"Itu Aa Mpi, Bu!" seruan itu Salsa dengar saat turun dari motor. Dua orang perempuan yang tengah duduk segera berdiri melihat dia datang.
"Ayo." Imam juga sudah turun dari motor dan sudah membuka helemnya. Dia mengajak Salsa untuk ke teras rumah orang tuanya itu. Salasa menurut. Dia berjalan sedikit menunduk sambil menggenggam erat tas. "Assalamualaikum." "Waalaikumsalam." Dua orang perempuan itu menjawab salam Imam. Dia naik ke teras diikuti Salsa. "Gak nyangka kalian mau ke sini sekarang." Rasidah—Ibunda Imam menyapa saat anak dan menantunya menyalaminya. "Iya, Bu." Imam menjawabnya. Rani salim pada kakak laki-lakinya, dia juga menyalami Salsa. Gadis itu canggung karena sebenarnya usia dia masih di bawah Rani. Tapi, karena sudah menikah dengan kakaknya jadi Ranilah yang harus lebih menghormati. "Ayo, masuk, Sa." Salsa langsung digandeng ibu mertuanya ke dalam rumah. "Kamar Aa udah dirapiin kan, Ran?" Mendengar Imam berkata seperti itu Salsa tertegun. Tiba-tiba langsung disergap perasaan tidak nyaman dalam hati. Seumur-umur dia belum pernah tidur di kamar orang asing apalagi milik kamar laki-laki. Salsa sudah resah duluan."Udah dong, A. Udah rapi pokoknya udah nyaman tinggal pake." Rani menjawab kakaknya sambil tersenyum jahil berniat menggoda. Imam menarik hijab belakangnya sebagai pembalasan, membuat kening lebar Rani terekspos semua. Dia memberengut kesal. "Kenapa Sa, pusing?" "Engga kok, Bi. Eh, Bu." Salsa cepat-cepat meralat ucapannya. Dari biasa menyebut bibi sekarang manggil ibu. Rasidah tersenyum maklum. Imam tahu apa yang dirasakan istrinya. Tapi, dia diam saja. "Yaudah, kamu istirahat aja ya, tunda tasnya di kamar Imam." Salsa mengangguk pelan. Dia melihat Imam sekilas sebelum melangkah kembali bersama ibu mertua. "Tuh, temenin istri sekaligus sepupunya." Rani menggoda kakaknya kembali. Imam menarik lagi hijab Rani. Kali ini bagian depannya. Sang adik menggerutu sambil membenarkan hijab yang hampir lepas. Laki-laki itu lalu menyusul ibu dan istrinya yang masuk ke kamarnya. Salsa memperhatikan seprai dan bantal yang tertata rapi. "Ini kamar Imam. Mungkin kamu juga sudah tahu sebelumnya. Semoga betah ya, Sa." "Iya ...." "Kamu bisa merapikan baju kamu ke lemari. Ibu keluar dulu."Salsa mengangguk dan melihat ibu mertua keluar. Gantian imam yang masuk. Dia langsung menutup pintu membuat Salsa sedikit terkejut. "Aa!""Apa?" Dengan santai Imam berbaring di tempat tidurnya menumpukkan dua tangan di belakang kepala. Nyaman. Seketika itulah yang dirasakan. Meninggalkan beberapa hari dia rindu akan kamarnya ini. "Ke sini." Salsa masih diam saja. "Gak pegel apa berdiri terus di situ?" Laki-laki itu kemudian duduk. "Istri sekaligus sepupu Aa kemari.""Apa sih." Salsa bereaksi dengan mimik wajah yang sebal. Di sana Imam tersenyum melihatnya."Duduk sini deket Aa. Gak bakal gigit kok." Gadis itu akhirnya melangkah duduk di samping imam. Mengamati sekitar. Jika dibandingkan lebih luas kamarnya dari pada kamar Imam. Di sini juga tidak ada kamar mandi kecil pribadi harus keluar. "Sayang ...." Imam menyentuh kepala Salsa membelai."Aa!" Gadis itu menghindar menggeser duduknya sambil memberengut. Imam ingin terkekeh tapi ditahan melihat reaksinya sebegitu takutnya."Iya, iya ... maaf." "Jangan jail deh.""Loh, siapa yang jail? Nggak kok." "Udah deh mana tempat aku menaruh baju?" "Itu cinta ... lemarinya. Keliatan kan." Imam berkata lembut tak lantas berhenti menggoda begitu saja.Salsa seketika berdiri dengan muka memerah. Menuju lemari meninggalkan suaminya yang semakin menjadi-jadi menurutnya.Di belakangnya Imam tersenyum lebar. Masih tak menyangka akan berjodoh dengan gadis itu. Meski ketus tapi jadi menggemaskan. Ada