"Minta didoakan bisa sama siapa saja. Siapa tahu doa dari orang yang enggak kita kira, yang justru dikabulkan?" —Guru ngaji setempat.
"Terserah Mas aja," jawab Binar ketus, bola matanya masih mengarah ke kendaraan di samping jendela.
"Jangan terserah, dong, jawabnya," balas Banyu tenang. Duh, Binar kalau bicara yang jelas, apa susahnya? Memangnya Banyu ini cenayang? Bahkan Banyu sendiri tidak yakin soal cenayang yang katanya benar-benar bisa membaca pikiran orang.
"Ya, aku enggak tahu. Terserah Mas aja," Binar masih menghadap ke jendela di sampingnya.
Banyu mencoba memancing jawaban Binar dengan pilihan ganda, "Mau langsung pulang? Atau ke tempat lain dulu?""Ke tempat lain dulu," akhirnya Binar menjawab.
Benar saja, memang yang seperti ini kudu dipancing dulu, pikir Banyu.
"Ya, sudah. Kalau begitu maunya ke mana?" Banyu mengeluarkan pertanyaan selanjutnya.
"Terserah Mas aja," ujar Binar untuk yang ke
"Biasanya yang awalnya biasa-biasa saja, lama-lama jadi terbiasa." —(Lagi-lagi) seorang teman yang sok ahli percintaan. "Nah, begitu, dong. Kalau senyum, kan, cantiknya enggak hilang," gumam Banyu apa adanya. Oke, ini pertanyaan serius. Ada apa dengan Banyu hari ini? Kenapa ia tiba-tiba berlagak seperti kekasih sungguhan? Tadi memanggil 'sayang', sekarang dengan kalemnya ia bilang Binar cantik. Bahkan, Banyu sendiri dibuat heran dengan tingkahnya hari ini. Tidak seperti biasanya ia blak-blakan dan langsung menunjukkan isi pikirannya begitu saja. Ya, tapi enggak salah juga, sih. Toh, Binar memang benar cantik. Khusus hari ini, cantik banget malah. Binar hari ini mengenakan dress warna coklat gelap sederhana namun tetap formal di bawah lutut. Melihat Banyu yang mengenakan batik dan celana bahan dengan warna senada, membuat keduanya terlihat seperti sepasang suami istri sungguhan yang sengaja mencocokkan bajunya, sengaja m
“Ada dua tipe teman di dunia: pertama, yang membantumu di masa sulit; kedua, yang menertawakanmu di masa sulit, kemudian membantumu. Sabar aja kalau dapat yang kedua.” —Berdasarkan pengalaman pribadi kebanyakan orang.“Tunggu, kamu enggak lagi takut orang salah kira kalau kita lagi pacaran, kan?”Iya, itu juga! Seru Binar dalam hati. Apalagi, melihat penampilan Binar dan Mas Banyu saat ini, keduanya bisa saja dikira sudah menikah. Melihat reaksi Bu Sarti ketika makan bakmi tadi, adalah tidak mungkin jika Binar tidak akan ditanya macam-macam—dan didoakan macam-macam—jika Binar lagi-lagi bertemu orang yang ia kenal.Lebih baik cari aman. Lebih baik begitu.“Enggak, lah. Mas geer banget. Emang sisa tempat duduknya tinggal sedikit, kok,” Binar berbohong lagi.“Oh, oke,” Mas Banyu menjawab pelan.***Niat yang awalnya ingin me-time ingin menonton biosk
“Awas, terlalu nyaman. Nanti disuruh melepaskan, malah kecewa.” —tegur penjual baju kepada pengunjung yang rajin coba-coba, membeli enggan.Banyu yang sedari tadi tidak ambil pusing ketika menjawab pertanyaan adik iparnya ini, hanya bisa menahan senyum ketika melihat interaksi Binar dan kedua sahabatnya, yang merupakan adik dan adik iparnya sendiri. Persahabatan mereka dinamis sekali, kelihatannya seru juga, batin Banyu dalam hati.“Kenapa? Kok tiba-tiba berubah? Mas Banyu terlalu ganteng untuk ditolak, ya?” goda Nila iseng.Aduh, adik iparnya ini ada-ada saja. Banyu tertawa dalam hati. Ya, jika ada yang bingung bagaimana caranya tertawa-dalam-hati, Banyu merupakan ahlinya.“Sudah, su—“ sebelum Banyu menghentikan keisengan Nila, omongannya terpotong.“Eh, kata siapa? Mas Banyu enggak hanya modal ganteng, kok. Dia juga baik, perhatian, suka mengalah, bertanggung jawab. Iya,
“Maju terus, pantang jealous.” —Jomlo desperate.Binar dulu kuliah di kampus yang sama dengan Mas Banyu? Kok, Binar enggak tahu, ya? Ah, lagipula kalaupun satu kampus, kemungkinan keduanya berada di dua program studi yang berbeda. Sehingga kemungkinannya untuk bertemu sangatlah kecil.Binar berpikir keras sebelum akhirnya menemukan kesimpulan. Ah, tentu saja, kalau Kak Jakti dan Kak Janu kenal Mas Banyu, artinya mereka berdua memang benar-benar berbeda program studi. Karena kakak kembarnya dulu di jurusan Teknik Informatika, sedangkan dirinya dari jurusan Teknik Lingkungan.Tunggu dulu, saingan apa, tuh?Kak Bagas: Wah, kayaknya menarik, tuh.Kak Jakti: Itu, loh. Saingan untuk mendapatkan cinta Indira. Hahahaha. Sorry, ya, bro.Kak Janu: Sialan.Hah? Kak Indira? Kakak iparnya Binar? Istrinya Kak Janu? Binar terkejut, ia benar-benar baru pertama kali mendengarnya.Binar: Asli? Beneran, Ka
