Share

Bab 3

Author: Lavender
last update Last Updated: 2022-11-22 19:26:34

Memiliki seseorang yang mengirimimu pesan setiap hari, memberi motivasi setiap saatnya, setia dalam mendengarkan seluruh keluh kesah yang kamu punya, benar-benar peduli dalam segala hal, mengingatkan kamu untuk makan tepat waktu, dan mengonsumsi obat saat kamu sakit adalah berkah terbaik. Setiap orang membutuhkan orang semacam itu dalam hidupnya. Yang tidak semuanya bisa mendapatkan secara adil. Dan jika kamu memiliki satu di antara jajaran manusia itu, artinya kamu beruntung. Di kala orang di luar sana mengejar apa yang menjadi haknya, kamu mendapatkannya dengan mudah.

Meski demikian, ada satu waktu yang akan kita temui atas penantian panjang. Bukan saat menemukanmu melainkan saat di mana aku tahu; selama ini doa-doa terbaikku untuk menjemputmu akhirnya telah bersatu bersama doa-doa baik yang Tuhan ijabah. Dan yang tersisa dari kita hanyalah bahagia serta amin dari orang-orang yang turut mendoakan cinta kita.

Sayang sekali itu hanya karya tulisan tangan di selembar kertas putih. Yang awalnya kosong kini telah bercampur dengan tinta hitam. Melukiskan suasana hati sang penulis; Alara Senja. Di mana netra hitamnya memandangi awan sore yang kelabu. Berarak mengikuti angin di sertai lukisan orange sebagai latar.

Alara ingin merasa di miliki walau tidak sebenar-benarnya memiliki. Sekadar merasakan bagaimana cintanya di balas dengan orang yang dirinya suka. Rasanya akan sangat menakjubkan jika boleh Alara gambarkan. Tapi mustahil.

Pernah di khianati, di sakiti sampai begitu dalamnya dan tidak bisa merasakan perasaan selain pasrah. Lara selalu menepis semua angan yang baru saja terlintas. Meski pada akhirnya ada getaran lain yang hadir pun itu sangat mustahil.

Bahtiar Gema bukan pilihan yang tepat. Untuk Alara jatuhkan hatinya di genggaman lelaki duda itu. Namun karena perjanjian yang sudah Alara taburkan di atas egonya yang tinggi, perasaan itu lebih berperan ketimbang logikanya. Hendak menyesal pun sudah terlanjur basah. Tidak mungkin Alara tarik kembali ucapannya dan berjalan masing-masing. Anggap saja ini sebagai pilihan terakhir agar tidak ada desakan yang menyulitkan ruang gerak Alara. Rasanya muak saat kamu di paksa bersama tapi bukan dengan keinginan hatimu sendiri.

Gema—dalam mata Alara—tidak bisa diabaikan begitu saja. Lelaki itu sangat berharga sehingga Alara begitu gila ingin memiliki. Dan hanya jalan ini yang bisa dirinya tempuh di atas pikiran frustasi yang menyapa kepenatan hidupnya.

Penat. Itu benar. Alara merasakan lelah akhir-akhir ini. Entah kepada fisik maupun batinnya. Yang pasti, lari saja tidak cukup. Menghentikan tungkainya yang sudah semakin jauh juga bukan jalan yang bagus. Alara se-plin-plan itu. Kemarin mantap mengenai pilihannya. Lihatlah hari ini? Benar-benar meratapi nasibnya.

“Kamu nyesal?” Gema perhatikan ekspresi Lara sejak tadi. Gusar dan gelisah. “Bisa bagi ke saya semisal memang ada masalah.” Siapa tahu aji mumpung dan Lara mau sedikit terbuka padanya. Tidak berharap lebih, sih. Gini-gini juga Gema pendengar yang baik.

“Hm. Eh?” Mata Alara mengerjap. Mengangkat kepalanya yang lesu dan melotot mendapati wajah Gema begitu dekat dengan wajahnya. Seinci saja akan terjadi sulaman bibir bersambut saliva yang terajut. “Ini cuma kata-kata.”

“Kamu gugup berarti ya.” Dan Gema orang yang suka menarik kesimpulan secepat kereta Jepang melaju dari satu stasiun ke stasiun tujuan selanjutnya. “Kamu juga ngejawab dengan persetujuan—”

“Saya pikir mengenai hal ini—”

“Aku!” Tekan Gema. Mata lelaki itu sinis dan tajam ketika mengoreksi perkataan Alara. “Kantor sepi dan jam kerja usai. Kamu nggak perlu seformal itu. Kita pasangan, remember?”

