Keesokan paginya.Elena bangun sedikit lebih siang dari biasanya. Mungkin karena semalam terlalu banyak berguling-guling di tempat tidur... bukan karena kejadian romantis, tapi karena rasa malu yang belum hilang sejak insiden “jatuh bertindih”.Saat keluar dari kamar, dia langsung mendengar suara yang cukup familiar dari dapur. “Elena! Akhirnya kamu bangun juga. Sarapan udah siap.”Itu suara... Daniel.Dan dia sedang memasak?Elena mendekat perlahan ke dapur. Saat melongok dari balik dinding, ia melihat Daniel memakai celemek pink bergambar ayam lucu dan sibuk mengaduk telur orak-arik. “Apa kamu... sedang cosplay jadi suami rumah tangga?” bisik Elena setengah geli. “Pagi juga. Ini bukan cosplay, ini... versi upgrade dari diriku,” jawab Daniel dengan senyum bangga. “Setelah semalam kamu hampir menghancurkan tulang rusukku, ini semacam... permohonan damai.”Elena hanya bisa menggeleng, ingin tertawa tapi masih canggung. “Kalau kamu terus garing kayak gini, Lily bakal mikir kita bene
“Kalau gitu, besok pakai sepatu yang kuat. Ladang bukan tempat buat yang gampang menyerah.” Ia lalu berjalan menuju pintu, namun saat melewati Elena, ia sempat berhenti sebentar. “Terima kasih sarapannya.” Elena tertegun sejenak, lalu mengangguk cepat. “Sama-sama, Bu.” Begitu pintu tertutup, Elena memutar badan, wajahnya menyala sedikit karena lega. Daniel menyenggol lengannya pelan. “Lihat? Pelan-pelan, tapi kamu mulai menangin hati mereka.” Elena tersenyum tipis. “Masih panjang jalannya, Daniel. Tapi setidaknya aku gak jalan sendirian.” Daniel memandangnya lembut, lalu mengangguk. * * * * * * * Langit malam di Maple Hollow bertabur bintang. Udara mulai dingin, angin berhembus pelan melewati sela-sela pepohonan yang mengelilingi rumah keluarga Harper. Di beranda samping rumah, lampu kuning temaram menyala lembut. Di sanalah Elena duduk bersama Lily—atas permintaan khusus dari Nenek Rose sore tadi. Gadis itu duduk menyilangkan kaki, masih dengan wajah datarnya. Ia memanda
Elena kembali bersuara, “Awalnya aku kira, tunangan itu cuma formalitas,” lanjut Elena. “Aku pikir, karena cuma buat visa dan nggak beneran... aku bisa simpan rapat semuanya. Tapi ternyata, semuanya jadi rumit. Aku... terlalu meremehkan.” Daniel masih menatapnya, tenang, namun raut wajahnya tetap serius. “Kamu tahu bagian mana yang paling bikin aku kecewa, Elena?” tanyanya akhirnya. “Bukan karena kamu pernah tunangan. Tapi karena kamu nggak cerita dari awal. Aku pikir… kita udah cukup saling percaya.” Elena menggigit bibirnya pelan, menahan sesak yang mengganjal di dadanya. “Aku takut… kalau aku cerita, kamu batalin kontraknya. Aku terlalu panik, dan... aku nggak siap kehilangan kesempatan itu. Aku tahu alasan ini nggak membenarkan apa yang aku lakuin.” Daniel menunduk sebentar, lalu menghela napas. “Kamu tahu? Waktu kamu berdiri di depan semua media dan ngakuin semuanya, aku bisa lihat... kamu benar-benar ingin memperbaiki semuanya.” Elena mengangguk perlahan. “Aku
Pagi hari yang tenang di Cakrawana membawa Elena menuju satu langkah terakhir untuk menutup bab lamanya. Ia mengenakan pakaian sopan, sederhana, dan datang sendiri ke rumah keluarga Adi. Saat tiba, ibu Adi menyambutnya di teras. Wajah wanita paruh baya itu tampak letih, tapi tidak dingin. "Adi sudah di rumah. Silakan masuk, Nak Elena,” ujarnya tenang. Di dalam, suasana hening. Ayah Adi duduk di kursi ruang tamu, dan Adi sendiri muncul dari arah dapur, menatap Elena dengan pandangan yang tak bisa ditebak—campuran kecewa, pasrah, dan mungkin, sedikit lega karena akhirnya Elena datang. "Terima kasih sudah datang, Lena,” ujar Ayah Adi. Elena duduk, menatap mereka satu per satu sebelum mulai bicara. “Saya datang bukan untuk minta maaf karena saya menyesal menikah dengan Daniel. Tapi saya ingin meminta maaf karena membiarkan kalian berharap tanpa kepastian.” Ia menjelaskan semuanya, perlahan tapi jelas. Tentang alasannya, tentang kontrak, dan bagaimana hubungan dengan Adi tak
Keesokan harinya, Elena dan Daniel tiba di kantor pusat perusahaan di Molgrad. Beberapa staf menyambut mereka dengan kehangatan yang mengejutkan. “Selamat, Elena! Kami melihat beritanya.” “Ternyata benar ya, kamu menikah dengan Tuan Harper!” “Wah, kapan traktirannya?” Elena hanya tertawa kecil, merasa canggung namun juga terharu. Daniel berjalan di sebelahnya, memberi anggukan ramah pada setiap orang yang menyapanya. Di ruang rapat, Elena dan Daniel akhirnya bertemu dengan atasan mereka. Setelah mendengarkan penjelasan lengkap, sang atasan mengangguk pelan. “Selama kalian bisa membuktikan bahwa tidak ada pelanggaran hukum, dan ini adalah keputusan dewasa dari kalian berdua, perusahaan tidak akan mempermasalahkannya. Tapi kami akan tetap pantau situasinya.” Setelah menyelesaikan dokumen klarifikasi dan memastikan semuanya beres, Elena dan Daniel memutuskan untuk kembali ke Maple Hollow sore itu juga. Elena dan Daniel berjalan berdampingan di area keberangkatan, masing-ma
Cahaya meja kerja menyala redup. Kertas-kertas berserakan di depan Elena. Di tangannya, sebuah naskah pernyataan yang sudah direvisi berkali-kali. Ia membaca ulang kalimat-kalimatnya dalam hati, mencoba memastikan bahwa tiap kata keluar dari kejujuran, bukan sekadar pembelaan diri. Di luar, terdengar suara obrolan Daniel dan Eva mempersiapkan kursi dan peralatan sederhana untuk konferensi pers esok sore. Lily sempat masuk ke kamar Elena sebentar, tapi hanya memandang diam dan keluar lagi tanpa berkata apa-apa. Elena menatap dirinya di cermin. Matanya sembab, tapi ada sorot keberanian di sana. "Ini bukan untuk disukai... ini untuk menyembuhkan," gumamnya lirih, sebelum menunduk dan menutup naskah itu. Keesokan Harinya di halaman belakang rumah Harper, beberapa kursi sudah tertata. Sebuah spanduk kecil tergantung sederhana bertuliskan: "Konferensi Terbuka – Elena Santoso & Keluarga Harper" Beberapa jurnalis dari media lokal berdatangan dengan perlengkapan kamera dan catatan. Beber