Share

6. Ridiculous

Aeris meremas ujung kemeja yang dipakainya karena gugup. Sementara Leon yang duduk di sebelahnya tampak tenang-tenang saja.

"Ibu sudah mengambil keputusan, kalian akan menikah Minggu depan."

"Apa?! Menikah?!" Aeris sontak berdiri dari tempat duduknya dan menggebrak meja lumayan keras.

"Nenek tidak boleh mengambil keputusan sepihak seperti itu." Leon yang sedari tadi diam akhirnya membuka suara. Bagaimana mungkin Hana menyuruhnya dan Aeris untuk menikah karena menangkap basah dirinya sedang mencium Aeris di parkiran.

Apa wanita itu itu sudah kehilangan akal?

"Ini demi kebaikan kalian. Coba kalau nenek tadi tidak datang tepat waktu, nenek tidak bisa membayangkan apa yang akan kalian berdua lakukan selanjutnya." Hana tersenyum penuh arti, entah apa yang wanita itu pikirkan.

Leon mendesah panjang. Masa depannya bisa hancur jika harus menghabiskan sisa hidup dengan gadis abnormal seperti Aeris.

Aeris melayangkan tatapan membunuh ke Leon. Hana tidak mungkin menyuruh mereka untuk menikah jika Leon tidak menciumnya. "Semua ini salahmu. Kalau kamu tidak menciumku, Ibu tidak mungkin menyuruh kita untuk menikah."

"Kenapa Tante menyalahkanku? Bukankah Tante yang menciumku lebih dulu?"

Aeris menarik napas panjang, berusaha menahan diri agar tidak mencakar wajah Leon yang kelewat tampan. Dia tidak suka dipanggil tante. Sangat tidak suka. "Aku tidak sengaja mencimummu karena aku tadi terjatuh, Leon. Lalu kenapa kamu malah balas menciumku?"

Skak mat! Leon terdiam. Dia juga tidak tahu kenapa malah mencium Aeris. Apa dia tergoda dengan bibir mungil itu?

"Kenapa Tante tadi tidak berusaha menahanku tadi?"

Aeris tersentak mendengar pertanyaan Leon barusan. Kenapa dia tidak bisa menghentikan Leon? Apa dia menyukai ciuman itu? Aeris mengusap wajah kasar. Dia bingung harus menjawab apa.

Hana tersenyum kecil melihat perdebatan kecil antara Aeris dan Leon. Dia yakin sekali Leon lelaki yang tepat untuk mendampingi Aeris, begitu pula sebaliknya.

"Tapi, Bu ... itu hanya ciuman. Lagi pula Leon keponakan Aeris sendiri." Aeris kembali memohon agar Hana tidak menyuruhnya menikah dengan Leon.

Leon mengangguk, membenarkan ucapan Aeris.

"Aeris, duduk!" perintah Hana tegas.

Aeris membuang napas kasar lalu mendudukan diri dengan kesal.

"Aeris dengarkan, ibu. Usiamu sudah sangat matang untuk menikah. Mau sampai kapan kamu melajang?"

"Aeris memang punya rencana untuk menikah, tapi tidak dalam waktu dekat ini, Ibu."

"Menikah? Sama siapa?"

"Tentu saja sama kekasih, Aeris," jawab Aeris cepat.

Hana malah tertawa keras mendengar jawaban Aeris. "Jangan berbohong, Aeris. Ibu tahu kamu belum pernah pacaran."

Aeris mengembuskan napas panjang. Ternyata susah sekali meyakinkan Hana. "Kenapa kamu diam saja, Leon? Coba katakan sesuatu pada Ibu!" Aeris berdecak kesal karena Leon sedari tadi hanya diam tanpa membantunya memberi alasan agar Hana tidak jadi menyuruh mereka untuk menikah.

"Leon sudah punya kekasih, Nek. Jadi Leon tidak mungkin menikah dengan Tante."

Ucapan Leon sontak membuat wajah Aeris berbinar. "Nah, betul itu, Ibu. Kasihan nanti kekasih Leon kalau ditinggal menikah sama Aeris."

Aeris tidak bisa lagi menahan senyumnya karena alasan yang diberikan Leon menurutnya sangat tepat. Hana tidak mungkin lagi memaksanya untuk menikah karena Leon sudah memiliki tambatan hati.

Hana tersenyum miring. "Pacar yang mana, Leon? Tumpukan berkas di atas meja kantormu? Atau kumpulan buku ensiklopedia yang jumlahnya nyaris seribu?"

Wajah Leon seketika berubah pucat saat mendengar pertanyaan Hana barusan.

"Nenek tahu kamu terakhir kali menjalin hubungan tiga tahun yang lalu dan sampai sekarang tidak memiliki kekasih."