Oh, diingatkan tentang itu Alara mendengus. Menunjukkan ketidaksukaannya secara terang-terangan. Yang jelas mengerutkan dahi milik Gema.

“Kamu labil.”

“Sa—aku pusing.” Alara kembali letakkan kepalanya di atas meja. Kali ini dengan tindakan mengetuk-etuk perlahan. Membuat Gema gemas dan menjatuhkan telapaknya yang besar ke meja.

“Aku nggak mau pacaran sama orang penyakitan.”

“Sialan!”

“Jangan mengumpat! Aku lebih tua dari kamu.”

“Oke om.”

“Aku bukan om kamu.”

“Terus apa? Sayang? Abang? Mas? Papa? Papi? Ayah?” Balas Alara tak kalah sarkas.

“Kamu ada masalah?”

“Menurut kamu?”

“Ada jika begitu. Mau berbagi?” Sekali lagi Gema tawarkan.

“Ranjang?”

Ya Tuhan, kenapa otak Alara mulai menjurus ke ranah yang iya-iya. Lupa atau bagaimana jika track seorang Bahtiar Gema adalah pemain ulung? Lelaki itu menduda selama lima atau enam tahun. Wajar, penghangat ranjang selalu di butuhkan. Dan Alara the next generation.

“Kamu pengen?” Ambigu tapi Gema ingin bermain kalem. Tidak mau grasak-grusuk seperti biasanya. Masih harus dirinya selami kenapa Alara Senja yang bernotabene sebagai asistennya datang meminta dirinya perihal perjanjian konyol untuk ikatan tidak jelas. Coba katakan, kalau bukan untuk ranjang, lantas apa?

“Kadang. Suka horny kalau lihat om.”

WOW. Kejujuran Alara patut di apresiasi. Tomat merah berpindah tempat di kedua pipi gembilnya. Membuat Gema refleks mencium sampai bunyi ‘plok’ terdengar dan menjauh setelahnya.

“Kamu bisa pindah ke rumah aku mulai sekarang. Aku nggak suka suasana kost, berisik.”

“Kostku aman. Kedap suara dan orangnya nggak resek.”

“Siapa yang bilang?”

Sudah Gema selidiki. Kondisi kost Alara memang tidak buruk seperti kebanyakan kost. Tapi sewaktu Gema sidak ke sana, tetangga kanan kirinya parah maksimal. Dengan sopan menyambut Gema. Tersenyum, menyapa dan bertanya basa-basi busuk. Selanjutnya menggerayangi Gema mulai dari lengan kokohnya sampai ke dada bidangnya. Perlakuan najis begitu mana bisa memancing Gema. Tidak semurah itu selera Gema bermain dengan wanita. Pelacur sewaan Gema selalu yang berkualitas tinggi dan terbaik di tempatnya. Memberikan servis oke luar dalam sebanding dengan nominal cek yang Gema tuliskan.

“Aku jarang di sana. Pagi sampai sore kerja. Malamnya kuliah. Pulang-pulang tidur. Jadi aku anggap mereka normal.”

“Normal matamu.” Gema misuh-misuh. “Aku ke sana—”

“Abang ngapain ke sana?” Ganti lagi. Suka-suka Alara saja lah. “ Kepo banget kayaknya sama kehidupan aku.”

“Bukan gitu. Aku mau kehidupan pacar—”

“Sementara. Catat!”

“Kamu dari tadi motong omongan aku terus!?” Oh ya? Alara tidak sadar. Dan tidak mau sadar. “Aku mau menjamin kehidupan kamu. Jadi selama kita bareng, nggak ada sesuatu yang buruk buat aku tinggalin nantinya.”

Penjelasan Gema cukup masuk akal di pendengaran Alara. Ini Jakarta. Hidup di kota besar tidak semudah bayangan. Maka jangan sesekali mau berjuang di sini jika tidak punya effort dan mental yang kuat. Karena berani saja tidak cukup mengenyangkan perutmu. Nyali saja tidak cukup membasah dahagamu perihal kehidupan keras yang sesungguhnya. Alara sudah merasakan itu semua.

“Bang.” Panggil Alara. Gema menoleh. Wajahnya sudah kembali seperti setelan awal; datar dan serius. “Abang punya pandangan apa soal perawan dan enggaknya seorang cewek?”

