Share

Bab 2

Hampir seharian berada di dalam kamar dengan kesedihan yang tak kunjung menghilang. Zia kembali dikejutkan oleh kelakuan ipar, suami dan juga ibu mertuanya.

Dwi dan Robi terlihat membuka amplop satu-persatu, sementara Julia mengumpulkan uang di telapak tangannya.

“Kalian lagi ngapain!?” 

Pandangan ketiganya langsung tertuju ke arah Zia berdiri saat ini. Keadaannya terlihat memprihatinkan, dengan wajah yang sembab dan terlihat pucat.

“Jangan sentuh, ini uang Viona!” Lantas Zia segera mendekat.

Berniat mengambil hak putrinya. Namun, Robi segera berdiri dan menghadang Zia sampai perempuan itu tak mampu untuk meraih sebuah wadah berisi gulungan-gulungan amplop yang diberikan para pelayat.

“Mas itu uang untuk sedekah nanti, … untuk Vio!” Zia memohon.

Dia terus meronta-ronta, sambil menatap Dwi yang terus membuka amplop dan memberikan uangnya kepada Julia tanpa merasa terganggu.

“Ibu, jangan itu uang Vio!”

“Iya uang Vio. Makannya ibu kumpulin, ya buat tambah-tambah uang setoran bulan ini lah,” katanya.

Deg!!

Dadanya terasa dihantam godam yang sangat besar, sampai menimbulkan rasa sesak yang sangat luar biasa.

“Jangan, Zia mohon jangan. Zia pasti bayar jika itu memang yang ibu mau! Tapi nggak sekarang, Zia minta waktu.”

Dwi melirik sekilas, tak ada ekspresi sedih sedikitpun. Bahkan sorot mata tajam penuh kebencian terus Zia dapatkan dari ipar dan juga mertuanya.

“Drama banget jadi manusia,” bisik Dwi.

“Mas?” Pandangan Zia menengadah, menatap wajah suaminya dengan raut wajah memohon.

“Itu uang Vio, mas. Jangan di ambil!” Dia kembali menangis.

Dengan derasnya air mata berjatuhan. Belum bisa Zia mengendalikan rasa rindu yang luar biasa terhadap putrinya. Kini dia di hadapkan dengan satu masalah, dimana Zia harus berurusan dengan sang ibu mertua.

Yang Zia kenal sebagai sosok keras kepala, dan tak pernah mau kalah.

“Nggak ada cara lain, hanya uang ini yang bisa kita pakai dulu!” Ujar Robi dengan santai.

Kepergian Viona seperti tak memberikan dampak apa-apa bagi pria itu. Bahkan sejak saat Viona menghembuskan nafas terakhir Robi tak terlihat menangisinya sedikitpun.

“Itu tanggung jawab kamu, harusnya kamu yang berusaha mas. Bukan begini caranya!”

“Diam. Diam!” Robi membentak saat Zia terus memberontak dan berusaha mencapai apa yang dia inginkan. 

“Sudah cukup, kamu selalu menumpahkan semua tanggung jawab kepadaku,” dia memegangi kedua pundak Zia, lalu mengguncangnya.

“Kamu pikir aku ini siapa? Setiap Minggu aku berusaha mencarikan uang pinjaman agar kau bisa pergi. Setiap bulan gajiku habis untuk menutup segala keperluan dan hutang yang kau buat di warung-warung sembako. Kalau tidak pinjol kita mau bagaimana? Keluargaku bukan orang kaya, Zia!”

Akhirnya Zia berhenti, dia tak lagi memberontak hanya untuk melepaskan diri dari hadangan suaminya. Kini perempuan itu diam, menangis dan menatap kegiatan yang dilakukan oleh mertua juga iparnya yang masih terus mengumpulkan uang takziah.

“Ini bukan hanya tanggung jawabku, Zia. Tapi kau juga!” Ucap Robi dengan suara rendah

Lalu setelah itu dia kembali duduk di sofa, dan membuka amplop yang masih tersisa.

Zia menatap lekat-lekat suaminya, pria baik yang kini sudah banyak berubah. Sikap penyayang nya seolah pudar, tergantikan dengan sikap acuh dan temperamen setelah ekonomi mereka memburuk.

Dan itu terjadi setelah Viona mengidap penyakit yang mengharuskannya melakukan cuci darah secara rutin.

Malam itu Zia lewati dengan tangisan tanpa henti. Rasa rindu, kecewa dan marah beradu padu menjadi satu. Namun, tak ada yang bisa lakukan selain diam, karena melawan pun hanya akan sia-sia saja. 

Dia kembali masuk ke dalam kamar setelah menyaksikan kejadian yang paling menyedihkan di dalam hidupnya. Pria yang seharusnya menjadi sandaran tempat berkeluh kesah, berbagi sedih dan senang kini sudah jauh berubah. Membuat Zia harus memeluk dirinya sendiri agar mampu melewati ujian hidup yang sedang menghampirinya secara bertubi-tubi.

***

Beberapa hari berlalu. 

Rumah yang Zia tinggali terasa sangatlah sunyi. Namun, bendera kuning masih terus berkibar di tiang-tiang rumahnya yang tampak seperti tidak ada kehidupan. Apalagi pintu, jendela dan gorden yang terus tertutup, membuat beberapa orang bertanya-tanya dengan keadaan pemilik di dalamnya.

