Leon sejak tadi terus berbalik mencari posisi tidur yang nyaman. Padahal sekarang sudah hampir jam dua belas malam. Entah kenapa kedua matanya sulit sekali untuk dipejamkan. Leon tidak bisa tidur karena perasaannya mendadak tidak tenang.Leon akhirnya memutuskan untuk bangun lalu menundukkan di atas tempat tidur. Kamar bagus serta tempat tidur yang nyaman ternyata tidak bisa membuatnya tidur nyenyak. Dia gelisah.Leon pun meraih ponselnya yang tergeletak di meja kecil samping tempat tidur. Senyum kecil menghiasi bibirnya ketika melihat foto Aeris yang dia ambil diam-diam saat tidur. Entah kenapa gadis itu terlihat sangat menggemaskan di matanya.Helaan napas panjang lolos dari bibir Leon. Entah kenapa dia tiba-tiba sangat merindukan Aeris. Sedang apa gadis itu sekarang? Apa Aeris juga tidak bisa tidur seperti dirinya?Leon menatap kontak Aeris yang ada di ponselnya dengan ragu. Haruskah dia menelepon gadis itu?Leon memutuskan untuk menelepon Aeris. Jantungnya tiba-tiba berdetak lebih
Alea sontak berhenti melangkah saat melihat Kai terduduk lesu di depan rumah sakit."Apa yang Kak Kai lakukan di sini?"Kai mengangkat kepalanya perlahan karena mendengar suara Alea. Alea tampak terkejut melihat mata Kai yang sembab."Apa terjadi sesuatu dengan Kak Aeris?" tanyanya terdengar khawatir."Tidak," jawab Kai lirih.Alea pun duduk di samping Kai, kemudian meraih jemari kakak kandunya itu dan menggenggamnya dengan lembut. Sebagai seorang adik, Alea tahu kalau suasana hati Kai sekarang sedang tidak baik."Kenapa Kak Kai terlihat sedih jika kak Aeris baik-baik saja?"Kai mengatupkan rahangnya rapat untuk menahan air mata yang mendesak ingin keluar karena dia tidak mau Alea melihatnya menangis, apalagi karena cinta. Lagi pula dia bukan lelaki lemah. Namun, Kai tidak bisa membohongi kalau hatinya sekarang sedang hancur. Kai tidak yakin hatinya bisa kembali utuh."Bukankah kamu ingin menjenguk Aeris?" Kai berusaha mengalihkan perhatian Alea."Baiklah kalau Kak Kai belum siap berce
"Sepertinya aku tadi mendengar suara orang lain." Leon keluar dari kamar mandi sambil menggosok rambutnya yang sedikit basah dengan sebuah handuk kecil.Aeris sontak mengalihkan padang dari novel yang sedang dibacanya untuk menatap Leon. Sedetik kemudian dia cepat-cepat menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan. "Tadi ada temanku yang datang. Kamu bisa nggak sih, kalau keluar dari kamar mandi pakai baju dulu?""Memangnya kenapa?""Kamu nggak malu?" Aeris masih setia menutupi wajahnya. Entah kenapa Leon suka sekali bertelanjang dada saat keluar dari kamar mandi."Kenapa harus malu? Kamu kan, istriku."Wajah Aeris semakin terasa panas. Apa lagi saat Leon mendekat lalu menurunkan kedua tangannya yang menutupi wajah dengan paksa. Aroma laut berpadu dengan kayu manis yang menguar dari tubuh Leon membuat Aeris megap-megap. Gadis itu butuh oksigen untuk bernapas."Memangnya kenapa kalau aku bertelanjang dada?""Duh, Gusti!" Aeris mengusap wajah kasar. Apa Leon tidak tahu kalau tubuhnya itu
Alea sejak tadi mengaduk-aduk jus alpukat-nya tanpa minat. Helaan napas panjang berulang kali lolos dari bibirnya. Entah kenapa Alea terus saja memikirkan kemeja milik suami Aeris. Kemeja putih itu mirip sekali dengan kemeja yang dia berikan untuk Leon. Apa mungkin Leon suami Aeris?"Alea!"Alea sontak menatap Kai yang duduk tepat di hadapannya. "Ya, Kak?""Melamun lagi?" Kai menatap Alea dengan lekat. Gadis itu sering sekali melamun dan tidak fokus saat diajak bicara sejak pulang dari rumah sakit menjenguk Aeris.Alea menggeleng pelan. Sebenarnya dia ingin tahu apa yang menyebabkan Kai menangis saat di rumah sakit tadi. Namun, dia malah asyik dengan pikirannya sendiri."Melamun lagi, kan?"Alea tergagap. "Maaf ....""Sepertinya ada yang mengganggu pikiranmu, coba cerita sama kakak."Alea menyedot minumannya untuk membasahi tenggorokannya yang terasa kering. "Tidak mau, Alea ingin tahu kenapa mata Kak Kai sembab waktu di rumah sakit.""Mata kakak kelilipan.""Bohong banget!" Alea mende
"Leon!" Kedua mata Aeris sontak membulat.Leon terkekeh geli melihatnya. Entah kenapa dia sekarang suka sekali membuat Aeris kesal. "Tunggu sebentar ya, Sayang."Tubuh Aeris merinding mendengar Leon memanggilnya sayang. Apa suami sekaligus keponakannya itu salah minum obat?Leon mendorong kursi roda Aeris menuju taman rumah sakit. Sedari tadi banyak pasang mata yang menatap iri pada Aeris karena Leon begitu sabar dan perhatian pada dirinya."Leon, berhenti.""Kenapa kamu tiba-tiba minta berhenti?" tanya Leon tidak mengerti."Aku ingin es krim.""Apa?! Es krim?" Leon tersentak mendengar ucapan Aeris barusan.Aeris mengangguk. Entah kenapa dia tiba-tiba ingin sekali makan es krim."Tapi kamu sedang sakit, Sayang.""Dokter tadi bilang aku bisa makan apa pun."Leon menghela napas panjang. Dia tidak tega meninggalkan Aeris sendirian karena letak kantin lumayan jauh dari taman. Apa lagi angin sekarang berembus sedikit kencang."Kita kembali ke kamar dulu, ya?"Aeris menggeleng. "Nggak mau."