Sejenak, netra beda warna itu saling bersinggungan. Dan lewat detik yang akan menuju menit, Alara lepas tautannya. Merapikan berkas-berkas di meja kerjanya dan bersiap untuk hengkang. Namun jawaban Gema atas pertanyaannya menahan pinggulnya yang sudah terangkat.

“Nggak baik dan nggak buruk. Tapi seburuk-buruknya aku sebagai cowok apa lagi statusku duda, butuh pelepasan itu perlu. Aku normal. Dan hidup bebas menjadi motto yang selama ini aku langkahi. Tapi soal perawan dan enggaknya cewek. Jujur, sebejat-bejatnya aku, maunya kalau dapat istri lagi harus yang perawan.”

“Abang kolot!” cibiran yang Alara sampaikan nyatanya tidak sama dengan kondisi hatinya yang berdenyut sakit. Tatanan yang sudah rapi terpaksa lebur. Porak-poranda di terjang gulungan badai. Dalam satu kali tarikan napas, Gema sudah menjabarkan arti kehidupan yang tak berguna untuk Alara jalani.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Menikah Dengan Duda    Bab 80

    Bachtiar Gema nggak punya cara simpel buat mengalihkan kegalauannya. Ditinggal Alara seorang diri, Gema cuma geluntang-geluntung di dalam rumah. Gabut dan nggak tahu mau ngapain. Mana sekarang kantornya libur pula. Mau ngantor sendiri kelihatan banget kalau Gema ini mata duwitan. Tapi di rumah cuma rebahan, bangun, duduk, rebahan lagi, bangun lagi, duduk lagi dan main PS. Main PS sendiri nggak ada lawan juga persis orang gila. Kalah diam, menang diam, lagi nyerang apa lagi. Gema kangen Alara.Kira-kira salahnya Gema tuh apa? Kok bisa Alara pergi seorang diri tanpa dirinya atau mencari dirinya dan merasa kangen? Kenapa Gema kelihatannya murahan banget setelah menikahi Alara, ya? Kenapa? Apa semua cowok kayak gitu? Jadi goblok dan sedikit dungu? Ah mbohlah. Gema mumet sendiri.Sekarang Gema bangun dari rebahannya di sofa. Jam masih menunjukkan pukul 2 siang lebih dikit. Cuaca di luar juga panas enggak, mendung juga enggak tapi panas maksimal–semromong maksimal kayak di neraka. Gema hen

  • Menikah Dengan Duda    Bab 79

    Cuma manusia bodoh yang selalu ikut-ikutan dan gampang kepengaruh omongan manusia lainnya dengan modal 'katanya'. Yang katanya begini, begitu mendengarnya akan langsung membenci. Yang katanya begitu, langsung memusuhi. Hanya dengan katanya semua masalah akan muncul dan menjadi serangan secara bertubi-tubi.Daniah Maheswari juga seperti itu. Modal katanya yang Mosa Hutama sampaikan mempengaruhi cara pikir otaknya yang waras mendadak jadi gila. Katanya Prabu Setiawan itu baik, perhatian dan penuh kasih sayang. Katanya yang pada faktanya tidak demikian. Bagaimana nggak baik, perhatian dan penuh kasih sayang kalau Mosa Hutama adalah istri kesayangannya? Siapa sih yang nggak waras di sini? Terus sekarang Daniah kudu gimana ngadepin Prabu yang cuma diam kayak patung pancoran disertai tatapan matanya yang nyalang–persis hendak menerkam Daniah? Ah entah, Daniah nggak tahu lagi mesti gimana?"Kenapa belum pesen?" Prabu berucap seraya mengambil buku menunya. Kedua bola matanya menyisir setiap k

  • Menikah Dengan Duda    Bab 78

    Alara memang belum sepenuhnya merasakan pahit manisnya hidup. Tapi kalau dibenci hanya lewat 'katanya' oleh para penggosip, jangan ditanya sesering apa Gema menerima perlakuan kayak gitu. Memang dirinya ini bukan manusia ribet yang pilih-pilih temen. Tapi setidaknya butuh yang satu frekuensi dan nggak suka basa-basi ngomongin yang nggak jelas. Masa muda Alara juga habis di tempat kerja. Jadi buat kumpul sama nongkrong sana-sini mana sempat. Masih bisa napas dengan lancar saja sudah hamdalah banget. Kok ini dituntut buat ikut acara-acara nggak jelas. Buang-buang waktu dan tenaga.Kehidupan yang Alara jalani nggak sesempurna kelihatannya kok. Tapi sekali lagi, bersyukur adalah caranya. Ada yang bilang kalau omongan adalah doa. Maka Alara iyakan saja setiap orang yang berkata 'enak ya jadi kamu', 'senang ya jadi kamu', dan lain sebagainya. Alara iyakan saja.Sadar sih, mengikuti standar kehidupan manusia nggak ada habisnya. Kita yang menjalani eh orang lain yang mengatur. Kayak lalu lin