“Jangan membohongi hati, nanti yang ada menyesal sendiri.” —Petuah lama yang masih relevan sampai detik ini. Awalnya Binar tidak setuju untuk melakukan foto pre-wedding, karena menurutnya hanya buang-buang waktu dan tidak begitu penting-penting amat dalam proses pernikahan. Fotonya pun kemungkinan besar hanya berakhir sebagai pajangan di pesta pernikahan, yang mungkin tidak akan ada yang peduli juga dengan foto tersebut. Tetapi kata-kata Mas Banyu malam itu cukup untuk meyakinkan Binar yang pada akhirnya mau juga melakukan foto pre-wedding. “Foto pre-wedding? Entahlah, kayaknya lebih baik dilakukan aja dulu. Daripada nanti kita kena marah lagi,” jelas Mas Banyu malam itu di telepon. Kata-kata Mas Banyu enggak salah, sih. Ia bisa membayangkan bagaimana kedua orang tuanya akan langsung memaksa dan menyuruhnya menyewa studio foto jika ia dan Mas Banyu menyatakan tidak ingin ada foto pre-wedding. Pagi-pagi sekali Mas Banyu
“Hati-hati, nanti jadi candu.” —Lagi-lagi (Bukan) Pakar Cinta Mas Banyu berjalan mendekati Binar. Sekarang merupakan sesi foto pre-wedding terakhir, yakni foto berdua. Melihat Mas Banyu mengenakan setelan jas, Binar mengakui ketampanan Mas Banyu jadi meroket jauh ke angkasa. Halah, lebay. Tapi benar, deh. Binar sendiri tidak tahu bahwa pria seganteng Mas Banyu ternyata masih bisa dipoles lebih ganteng lagi. Mas Banyu berjalan semakin dekat, Binar memberanikan diri melihat mata Mas Banyu yang sedang berjalan ke arahnya. Mata keduanya bertemu, membuat hati Binar berdegup cepat, sontak ia langsung mengalihkan pandangannya. Kenapa Binar jadi salah tingkah begini? Sadar, Binar Jati Rahayu! Sebenarnya ketika Binar melihat Mas Banyu yang baru selesai photoshoot dengan setelan jasnya pertama kali sudah cukup membuat hatinya bergetar, tetapi dengan jarak sedekat ini, ia tak menyangka getar hatinya semakin tidak b
“Emangnya enggak capek pura-pura begitu?” —Seorang teman.“Duh, begini dong, gayanya mesra. Masa suami istri gayanya kaku kayak tadi,” ujar Mas Fotografer, selesai mengambil gambar, “Abis ini kita siap-siap ambil gambar berikutnya, ya.”Binar yang tengah tertawa geli akibat kecupan bertubi-tubi Mas Banyu yang menggelitiki lehernya, seketika tersadar ketika mendengar suara Mas Fotografer.Astaga, saking asyiknya tertawa Binar sampai lupa kalau mereka masih dalam proses photoshoot.Binar membulatkan matanya, menyadarkan dirinya. Kemudian segera menyadarkan Mas Banyu yang masih sibuk menggelitiki leher Binar dengan kecupan manisnya, “Mas, udah, Mas. Udah selesai. Ini mau ke sesi foto selanjutnya,” ujarnya sembari menepuk tangan Mas Banyu yang melingkari perutnya.Mas Banyu seketika tersadar, langsung menghentikan kecupannya, “Oh, iya. Maaf, ya,” ujar Mas Banyu sal
“Lain di bibir. Lain di hati. Ceilah.” —Anak tongkrongan yang hobi menggoda temannya yang sedang kesengsem. Binar kenapa? Entahlah, Binar juga tidak mengerti. Ia benar-benar tidak mengerti. Sejak Binar dan Mas Banyu selesai berganti pakaian, sampai sudah berada di dalam mobil yang tengah melaju di jalanan sibuk, di antara keduanya belum ada yang membuka percakapan. Kini udara di mobil sangat canggung, Binar jadi teringat terakhir kali ia duduk di mobil ini, kondisinya juga sama canggungnya. Hanya saja, sebelumnya kondisi canggung tersebut jelas asal-muasalnya, sedangkan yang terjadi sekarang sangat berbeda. Binar jadi kesal sendiri karena ia merasa kesal, sebenarnya ia kesal karena apa, sih? Rasanya Binar ingin menyalahkan Mas Fotografer yang menyuruh mereka berfoto seperti pasangan mesra, atau menyalahkan penata rias yang membuatnya memakai gaun seperti tadi, atau menyalahkan Mas Banyu yang memesan studio foto tersebut