Share

Bab 3

Memiliki seseorang yang mengirimimu pesan setiap hari, memberi motivasi setiap saatnya, setia dalam mendengarkan seluruh keluh kesah yang kamu punya, benar-benar peduli dalam segala hal, mengingatkan kamu untuk makan tepat waktu, dan mengonsumsi obat saat kamu sakit adalah berkah terbaik. Setiap orang membutuhkan orang semacam itu dalam hidupnya. Yang tidak semuanya bisa mendapatkan secara adil. Dan jika kamu memiliki satu di antara jajaran manusia itu, artinya kamu beruntung. Di kala orang di luar sana mengejar apa yang menjadi haknya, kamu mendapatkannya dengan mudah.

Meski demikian, ada satu waktu yang akan kita temui atas penantian panjang. Bukan saat menemukanmu melainkan saat di mana aku tahu; selama ini doa-doa terbaikku untuk menjemputmu akhirnya telah bersatu bersama doa-doa baik yang Tuhan ijabah. Dan yang tersisa dari kita hanyalah bahagia serta amin dari orang-orang yang turut mendoakan cinta kita.

Sayang sekali itu hanya karya tulisan tangan di selembar kertas putih. Yang awalnya kosong kini telah bercampur dengan tinta hitam. Melukiskan suasana hati sang penulis; Alara Senja. Di mana netra hitamnya memandangi awan sore yang kelabu. Berarak mengikuti angin di sertai lukisan orange sebagai latar.

Alara ingin merasa di miliki walau tidak sebenar-benarnya memiliki. Sekadar merasakan bagaimana cintanya di balas dengan orang yang dirinya suka. Rasanya akan sangat menakjubkan jika boleh Alara gambarkan. Tapi mustahil.

Pernah di khianati, di sakiti sampai begitu dalamnya dan tidak bisa merasakan perasaan selain pasrah. Lara selalu menepis semua angan yang baru saja terlintas. Meski pada akhirnya ada getaran lain yang hadir pun itu sangat mustahil.

Bahtiar Gema bukan pilihan yang tepat. Untuk Alara jatuhkan hatinya di genggaman lelaki duda itu. Namun karena perjanjian yang sudah Alara taburkan di atas egonya yang tinggi, perasaan itu lebih berperan ketimbang logikanya. Hendak menyesal pun sudah terlanjur basah. Tidak mungkin Alara tarik kembali ucapannya dan berjalan masing-masing. Anggap saja ini sebagai pilihan terakhir agar tidak ada desakan yang menyulitkan ruang gerak Alara. Rasanya muak saat kamu di paksa bersama tapi bukan dengan keinginan hatimu sendiri.

Gema—dalam mata Alara—tidak bisa diabaikan begitu saja. Lelaki itu sangat berharga sehingga Alara begitu gila ingin memiliki. Dan hanya jalan ini yang bisa dirinya tempuh di atas pikiran frustasi yang menyapa kepenatan hidupnya.

Penat. Itu benar. Alara merasakan lelah akhir-akhir ini. Entah kepada fisik maupun batinnya. Yang pasti, lari saja tidak cukup. Menghentikan tungkainya yang sudah semakin jauh juga bukan jalan yang bagus. Alara se-plin-plan itu. Kemarin mantap mengenai pilihannya. Lihatlah hari ini? Benar-benar meratapi nasibnya.

“Kamu nyesal?” Gema perhatikan ekspresi Lara sejak tadi. Gusar dan gelisah. “Bisa bagi ke saya semisal memang ada masalah.” Siapa tahu aji mumpung dan Lara mau sedikit terbuka padanya. Tidak berharap lebih, sih. Gini-gini juga Gema pendengar yang baik.

“Hm. Eh?” Mata Alara mengerjap. Mengangkat kepalanya yang lesu dan melotot mendapati wajah Gema begitu dekat dengan wajahnya. Seinci saja akan terjadi sulaman bibir bersambut saliva yang terajut. “Ini cuma kata-kata.”

“Kamu gugup berarti ya.” Dan Gema orang yang suka menarik kesimpulan secepat kereta Jepang melaju dari satu stasiun ke stasiun tujuan selanjutnya. “Kamu juga ngejawab dengan persetujuan—”

“Saya pikir mengenai hal ini—”

“Aku!” Tekan Gema. Mata lelaki itu sinis dan tajam ketika mengoreksi perkataan Alara. “Kantor sepi dan jam kerja usai. Kamu nggak perlu seformal itu. Kita pasangan, remember?”

Oh, diingatkan tentang itu Alara mendengus. Menunjukkan ketidaksukaannya secara terang-terangan. Yang jelas mengerutkan dahi milik Gema.

“Kamu labil.”

“Sa—aku pusing.” Alara kembali letakkan kepalanya di atas meja. Kali ini dengan tindakan mengetuk-etuk perlahan. Membuat Gema gemas dan menjatuhkan telapaknya yang besar ke meja.