  • Menikah Dengan Duda    Bab 77

    Puasa-puasa kok bohong itu, 'kan dosa ya? Kata Jayanti, Mama Alara gitu. Dulu sewaktu Alara kecil setiap puasa selalu di wangsit buat jangan berbohong. Kalau nggak kuat puasa dan pengen makan mending ngomong. Nanti lanjut lagi puasanya sampai adzan magrib berkumandang. Pokoknya sekuatnya aja, nggak perlu memaksa diri timbang nanti nggak berpahala puasanya.Nah sekarang juga sama. Alara merasakan momen puasa yang mana dirinya tidak sedang berpuasa. Alasannya hamil walaupun seandainya mampu buat berpuasa boleh saja melakukannya. Sekarang ini yang sedang Alara alami kasusnya sama: puasa dan nggak boleh bohong. Cuma beda konsepnya aja. Kalau yang dikatakan oleh Jayanti perihal jangan bohong misal nggak kuat berpuasa sedang yang Alara alami adalah bohong lantaran nggak mau mengakui kebohongannya. Ini konsepnya gimana sih Ra?Begini, ingat yang sering Alara katakan kepada Bachtiar Gema, suaminya? Kalau mau poligami, silakan. Daripada membohongi lebih baik mengatakan jujur saja. Menginginka

  • Menikah Dengan Duda    Bab 76

    "Lo nikah tapi lo ngasih izin ke suami lo buat nikah lagi." Adalah teman Mosa yang sedang memasukkan bolu pisang ke dalam mulutnya. Tawa di bibirnya belum luntur dan matanya menyipit seiring tawa yang di keluarkan."Gue heran sama cara pikir lo. Dari dulu kayak gitu nggak pernah berubah. Kenapa gitu Sa, why?"Teman satunya lagi yang baru menyesap kopi panasnya. Kedua teman Mosa yang sejak dulu menjalin hubungan dengannya selalu penuh keheranan. Jawaban yang selalu Mosa berikan nggak pernah membuat keduanya puas. "Gue pemegang tahta poligami tertinggi." Tawa ketiganya renyah. Mengundang seluruh pengunjung kafe yang ada di dekat ketiganya menoleh. Tatapan matanya penasaran dan penuh tanya."Seolah-olah Prabu nggak pernah ada artinya di mata lo. Wah, lo hebat! Bikin kakak lo kena mental dan sekarang suami lo di bikin nggak bisa ngomong apa-apa lagi. Seyogyanya orang nikah karena butuh anak buat hadir di antara pernikahan mereka. Alih-alih penyaluran napsu ya, Sa. Tapi lo … bukan maen!

  • Menikah Dengan Duda    Bab 75

    Alara ujug-ujug ngidam ke Yogyakarta. Jari-jarinya dari pagi yang cerah ini scroll internet tanpa henti. Sampai mengabaikan suaminya yang pengen dimanja. Lagian puasa-puasa ada-ada aja pengen dimanja. Sementang libur kerja jadi seenak jidat sendiri maunya. "Abang minggir dulu ih!"Alara dorong Gema yang sejak tadi ngerungkel di belakang tubuhnya. Rasanya gerah padahal AC udah dinyalakan. Asli, Alara butuh suasana gunung yang dingin dan sejuk kayak Dieng mungkin."Ini suami kamu loh Yang!"Bukan Bachtiar Gema namanya kalau nggak protes. Laki satu itu cerewetnya kayak perempuan misal lagi butuh dimanja. Alara geram jadinya."Yang bilang suami tetangga siapa?" Itu bukan hardikan, 'kan ya? Alara cuma ngomong senyatanya aja kalau emang Gema suaminya. Ah bodo amatlah! Alara butuh piknik tapi perutnya makin membuncit."Kamu asli deh Yang makin galak aja tiap harinya. Salah aku di mana sih?"Aduh Biyung! Kok bisa banget suaminya baper kayak gini? Lebih-lebih dari Alara pula tingkahnya. Ini

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status