Setelah puas tertawa dan bernostalgia di apartemen Daniel, Elena mengajak Daniel untuk keluar sebentar, menikmati udara sore Molgrad. Kota itu tak banyak berubah. Bangunan tua berarsitektur Eropa klasik masih berdiri anggun di sepanjang jalanan. Udara sejuk berhembus lembut, membuat langkah kaki mereka terasa ringan.“Aku lupa betapa nyamannya Molgrad saat sore begini,” gumam Elena sambil membenarkan scarf di lehernya. “Kota ini tenang, tapi punya banyak kenangan.”Daniel menyelipkan tangannya ke dalam saku jaket, berjalan di samping Elena dengan langkah santai.“Terakhir kita di sini… kamu masih jadi Bos galak,” ujarnya menggoda."Hei!” protes Elena, mencubit lengannya pelan.“Aku cuma jujur. Tapi sejujurnya, aku senang kita kembali ke sini bukan karena urusan pekerjaan yang menekan.”Elena mengangguk pelan."Ya… walaupun tujuan kita tetap penting. Aku harus menyelesaikan beberapa hal. Tapi aku rasa… sekarang aku lebih siap.”“Kalau kamu butuh waktu atau butuh ditemani, bilang aja,”
Mereka masuk ke dalam mobil dan mulai melaju keluar dari area apartemen. Jalanan Molgrad pagi itu tampak ramai namun tertib. Gedung-gedung tinggi berjejer, menciptakan siluet khas kota modern yang terasa kontras dengan suasana hangat dalam mobil.Di dalam mobilDaniel melirik ke arah jendela."Keren ya... Dulu tiap pagi aku jalan kaki dari apartemen ke kantor. Salju, hujan, badai, nggak peduli.”“Kenapa nggak naik bus atau trem?”“Hemat. Dan... kadang aku menikmati jalan kaki pagi-pagi. Bisa nyusun strategi buat menghindari amarahmu tiap pagi,” ujar Daniel menggoda.Elena mengerling ke arahnya.“Aku nggak segalak itu, kan?”“Kadang kamu kayak singa betina pas lapar,” jawab Daniel santai, lalu tertawa saat Elena mencubit lengannya pelan.“Hei, kamu yang maksa ikut ke Molgrad, jangan mengeluh,” sahut Elena.“Siapa yang mengeluh? Aku justru menikmati ini semua.”Mereka pun melanjutkan perjalanan dengan obrolan ringan dan tawa kecil, sampai akhirnya mobil mereka mulai memasuki kawasan y
Suara bel dari interkom apartemen berbunyi pelan, menandakan makanan yang dipesan Daniel telah sampai. Ia segera berdiri dan pergi ke pintu untuk mengambilnya. Setelah membayar dan mengucapkan terima kasih, Daniel kembali ke kamar dengan membawa satu kantong makanan hangat dan aroma sup yang menguar. “Makanan datang,” ucapnya lembut sambil meletakkan nampan kecil di meja samping tempat tidur. Elena membuka mata perlahan, menoleh, dan duduk dengan pelan. Daniel mengangkat semangkuk sup hangat dan menyerahkannya ke tangan Elena. "Aku bisa makan sendiri,” kata Elena pelan, mengulurkan tangan. Namun Daniel menarik kembali sendoknya sambil menggeleng main-main. "Nggak, kamu pasien. Biarkan aku yang suap. Sekali seumur hidup kamu sakit di depan aku, harus aku manfaatkan.” Elena mendengus geli dan mencoba meraih sendok, tapi Daniel tetap bersikeras. “Daniel…” ucapnya, nyaris manja. “Ayo. Aku janji nggak akan menyuap kayak ke anak kecil. Lagipula, kamu perlu makan cepat dan tidur lag
Elena tertidur pulas di kursi VIP-nya, tubuhnya bersandar sedikit ke arah jendela. Cahaya lampu kabin yang diredupkan membuat suasana semakin tenang, hanya terdengar suara lembut dari mesin pesawat dan sesekali pengumuman kabin. Daniel yang duduk di sebelahnya juga mulai mengantuk, tangannya masih memegang selimut tipis yang sempat ia ulurkan ke arah Elena. Namun, baru beberapa menit terlelap, tubuh Elena sedikit menggeliat, wajahnya terlihat meringis menahan nyeri.“Ugh…” desahnya pelan, namun cukup membuat Daniel langsung terbangun.Ia refleks menoleh, melihat Elena mengerutkan kening, napasnya memburu kecil.“Elena? Hei… kamu kenapa?” tanya Daniel panik, mengguncang pelan bahu Elena.Elena tidak menjawab, hanya menggertakkan gigi, dan tangan kirinya naik ke arah pelipis seperti berusaha menekan rasa sakit.“Maaf! Tolong!” seru Daniel, berdiri separuh dari kursinya sambil melambai pada pramugari.Petugas kabin datang dengan cepat. “Ada apa, Pak?”“Dia kesakitan, sepertinya pusing
Suasana masih segar saat Elena dan Daniel berdiri di dekat mobil keluarga. Koper kecil Elena sudah dimasukkan ke bagasi oleh Tom yang akan mengantar mereka ke bandara. Maura memeluk Elena erat, seperti tak rela membiarkannya pergi meski hanya sebentar. “Hati-hati, ya, Nak. Jangan terlalu memaksakan diri. Kalau bisa cepat selesai, cepat pulang, ya?” ucap Maura sambil membenarkan syal di leher Elena.“Iya, Bu. Aku cuma ke sana sebentar. Begitu urusan selesai, aku langsung pulang.” Lily muncul sambil membawa termos kecil."Ini teh madu. Buat diminum di jalan. Biar tetap waras menghadapi orang-orang perusahaan,” katanya sambil melirik nakal ke arah Daniel.Nenek Rose menyentuh tangan Elena dengan lembut."Jaga dirimu baik-baik, Sayang. Dan kamu juga, Daniel, jaga dia.”“Iya, Nek. Nggak usah khawatir,” jawab Daniel mantap.Tom mengetuk ringan kap mobil. “Kalau semua sudah siap, ayo kita berangkat. Masih ada waktu buat check-in, agar tidak terlambat.” Setelah berpamitan satu per satu, m
Di rumah, menjelang malam Mobil mereka tiba tepat saat lampu-lampu rumah mulai menyala. Dari jendela, terlihat Lily sedang mengobrol dengan ibunya sambil membawa sepiring buah. Nenek Rose melambaikan tangan dari kursi goyangnya di beranda, tampak lega melihat mereka pulang. Daniel membukakan pintu untuk Elena dan membantu membawakan barang-barangnya. “Lihat siapa yang kembali jadi penduduk tetap rumah ini,” celetuk Lily sambil menyodorkan pisang ke arah Elena. “Kamu jalan-jalan berapa kilometer sih? Kulitmu kayaknya makin cerah, deh!” “Gara-gara teh madu dan muffin,” jawab Daniel sok serius. Nenek Rose tertawa, lalu memanggil mereka untuk makan malam bersama. Namun sebelum masuk, Daniel menoleh ke arah Elena. "Hari ini seru, ya?” Elena mengangguk, senyumnya tulus. "Iya. Rasanya… kayak bukan dari dunia yang sama dengan tempatku dulu.” Daniel diam sejenak, lalu berkata pelan, “Mungkin dunia kamu memang di sini sekarang.” Elena tak menjawab. Tapi hatinya terasa ha