Share

Perjalanan Kara

Pov Karamel

"Turun!"

Ucapan Kesya membuatku terperanjat. Mobil pun telah berhenti di tepi jalan yang sangat sepi.

'Apa maksudnya?' batinku bertanya-tanya.

Ini hanya jalanan kosong. Bahkan sangat sepi. Dari tadi hanya beberapa motor saja yang melintas sedari tadi.

"Apa maksudmu, mbak? Ini hanya jalanan kosong. Ngga mungkin kan rumah Dirga ada di tengah-tengah hutan sana?" tanyaku yang kebingungan dengan ulah kakakku kali ini.

Memang dia sering bertingkah menjengkelkan. Tetapi meninggalkan aku di jalanan sepi tak bertetangga seperti ini, menurutku, ini sangat keterlaluan.

" Yang mau mengantarmu ke rumah Dirga siapa? Kau pikir aku akan membiarkanmu hidup enak tak kekurangan seperti nyonya besar Dirga? Oh, tidak! Aku yang akan menggantikan posisimu sebagai nyonya Dirga disana." ucap Kesya dengan penuh percaya diri.

Luar biasa heran aku sekarang. Dahiku mengernyit bingung. Apa kakakku ini sudah gila? Aku yang dinikahi. Tetapi kenapa enteng sekali Kesya bilang akan menggantikan posisiku sebagai nyonya Dirga.

" Jangan heran begitu. Aku sudah menyelidiki semuanya. Dirga tak pernah pulang ke rumahnya yang ini. Itu artinya, tak ada yang tahu bahwa bukan aku nyonya Dirga yang sebenarnya. Beres!" papar Kesya membuatku geleng-geleng kepala.

Lelaki yang dari tadi menyetir itu pun ikut tersenyum. Apakah mereka sudah merencanakan semua ini? Aku menghembuskan nafas pelan.

" Bagaimana jika Dirga pulang? "tanyaku. Bagaimana pun kontrak pernikahan kami hanya 3 bulan. Otomatis jika sudah jatuh tempo, Dirga harus pulang untuk mengurus perceraian bukan?

" Tinggal bilang kalau kamu yang memaksaku untuk menggantikan posisimu. Kau pergi dengan selingkuhanmu, dan hanya menyuruhku untuk mentransfer uang kepadamu. Rencanaku sangat cerdas bukan?" jawab Kesya yang membuat darahku mendidih.

"KENAPA KAMU JAHAT BANGET SIH, MBAK!!! Apa salah aku sama kamu sampai kamu tega banget sama aku kayak gini?" teriak ku kencang. Sungguh aku sangat emosi dengan kelakuan kakakku satu-satunya ini.

"Aku? Jahat?" terlihat Kesya berdecak.

"KEBERADAANMU DI KELUARGAKU ITU YANG JAHAT! Aku baru beberapa bulan, kau sudah ada di rahim ibu. Kau membuatku terlupakan karena kehadiranmu. Kau lahir, malah sakit-sakitan. Aku hanya sama simbah waktu itu. Bapak? Ibu? Hanya sibuk denganmu. KENAPA KAU TIDAK MA** SAJA SAAT ITU? "Teriakan Kesya membuatku terkejut.

Ternyata...

Bahkan dari wujud janin pun Kesya sudah membenciku.

" Bukan salahku kalau aku hadir, Mbak! "ucapku lirih. Terlihat dari matanya air bening mulai mengalir. Tak jauh berbeda denganku. Ternyata sesesak ini mengetahui kehadiran kita dibenci oleh saudara kandung kita sendiri.

" Bukan salahmu? Lalu salah siapa? Seharusnya dulu kau minta sama Tuhan untuk jangan terlahir dari rahim ibuku. Kau sakit, aku dipaksa harus sabar. Kau tantrum, aku yang dipaksa mengalah. Kau berbuat ulah, selalu aku yang disalahkan. Kau pikir hidup seperti itu enak? "teriak Kesya kembali.

" Kau dipuja karena cerdas, kau dipuja karena cantik, kau dipuja karena beasiswa di sekolah bergengsi. Sedangkan aku? Aku sudah bagaikan sampah di sampingmu. Selalu dibandingkan, tak terlihat, dan selalu menjadi korban sakit hati karena pria yang mendekatiku, hanya menjadikanku batu loncatan untuk dekat denganmu. "ungkap Kesya kembali.

Bahunya bergetar. Aku baru menyadari kesalahan atas kelahiranku sungguh sangat berimbas buruk padanya. Tubuhku sudah kuangkat, inginku memeluk tubuhnya.

Namun...

