Alara pernah mendengarkan semua teman-temannya membahas tentang pernikahan. Pun dengan mereka yang sebagiannya telah menikah. Lantas, bagaimana dengan Alara? Jika pertanyaan itu ditujukan untuk Alara, maka jawabannya ‘ya dan ingin’. Alara perempuan. Tentunya mencintai dan dicintai menjadi satu kesatuan yang takkan terpisah. Alara ingin melakukannya. Sungguh, bahkan sebelum bertemu dengan Bahtiar Gema, Alara ingin menikah. Dengan seseorang yang bersamanya bisa Alara percayai tentang kata-kata jatuh cinta di setiap harinya.
Sayangnya, setiap jalan saja memiliki titik di mana bisa menjatuhkan para pengendara mobil, motor, bahkan yang bermuatan besar. Maka sama halnya dengan Lara yang mempunya titik terlemah dalam hidupnya. Di samping harus mengalah dan mengakui kekalahannya di medan perang, Lara tutup semua pintu untuk mengakses hatinya. Ketika menyukai seseorang, hanya ada di sebatas mengagumi yang diam-diam Alara pendam. Ketika ada yang datang untuk mendekati, akan Alara coba sekuat tenaga menjauh secara perlahan. Hidup Alara sudah sangat hambar ketika seseorang yang paling berharga merenggut ‘kepemilikannya’ dan berpindah ke lain hati.Namun juga ada fakta lain yang tidak bisa Alara singkirkan mengingat bagaimana dirinya sudah rusak sejak dulu. Melihat rekam jejak bagaimana dunia membuatnya terpojok dan meratapi nasibnya sendiri. Alara tidak punya kesempatan untuk bahagia. Jika pun bisa Alara gapai bahagianya, olokan demi olokan akan mengiringi perjalanannya. Dan seseorang yang Alara anggap rumah, akan pergi secara perlahan membiarkan dirinya kembali sendirian. Di selimuti sepi, di kelubungi embun gelap dan menelannya.Teman-teman Alara yang sudah menikah juga bercerita. Tidak perlu mencari pasangan yang sempurna. Itu belum tentu nyata. Kadang kita pun perlu tertipu ilusi mata. Mudah menjatuhkan pada seseorang yang terlihat ‘sempurna’ meski kala itu telah memiliki satu yang sanggup mengisi separuh jiwa. Karena pada akhirnya yang menjadi tujuan terakhirnya hanya satu; yang sanggup menyediakan rumah untuk di tinggali. Dan jika sudah di temukan pun dengan satu yang menjadi kepercayaannya untuk memulangkan segala cerita dan sanggup berbagi banyak hal sampai menua bersama dalam usia.Damai sekali, ya, kalau bisa menemukan satu orang yang bersedia bersama-sama menua dalam usia. Yang sayangnya dalam benak Alara itu hanya bagian dari mimpinya. Entah kapan saat-saat seperti itu akan tiba menyambangi dirinya. Katanya, jika bukan kita yang bertindak dan keluar dari zona nyaman kehidupannya, takkan ada yang datang menghampiri. Tapi Alara terlalu takut untuk mencoba. Alara terlalu takut jatuh kembali. Alara terlalu takut untuk sakit hati kembali.Senyum Alara terbit. Sangat kecil terkesan samar. Kedutan di sudutnya menghantarkan denyutan sakit padahal matahari belum tinggi sepenuhnya. Musim kemarau mulai menyapa bumi dan panasnya tidak tanggung-tanggung. Hanya berdiri beberapa menit di luar ruangan, telah merembeskan seluruh cairan ke bajunya.“Masuk.” Vokal dari dalam yang memerintah tidak Alara hiraukan. “Ayo Ara.” Sekali lagi dan Alara masih melirik-lirikkan matanya ke segala penjuru. Pasalnya, ini masih di lingkungan kantor. Akan sangat berbahaya jika ada pegawai lain yang melihatnya. “Kamu yang masuk atau saya yang turun.”Ancamannya berlaku. Sehingga Alara bergegas masuk dan mengembuskan napasnya lega. Astaga! Tadi itu jantungnya hampir copot dari tempatnya. Aduh, Alara mulai berlebihan.