Pagi itu, sinar matahari masuk lewat jendela kamar rawat, menimpa wajah Elena yang masih setengah terpejam. Setelah semalaman cukup tenang, ia perlahan bangkit, mengambil ponselnya dan mengecek pesan-pesan yang masuk. Salah satunya adalah pengingat dari sekretarisnya: "Rapat investor via Zoom jam 09.00. Jangan lupa hadir, Bu Elena." Elena menarik napas panjang. Dia tahu, jika semua orang di kantor tahu dirinya berada di rumah sakit, rumor akan cepat menyebar, bahkan bisa memengaruhi kepercayaan investor. Dia turun dari ranjang perlahan, memastikan langkahnya tidak terlalu terdengar. Di meja kecil dekat jendela, Elena sudah menyiapkan baju kasual rapi—kemeja putih polos, celana bahan, dan cardigan abu-abu. Ia menata rambutnya, memoles sedikit make-up tipis, lalu mengganti gelang identitas pasien dengan jam tangan biasa. Begitu bercermin, Elena tidak lagi tampak seperti pasien rumah sakit—lebih seperti karyawan yang sedang bekerja dari rumah. Pukul 08.55, ia duduk di kursi dek
Malam itu, Elena akhirnya bisa beristirahat dengan tenang. Wajahnya terlihat jauh lebih rileks dibanding siang tadi, napasnya teratur, dan senyumnya tipis. Daniel yang sejak tadi duduk di kursi samping ranjang, berdiri perlahan. “Aku keluar sebentar, ambil air di dispenser,” katanya pelan agar tidak membangunkan Elena. Ia melangkah ke luar kamar, menutup pintu dengan hati-hati. Suasana kamar menjadi sunyi, hanya terdengar suara mesin infus yang berdetak pelan. Tiba-tiba, pintu kamar terbuka sedikit. Seorang suster masuk, mengenakan masker dan topi medis, langkahnya tenang namun matanya tampak memandang Elena terlalu lama. Begitu mendekat ke ranjang, ia menurunkan maskernya sedikit. Elena yang setengah sadar, sempat memandang sosok itu… dan matanya langsung melebar. “Isabel?” suaranya nyaris hanya berupa bisikan. Suster itu tersenyum tipis. “Sudah lama ya, Elena… kita nggak bertemu.” Nada bicaranya datar, tapi sorot matanya menyimpan sesuatu yang membuat dada Elena terasa
Lily terdiam sesaat, matanya sedikit menghindar dari tatapan Elena. “Aku… nggak sengaja ketemu,” jawabnya pelan. “Di depan kampus, dia lagi lewat. Tapi aku nggak ngomong apa-apa. Cuma… saling lihat sebentar.” Elena menatapnya lama, mencoba menilai apakah Lily berkata jujur. “Kamu yakin nggak ngobrol?” Lily menggeleng cepat. “Nggak. Aku tahu kak Elena nggak mau bahas dia lagi, jadi… aku cuma jalan terus.” Elena menarik napas dalam, lalu mengangguk. “Baiklah. Aku percaya.” Meski begitu, ada nada tipis di suaranya yang menunjukkan keraguannya. Hening sesaat. Lily mencoba mengalihkan suasana dengan menceritakan kejadian konyol di kelasnya—tentang dosen yang tanpa sadar mengajar setengah jam dengan kancing kemeja terbuka. Elena tersenyum tipis, meski pikirannya masih sedikit mengambang pada nama Adi. Beberapa menit kemudian, suara pintu terbuka. Daniel masuk, membawa tas besar dan kantong kertas. Nafasnya sedikit terengah, tanda ia terburu-buru. “Aku bawa semua yang kamu minta,
Langit sore di Maple Hollow berwarna jingga pucat, matahari mulai turun di balik gedung-gedung rendah. Daniel melangkah keluar dari rumah sakit, udara dingin musim gugur langsung menyapa kulitnya. Tadi, sebelum kembali tertidur, Elena sempat berbisik pelan—meminta sesuatu yang manis. “Cupcake stroberi… yang dari toko dekat taman,” katanya lemah. Daniel tahu toko yang dimaksud. Namun ada satu alasan lain ia keluar: mencari petunjuk. Sosok ber-mantel gelap itu masih menghantui pikirannya. Jalan menuju toko cupcake melewati taman kota yang tak terlalu ramai sore ini. Beberapa anak bermain di ayunan, dan pasangan lansia duduk di bangku sambil memberi makan burung. Daniel memandang sekeliling, matanya mencari kemungkinan wajah yang pernah ia lihat tadi di rumah sakit. Di seberang jalan, ada kios bunga. Daniel memperlambat langkahnya, karena dari sudut mata, ia melihat sekilas bayangan seseorang yang mirip—postur tubuh, cara berjalan, dan mantel gelap yang sama. Orang itu sedang ber
Daniel baru saja mendorong pintu, membawa kantong plastik berisi bubur hangat. Senyum kecilnya langsung lenyap saat melihat tubuh Elena terkulai di ranjang, kepalanya miring ke samping dengan mata terpejam. “Elena!!” serunya panik, kantong plastik jatuh begitu saja ke lantai. Daniel segera berlari mendekat, menepuk pelan pipi Elena. “Elena, bangun… dengar aku, Elena…” Tak ada respon, perlahan Daniel meletakkan kepala Elena diatas bantal kemudian menekan tombol darurat di dekat ranjang. Seorang perawat tak lama kemudian datang. " Apa yang terjadi?" "Entahlah, aku juga tidak tahu. Begitu sampai dia sudah pingsan" Suster segera memeriksa Elena, kemudian memeriksa kotak infus Elena lagi dan mengatakan jika Elena mungkin melihat atau mendengar sesuatu yang membuatnya syok. "Lebih baik anda di sini saja, setidaknya bisa langsung hubungi kami jika terjadi sesuatu" Daniel mengangguk, setelah suster keluar Daniel duduk menepi di dekat ranjang Elena. Menepuk pelan punggung tanga
Daniel menatap Adi lama, rahangnya mengeras, tapi di balik tatapan tegas itu, pikirannya mulai terusik. Apa mungkin... yang dia bilang ada benarnya? Ingatan-inginannya tentang Elena, kejadian beberapa minggu terakhir, semua berputar di kepalanya. Keraguan yang tak pernah ia izinkan masuk, kini perlahan merayap. Namun, ia tak mau menunjukkannya di depan Adi. “Aku nggak tahu apa maksudmu,” ucap Daniel akhirnya, nadanya terdengar datar, nyaris tanpa emosi. “Tapi kalau kau datang ke sini untuk memprovokasi, aku sarankan kau pergi sebelum aku benar-benar marah.” Adi tahu jika Daniel mungkin saja tak percaya padanya, tapi mustahil tabrakan itu tak disengaja hanya karena kantuk. "Kita bisa cari tahu dari CCTV jalan" Adi menambahkan namun Daniel belum sepenuhnya percaya, dia segera menuju ruangan inap Elena. Masuk dengan ekspresi yang sulit dibaca oleh keluarganya, dia duduk disebelah Elena. "Adi sudah pulang?" Daniel menoleh, " Belum, dia ingin menjengukmu" Elena diam, ten