abege di kamarnya. "Kenapa senyum-senyum sendiri? Kayak orang dipinggiran jalan, tau!" Salsa menoleh dan mendapatinya sedang seperti itu. Bukannya berhenti Imam malah benar-benar terkekeh sekarang. Tidak bisa menahannya lagi. "Kamu lucu, Sa." "Aku bukan badut." "Kamu sendiri yang ngatain begitu." "Diem deh." Imam pun berusaha diam sekarang. Tapi, Salsa menoleh lagi saat membuka dua pintu lemari Imam penuh baju-bajunya. "Tempatku di mana ini?" Imam bangkit menghampiri Salsa. Dia membuka satu pintu yang masih tertutup. "Dibuka pintu satunya, Sa ... Tuh, masih kosong." "Eh, iya." "Lagian baju kamu seberapa banyak sih yang dibawa? Cuma sebiji dua biji kan, muat ini.""Iya, tauu." Salsa membuka resleting tas jinjing yang sedari tadi dipegangnya. Imam masih belum pergi."Ngapain Aa masih di sini?" Salsa mengeluarkan bajunya memindahkan dalam lemari."Mau bantuin.""Gak usah. Orang sedikit." Tidak butuh waktu lama semua baju di tas Salsa pindah dalam lemari, tinggal dalamannya saja. Dia hampir keceplosan mau mengeluarkan begitu saja sementara Imam masih di dekatnya. Gadis itu buru-buru memasukkan lagi bra-nya tidak mau Imam lihat. "Apa?" Salsa risih laki-laki itu melihat pada tasnya."Pink." Imam bergumam. Mata Salsa membola. Itu artinya Imam sempat melihat dan tahu warna bra-nya? Salsa malu. "Pergi sana." Imam pun pergi. Tapi dia mengatakan lagi satu kalimat itu lebih keras. "Pink!""Aa mah!" ***Sehabis magrib keluarga Imam kumpul di ruang makan. Haji Kholid—Bapak Imam ada di sana bersama Robby—adik Imam. "Sa, makan sini bareng." Salsa ditawari oleh bapak mertuanya saat datang ke sana bareng Imam."Ya, Pak." Salsa menjawab canggung. Robby menoleh padanya. "Makan Teh.""Iya." Rasa kurang sreg di hati Salsa, Robby memanggil 'Teh' padanya, tapi memang begitu seharusnya. Meski umurnya lebih muda kedudukkannya ikut tinggi sebagai istri anak pertama di rumah ini. Robby juga menawari kakaknya makan. Imam mengangguk. "Mam, ajak Salsanya makan." Rasidah sedang menuangkan air mineral pada gelas. Menyuruh Imam untuk mengajak istrinya makan."Mau makan, Sa?" "Aa?""Kalau mau makan bareng sama Aa." "Iya deh." Keduanya bersiap ke kursi. "Kok Rani gak ada?" Salsa berbisik menahan Imam sejenak."Di rumahnya di belakang." Imam tertunduk pada lengannya yang dicekal Salsa. "Jadi gak tinggal di sini?" "Gak. Sama suaminya.""Oh ...."Imam dan Salsa lalu duduk. Rasidah memberikan keduanya piring. Imam mengambil nasi sendiri diikuti Salsa yang mengambil sedikit. Imam tahu istrinya yang sungkan berada di tengah keluarganya. Jadi dia yang memilih mendekatkan piring lauk-pauk, Salsa lalu mengambilnya. Terakhir Rasidah yang duduk mengambil makanannya sendiri. "Yang kenyang, Sa, makannya." "Iya, Bu." Salsa mencoba tersenyum. Padahal dia sedang tidak lapar. Demi menghargai tawaran-tawaran itu dia mau gabung duduk. Berbeda darinya Imam makan dengan lahap. Dia begitu leluasa di kediamannya sendiri. Lelaki itu melihatnya sekilas sambil senyum. Waktu isya sudah lewat. Salsa terdiam menekuk lutut bersandar di tepi tempat tidur. Masih sore dan dia sama sekali belum mengantuk. Hanya bingung sendiri mau ngapain. Merasakan kamar ini sangat asing.Imam masuk menghampirinya. "Belum mau tidur?"Istrinya itu menggeleng. Salsa tampak jenuh, Imam tahu. Tiba-tiba dia terpikir sesuatu. "Jalan, yuk. Aa bisa ajak kamu pergi ke tempat tongkrongan ramai dekat sini. Kamu bisa beli apa aja atau jajan apa aja.""Nggak, ah. Nanti dibawa ngebut lagi." Gadis itu masih ingat perjalanannya sore tadi sampai ke rumah ini. Imam membawa kencang motor. Mau tak mau Salsa memeluk saking takut. "Aku jadi meluk Aa ....""Nggak akan kok. Kali ini bisa santai. Aa jamin. Lagian, emang kenapa