan sebuah perubahan. Kalau perubahan itu bapak tujukan untuk manusia, wasalam saja pak. Beda lagi kalau bapak niatnya demi diri sendiri.”

Kenapa Alara berkata demikian? Karena tahu Gema sedang menghindari jawaban atas tanya yang diajukan. Nilainya akan jadi satu sama dan terlihat imbang.

Sedang bagi Gema itu terkesan menohok dan tepat sasaran. Yang Gema anggap bahwa Lara adalah bocah cilik, nyatanya berpikiran terbuka dan dewasa. Gema tertampar.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Menikah Dengan Duda    Bab 80

    Bachtiar Gema nggak punya cara simpel buat mengalihkan kegalauannya. Ditinggal Alara seorang diri, Gema cuma geluntang-geluntung di dalam rumah. Gabut dan nggak tahu mau ngapain. Mana sekarang kantornya libur pula. Mau ngantor sendiri kelihatan banget kalau Gema ini mata duwitan. Tapi di rumah cuma rebahan, bangun, duduk, rebahan lagi, bangun lagi, duduk lagi dan main PS. Main PS sendiri nggak ada lawan juga persis orang gila. Kalah diam, menang diam, lagi nyerang apa lagi. Gema kangen Alara.Kira-kira salahnya Gema tuh apa? Kok bisa Alara pergi seorang diri tanpa dirinya atau mencari dirinya dan merasa kangen? Kenapa Gema kelihatannya murahan banget setelah menikahi Alara, ya? Kenapa? Apa semua cowok kayak gitu? Jadi goblok dan sedikit dungu? Ah mbohlah. Gema mumet sendiri.Sekarang Gema bangun dari rebahannya di sofa. Jam masih menunjukkan pukul 2 siang lebih dikit. Cuaca di luar juga panas enggak, mendung juga enggak tapi panas maksimal–semromong maksimal kayak di neraka. Gema hen

  • Menikah Dengan Duda    Bab 79

    Cuma manusia bodoh yang selalu ikut-ikutan dan gampang kepengaruh omongan manusia lainnya dengan modal 'katanya'. Yang katanya begini, begitu mendengarnya akan langsung membenci. Yang katanya begitu, langsung memusuhi. Hanya dengan katanya semua masalah akan muncul dan menjadi serangan secara bertubi-tubi.Daniah Maheswari juga seperti itu. Modal katanya yang Mosa Hutama sampaikan mempengaruhi cara pikir otaknya yang waras mendadak jadi gila. Katanya Prabu Setiawan itu baik, perhatian dan penuh kasih sayang. Katanya yang pada faktanya tidak demikian. Bagaimana nggak baik, perhatian dan penuh kasih sayang kalau Mosa Hutama adalah istri kesayangannya? Siapa sih yang nggak waras di sini? Terus sekarang Daniah kudu gimana ngadepin Prabu yang cuma diam kayak patung pancoran disertai tatapan matanya yang nyalang–persis hendak menerkam Daniah? Ah entah, Daniah nggak tahu lagi mesti gimana?"Kenapa belum pesen?" Prabu berucap seraya mengambil buku menunya. Kedua bola matanya menyisir setiap k

  • Menikah Dengan Duda    Bab 78

    Alara memang belum sepenuhnya merasakan pahit manisnya hidup. Tapi kalau dibenci hanya lewat 'katanya' oleh para penggosip, jangan ditanya sesering apa Gema menerima perlakuan kayak gitu. Memang dirinya ini bukan manusia ribet yang pilih-pilih temen. Tapi setidaknya butuh yang satu frekuensi dan nggak suka basa-basi ngomongin yang nggak jelas. Masa muda Alara juga habis di tempat kerja. Jadi buat kumpul sama nongkrong sana-sini mana sempat. Masih bisa napas dengan lancar saja sudah hamdalah banget. Kok ini dituntut buat ikut acara-acara nggak jelas. Buang-buang waktu dan tenaga.Kehidupan yang Alara jalani nggak sesempurna kelihatannya kok. Tapi sekali lagi, bersyukur adalah caranya. Ada yang bilang kalau omongan adalah doa. Maka Alara iyakan saja setiap orang yang berkata 'enak ya jadi kamu', 'senang ya jadi kamu', dan lain sebagainya. Alara iyakan saja.Sadar sih, mengikuti standar kehidupan manusia nggak ada habisnya. Kita yang menjalani eh orang lain yang mengatur. Kayak lalu lin

