Langit mulai berwarna jingga saat Elena, Daniel, dan Nenek Rose tiba di gedung kecil bercat putih gading, tidak jauh dari balai kota. Di depan pintu tertera papan nama: Departemen Dokumentasi & Arsip Maple Hollow. Kantor itu tampak sepi, hanya satu pegawai yang duduk di balik meja resepsionis. “Selamat sore. Ada yang bisa saya bantu?” tanya pria berusia sekitar 40-an dengan ramah. Daniel melangkah maju. “Kami ingin melihat arsip foto peserta lomba taman hias tahun lalu. Mungkin juga dokumentasi penjurian, kalau ada.” Elena menyambung, “Kami ikut lomba itu, dan sekarang muncul berita yang menyeret desain kami. Kami butuh konfirmasi siapa saja yang benar-benar terlibat saat itu.” Pria itu menatap mereka beberapa detik sebelum mengangguk. “Tunggu sebentar, saya cek di sistem.” Ia berdiri dan berjalan ke ruang arsip di belakang. Sementara itu, Nenek Rose duduk di bangku tamu dekat jendela sambil memandang keluar. Beberapa menit kemudian, pegawai itu kembali membawa map tebal
Aroma kopi dan roti panggang menyambut pagi itu. Di meja makan panjang, keluarga Harper sudah duduk—ayah Daniel, Tom Harper; ibu Daniel, Ny. Harper; Lily, adik perempuan Daniel yang ceria; Nenek Rose, dan kini dua kursi di ujung diisi oleh Daniel dan Elena. Suasana agak kaku, namun hangat. Lily-lah yang pertama kali mencairkan suasana. “Kak Elena tuh emang pas buat Kak Daniel. Bukan yang lain,” gumam Lily sambil menyendok telur orak-arik ke piringnya. Daniel hanya tersenyum kecil, sedangkan Elena tertawa pelan. “Terima kasih, Lily.” Ayah Daniel, Tom Harper, meletakkan cangkir kopinya dengan suara ringan. “Daniel,” katanya, nada suaranya tenang dan berwibawa. “Aku dengar dari ibumu soal kabar tuduhan itu. Tapi jangan terlalu buru-buru. Kadang, saat kita bertindak karena emosi, kita malah kehilangan arah.” Daniel mengangguk. “Kami hanya ingin membersihkan nama kami, Yah. Setidaknya tahu siapa yang main di belakang ini.” Tom menatap Elena, wajahnya sedikit melunak. “Kamu ju
Cahaya pagi mengintip lewat celah tirai kamar. Elena sudah bangun lebih dulu, duduk di tepi tempat tidur dengan ponsel di tangan. Rambutnya masih sedikit berantakan, tapi sorot matanya tajam saat membaca sebuah pesan masuk yang baru saja ia terima. Chat dari Ibu Daniel“Nak Elena, barusan ibu baca berita lokal dari Maple Hollow. Katanya, proyek taman hias yang kalian menangkan dulu… sedang diselidiki. Ada tuduhan bahwa desainnya hasil curian. Kamu dan Daniel tahu soal ini?” Elena mengerutkan kening, lalu buru-buru berdiri dan berjalan keluar kamar. Langkahnya cepat menuju dapur, di mana Daniel masih duduk di meja makan, mengenakan hoodie abu-abu, memegang secangkir kopi. “Elena?” panggil Daniel, sedikit heran melihat wajah Elena yang tegang. Elena mengangkat ponsel. “Aku barusan dapat pesan dari ibumu. Kamu lihat berita dari Maple Hollow?” Daniel menurunkan cangkirnya perlahan. “Belum. Ada apa?” “Daniel… proyek taman hias kita dulu, yang kita menangkan,” suara Elena sediki
Pintu terbuka. Daniel masuk lebih dulu, melempar kunci ke meja tanpa melihat ke belakang. Elena menyusul perlahan. Tak ada ucapan. Hanya suara sepatu menyentuh lantai kayu dan deru napas yang saling menahan. Lampu ruang tengah menyala temaram. Daniel langsung menuju dapur, mengambil segelas air, lalu bersandar di meja. Elena berdiri tak jauh darinya. "Daniel," suara Elena nyaris berbisik. Daniel masih diam, matanya menatap kosong ke lantai. "Aku... aku cuma—" "Jangan," potong Daniel pelan, tanpa menoleh. "Jangan pakai alasan 'cuma nonton'." Elena terdiam. Daniel akhirnya menoleh, matanya tajam tapi lelah. "Aku nunggu kamu. Hari ini. Di studio yang bahkan kamu tahu filmnya aku pilih biar kita bisa nonton bareng. Tapi kamu malah duduk satu ruangan sama dia." "Grant bukan siapa-siapa buatku," bela Elena cepat. "Tapi kamu tetap milih duduk di sebelah dia. Bukan aku." Daniel tertawa kecil—pahit. "Lucu ya. Kita tinggal serumah, tapi rasanya aku orang asing buat kamu hari i
Matahari mulai meninggi saat waktu menunjukkan hampir tengah hari. Elena baru saja menyelesaikan panggilan video singkat dengan tim pemasaran saat Daniel keluar dari kamar, mengenakan kaos polos dan celana jeans santai. “Aku lagi pengin nonton,” katanya sambil mengambil dompet dari meja. “Mau ikut nggak? Film barunya lumayan bagus, kata review.” Elena yang sedang mengecek email di ponselnya, langsung menoleh. “Kayaknya nggak bisa, Daniel.” Daniel mengerutkan alis. “Kenapa?” Elena menunjukkan layar ponselnya. “Pak Grant ngajak ketemu. Katanya ada yang harus dibahas langsung. Penting.” Daniel diam sejenak. Tatapan matanya berubah, sedikit ragu. “Hari Weekend?” Elena mengangguk, nada suaranya tetap datar. “Ya, katanya mendesak. Aku juga nggak tahu pasti, tapi aku nggak bisa nolak.” Daniel bersandar ke kursi dan menatap Elena beberapa detik, seolah mencoba membaca lebih dalam. Tapi pada akhirnya dia hanya menghela napas dan mengangguk pelan. “Ya udah. Aku nonton sendiri, d
“Angkat aja, siapa tahu penting,” kata Elena sambil mengelap keringat di dahinya dengan handuk kecil. Daniel menerima panggilan itu. Suaranya pelan, sesekali hanya mengangguk dan menjawab pendek. Elena tidak terlalu memperhatikan hingga Daniel menoleh padanya dan menjauhkan ponsel dari telinga. “Katanya Nenek Rose kangen sama kita,” ucap Daniel. Elena menoleh cepat. “Kita?” Daniel mengangguk. “Iya. Ibu bilang sejak kita berangkat ke Molgrad, Nenek sering tanya kapan kita datang lagi. Katanya suasana rumah jadi sepi.” Elena terdiam sejenak, lalu berkata pelan, “Nenek Rose baik banget ya…” Daniel tersenyum lembut. “Aku juga nggak nyangka beliau bakal sesayang itu sama kamu padahal baru sekali ke Maple Hollow.” Elena memandangi kolam sebentar, lalu bergumam, “Kalau begitu... mungkin kita bisa ke sana akhir pekan depan?” Daniel tersenyum, matanya terlihat sedikit terkejut tapi juga hangat. “Serius?” Elena mengangguk kecil. “Nenek Rose baik... aku juga kangen obrolan lucu