kalo meluk suami sendiri? Gak akan ada yang marahin." "Ish, Aa mah." Bukan begitu maksud Salsa. Dia jadi malu karenanya. "Beneran kamu gak mau Aa ajak jalan?" Salsa tidak langsung menjawab. Dia diam gamang. Dalam hatinya mau tapi juga ... entahlah, gadis itu masih terus merasa aneh. "Mumpung belum ada anak, Sa." "Kok ngomongin anak sih?" Salsa tampak tak suka. "Maksudku, kita bisa bebas di luar tanpa ada yang rewel. Kita ... bisa pacaran dulu, Sa. Pacaran halal."Salsa menoleh dengan pandangan yang sulit diartikan. "Bagaimana?" Imam menanyainya lagi. "Aa yakin rumah tangga kita bakal langgeng?" Bukannya menjawab tawaran Imam, Salsa melemparkan pertanyaan lain yang seketika membuat Imam membisu. Laki-laki itu kemudian menghela napas menyingkirkan sesak yang tiba-tiba menghimpit dada. Dia lupa kalau gadis itu terpaksa. Dia punya mimpi-mimpi yang ingin digapainya dan tidak berkenan dulu dengan kehadiran anak. Maunya Imam rumah tangga satu kali langgeng sampai akhir hayat. Tapi bersama Salsa ... entahlah."Yaudah, kalau begitu kamu istirahat. Tidur." "A!" Salsa memegang tangan Imam saat dia akan pergi."Apa?" "Tapi, aku pengen keluar. Mau jajan ...." Sungkan akhirnya gadis itu mengatakan. Dia juga ingin cari udara segar di luar. Menikmati suasana lain. Imam yang sudah putus harapan pun tersenyum. "Ayo." Tangan Salsa yang satunya dia sentuh membangunkannya dari duduk. Gadis itu tidak menolak.Perut rata Salsa sudah terlihat besar di usia kandungannya yang ke enam bulan. Mual, pusing, tidak terasa lagi. Kini, dia lahap makan apapun. Tidak melulu harus bubur atau sayur sup lagi. Membuat tubuhnya semakin berisi. "Widih, bumil kerjanya makan mulu sekarang." Faisal memasuki rumah mendapati Salsa tengah menyantap mie ayam. "Biarin." Salsa menimpali ketus dan hanya melihatnya sekilas. Terus melanjutkan makan. "Udah nggak cengeng lagi, ya." Ucapan Faisal tidak ditanggapi lagi. Lelaki itu melirik Imam di belakangnya. "Mam, siap-siap aja disuruh beli ini itu." Imam tersenyum. Memang benar, mie ayam itu pun dia yang belikan. Saat ingin sesuatu Salsa selalu meminta kepadanya. "Rese banget sih, Aa Isal. Nggak usah ngeledek aku." "Siapa yang ngeledek?" "Nggak usah ember itu mulutnya. Orang Aa Mpi sendiri nggak keberatan kok, ngebeliin sesuatu untuk aku. Iya, kan A?" Imam mengangguk. "Abisin mie ayamnya.""Iya, Aa, aku pasti abisin kok." Salsa menjawab tersenyum manis. Faisal p
"Aa perut aku nggak enak." Salsa merengek manja pagi-pagi buta. Imam baru selesai solat subuh melipat sarung. Menghampiri istrinya yang meringis merasakan mual sambil mengusap-usap perut sendiri. "Hoek!" Imam baru akan menyentuh tidak jadi, Salsa menepi dari ranjang mengeluarkan isi perutnya pada wadah ember kecil di bawah. Imam menyediakan itu biar tidak bolak-balik kamar mandi. Tengkuk Salsa dipijatnya pelan. Memberikan selembar tisu ketika berhenti muntah. Salsa mengelapi mulutnya sendiri diliputi kesal. "Nggak enak, Aa ...." "Ya ... gimana, Sa. Emang begitu kan hamil muda?" Imam sendiri bingung menanggapinya dan kasihan. Dia memang tidak merasakan apa yang Salsa alami. Semenderita apa tidak tahu, tapi dia mencoba terus memberikan perhatian terbaik untuknya. "Aa ambilin air anget, ya? Tunggu sebentar." Imam ke luar kamar.Di dapur dia menuangkan air panas dari termos, mencampurkan sedikit air dingin. Lalu membawa gelas minum tersebut untuk Salsa. Istrinya itu sudah kembali mer
