Sesampainya di rumah sakit, Adi langsung menuju ruang staf. Beberapa teman magangnya sedang duduk santai sambil membuka kotak makan siang masing-masing. “Di, tadi ke mana? Kok nggak ikut makan bareng sama kita?” tanya salah satu temannya sambil mengunyah roti. Adi hanya tersenyum tipis sambil menggantung jas dokternya di kursi. “Ah, aku makan di luar. Sama temen lama.” “Wah… temen lama atau… ehem?” sindir yang lain sambil melirik usil. Adi terkekeh, malas menjelaskan panjang lebar. “Temen lama beneran.” Belum sempat obrolan itu berlanjut, seorang perawat masuk dan memanggil namanya. “Dokter Adi, dokter senior memanggil Anda ke ruangannya sekarang.” Adi spontan berdiri, merapikan jasnya. “Oke, aku ke sana.” Beberapa temannya bersuit pelan, seolah menggoda. “Hati-hati, Di, biasanya kalau dipanggil senior mendadak, ada tugas tambahan tuh.” Adi hanya melambaikan tangan dengan ekspresi setengah pasrah, lalu berjalan keluar menuju ruangan dokter senior dengan langkah cepat.
Elena keluar dari ruang CEO dengan langkah ringan. Senyumnya samar, tapi jelas terlihat ia lega setelah pembicaraan barusan. Ia merapatkan map di pelukannya sambil berjalan ke lobi. Begitu sampai depan gedung, matanya menangkap sosok yang sudah ia kenal. Adi berdiri di sisi trotoar, melambaikan tangan begitu melihat Elena keluar. “Elena!” serunya, membuat beberapa orang ikut menoleh. Elena mengerjap, lalu menghampirinya. “Udah di sini? Urusan rumah sakit emang udah selesai?.” Adi tersenyum santai. “Aku memang masih ada urusan di rumah sakit, tapi jamnya masih agak siang. Jadi kupikir… mending kalau kita makan dulu, Ada kafe baru dekat sini, aku dengar makanannya enak.” Elena menahan tawa kecil. “Kau benar-benar memanfaatkan waktumu, ya?” “Anggap aja aku sedang survey tempat makan di sekitar kantor temanku,” jawab Adi sambil mengedikkan bahu. Elena akhirnya menghela napas, lalu tersenyum. “Baiklah. Ayo makan siang, setelah itu aku harus kembali bekerja.” Adi mengangguk
Elena meletakkan gelas air di meja tamu, lalu duduk di seberang Adi. “Jadi, kamu memang serius mau kerja di Molgrad?” tanyanya lagi, masih terdengar sedikit ragu. Adi mengangguk mantap. “Iya. Besok aku ada jadwal ke rumah sakit, katanya mereka butuh dokter tambahan. Jadi aku mau lihat dulu situasinya, baru ambil keputusan.” “Bagus juga kalau begitu.” Elena menyandarkan punggungnya ke sofa. “Tapi kenapa mendadak banget?” Adi tersenyum tipis. “Kadang keputusan yang mendadak itu justru lebih tepat. Lagi pula, aku memang sudah lama kepikiran pindah. Cuma baru sekarang dapat peluang bagus.” Elena mengangguk pelan. “Lalu, kamu tinggal di mana? Jangan bilang mau tidur di lobi apartemenku.” “Tenang aja,” Adi terkekeh. “Aku sudah pesan kamar hotel, nggak jauh dari sini. Jalan kaki pun bisa. Nanti gampang kalau mau ke rumah sakit besok.” “Oh, baguslah.” Elena tersenyum kecil, sedikit lega. “Aku kira kamu bakal minta numpang di sini.” “Kalau aku minta, kamu izinin?” tanya Adi sambi
Langit Molgrad sudah condong jingga ketika Elena tiba di apartemennya. Setelah menjemput Tango, kucing abu kesayangannya dari tetangga, ia masuk sambil menarik koper. Begitu pintu tertutup, suasana hening menyambutnya. Hanya suara dengkuran lembut Tango yang langsung naik ke sofa seakan menuntut dielus. Elena menghela napas panjang, mencoba merasakan kembali rumahnya setelah sekian lama. Baru saja ia menyalakan teko untuk membuat teh, suara ketukan terdengar. Tok… tok… tok. Elena menoleh cepat, alisnya berkerut. Dengan hati-hati ia mendekat lalu membuka pintu. Ternyata seorang petugas pos berdiri di depan, membawa sebuah amplop putih resmi. “Surat untuk Nona Elena,” katanya singkat sambil menyerahkan. Elena sempat lega. “Oh, terima kasih.” Begitu pintu ditutup, ia duduk di meja makan dan segera membuka amplop itu. Matanya terbelalak pelan saat membaca kop surat: Kantor Imigrasi Molgrad. Surat itu menyatakan bahwa permohonan perpanjangan visa Elena yang sebelumnya sudah
Daniel masuk pelan ke ruang rawat. Pemandangan pertama yang ia lihat adalah Lily duduk di kursi samping ranjang, tersenyum kecil sambil mendengarkan Arvin bercerita. Sesekali Lily menanggapi, dan tawa ringan keduanya membuat suasana ruangan tidak terasa seperti ruang sakit sama sekali. Daniel mendekat sambil menaruh map izin kuliah di meja. “Sepertinya aku datang di waktu yang tepat. Kalian terlihat sangat… santai.” Lily menoleh sambil tersipu. “Kami cuma ngobrol biasa, Kak.” Arvin ikut tersenyum ramah. “Ya, hanya sekadar mengalihkan pikiran. Kalau terlalu serius mikirin sakit, nanti makin nggak sembuh-sembuh.” Daniel mengangguk, lalu mencoba menawarkan, “Kalau begitu, bagaimana kalau aku dan Lily keluar sebentar? Aku bisa belikan apa pun yang kau mau, Arvin. Makanan atau camilan. Anggap aja hadiah untuk pasien paling kuat di Maple Hollow.” Namun Arvin langsung menggeleng, masih dengan ekspresi lembut. “Terima kasih, kak Daniel. Tapi aku lagi ngga pingin apa-apa, ada Lily ud
Matahari pagi menembus jendela ruang makan. Suasana rumah terasa lebih hangat setelah malam penuh kecemasan kemarin. Lily sudah tampak lebih segar meski masih sedikit pucat, sementara Elena dan Daniel sarapan bersama sebelum keberangkatan. “Jadi, hari ini kau benar-benar kembali ke Molgrad?” tanya Daniel sambil meletakkan cangkir kopinya. Elena mengangguk pelan. “Ya, pekerjaanku tidak bisa ditunda terlalu lama. Kalau aku ngga kembali, Pak Grant bisa-bisa marah besar.” Daniel menahan senyum sambil bergumam, “Hm, sepertinya ada yang terlalu peduli dengan bosnya.” Elena mendengus kecil. “Daniel, jangan mulai lagi.” Daniel hanya terkekeh. “Tenang aja. Aku hanya bercanda. Lagipula, aku sudah tahu posisiku… hanya asisten pribadi yang harus rela mengantarmu ke bandara.” Elena menatapnya tajam, tapi tak bisa menyembunyikan senyum tipis di bibirnya. Keramaian bandara membuat suasana jadi berbeda, tapi Daniel tetap berjalan di sisi Elena, membawakan tas kecilnya. Setelah melewati