“Bapak tuh kayak jailangkung. Datang sesuka hati, pergi juga seenak jidat,” gerutu Alara. Tidak merasa bersalah dengan omongannya meski Gema mengerutkan dahinya. “Jangan berhubungan di jam kantor, sih, pak.”“Kamu malah lebih berani.” Omo?! Apa ini? Kenapa Alara merasa sangat terancam. Jilid II setelah tadi Gema serukan tindakannya yang hendak membongkar hubungan keduanya. “Kamu datang ke ruangan saya dan menawarkan seks yang lebih dari saya menyuruh kamu untuk masuk ke mobil.”Benar juga. Kalau di pikir-pikir, tindakan Alara lebih frontal dari Gema. Alara bahkan menyodorkan buah dadanya untuk Gema pegang dan di mainkan dengan sensual. Ya Tuhan, di mana muka Alara saat itu? Bisa-bisanya berbuat demikian kepada atasannya sendiri.“Ya itu kan karena memang perlu.” Gema menahan tawanya. Dengan mengalihkan pandangannya dari fokusnya menyetir dan berdeham setelah di rasa suaranya normal. “Bapak ketawain saya?”“Enggak. Ngapain saya ketawain kamu?” Tapi memang Alara Senja memiliki tingkat keunikan yang belum pernah Gema temukan bersama perempuan mana pun. Bahkan perempuan-perempuan yang menjadi penghangat ranjang mau pun mantan-mantan pacarnya. Rata-rata mereka dewasa dan tahu bagaimana cara mengimbangi Gema. Sedang Alara … dia memang unik dan memiliki daya pikat tersendiri. Sehingga Gema pun mulai goyah pertahanannya.“Pasti …” Jeda yang Alara lakukan membuat kepala Gema menoleh secara spontan. Telapak tangannya mendadak basah dan pikirannya buyar. “Saya kelihatan kayak bocah di mata bapak.” Oh, Gema pikir apa. Soal itu memang iya. Terpenting dari segalanya, Gema bisa merasai Alara. Tidak peduli bocah tidaknya.“Enggak juga.” Artinya: iya. Begitu kira-kira yang Alara simpulkan. Maklum, sih. Bahtiar Gema menuju usia 33 tahun yang sudah mapan dan matang. Tinggal pendamping saja yang belum ada—hadir kembali maksudnya. Dan Alara tidak bisa mengharapkan itu di saat kondisinya tidak memberinya dukungan.Pernah Alara bayangkan. Sekali dalam sekelebat bayangan kosongnya. Ketika sudah dirinya temukan satu orang yang sanggup menyediakan rumah bagi hati dan juga jiwanya. Alara ingat akan impiannya beberapa waktu yang lalu. Katanya cinta adalah rumah bagi jiwa. Saat nanti telah Alara temukan rumahnya, takkan sibuk dirinya mencari apa lagi untuk berpindah. Mungkin benar, sebab untuk banyak hari yang akan dilewati, cinta butuh kekuatan lebih dari sekadar rasa aman dan nyaman.Apakah Bahtiar Gema masuk ke dalam salah satu nominasi yang Alara Senja angankan?Tidak—tidak tahu. Alara hanya sedang menjajaki hatinya. Meraba perasaannya. Apakah benar ini yang dirinya mau atau hanya soal obsesi semata? Entah juga jika itu karena omongan orang-orang yang mengatakan seberapa kuatnya Gema di atas ranjang. Satu yang pasti, Alara ingin membuat kenangan—meski tidak banyak—dan jika itu bisa di kabulkan, tema tentang pernikahan ingin dirinya ambil.“Jatuh cinta butuh waktu nggak, sih pak?” Pertanyaan Alara random. Tidak tahu juga mengapa ingin bertanya tentang cinta. Padahal jelas-jelas tidak boleh ada perasaan yang terlibat di antara keduanya.