Menghirup aroma masakan tiba-tiba Salsa mual, dalam perutnya mendorong rasa ingin keluar. Dia yang baru ke dapur buru-buru masuk kamar mandi. Muntah. Masitah menghentikkan gerakakkan tangan membolak-balik ayam kecap di wajan. Cepat menoleh ke arah kamar mandi dan mendengarkan suara Salsa. "Salsa kenapa, Bu?" Imam juga mendengar dan langsung ke dapur. "Ibu kurang tau, Mam. Tiba-tiba Salsa pergi ke kamar mandi dan muntah-muntah. Apa mungkin Salsa ... hamil?" "Hamil?" "Iya. Apa dia telat datang bulan?"Imam mengingat-ingat. Sudah satu bulan lebih Salsa tidak datang menstruasi. Hingga dia leluasa menggauli. Tanpa libur. "Benarkan, Salsa nggak dapat mens?" Imam mengangguk. "Mam, kalo begitu kamu bawa periksa Salsa ke bidan, ya?" Masitah mematikan kompor, berkata semringah. "Iya, Bu." Terdengar Salsa masih muntah, Imam lekas menghampiri. Mengetuk pelan pintu kamar mandi. Perasaannya campur aduk. Antara ingin tersenyum juga panik. "Sa? Buka pintunya." Terdengar guyuran air, tidak
"Bibir kamu manis, habis makan apa?" Imam menyudahi kegitan mencium Salsa yang belum lama disentuh bibirnya. "Habis makan buah manggis." Salsa menunjukkan satu buah manggis utuh di hadapan wajah suaminya. Diambil dari bawah sofa. "Pantes." "Hehe. Kenapa A?" "Cuma penasaran aja itu rasa apa." "Aa mau? Aku suapin." "Boleh, tapi suapinnya pake bibir kamu." Imam mengerling. "Aa mah ... nanti ketahuan Ibu. Barusan Aa main nyosor aja." "Ibunya juga lagi di luar." "Kalo Ibu tiba-tiba masuk gimana? Udah, Aa pergi lagi ke bengkel. Jangan kelamaan istirahatnya. Dari sini ke bengkel Aa kan lumayan jauh.""Cukup lima belas menit kalo bawa motornya cepet." "Aa jangan ngebut bawa motornya." "Iya, Sayang." Imam menjawil pipi Salsa gemas. Perempuan itu meringis kesakitan. "Aa tuh kebiasaan. Suka nyubit pipi aku." Bibir Salsa manyun sebal atas tindakkan suaminya. "Jangan dimanyunin gitu dong bibirnya. Nanti Aa nggak bisa jauh-jauh. Nanti Aa nyosor lagi." Salsa melemparkan bantal sofa pa
"Kamu beneran nggak mau nginep di sini, Sa?" "Nanti aja. Aku baru ninggalin Ibu lama.""Yaudah, kita pamit dulu sama Ibu Aa." "Aa ...." Imam menoleh, Salsa menahan ujung kaosnya yang hendak keluar kamar. "Kenapa?" "Aku malu sama Ibu Aa." Lelaki itu terdiam. Bukan hanya istrinya, dia sendiri pun merasakan itu. Dipergoki sedang berhubungan dalam keadaan setengah telanjang. Hampir hasratnya padam karna gangguan itu. Dia ceroboh tidak mengunci pintu dulu. Lupa saat istirahat siang ibunya selalu menyapa jika ada di kontrakan. Salsa tadinya ingin menyudahi. Tapi, Imam tahan dan mencoba cuek. Dikecup bibirnya, dimanjakan lagi Salsa demi membuatnya nyaman. Hingga keduanya bisa mereguk manisnya puncak bercinta. Itu adalah kegiatan pertama mereka berhubungan suami istri di rumah kontrakan. Imam tidak ingin menyia-nyiakan keberadaan Salsa di sana. Mengajak bermesraan meski siang-siang. Habis itu barulah mereka makan. Imam langsung ke bengkel tanpa ke rumah Rasidah dan Salsa kembali mengur
"Assalamualaikum!" Salsa mengetuk pintu rumah. Masitah memutar kunci dan menarik hendel. "Waalaikumsalam. Salsa, udah pulang?""Ya, Bu." Dia memeluk ibunya sekilas. "Masuk, Sa. Ajak suamimu ke dalam." Imam menyalaminya. Lalu masuk mengikuti dua perempuan itu. Salsa duduk bersandar di sofa. Menikmati lelah sehabis perjalanan. Imam menunda tas besar dan satu jinjingan berisi buah tangan di bawah. Lelaki itu duduk di samping istrinya. Menghela napas tenang sudah selamat sampai tujuan. "Kalian pasti lelah, Ibu ambilin minum, ya." Masitah bergegas ke dapur. Salsa sudah duduk tegap ingin menolak, tapi ibunya keburu pergi. Perempuan itu pun bersandar kembali di sofa. Menoleh saat merasakan sentuhan di pipi. Imam sedang ke arahnya. "Padahal, kita masih ada jatah dua hari, tapi kamu malah mau pulang." "Aku nggak enak Aa libur kelamaan dan ngabisin banyak duit Aa. Lima hari di luar aku udah cukup kok." Mereka hanya dua hari menginap di pantai dan tiga hari di villa. Pukul sembilan malam m