Share

7. Malam Pertama

Di dalam sebuah kamar yang cukup luas, seorang gadis menatap sendu pantulan dirinya di depan cermin. Kemudian pandangannya beralih pada pakaian yang dikenakannya saat kumpul keluarga malam ini. 

Gamis berwarna putih dipadukan dengan pashmina putih masih melekat apik di tubuhnya. Terlintas dalam benaknya kejadian beberapa jam yang lalu, dimana seseorang dengan gagah mengucap janji suci di hadapan sang ayah, penghulu serta seluruh tamu undangan yang hadir. 

Mengingat itu, membuat dia semakin sesak entah karena apa. Air matanya pun menetes tanpa diminta, mengalir deras membasahi kedua pipi.

Tok tok tok

Suara ketukan pintu dari luar membuat gadis itu cepat-cepat menghapus air matanya. Tak lama, muncullah seseorang yang menjadi pemeran utama dalam perubahan hidupnya mulai sekarang.

Aufal Abrisam Ar-Rasyid.

Nama lengkap seseorang yang kini menjadi suaminya. Suami? Rasanya sangat aneh menyebut Aufal sebagai suami. Laki-laki yang sama sekali tidak dikenalnya. 

Azwa hanya mengenal sekilas lewat ta'aruf singkat sebelum lamaran resmi atau tunangan, itu pun terkesan ogah-ogahan. Dan sekarang sudah resmi menjadi suami-istri. 

Ya Allah, secepat itukah statusnya berubah? Hey! Dia masih sembilan belas tahun, usia yang menurutnya terlalu muda untuk membina rumah tangga. Lebih parahnya lagi, dia baru tahu nama lengkap suaminya saat akad tadi.

Aufal berdiri di ambang pintu menatap Azwa lewat pantulan kaca. Untuk beberapa saat pandangan keduanya bertemu. 

Laki-laki yang mengenakan baju koko putih itu melangkahkan kakinya mendekati sang istri. Namun, beberapa langkah sebelum sampai, Azwa melengos pergi mengambil baju ganti yang dibawakan bundanya.

"Mau kemana?" tanya Aufal.

"Ganti baju." Azwa menjawab dengan dingin lantas berlalu menuju kamar mandi yang ada di dalam kamar ini dengan susah payah karena gamis itu terlalu panjang untuk ukuran badannya yang kecil.

"Butuh bantuan?"

Tanpa menghentikan langkahnya Azwa menjawab, "nggak usah.”

Aufal menatap pintu kamar mandi yang tertutup itu dengan sendu. Dia tidak buta untuk mengetahui kalau istrinya belum bisa menerima pernikahan ini. Hatinya berdenyut nyeri melihat sikap Azwa yang dingin dan cuek terhadapnya. 

Aufal menghembuskan napas pelan sebelum memutuskan untuk ganti baju juga. Dalam hati, dia berjanji akan meluluhkan hati Azwa bagaimanapun caranya.

Sementara itu, Azwa yang berada di kamar mandi merasa sangat bersalah. Sungguh, dia tidak bermaksud bersikap seperti itu pada Aufal. Hanya saja hatinya masih belum bisa menerima kehadiran Aufal dalam hidupnya, apalagi sebagai suami. 

Ya Allah, beri Azwa keikhlasan untuk menerima pernikahan ini. Lapangkan hati Azwa, Ya Allah. Azwa nggak ingin menyakiti Mas Aufal dengan sikap Azwa. Azwa mohon, Ya Allah, bantu Azwa, doanya dalam hati.

Setelah mengganti gamisnya dengan piyama panjang serta hijab instan, Azwa pun keluar dari kamar mandi. Dia melihat Aufal tengah duduk bersandar di kepala ranjang sambil memainkan ponsel.

"Udah wudhu, Dek? Kita sholat sunnah dulu, yuk," ajak Aufal.

"Azwa masih halangan," jawab Azwa setelah menggantung gamis beserta hijabnya, kemudian mengambil satu bantal karena berencana untuk tidur di sofa.

“Kamu mau kemana, Dek? Kenapa bawa bantal?” tanya Aufal melihat Azwa yang akan membawa bantal itu pergi.

“Tidur di sofa.”

