Share

Menikah Dengan Majikan
Menikah Dengan Majikan
Author: Aurin99

Bab 1

Seorang perempuan bersimpuh di samping sebuah gundukan tanah yang masih merah bertabur bunga segar berwarna-warni, memeluk nisan kayu sambil terus menangis meraung-raung meminta agar jasad yang sudah terkubur bangkit kembali.

Sazia, seorang ibu muda berusia 25 tahun. Yang baru saja ditinggalkan putri semata wayangnya setelah berjuang melawan gagal ginjal yang anak itu derita satu tahun belakangan. 

Segala macam pengobatan sudah Sazia tempuh. Namun, anaknya menyerah dengan penyakit yang terus menggerogoti hingga harus berpulang ketika usianya baru saja menginjak 5 tahun.

“Mbak?” 

Seorang gadis datang mendekat, dia berjongkok tepat di samping tubuh rapuh itu seraya menarik bahunya memaksa Sazia untuk berhenti memeluk pusara putrinya.

“Orang-orang udah pulang, mbak. Langit juga mulai mendung, besok-besok Ayu antar lagi kesini kalau mau, tapi sekarang pulang yuk!” 

Zia menggelengkan kepala sambil terus menangis. Wajahnya bahkan sudah sembab, hidung merah dengan mata yang sangat bengkak.

Dia benar-benar tidak bisa menerima kepergian putrinya yang sangat ia cintai. Lelahnya pengorbanan itu seolah tidak terbayar, karena Viona tak berhasil sembuh.

“Vio sendirian disini, Yu. Mbak nggak bisa ninggalin Vio disini. Dia pasti kedinginan,” ucapnya dengan suara tersengal-sengal.

“Mbak harus sehat, biar bisa jengukin Vio setiap hari. Kalau seperti ini mbak bisa sakit, terus siapa yang mau datang?” Ayu terus membujuk.

Zia tidak menjawab.

Namun, setelah itu Zia menegakkan tubuhnya dan mengusap kedua pipi yang basah menggunakan kedua punggung tangan.

“Ayu tahu mbak hancur, Ayu juga tahu kalau di dunia ini nggak ada yang lebih berharga dari Viona. Tapi Vio sudah tenang, Vio sudah tidak sakit lagi.”

Zia menatap adiknya, kemudian dia menganggukan kepala.

“Kita pulang yah? Disini cuma sisa kita berdua.”

“Iya.”

Ayu bangkit lebih dulu, lalu mengulurkan tangannya untuk membantu Zia bangkit. Dan setelah itu mereka berjalan menyusuri pemakaman luas dimana warna hijau sejauh mata memandang.

Beberapa kali Zia menoleh ke arah sebuah tenda tempat pembaringan terakhir Viona. Kini dirinya tidak akan lagi melihat Viona tersenyum, atau bahkan menangis saat gadis kecil itu merasa kesakitan.

“Sudah, tidak usah di lihat terus!” Ayu berusaha mengalihkan.

“Sekarang mbak sendiri,Yu!” Ucapnya lirih.

“Masih ada Ayu, mbak. Dari dulu juga kan begitu,” gadis itu menyahut.

Zia mengangguk.

“Vio sudah bahagia, mbak Zia harus ikhlas!”

Dua wanita berbeda usia itu berjalan beriringan di bawah langit yang terlihat mendung, saling bergandengan tangan untuk menguatkan satu sama lain. Terutama Ayu, dia tahu betul bagaimana perjuangan kakak kandungnya yang bolak-balik naik kereta api, mengejar keberangkatan pagi dan pulang hampir petang, berusaha membuat Viona bertahan lebih lama.

Namun, tampaknya tangan Tuhan berkehendak lain. Gadis kecil itu justru menutup usianya di sela jadwal operasi donor ginjal yang dia dapatkan dan hanya tinggal menunggu bulan.

30 menit menempuh perjalanan pulang. Akhirnya taksi online yang mereka tumpangi sampai di salah satu bangunan berukuran sedang. Rumah yang awalnya ramai, kini berubah menjadi sangat sepi dan hanya menyisakan beberapa anggota keluarga terdekat.

“Mbak, Ayu pulang ke kost saja nggak apa-apa kan?” Pamit Ayu.