Suasana temaram terlihat di dalam satu ruangan, hanya terlihat sedikit cahaya yang masuk melalui celah ventilasi udara. Sementara Zia, perempuan itu berbaring meringkuk di atas tempat tidur dengan batin yang terguncang, apalagi setelah ia dan Robi bertengkar hebat saat pria itu berniat kembali mengajukan pinjaman ilegal dengan menggunakan identitas milik Zia.

Zia mampu melewati segala macam masalah. Konflik dengan mertua, gesekan emosi dengan iparnya, lalu menghadapi sikap Robi yang mulai berubah, dia kuat akan hal itu. Namun, kepergian Viona merenggut separuh dunianya, sehingga perempuan itu tak lagi memiliki semangat untuk hidup.

Suara ketukan dari arah luar, bersahutan dengan suara seorang perempuan yang terus memanggil-manggil sang empunya rumah.

“Mbak?”

Tentu saja Zia mendengarnya, tapi kali ini tak ada gairah untuk bangkit dan menyambut kedatangan yang ia yakini sebagai adiknya, hingga Zia hanya terus diam dan membiarkannya saja.

“Lah, nggak dikunci?” Suara Ayu terdengar. 

“Ini rumah udah berapa hari nggak di buka? Berantakan banget kaya rumah kosong!” Katanya lagi sedikit terdengar panik.

Zia mendengar suara langkah kaki semakin mendekat, dan tanpa ada panggilan atau ketikan Ayu langsung menekan knop pintu sambil menerobos masuk.

“Mbak!” Pandangan antara adik dan kakak kandung itu saling bertemu. 

Ruangan memang temaram, tapi Ayu dapat melihat keadaan kakaknya yang tidak baik-baik saja.

“Aku udah feeling mbak di dalam?” Ayu melangkahkan kaki untuk mendekat, kemudian duduk di tepi ranjang.

“Kamu datang?” Suara Zia terdengar lirih.

Perempuan itu bangkit perlahan dengan sisa tenaga yang dia miliki. Lalu merangkul pundak Ayu dan memeluknya cukup erat.

“Ya ampun, rumah tangga macam apa ini?” Ucap Ayu sambil menepuk-nepuk punggung kakaknya.

Dia tahu keadaan rumah tangga Zia yang tidak baik, didukung sikap keluarga Robi yang juga buruk. Akan tetapi, semuanya seolah memuncak sekarang setelah kepergian Viona.

Tak lagi ada tangisan, Zia merasakan air matanya sudah habis dan benar-benar kering. Kini hanya tersisa rasa sedih dan sesak, akan tetap dia tak mampu untuk menangis.

“Kemana mas Robi?”

Zia tidak menjawab.

“Rumah berantakan, sisa amplop berserakan dimana-mana. Ada apa mbak?” Tanya Ayu lagi sambil mengusap-usap punggung kakaknya.

Zia masih tidak mau menjawab.

“Mbak sudah makan?”

Zia merespon dengan gelengan kepala.

Ayu menghela nafasnya cukup kencang, kemudian memegangi pundak Zia dan mendorongnya perlahan sampai mereka dapat kembali saling menatap.

“Ayu tahu pasti sudah terjadi sesuatu. Tapi sekarang Ayu tidak mau bertanya banyak hal, … sebaiknya kita makan lebih dulu. Mbak Zia harus tetap waras agar bisa tetap melanjutkan hidup,” katanya.

“Di dunia ini aku cuma punya mbak. Kalau mbak nggak bisa bertahan terus aku sama siapa? Hancurnya aku, akan seperti hancurnya mbak di tinggal Vio, jadi ayo saling menguatkan untuk tetap bertahan. Hidup tidak pernah bisa sempurna, apalagi berpihak kepada kita.”

Mata Zia mulai memerah dan berkaca-kaca.

“Kalau mbak sudah tidak diharapkan lagi sama keluarga suami mbak, … aku bantu berkemas. Ayo tinggal di kosan aku. Kecil memang, tapi setidaknya disana mbak bisa lebih nyaman.”

“Mungkin mas Robi cuma butuh waktu sendiri, Yu!”

“Dengan membiarkan mbak seperti ini? Sudah jangan terus membenarkan yang salah. Jika mbak berharga bagi mereka, setidaknya salah satu ada yang tetap disini untuk menemani. Lalu kemana ibu mertua mbak? Atau adiknya mas Robi? Mereka sudah benar-benar tidak peduli. Bahkan sejak awal pernikahan bukan?”

Ingatan Zia tertarik ke belakang, dan semuanya terlihat jelas seperti sebuah video yang sedang diputar. Dan ya, Julia memang tidak pernah merestui pernikahan mereka. Keberadaan Viona pun tidak merubah perasaan mereka terhadapnya.

“Mana tasnya? Ayu bantu.”

“Mbak saja, Yu. Mbak cuma mau bawa baju beberapa saja, mungkin satu boneka Vio untuk obat kalau mbak sedang sangat merindukan dia.”

Zia bangkit dari pembaringannya, kemudian membuka lemari dan mengeluarkan sebuah tas berukuran sedang.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status