“Terus perasaanmu ke aku sekarang gimana?” tanya Nazhan.Azwa tersenyum manis hingga menampilkan lesung pipinya di sudut bibir. “Lebih ke melepaskan sih. Aku merasa lega banget udah jujur sama kamu. Sekarang ini, perasaanku, ya, untuk suamiku.”Dia mengalihkan pandangannya ke arah Aufal yang tengah mengajak Wafa bermain perosotan. Ibu satu anak itu melambaikan tangan kecil ketika mereka menatap ke arah sini.“Aku sangat menyayangi Mas Aufal bahkan udah mulai cinta.” Azwa kembali fokus ke Nazhan. Dapat dirinya tangkap perubahan ekspresi wajah cowok itu ketika dia mengatakan hal tersebut.Nazhan menghela napas panjang. “Ternyata kita saling mencintai. Tapi sayang, cinta kita nggak bisa bersatu,” ucapnya pelan.Azwa jadi merasa tidak enak setelah mendengar itu. Namun, dia juga tidak bisa berbuat apa-apa selain menerima takdir yang digariskan untuknya.“Nazhan, kisah kita cukup sampai sini, ya. Aku sama kamu ini cuma masa lalu. Aku udah bahagia bersama keluarga kecilku.” Nazhan membalas
Aufal menatap layar laptop di hadapannya dengan tatapan kosong. Pikirannya berkelana pada pembicaraan Raya dan Danang. Kenapa mereka melakukan semua itu? Apa tujuannya?Kemarin, Sheilla belum sempat menjawab pertanyaannya karena ada telepon masuk yang ternyata dari sang ayah. Setelahnya, gadis itu buru-buru pergi meninggalkannya dengan sejuta pertanyaan.Dan lagi mengenai kehancuran mereka. Mereka yang dimaksud itu siapa? Apakah keluarga Ar-Rasyid? Tapi kenapa harus keluarganya? Apa karena dendam?Aufal menjadi pusing sendiri memikirkan semua itu. Apapun rencana mereka, dia tidak akan membiarkan mereka menyentuh keluarga kecilnya meski seujung kuku pun.“Aufal!”Panggil keras itu membuat lamunannya buyar. Dia menoleh ke arah sang ayah yang duduk di sofa.Saking larutnya, dia sampai melupakan keberadaan Papa Wirya. Beliau datang ke Jakarta karena ada urusan penting dan baru bisa mampir ke kantor hari ini.“Kamu dengerin Papa nggak sih?”Aufal menatap ayahnya yang tampak kesal. “Maaf, P
Aufal tetap melanjutkan langkah menuju kamar tanpa menghiraukan panggilan ayahnya. Dia mengambil beberapa barang lalu kembali lagi menemui orang tuanya yang sekarang berada di ruang tengah.Laki-laki itu meletakkan secara kasar barang bawaannya di meja. Ada kunci motor dan mobil, kartu kredit, serta ponsel yang dulu dibelikan sebagai hadiah ulang tahun. Dia masih mempunyai satu ponsel hasil jerih payahnya sendiri.“Silakan Papa ambil semuanya. Aufal nggak butuh!” ujarnya.Papa Wirya tersenyum miring. “Kamu pikir mudah hidup merantau tanpa membawa apapun? Papa yakin kamu nggak akan bisa bertahan.”“Aufal nggak takut! Lebih baik Aufal hidup terlunta-lunta di kota orang daripada hidup bagai neraka di rumah sendiri!” balas Aufal sengit lantas kembali ke kamar.Itu adalah pertengkaran terakhirnya bersama sang ayah karena keesokan harinya Aufal langsung merantau ke Jakarta. Cowok itu memulai hidup baru dari nol di sana dengan bekerja part time. Dia juga tidak sudi memakan uang haram hasil d
Pukul sembilan malam, Aufal tiba di rumah. Dia langsung melangkah menuju kamar. Di sana, sudah ada Azwa yang sedang tidur di kasur dengan posisi memunggungi dirinya.Tanpa mengganti baju, pria itu ikut berbaring lalu memeluk istrinya dari belakang. Dia melabuhkan kecupan-kecupan di leher dan juga usapan lembut di tangan Azwa. Sepertinya tindakannya ini berhasil mengusik tidur sang istri. Terbukti saat merasakan pergerakan Azwa yang ingin berbalik menghadap ke arahnya.Namun, dia semakin mengeratkan pelukan agar Azwa tidak melihat keadaannya yang sedang kacau. Air matanya luruh tanpa diminta. Hatinya dipenuhi rasa bersalah yang mendalam hingga membuat dadanya sesak.“Mas sangat mencintaimu, Sayang. Apapun yang terjadi nanti, tolong jangan pernah tinggalkan Mas,” ucapnya pelan terdengar parau lalu menenggelamkan wajahnya di ceruk leher sang istri.Mungkin Azwa akan merasa aneh dengan sikapnya yang manja seperti ini, tetapi biarlah. Azwa tidak boleh tahu dulu yang sebenarnya. Dia tidak