Zia menganggukkan kepala, dan sudut bibirnya sedikit tertarik sampai membentuk sebuah senyuman samar.

“Makasih ya, sudah mau nungguin mbak tadi!” Kata Zia sambil menutup pintu mobil.

Dia melambaikan tangan ke arah mobil yang kembali melaju.

Pandangan Zia mengedar, menatap beberapa bendera kuning yang terus berkibar-kibar tertiup angin. Akan tetapi fokusnya segera beralih pada obrolan yang berasal dari dalam rumah, setiap kata hutang dan pelunasan terus di sebut-sebut.

“Akhirnya Zia pulang juga!”

Seorang wanita paruh baya langsung berucap demikian, tatkala menyadari kehadiran Zia disana yang baru saja tiba.

“Dari tadi ditungguin lama banget sih!” Sindir Dwi.

Zia diam seraya menoleh ke arah adik ipar, mertua dan juga suaminya yang duduk di satu ruangan yang sama.

“Duduk, Zia!” Julia sang ibu mertua menepuk-nepuk tempat kosong di sampingnya.

“Kita harus ngobrol, ada sesuatu yang harus segera diselesaikan!” Dwi berujar.

Sementara Robi suaminya hanya diam menundukkan kepala.

Dengan pikiran bertanya-tanya Zia mendekat, kemudian menempati salah satu sofa yang masih kosong. 

“Ada apa?” Zia menatap ibu mertua, adik ipar dan suaminya bergantian.

Keadaan hening untuk beberapa saat ketika mereka saling diam. Menatap sebuah buku dan secarik kertas yang sudah dikeluarkan dari dalam sebuah amplop, terletak di atas meja kaca.

“Begini, Zia. Ada sebuah surat penagihan dan catatan hutang yang harus kamu periksa,” Julia menggeser buku dan lipatan kertas tersebut .

Hati Zia mencelos, nyawanya seperti sedang di paksa keluar sampai dirinya merasakan keremangan di dalam pandangannya.

“Catatan hutang?” Pekik Zia pelan.

“Hem, yang mas Robi pinjam sama ibu,” Dwi memperjelas.

Lantas Zia langsung menyambar apa yang ada di hadapannya, dan memeriksakan catatan yang tertera di dalam sana. 

Zia membaca dari atas hingga bawah, menghitung setiap nominal yang tertulis.

“Apa-apaan ini!?” Perempuan itu berbisik lirih.

“Uang yang dipakai buat pengobatan, Vio. Apalagi!” Bibir Dwi mencebik, kemudian mendelikan mata.

“Mbak nggak tau kalau ini akan dicatat sebagai hutang, Dwi.”

Air mata mulai berlinang di pelupuk mata, lalu terjatuh begitu saja membasahi pipi. Padahal baru saja dia tenang dan berhenti menangis, tapi kenyataan membuat Zia kembali merasakan air matanya meluap keluar tanpa bisa dibendung.

“Ya gimana ya, kenyataan sih jadi nggak bisa ditutup-tutupi, minimal kerja mbak. Jangan jadi beban hidup orang doang!” Dwi berkelakar.

Perempuan itu seolah tak memiliki simpati sedikitpun.

“Sebenarnya ibu sudah lebih dulu menagih ini kepada Robi. Kamu tahu sendiri kan bagaimana pekerjaan Robi sekarang?” Kata Julia.

“Tapi tidak sekarang juga bisa kan? Astaga kuburan Vio masih masah!” 

Zia langsung meletakan buku tersebut di atas meja.

“Seandainya Zia tahu kalau uang ini akan ibu tulis sebagai hutang, Zia …”

Belum selesai dia berbicara, Julia segera menyanggah dan mulai menjelaskan apa yang menurutnya benar.

“Setiap uang transport, uang bekal yang diberikan Robi. Itu Robi pinjam dari ibu, … lalu ibu pinjam lagi sama orang lain, memangnya ibu uang dari mana?” Julia bersungut-sungut.

Zia menyembunyikan wajah diantara kedua telapak tangannya. 

“Hitung saja, kamu pergi ke rumah sakit kadang seminggu sekali, dua Minggu sekali atau bahkan baru tiga hari udah harus periksa lagi karena keadaan Vio yang drop. Ibu sudah bilang sama Robi, kalau ibu angkat tangan soal hutang ini. Tapi Robi bilang nanti kamu yang bayarin!”