Tiba-tiba, pintu sampingku bergeser terbuka. Badanku yang tadi kuangkat langsung didorong keluar oleh Kesya dan pacarnya hingga aku jatuh dengan memar-memar di tangan dan lututku. Belum lagi bokongku yang luar biasa sakit karena terjatuh.

"Mbak!!!"

Kulihat Kesya malah tertawa terbahak. Sebegitu tegakah kakak kandungku ini? Kenapa tak menyalahkan bapak atau ibu yang membuatku hadir ke dunia? Kenapa harus aku yang menanggung semuanya?

"Simpan saja tenagamu untuk mencari bantuan. Tak perlu teriak-teriak. Karena belum pasti ada yang menolongmu. Hahahah..."

Aku meraih tangan Kesya. Tentu saja langsung ditepis olehnya. Lagi-lagi aku terjatuh.

"Pergilah dan menjauh dari hidupku. Jangan pernah mencoba kembali ke rumah karena aku akan membalas lebih kejam dari ini." gertaknya kembali.

Mobil mereka segera melaju meninggalkan aku sendirian di tempat antah berantah ini. Tanpa pakaian ganti, tanpa alas kaki dan tanpa uang sama sekali.

" Arrrrggggghhhh.... Apa dosaku, Tuhan???"teriakku melepaskan emosi yang sedari tadi bercokol di dada. Airmata sudah tak mampu ku bendung kembali.

Kutelusuri jalan yang seakan tak berujung ini. Gelap, lapar, sakit berpadu jadi satu. Hari yang sangat luar biasa sakit. Apakah ada yang mengalahkan rasa sakit ini?

Sebuah mobil tiba-tiba berjalan pelan menuju ke arahku. Namun firasatku mengatakan, ini bukanlah hal baik. Entahlah. Apakah masih ada orang baik yang akan datang di hidupku ini?

Para pengendara mobil keluar. Empat laki-laki. Hanya itu yang aku tahu. Karena aku tak terlalu ingin memperdulikan mereka.

"Suit... Suit... Wuihhh... Kesasar, Neng?" ucap salah satu dari mereka. Aku hanya melihatnya sekilas. Lalu melanjutkan perjalanan lagi.

"Jangan terlalu sombong, Neng! Kita antar yok!" ucap yang lainnya lagi.

Huft...

Aku menghembuskan nafas pelan. Ternyata susah sekali menjadi perempuan. Apa mereka tak melihat keadaanku yang sudah mengenaskan? Masih saja buta ingin menggoda.

Aku sengaja tak menghiraukan mereka. Deretan ruko yang berjejer sudah terlihat di depan sana. Setidaknya, aku dapat istirahat barang sekejap. Kulangkahkan kaki kembali ke arah depan.

"Jangan terlalu sombong!" geram salah satu dari mereka yang kini sudah berani mencekal tanganku.

"Lepas!" ucapku pelan namun tegas. Aku sudah lelah. Namun untuk pasrah kepada mereka, tak akan pernah. Cukup 5 orang brengsek itu saja. Tak ada yang lain lagi.

"Wow... Garang! Gue suka yang seperti ini."

Tanganku semakin dicekal kencang. Laki-laki di depanku ini semakin menatapku tajam. Kubalas dengan tatapan tak kalah tajam. Aku tak boleh kalah jika masih ingin punya sedikit harga diri.

Tanganku tak bisa kulepas malah semakin kencang dia genggam. Mataku melihat ada sebuah gagang pisau di balik punggungnya.

Kaki yang bebas mulai bergerak. Kutendang tulang kering kakinya dan dengan gerakan cepat aku curi pisau itu. Kuacungkan pisau itu ke depan. Keempat laki-laki itu hanya terkekeh seolah meremehkan tindakanku.

Namun itu tak lama. Gerakan tanganku yang secara cepat mengiris nadi, membuat mereka terkejut.

"Shit!!! Tingallin, tinggalin, tinggalin...!"

Aku masih berdiri saat melihat wajah panik mereka. Meskipun tubuhku rasanya sudah mendingin, tapi kucoba untuk bertahan.

"Jangan gila! Kalau dia mati, bagaimana?" ujar laki-laki yang berkaos biru.

"Kalau kita tolong, lo siap ditanya-tanya kronologinya? Siap lo dihajar orang satu pasar yang didepan?" balas laki-laki berkaos merah.

Pandanganku mulai mengabur. Tubuhku mulai terduduk di tanah.

"Woi... Itu kenapa?"

Terdengar suara perempuan mendekat. Namun aku sudah tak mampu lagi bertahan. Gelap, lemas dan terkulai di sini.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status