Kekasih, tidur bersama, dan anak. Tiga kata itu terus berputar di otak Aeris bagai kaset rusak. Entah kenapa oksigen di sekitarnya seolah-olah lenyap, sekarang rasanya sulit sekali bagi Aeris untuk mengambil napas, dadanya sesak.Aeris tidak ingin percaya dengan apa yang Meeta katakan kalau Leon pernah memiliki anak dengan mantan kekasihnya, tapi kenapa air mata ini tidak juga mau berhenti keluar?Sialan!"Ya Tuhan, apa ini yang menyebabkan Leon selama ini bersikap dingin kepadaku?" gumam Aeris menahan nyeri di dada.Gadis itu kembali teringat akan sikap Leon di awal pernikahan mereka. Leon tidak pernah memedulikannya, status pernikahan di antara mereka pun seolah-olah tidak ada artinya di mata lelaki itu. Leon bahkan menolak bercinta dengannya malam itu. Aeris sekarang menyadari satu hal. Leon tidak pernah mencintainya. Lelaki itu mau menikah dengannya karena terpaksa.Andai saja dia dan Leon tidak menikah, Leon pasti akan menikahi mantan kekasihnya karena sudah ada anak dalam hubung
Aeris malah semakin terisak. Gadis itu merasa bersalah karena membuat Leon khawatir. Haruskah dia mengatakan yang sebenarnya pada Leon?"Katakan ...," pinta Leon terdengar lembut.Aeris menarik napas panjang sebelum bicara, isakan kecil sesekali lolos dari bibirnya. "Meeta ...," ucapnya terdengar serak.Kedua alis Leon menyatu. "Ada apa dengan Meeta? Apa wanita berambut jagung itu memanggilmu tante lagi?"Astaga!Rasanya Aeris ingin sekali menampar wajah Leon yang kelewat tampan karena kesal, tapi sekarang bukan waktu yang tepat."Bukan karena itu.""Lalu karena apa?"Aeris menggigit pipi bagian dalamnya kuat-kuat. Entah kenapa dia merasa sedikit ragu saat akan bicara."Kita sudah menjadi suami istri, kan? Katakan jika ada sesuatu yang mengganggu pikiranmu, jangan malah diam seperti ini, Aeris. Aku harap mulai sekarang kita bisa saling terbuka satu sama lain. Bukankah hal itu membuat hubungan kita semakin baik?"Begitu mudah Leon mengatakan kalimat itu dari bibirnya. Bagaimana reaksiny
Entah kata apa lagi yang bisa digunakan untuk menggambarkan perasaan seorang Chandra Yasodana Leon sekarang.Senang?Bahagia?Gembira?Leon merasa sangat bahagia sekrang. Namun satu hal yang pasti, dia merasa menjadi lelaki paling beruntung yang pernah Tuhan ciptakan karena Aeris mau memberinya kesempatan. Leon sepenuhnya menyadari kalau dia bukan lelaki baik. Dia berengsek, tapi Aeris malah memilihnya untuk mendampingi hidupnya.Leon berani bersumpah, mulai sekarang dia akan berusaha untuk membahagiakan Aeris, itu janjinya.Aeris mengerjapkan kedua matanya perlahan saat cahaya matahari yang menerobos masuk melalui celah-celah tirai di jedela kamar rumah sakit tempatnya dirawat jatuh mengenai wajah cantiknya."Hah?!" Aeris refleks mundur karena wajahnya sangat dekat dengan Leon. Kedua tangan lelaki itu bahkan melingkari pinggangnya dengan erat. Leon dan Aeris kembali tidur bersama dalam satu ranjang. Beruntung tidak ada perawat atau pun dokter yang melihat mereka. Jika ada, Leon pasti