“Apa kamu menyetujuinya, Nak?”Pertanyaan dari Papa Wirya memang terdengar lembut dan hati-hati. Namun, bagi Azwa tak ada bedanya dengan mata pisau yang semakin mengiris hatinya.“Kenapa harus menikah lagi?” tanyanya lirih.“Papa melakukan itu demi kebaikan keluarga kita, Azwa. Cuma ini satu-satunya cara yang terbaik.”Azwa tersenyum pahit. Cara terbaik meski harus melukai perasaannya, begitu? Dia menatap ayah mertuanya dengan mata berkaca-kaca. “Apa kekurangan Azwa sampai Papa tega meminta Mas Aufal menikah lagi?”Papa Wirya menghela napas lalu menyandarkan tubuhnya di sofa. “Nggak ada yang kurang satupun darimu, Azwa. Kamu udah menantu yang baik untuk kami. Hanya saja situasinya lagi darurat dan cuma Sheilla yang bisa menolong.”Azwa beralih menatap Mama Erina yang hanya diam dan sibuk bermain dengan Wafa di pangkuannya. Dari tadi beliau tidak berkomentar apapun. Apakah Mama juga menyetujuinya?“Kenapa Mama cuma diam aja? Mama tega menyakiti menantu Mama ini?” tanya Aufal seolah mew
Aufal sangat terkejut, tidak menduga Azwa akan memberikan jawaban seperti itu. Dia menoleh menatap istrinya tak menyangka. “Dek, apa kamu sadar dengan apa yang kamu ucapkan?”Azwa membalas tatapan suaminya disertai senyuman. “Azwa seratus persen sadar, Mas. Azwa juga nggak akan minta cerai kok,” balasnya tenang.“Nggak bisa gitu, Dek. Mas tetep nggak setuju,” protes Aufal.“Apa kamu serius, Azwa?” tanya Papa Wirya mengabaikan protes Aufal.Azwa menggenggam tangan Aufal. “Azwa serius, Pa,” jawabnya dengan mantap.Papa Wirya tersenyum. “Baiklah, semuanya udah disiapkan oleh Om Savian. Kita tinggal terima beres aja. Acara akan digelar di kediaman mereka.”Azwa menunduk menyembunyikan rasa tak nyaman dalam hatinya. Jadi semua sudah dipersiapkan, ya? Dia tersenyum pahit lantas kembali mendongak. “Tapi bolehkah Azwa meminta satu syarat?”“Katakanlah apa yang kamu inginkan, Nak?”“Ketika Mas Aufal udah resmi menikahinya, jangan satukan kami dalam satu atap yang sama.”“Itu bisa diatur. Ada l
Azwa sangat tahu menguping pembicaraan orang adalah tindakan tidak sopan. Namun, dia sangat penasaran apa yang sebenarnya terjadi apalagi mereka menyebut keluarganya. Wanita itu menyandarkan tubuhnya di tembok samping pintu kamar. Suasana sangat hening karena malam semakin larut. Suami dan anaknya sudah tidur pulas di kamar. Jadi, dia tidak takut jika ada yang memergoki, kecuali pemilik sang kamar tentunya.“Mau sampai kapan kamu diperbudak oleh Darwin, Mas?” Suara Mama Erina kembali terdengar setelah beberapa detik terdiam. “Kamu udah memenuhi semua permintaannya yang nggak wajar itu. Apa kamu nggak bisa melawan, Mas?”“Aku bisa aja melawan, Dek, tapi dia terus-menerus mengancam. Kamu tau kan kalau ancamannya nggak main-main?” Jeda sejenak sebelum Papa Wirya melanjutkan perkataannya.“Kamu ingat? Dulu waktu aku nggak mau menjalankan bisnis rentenir, dia menculik Syamil yang masih bayi dan hampir membunuhnya. Akhirnya, aku dengan sangat terpaksa mengikuti kemauannya meski aku tau it
“Assalamu'alaikum warahmatullah….”Pasangan suami-istri itu baru saja selesai menunaikan sholat Subuh berjamaah. Mereka kemudian lanjut berdzikir dan doa.Azwa mencium punggung tangan suaminya dengan takzim yang langsung dibalas dengan kecupan hangat di kening. “Mas,” panggilnya.“Ya, Sayang?” Aufal memperbaiki posisi duduk menghadap sepenuhnya ke arah Azwa.“Azwa minta tolong, penuhi permintaan Papa, ya, Mas,” pinta Azwa menatap Aufal dengan raut melas.“Mas kan udah bilang, Mas nggak mau. Jangan paksa Mas, Dek,” balas Aufal menolak dengan lembut.Azwa menghembuskan napas lelah. Dia tak tahu lagi harus membujuk suaminya dengan cara apa. Tangannya beralih memegang tangan Aufal. “Mas, aku tau, keluarga kita sedang terancam.”Aufal membelalakkan mata terkejut. “Kamu udah tau, Dek?”Azwa mengangguk. “Aku juga tau kalau dua teman yang sangat Mas percaya ternyata musuh dalam selimut.”Aufal menghela napas berat. Kepalanya sedikit menunduk dengan tatapan mengarah ke bawah. “Mas benar-benar