“Lagian mbak, udah tahu anak sakit itu. Minimal cari kerjaan sampingan lah,” katanya lalu melipat kedua tangan di dada.

Zia tidak menjawab.

“Dwi nggak mau tau, pokoknya depkolektor itu jangan sampai datang ke rumah!”

Robi mengangkat pandangan, menatap ke arah Dwi dan Zia bergantian. Pria itu terlihat bingung dan juga linglung, apalagi saat melihat nominal yang tidak sedikit.

“Jangan semuanya di tumpahin sama Zia mas? Dari berobat Vio, sampai sekarang Vio meninggal. Kayaknya yang berjuang itu cuma aku!” 

“Loh, Zia yang berjuang sendirian bagaimana? Ibu juga berusaha nyari pinjaman kesana kemari. Karena sesuai persetujuan Robi, hutang ini akan kamu cicil,” Julia berkelakar.

Sorot mata terlihat tajam, dengan kedua alis yang mengkerut dan itu menandakan jika Julia sedang merasa tersinggung dan marah.

“Ibu sama mas Robi itu nggak pernah berubah tahu nggak? Nyalahin Zia terus, padahal dari makan sampai uang berobat Vio itu tanggung jawab mas Robi!” Sergah Zia.

Dia berusaha menahan emosi, suasana yang masih berkabung membuat Zia menekan perasaannya sendiri. Perempuan itu marah, bahkan kecewa, tapi kini seolah tak ada pilihan selain menerima kenyataan bahwa uang yang selama ini dirinya terima dicatat sebagai hutang.

Zia benar-benar tidak bisa lagi berkata-kata dengan setiap kejadian yang menghampirinya.

“Tanah kuburan Vio memang masih basah, kita nggak ada niat lain kok mbak. Selain menyampaikan kebenaran ini! Jadi uang yang selama ini mas Robi bawa ya hasil minjol sama bank keliling!” Kata Dwi lagi.

“Ini kok jadi ribut? Kita kan awalnya mau selesaikan masalah,” setelah lama diam akhirnya Robi membuka suara.

“Mas kenapa nggak bilang dari awal? Kenapa harus sekarang?” Suara Zia bergetar hebat.

“Ya seharusnya kamu juga paham. Pekerjaan mas itu cuma karyawan biasa, dimintain uang melulu ya nggak bisa, mas juga nggak ada makanya sampe minta pinjaman ke ibu,” jelas Robi.

Zia langsung bangkit, kemudian beranjak pergi memasuki kamar dengan perasaan kecewa.

“Robi, ibu nggak mau tahu yah! Depkolektornya sudah teror ibu terus lewat telepon. Pokoknya kamu harus minta Zia bayar gimana pun caranya, titik.”

“Nanti dulu lah, Bu. Robi pusing!” Dia memijat pangkal hidungnya saat kepalanya terasa pusing.

“Kamu enak, modal minta tolong doang sama ibu sambil bawa fotocopy kartu keluarga terus nyuri-nyuri bawa KTP asli Zia. Lah kontak yang terdaftar kan nomor ibu, … gimana ini?” Julia mulai gelisah.

“Iya nanti dulu Bu, Robi lagi nggak bisa mikir. Lagian ibu cuma diteror lewat telpon aja, kalo mereka tugas di lapangan yang dicari tetep Zia,” dengan santai Robi mengucapkan hal itu.

Setelah mengatakan itu Robi bangkit.

“Lebih baik mas minta mbak Zia kerja juga deh, biar ada pemasukan. Toh udah nggak ngurusin Vio juga kan?” Dwi memberikan usulan.

“Mau kemana kamu? Ini jadinya gimana?” Panggil Julia.

“Cari pinjaman lagi, buat bisa nutupin yang satu dulu!” Dengan santai Robi menjawab, kemudian dia melenggang pergi begitu saja.

Julia menggelengkan kepala, seraya menghembuskan nafasnya dengan kasar.

“Lagian pilih istri yang nggak becus apa-apa, … jadinya begini kan? Yang repot semuanya!” Gumam Julia.

“Udah bagus dulu calonnya bidan. Eh malah milih pelayan toko roti!” Dwi ikut bangkit, lalu pergi begitu saja dengan raut wajah masam tak enak di pandangan.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status