  • Menikah Dengan Duda    Bab 77

    Puasa-puasa kok bohong itu, 'kan dosa ya? Kata Jayanti, Mama Alara gitu. Dulu sewaktu Alara kecil setiap puasa selalu di wangsit buat jangan berbohong. Kalau nggak kuat puasa dan pengen makan mending ngomong. Nanti lanjut lagi puasanya sampai adzan magrib berkumandang. Pokoknya sekuatnya aja, nggak perlu memaksa diri timbang nanti nggak berpahala puasanya.Nah sekarang juga sama. Alara merasakan momen puasa yang mana dirinya tidak sedang berpuasa. Alasannya hamil walaupun seandainya mampu buat berpuasa boleh saja melakukannya. Sekarang ini yang sedang Alara alami kasusnya sama: puasa dan nggak boleh bohong. Cuma beda konsepnya aja. Kalau yang dikatakan oleh Jayanti perihal jangan bohong misal nggak kuat berpuasa sedang yang Alara alami adalah bohong lantaran nggak mau mengakui kebohongannya. Ini konsepnya gimana sih Ra?Begini, ingat yang sering Alara katakan kepada Bachtiar Gema, suaminya? Kalau mau poligami, silakan. Daripada membohongi lebih baik mengatakan jujur saja. Menginginka

  • Menikah Dengan Duda    Bab 76

    "Lo nikah tapi lo ngasih izin ke suami lo buat nikah lagi." Adalah teman Mosa yang sedang memasukkan bolu pisang ke dalam mulutnya. Tawa di bibirnya belum luntur dan matanya menyipit seiring tawa yang di keluarkan."Gue heran sama cara pikir lo. Dari dulu kayak gitu nggak pernah berubah. Kenapa gitu Sa, why?"Teman satunya lagi yang baru menyesap kopi panasnya. Kedua teman Mosa yang sejak dulu menjalin hubungan dengannya selalu penuh keheranan. Jawaban yang selalu Mosa berikan nggak pernah membuat keduanya puas. "Gue pemegang tahta poligami tertinggi." Tawa ketiganya renyah. Mengundang seluruh pengunjung kafe yang ada di dekat ketiganya menoleh. Tatapan matanya penasaran dan penuh tanya."Seolah-olah Prabu nggak pernah ada artinya di mata lo. Wah, lo hebat! Bikin kakak lo kena mental dan sekarang suami lo di bikin nggak bisa ngomong apa-apa lagi. Seyogyanya orang nikah karena butuh anak buat hadir di antara pernikahan mereka. Alih-alih penyaluran napsu ya, Sa. Tapi lo … bukan maen!

  • Menikah Dengan Duda    Bab 75

    Alara ujug-ujug ngidam ke Yogyakarta. Jari-jarinya dari pagi yang cerah ini scroll internet tanpa henti. Sampai mengabaikan suaminya yang pengen dimanja. Lagian puasa-puasa ada-ada aja pengen dimanja. Sementang libur kerja jadi seenak jidat sendiri maunya. "Abang minggir dulu ih!"Alara dorong Gema yang sejak tadi ngerungkel di belakang tubuhnya. Rasanya gerah padahal AC udah dinyalakan. Asli, Alara butuh suasana gunung yang dingin dan sejuk kayak Dieng mungkin."Ini suami kamu loh Yang!"Bukan Bachtiar Gema namanya kalau nggak protes. Laki satu itu cerewetnya kayak perempuan misal lagi butuh dimanja. Alara geram jadinya."Yang bilang suami tetangga siapa?" Itu bukan hardikan, 'kan ya? Alara cuma ngomong senyatanya aja kalau emang Gema suaminya. Ah bodo amatlah! Alara butuh piknik tapi perutnya makin membuncit."Kamu asli deh Yang makin galak aja tiap harinya. Salah aku di mana sih?"Aduh Biyung! Kok bisa banget suaminya baper kayak gini? Lebih-lebih dari Alara pula tingkahnya. Ini

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status