Aeris tercengang mendengar ucapan Hana barusan. Ibunya seolah-olah G****e yang tahu semuanya. Hebat. Namun, sekarang bukan waktu yang tepat untuk memuji Hana. Dia harus memikirkan alasan lain agar Hana menarik kembali keputusannya.

"Ibuku tersayang, bagaimana kalau kita minta pendapat kak Aerin dan kak Setya dulu. Apa mereka setuju menikahkan putra kebanggaan mereka dengan Aeris?"

Aeris tersenyum penuh kemenangan melihat Hana yang mendadak kebingungan. Aeris yakin sekali sang ibu sekarang pasti merasa ragu dengan keputusannya karena Aerin dan Setya tidak mungkin setuju untuk menikahkannya dengan Leon.

Leon tanpa sadar tersenyum tipis. Sangat tipis dan nyaris tidak terlihat. Dia mengakui sekarang jika Aeris memang sedikit pintar. Ingat, hanya sedikit.

"Kalau begitu, ibu akan bertanya pada Aerin dan Setya. Kita tunggu, mereka sebentar lagi datang."

Jam terus berputar bagai bom waktu yang siap meledak kapan saja bagi Aeris dan Leon. Mereka tidak pernah berhenti berdoa agar Aerin dan Setya tidak menyetujui keputusan Hana.

"Bagaimana menurut kalian dengan keputusan ibu untuk menikahkan mereka?" tanya Hana saat Aerin dan Setya datang.

"Kami tidak masalah," jawab Aerin dan Setya kompak.

"Kakak?!"

"Mama, Papa?!"

Aeris dan Leon kompak berdiri dari tempat duduknya. Mereka tidak pernah menyangka Aerin dan Setya menyutujui keputusan Hana.

"Apa kalian sudah gila?" Leon tidak bisa lagi menyembunyikan amarahnya. Dia sangat kecewa dengan keputusan kedua orang tuanya.

"Umur Leon baru dua puluh tiga tahun, Ma, Pa. Leon masih terlalu muda untuk menikah. Lagi pula Leon belum siap berumah tangga."

"Leon, duduk!" perintah Setya tegas.

Leon mendudukkan diri dengan kesal. Aeris tanpa sadar melakukan hal yang sama.

"Papa dan Mama dulu menikah di usia yang masih sangat muda. Kamu bisa lihat sendiri, Papa dan Mama bisa hidup bahagia dan dikaruniai dua orang anak yang hebat seperti kamu dan Dio. Apa lagi yang membuatmu ragu, Sayang?"

"Leon dan Tante Aeris tidak saling mencintai, Pa. Mana mungkin kami menikah tanpa cinta?"

"Mama dan Papa menikah karena dijodohkan. Awalnya memang terasa canggung karena kami yang tidak saling mengenal tiba-tiba dipaksa untuk menikah. Tapi kamu lihat sekarang. Mama dan Papa bisa saling mencintai dan melengkapi kekurangan satu sama lain. Cinta itu bisa tumbuh karena terbiasa, Sayang," jelas Aerin pelan-pelan.

"Tapi Tante Aeris usianya lebih tua dari aku Ma, Pa," desah Leon tertahan.

"Leon!" tegur Aerin agar Leon menjaga ucapannya.

Hati Aeris seperti dicubit mendengar ucapan Leon barusan. Inilah alasan yang membuat Aeris memutuskan untuk tidak menikah. Siapa yang mau mempunyai istri perawan tua sepertinya? Tidak ada!

"Apa yang dikatakan Leon benar, Kak. Dia pantas menikah dengan gadis yang seumuran dengannya."

"Sayang, kamu jangan dengarkan ucapan Leon, ya?" Aerin membelai rambut Aeris dengan penuh sayang. Kejadian buruk yang dialami Aeris di masa lalu memberikan trauma yang sangat besar bagi gadis itu hingga membuatnya takut berumah tangga.

"Leon benar, Kak. Pernikahan itu sakral, bukan main-main. Tolong pikirkan baik-baik keputusan Kakak. Aeris mohon ...." Kedua mata Aeris tampak berkabut. Pernikahan dan hidup berumah tangga memang menjadi topik paling sensitif bagi dirinya.

Aerin melemparkan pandang ke Setya dan Hana. Ketiganya seolah-olah berbicara melalui tatapan mata.

Hana menarik napas panjang sebelum bicara. "Keputusan kami sudah bulat. Kalian akan tetap menikah!"

Jantung Aeris dan Leon seolah ditonjok hingga jatuh ke perut mendengar ucapan Hana barusan.

Menikah? Dengan keponakan yang dingin seperti beruang kutub? Selamat Aeris, neraka menantimu!

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status