Share

Part : 7.

 Menikah dengan Arkan adalah kejutan yang paling besar. Kami yang tidak melewati masa pacaran, kadang sampai sekarang suka canggung. Mau meluk aja aku canggung minta ampun. Padahal udah sah, udah gak dosa kalau berbuat lebih. 

Bahkan jika bermesraan dengan suami sendiri. Kami Arkan mendapatkan pahala, tapi karena pernikahan kami yang terjadi bisa dibilang tiba-tiba. Kami sangat canggung. Sebenarnya hanya aku saja yang canggung. Kalau Arkan dia lebih bisa mengatakan apa yang dia inginkan.

Untung arkan yang punya inisiatif. Dia mendekatkan dirinya kepadaku, dan mengenalkan tentang hidupnya padaku. Dia juga bisa mencairkan suasana, jika aku kaku dan bingung harus apa. 

Seperti malam ini, Arkan mengambil sisir dari meja rias dan menyisir rambutku yang setengah basah. Seperti kata Rara, Arkan ini suka sekali pada rambutku. 

"Jangan dipotong. Biarkan panjang aja kayak gini. Gue suka banget rambut panjang lo," kata arkan tetap menyisir rambutku, walaupun aku yakin rambutku sudah tidak kusut. 

"Gak bakal aku potong. Sebisa mungkin gue pertahanin panjang." 

"Kalau lo berani potong tanpa seizin gue, gue bakal marah banget." 

"Siap dilaksanakan." 

"Mau melihara kucing gak?" Tanya Arkan tiba-tiba. 

Aku suka sekali pada kucing, tapi abangku alergi pada kucing. Dia memang sempat mengalah dan kami memelihara kucing. Abangku terus bersin-bersin dan badannya bentol-bentol gatal. 

Secara terpaksa akhirnya kucing diungsikan. Sejak itu tidak pernah ada kucing lagi di rumah. Padahal aku sangat menyukai makhluk berbulu lembut itu.

"Memang boleh?" 

"Boleh dong. Di rumah juga ada kucing, cuman lagi di bawa Gavin."

Gavin adalah sepupu Arkan. Mereka cukup dekat dan sering memanjang gunung bersama.

"Kita beli dua. Warna coklat dan putih," kataku antusias. 

"Besok kita ambil dari, Fahri!"

"Kok diambil?"

"Rencananya mau ngerampok, tapi karena kita baru menikah. Minta hadiah pernikahan aja sama Fahri," kata Arkan sambil ngakak. 

Fahri salah satu anak grup. Aku juga lumayan kenal dengan laki-laki yang paling sabar di grup. 

Dia paling sering diledek dan disalahkan disana. Dia tetap sabar dan mengalah. Aku sampai kasihan padanya, tapi aku sesekali juga ikut meledeknya.

"Kasian, tar dia sedih." 

"Lo jangan liat mukanya, yang terlihat menyedihkan."

"Gak boleh gitu."

"Lo gak tau sih, ini rahasia antara laki-laki," kata Arkan lalu tertawa.

Loh, kok aku merasa curiga. Jika sudah menyangkut rahasia laki-laki, lebih baik situ tidak bertanya lebih lanjut. Kadang rasa penasaran harus dipendam, jika tidak mau menyesal. 

"Nanti kita kasih nama Momo dan Coco." 

"Di rumah namanya Mawar." 

Arkan banyak bercerita tentang kucingnya. Awalnya ingin dibawa tinggal bersama, tapi mama tidak setuju. Takut Arkan jarang ke rumah. Setidaknya saat ada Mawar di rumah mama. Arkan jadi punya alasan untuk sering berkunjung atau kembali kesana. 

Mama sempat ngambek, saat kami izin pulang. Mama ingin kami menginap disana. Arkan menolak dan berbisik entah apa ditelinga mama, baru mama mengizinkan kami pulang. 

Untuk saat ini Arkan masih cuti bekerja. Katanya tidak mau langsung banting tulang, mau istirahat dulu. 

Sebelum melamarku dia memang lembur habis-habisan. Menyelesaikan semua pekerjaan di kantor. Sehingga saat dia menikah dia punya waktu untuk liburan. Tidak direpotkan lagi dengan urusan pekerjaan.

Momen lamaran juga sangat lucu. Arkan membawa semua surat yang diperlukan. Seperti kartu keluarga, KTP, dan SKCK. 