“Aku nggak mau pacaran sama orang penyakitan.”

“Sialan!”

“Jangan mengumpat! Aku lebih tua dari kamu.”

“Oke om.”

“Aku bukan om kamu.”

“Terus apa? Sayang? Abang? Mas? Papa? Papi? Ayah?” Balas Alara tak kalah sarkas.

“Kamu ada masalah?”

“Menurut kamu?”

“Ada jika begitu. Mau berbagi?” Sekali lagi Gema tawarkan.

“Ranjang?”

Ya Tuhan, kenapa otak Alara mulai menjurus ke ranah yang iya-iya. Lupa atau bagaimana jika track seorang Bahtiar Gema adalah pemain ulung? Lelaki itu menduda selama lima atau enam tahun. Wajar, penghangat ranjang selalu di butuhkan. Dan Alara the next generation.

“Kamu pengen?” Ambigu tapi Gema ingin bermain kalem. Tidak mau grasak-grusuk seperti biasanya. Masih harus dirinya selami kenapa Alara Senja yang bernotabene sebagai asistennya datang meminta dirinya perihal perjanjian konyol untuk ikatan tidak jelas. Coba katakan, kalau bukan untuk ranjang, lantas apa?

“Kadang. Suka horny kalau lihat om.”

WOW. Kejujuran Alara patut di apresiasi. Tomat merah berpindah tempat di kedua pipi gembilnya. Membuat Gema refleks mencium sampai bunyi ‘plok’ terdengar dan menjauh setelahnya.

“Kamu bisa pindah ke rumah aku mulai sekarang. Aku nggak suka suasana kost, berisik.”

“Kostku aman. Kedap suara dan orangnya nggak resek.”

“Siapa yang bilang?”

Sudah Gema selidiki. Kondisi kost Alara memang tidak buruk seperti kebanyakan kost. Tapi sewaktu Gema sidak ke sana, tetangga kanan kirinya parah maksimal. Dengan sopan menyambut Gema. Tersenyum, menyapa dan bertanya basa-basi busuk. Selanjutnya menggerayangi Gema mulai dari lengan kokohnya sampai ke dada bidangnya. Perlakuan najis begitu mana bisa memancing Gema. Tidak semurah itu selera Gema bermain dengan wanita. Pelacur sewaan Gema selalu yang berkualitas tinggi dan terbaik di tempatnya. Memberikan servis oke luar dalam sebanding dengan nominal cek yang Gema tuliskan.

“Aku jarang di sana. Pagi sampai sore kerja. Malamnya kuliah. Pulang-pulang tidur. Jadi aku anggap mereka normal.”

“Normal matamu.” Gema misuh-misuh. “Aku ke sana—”

“Abang ngapain ke sana?” Ganti lagi. Suka-suka Alara saja lah. “ Kepo banget kayaknya sama kehidupan aku.”

“Bukan gitu. Aku mau kehidupan pacar—”

“Sementara. Catat!”

“Kamu dari tadi motong omongan aku terus!?” Oh ya? Alara tidak sadar. Dan tidak mau sadar. “Aku mau menjamin kehidupan kamu. Jadi selama kita bareng, nggak ada sesuatu yang buruk buat aku tinggalin nantinya.”

Penjelasan Gema cukup masuk akal di pendengaran Alara. Ini Jakarta. Hidup di kota besar tidak semudah bayangan. Maka jangan sesekali mau berjuang di sini jika tidak punya effort dan mental yang kuat. Karena berani saja tidak cukup mengenyangkan perutmu. Nyali saja tidak cukup membasah dahagamu perihal kehidupan keras yang sesungguhnya. Alara sudah merasakan itu semua.

“Bang.” Panggil Alara. Gema menoleh. Wajahnya sudah kembali seperti setelan awal; datar dan serius. “Abang punya pandangan apa soal perawan dan enggaknya seorang cewek?”

Sejenak, netra beda warna itu saling bersinggungan. Dan lewat detik yang akan menuju menit, Alara lepas tautannya. Merapikan berkas-berkas di meja kerjanya dan bersiap untuk hengkang. Namun jawaban Gema atas pertanyaannya menahan pinggulnya yang sudah terangkat.

“Nggak baik dan nggak buruk. Tapi seburuk-buruknya aku sebagai cowok apa lagi statusku duda, butuh pelepasan itu perlu. Aku normal. Dan hidup bebas menjadi motto yang selama ini aku langkahi. Tapi soal perawan dan enggaknya cewek. Jujur, sebejat-bejatnya aku, maunya kalau dapat istri lagi harus yang perawan.”

“Abang kolot!” cibiran yang Alara sampaikan nyatanya tidak sama dengan kondisi hatinya yang berdenyut sakit. Tatanan yang sudah rapi terpaksa lebur. Porak-poranda di terjang gulungan badai. Dalam satu kali tarikan napas, Gema sudah menjabarkan arti kehidupan yang tak berguna untuk Alara jalani.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status