“Butuh waktu. Sama halnya dengan kamu yang menggenggam cinta. Tahu nggak, perkara cinta saja kamu bakal nemuin yang namanya rasa bosan.” Alara menggeleng. Gema tanggapi dengan senyuman. “Namun yang kita butuhkan adalah kita sanggup menemukan dia yang tidak akan memberi selamat tinggal.”Ah, kenapa perkataan Gema sama saja dengan apa yang Alara pikirkan? Mendadak sesuatu yang aneh menyusup masuk tanpa permisi. Membiarkan harapan tumbuh di sana. Alara bawa perasaan. Ada yang paham sampai sini?“Bahagia pasti kalau menemukan pasangan yang kayak gitu.” Netra Alara lari ke luar jendela kaca. Menyaksikan penuh sesak mobil-mobil yang berhenti total terhalang macet di jam sore menuju rumah. “Kalau bapak, kenapa dulu cerai?”Pertanyaan macam ini sudah sering Gema dapati. Ingin marah rasanya tidak pantas. Menjawab masa kelam yang sudah dirinya kubur juga bukan solusi yang tepat. Sebagian orang akan terus mengoreknya. Alih-alih mendengarkan seperti apa luka yang Gema dapatkan.“Nggak ada manusia yang sempurna, right?” Kepala Alara mengangguk tanpa mau menatap Gema. “Dengan begitu, kita tahu seberapa perlunya intropeksi diri untuk sebuah kehidupan yang lebih baik.”“Cuma milik Tuhan semisal bapak terlalu mengharapkan sebuah perubahan. Kalau perubahan itu bapak tujukan untuk manusia, wasalam saja pak. Beda lagi kalau bapak niatnya demi diri sendiri.”Kenapa Alara berkata demikian? Karena tahu Gema sedang menghindari jawaban atas tanya yang diajukan. Nilainya akan jadi satu sama dan terlihat imbang.Sedang bagi Gema itu terkesan menohok dan tepat sasaran. Yang Gema anggap bahwa Lara adalah bocah cilik, nyatanya berpikiran terbuka dan dewasa. Gema tertampar.Memiliki seseorang yang mengirimimu pesan setiap hari, memberi motivasi setiap saatnya, setia dalam mendengarkan seluruh keluh kesah yang kamu punya, benar-benar peduli dalam segala hal, mengingatkan kamu untuk makan tepat waktu, dan mengonsumsi obat saat kamu sakit adalah berkah terbaik. Setiap orang membutuhkan orang semacam itu dalam hidupnya. Yang tidak semuanya bisa mendapatkan secara adil. Dan jika kamu memiliki satu di antara jajaran manusia itu, artinya kamu beruntung. Di kala orang di luar sana mengejar apa yang menjadi haknya, kamu mendapatkannya dengan mudah. Meski demikian, ada satu waktu yang akan kita temui atas penantian panjang. Bukan saat menemukanmu melainkan saat di mana aku tahu; selama ini doa-doa terbaikku untuk menjemputmu akhirnya telah bersatu bersama doa-doa baik yang Tuhan ijabah. Dan yang tersisa dari kita hanyalah bahagia serta amin dari orang-orang yang turut mendoakan cinta kita.Sayang sekali itu hanya karya tulisan tangan di selembar kertas putih. Yan
Tidak hanya merayakan kebahagiaan atas ‘jadian’ bersama orang yang kita idam-idamkan. Patah hati pun wajib di rayakan bagi para perempuan barangkali—sebenarnya—hari sedang merasakan kehilangan. Teruntuk hari ini saja. Usai itu, kita harus bangkit menuju perubahan yang lebih baik dan nyata.Coba pahami sejenak. Mungkin kamu hanya kehilangan dia yang kamu sayangi. Tetapi dia kehilangan kamu seseorang yang mencintai dengan ketulusan. Dan cintamu terlalu baik untuk tidak dihargai. Jadi tidak apa-apa jika mengambil langkah ini dan mengklaim patah hati karena itu memang perlu. Seseorang sebelum menuju puncaknya, akan melakukan segala cara guna bisa mencapai tujuannya.Patah hati ini akan mengajarkan kamu bahwa jangan sampai kamu dan harga dirimu tidak dihargai hanya karena dia meninggalkanmu begitu saja. Terlebih sisa luka yang masih melekat. Memberikan bekas yang tak kunjung luntur meski waktu terus melaju. Tidak apa-apa—sekali lagi kuatkan hatimu. Semuanya akan baik-baik saja dan percaya