Aku sempat berpikir kenapa tidak bawa ijazah sekalian saja? Saat lamaran ayah bilang, butuh waktu untuk menjawab. 

Selama kurun waktu itu. Arkan selalu ke rumah mendekatkan diri ke keluargaku, tapi denganku biasa saja. Dia sangat menyebalkan bukan, bahkan dia masih meledekku di grup.

Kamu masih bertengkar dan saling beradu argumen. Tidak ada yang menyangka, Arkan sudah melamarku dan menunggu jawaban saja. 

"Mau ATM gue, atau mau buat buku rekening baru?" Tanya Arkan membuat aku bingung. 

"Buat apa?"

"Buat ngatur keuangan. Istriku! Sekarang udah jadi ibu rumah tangga. Sekarang kamu yang atur keuangan kita," katanya sambil mencubit hidupku pelan. 

Aku memukul tangan Arkan. Seperti biasa dia pura-pura kesakitan membuat aku meraih tangannya dan menggigitnya gemas. 

"Ya Allah, hamba digigit, istri hamba."

Aku hanya tertawa melihat tingkahnya. Dia malah balas menggigit pipiku pekan. Aku berteriak, tidak sakit tapi lebih ke arah kaget. 

"Arkan ih ...." 

"Ampun ...." 

Arkan pura-pura takut. Aku cemberut, melihat tingkahnya. Jantungku juga berdetak semakin kencang. Penyakit jantung ini semakin parah.

"Zahra Humaira, istriku. Ibu dari anak-anakku nanti. Keuangan kita kamu yang atur, tugasku hanya mencari nafkah sekarang. Tugasmu mengatur semua keuangan kita. Kalau mau dihabiskan juga gak apa-apa. Nanti gue cari lagi yang banyak," katanya lembut. 

Suara lembutnya membuat perutku geli, menggelitik hingga dada. Aliran darahku semakin cepat dan membuat suhu tubuhku meningkat. Wajahku sudah sangat merah. 

Arkan meraih kepalaku dan meletakkannya di lengannya. Dia mengusap rambutku lembut. Selain ayah, dan abangku. Tidak ada laki-laki yang mengusap rambutku semesra ini. Tentu saja rasanya sangat menyenangkan, seribu kali lebih menyenangkan dari melihat drama Korea. 

Dari jarak sedekat ini aroma tubuh Arkan yang tanpa parfum sangat tercium jelas. Wanginya hampir sama dengan aroma tubuhku. Kami memakai sabun dan sampo yang sama. 

Percayalah, ini lebih romantis daripada orang yang pacaran dan diberi kejutan. Saat halal semuanya terasa lebih indah, dan tidak ada dosa, melainkan pahala. 

Hanya saja jangan hanya menikah. Pastikan sudah siap lahir batin. Sudah siap juga secara materi, karena menikah bukan cuman soal cinta. 

Menikah artinya menyatukan dua belah keluarga. Harus saling menerima semua kekurangan dan kelebihan dan harus mampu menekan ego satu sama lain. 

Memang masih sangat dini untukku mengatakan ini. Aku perlu bersiap-siap dan meniatkannya. Secara perlahan menjalankan.

Aku dan Arkan sudah punya pondasi. Arkan sudah bisa menafkahiku dan keluarga kami menerima satu sama lain. Tinggal kamu yang menjalankan dan memahami satu sama lain. 

"Zahra, aku Arkan putra Harvian punya banyak kekurangan. Punya banyak kelemahan, dan pastinya tidak sempurna. Aku ingin kamu melengkapi diriku."

"Aku juga punya banyak kekurangan, dan aku mau kamu juga melengkapi diriku. Ikhlas membimbingku dan menuntut."

"Mari kita berjuang bersama-sama, sampai sang maha kuasa memanggil kita untuk kembali ke sisinya." 

Setelah mengatakan itu kami berpelukan. Mengalirkan harapan kami, satu sama lain. Semoga Allah meridhoi hubungan kami.

Semoga semua cobaan yang kami terima. Mampu kami hadapi dengan lapang dada dan ikhlas. Kami sadar tidak ada hubungan yang berjalan mulus, dan baik-baik saja. 

Harapan kami semoga hubungan ini, memberi yang terbaik dalam hidup kami berdua.

Semoga saja Allah menjodohkan kami dunia akhirat. Sehingga setelah Kematian Pun kami bisa bersatu kembali sebagai suami istri.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status