Ini sih namanya Alara mengumpankan dirinya sendiri untuk dijadikan tumbal. Sudah tahu Bahtiar Gema sangat tidak tahu diri. Tetap saja hatinya berpihak ke sana untuk menggapai lelaki duda itu. Padahal tidak mungkin. Tidak akan pernah. Jangan ngarep!Gaungan semacam itu juga tidak berguna. Tidak mempan bagi hatinya yang sudah bebal. Memang ya, sekali bodoh tetap bodoh. Dan ngomong sama orang bodoh, ya capek. Hanya di dengarkan tapi tidak di praktikkan.Begini penjelasan yang akan kita kupas di bab ini.Di luar sana, banyak wanita yang sanggup dan mampu menerima masa lalu prianya. Sedangkan pria menganggap mudah soal masa lalunya dan mengatakan seburuk apa pun mereka dulu, tidak akan ada pengurangan baginya. Sangat berbeda dengan wanita, kan? Mau protes kalau ini tidak adil juga rasanya percuma. Karena wanita … jika mahkotanya sudah jatuh, maka ia bukan ratu lagi. Wanita adalah insan yang sangat istimewa dan teramat indah dimata pria. Maka ketika ia ternoda, keindahannya sirna.Tidak he
Bahtiar Gema kembali ke keluarganya di hari sabtu dan minggu. Itu hari khusus untuk dirinya menikmati quality time. Yang tidak mau diganggu gugat apa lagi di riwehkan oleh tetek bengek pekerjaan. Maka seluruh aktivitas dan komunikasi yang bersangkutan dengan masalah para klien, akan langsung menghubungi asistennya—Alara Senja.Dan ngomong-ngomong perihal Alara, perempuan itu sangat eksotis di mata dan merasuk dalam pikiran Gema. Gila, sih. Gema bahkan tidak percaya sama sekali. Perempuan seperti Alara—“Om.” Panggilan dari arah sampingnya menyeret Gema dari lamunnya. “Di panggil nenek.”Kepala Gema terangguk dan lekas beranjak setelah mengelus puncak kepala sang ponakan. Langkah kakinya sedikit berat. Berurusan dengan mamanya bukan hal yang pelik—sebenarnya—jika bukan pertanyaan semacam: cucu mama mana?Aduh! Minta cucu seperti beli gula-gula di pasar malam sebelah lapangan komplek rumahnya sana. Tinggal bilang dan menagih. “Ma.” Gema mendekat. Duduk di samping sang mama. Gazebo bela
Mata Alara mengerjap. Ini sudah lewat dari beberapa hari usai ciuman itu terajut. Sayangnya, semua yang terjadi di hari itu masih sangat membekas di memori Alara. Terlebih ucapan Gema yang tak Alara pahami maksudnya. Sama sekali Alara bodoh. Mirip keledai dungu yang di cucuk induknya. “Baju Abang mana?”Tersentak kaget dari lamunannya. Segera Alara mendekat ke pintu kamar mandi di mana kepala Gema menyembul. Dapat di pastikan, di balik pintu putih itu, tubuh Gema polos total. Dan entah mengapa, otak Alara traveling ke berbagai tempat di neraka.“Aku sudah masakin pesanan abang.”“Oke. Bentar lagi turun. Sama sambalnya juga, kan?” Kepala Alara mengangguk dan bergegas lari. Matanya melihat sesuatu yang yahud. Yang sebenarnya sah-sah saja karena mereka punya perjanjian untuk ‘memegang satu sama lain’. Yang artinya, Alara milik Gema dan Gema milik Alara. Itu mutlak dan paten tak terbantahkan.Mendadak Alara ingin mengumpati dirinya sendiri. Bisa-bisanya punya perasaan lebih atas apa yan
Gema pelajari materi yang di kirimkan Alara lewat emailnya. Sesekali kedua matanya melirik ke arah sudut ruangan di mana eksistensi Alara sangat fokus membolak-balikkan kertas berkas yang bertumpuk. Segaris senyum Gema tunjukkan—samar. Belum pernah Gema rasakan bahagia sedamai hatinya saat ini. Jika harus meraba, ada titik perbedaan antara jatuh cintanya yang dulu atau yang sekarang dengan banyak wanita di luaran sana.Keluarganya begitu gigih mengharapkan Gema menikah lagi. Dengan alasan untuk jangan sendirian karena itu menyakitkan. Tapi sekeras kepala itu Gema menolak berdalih trauma yang terus mengitari. Hingga Gema manfaatkan banyak waktu untuk bersenang-senang sebagai alasan. Siapa yang ingin menyangka jika kehadiran Alara cukup menyita waktunya?Bahkan hatinya sudah tidak bisa Gema tanyakan kabarnya. Semuanya terasa benar dan memang ini yang harus Gema lalui. Tapi melihat Alara yang begitu gigih dengan perjanjian yang diajukan, Gema penasaran. Ada kisah apa di balik mata canti
Bahtiar Gema bukan ingin bersikap kepo. Tahu batasannya dan sadar ada sekat yang selalu Alara Senja ciptakan. Entah apa itu, tapi menemukan sebuah buku catatan yang tersembunyi, jiwa Gema menggelora. Meronta ingin tahu dan tangannya bergerak cepat membolak-balikkan halaman per halaman.Di awali dengan:‘Sejak kamu pergi, aku hampir lupa caranya untuk membuka hati kembali. Tanpamu, aku merasa sepi. Mungkin ini terlihat kekanak-kanakan. Tapi begitulah adanya. Kamu yang dulunya menjadi tujuanku untuk menggapai sesuatu. Sekarang, kamu sudah tak ada lagi. Sekarang, aku hanya berkawan dengan luka-luka dan kesunyian.’Baik. Gema menghela napas perlahan. Tahu bahwa isi dalam coretan tangan itu banyak dirinya temukan berlalu lalang di dunia maya. Tapi seakan-akan memang sangat pas di kehidupan yang saat ini Alara jalani. Sebenarnya, tujuan macam apa yang sedang diraihnya sehingga kehilangan mampu membuatnya terpuruk?Pergi yang dimaksud juga ke manakah itu?Kenapa hal sesederhana ini tidak bis
Alara Senja tidak punya jalan putar balik. Di saat Bahtiar Gema kian hari kian gencar menggempurnya dengan teror pernikahan. Untungnya nih untungnya. Belum Alara beri jawaban ‘ya’ atau ‘tidak’. Tidak ada penolakan atau pun penerimaan. Untungnya lagi, Alara suka membaca quotes untuk bisa merasuk ke dalam pikirannya dan bisa mengambil tindakan tepat.Seperti ini kira-kira:Jangan buru-buru jatuh cinta. Dalam hati saja Alara berkata begitu.Apa Alara bilang. Jangan buru-buru makanya jangan memberi kendor untuk Gema terus mengejarnya. Sekarang saja, ada cek-cok yang terjadi di dalam sana. Alara sampai urung untuk masuk padahal ada berkas klien yang harus segera dirinya kirimkan untuk di entry ke Pengadilan.“Tapi hasilnya positif! Siapa yang harus aku mintai tanggungjawab?” Lengkingan seorang wanita yang tidak Alara ketahui berapa umurnya atau siapa namanya karena itu tidak penting baginya. Tapi bikin merinding disko.“Aku mainnya aman.” Yang ini suara Gema. Terdengar santai tanpa urat. T