“Tidur di sini aja. Tempat tidur ini terlalu luas untuk Mas tempati sendirian. Kamu berhak menempatinya, Dek, karena sekarang udah jadi milikmu juga.” 

Aufal tersenyum lantas menepuk tempat kosong di sampingnya. “Sini, ada yang ingin Mas bicarain sama kamu.”

Azwa memilih patuh dan mengurungkan niatnya. Gadis itu duduk di samping suaminya dengan tatapan lurus ke depan tanpa menoleh sedikitpun ke arah Aufal.

Hening beberapa saat. Baik Aufal maupun Azwa, sama-sama bungkam. Azwa masih menunggu apa yang akan dibicarakan oleh suaminya, sedangkan Aufal sendiri bingung harus memulai dari mana.

"Dek, Mas mau tanya, tapi kamu harus jawab jujur, ya." Aufal menarik napasnya dalam-dalam. "Apa kamu… bahagia nikah sama Mas?"

Azwa menoleh. "Kenapa Mas nanya gitu?" tanyanya berusaha tidak cuek.

Aufal menatap lekat mata Azwa. "Mas tau, kamu belum menerima pernikahan ini. Mata kamu mengatakan seperti itu."

“Kalau udah tau, ngapain tanya?” balas Azwa datar.

“Mas ingin mendengarnya langsung dari kamu sekaligus memastikan. Mungkin aja dugaan Mas yang salah.”

Azwa melengos pelan, tak kuasa membalas ucapan suaminya yang malah semakin melukai hati Aufal.

“Jawab, Dek. Mas nggak akan marah. Apapun jawabanmu, Mas siap menerimanya," kata Aufal lembut.

Azwa masih bungkam, tidak ingin bahas itu sekarang. Dia sangat lelah, ingin istirahat, bukan malah membahas masalah ini.

"Dek."

Desakan Aufal membuat emosi Azwa memuncak. Dia memang sulit mengontrol emosinya, apalagi disaat haid seperti ini, ditambah dengan rasa lelah yang menyerangnya. 

"Kalau iya, kenapa? Yang penting kan sekarang Mas berhasil menikahi Azwa, menjadikan Azwa istri Mas, udah cukup kan? Bahagia nggak bahagia itu urusan Azwa, bukan urusan Mas," marahnya.

"Tentu saja itu urusan Mas, Dek. Kebahagiaanmu udah jadi tanggung jawab Mas.”

Azwa tersenyum sinis. “Oh ya? Kalau kebahagiaan Azwa dengan pernikahan ini berakhir dan pisah sama Mas, apa Mas akan memenuhinya?” tanyanya seraya menatap Aufal serius.

Aufal menggelengkan kepalanya. “Nggak, Dek. Apapun permintaanmu akan Mas penuhi, tapi jangan pernah minta untuk berpisah. Mas nggak akan pernah mengabulkannya.”

“Yaudah, Mas yang minta pernikahan ini, jadi terima aja resikonya. Suka nggak suka seperti inilah Azwa.”

“Nggak papa. Semua yang ada dalam dirimu, Mas sanggup menerimanya.” Aufal tersenyum meski hatinya teriris. Dia juga baru tahu sisi lain dari istrinya.

“Jujur, Azwa capek harus berpura-pura bahagia di hadapan semua orang. Azwa nggak bisa lanjutin sandiwara itu lagi. Azwa lelah, Mas, dan sekarang Mas malah ingin bahas ini,” lanjut Azwa menyampaikan keluh kesahnya.

“Mas kan cuma pengen tau gimana perasaan istri Mas agar bisa menentukan langkah kedepannya seperti apa.”

“Pengen tau? Oke! Jangan salahkan Azwa bila Mas akan tersakiti mendengar semua pengakuan Azwa. Azwa nggak pengen sebenarnya, tapi Mas terus memaksa.” 

Azwa mengubah posisi menghadap Aufal sepenuhnya dengan tatapan mata yang mengarah tepat di kedua bola mata Aufal. “Azwa sama sekali nggak bahagia nikah sama Mas. Itu yang Azwa rasakan.”

Gadis itu menarik napas dalam-dalam sebelum melanjutkan, “Mas tau gimana rasanya jadi Azwa? Lagi fokus kuliah tiba-tiba disuruh pulang, lalu diminta menikah sama Mas demi melunasi utang.” 

“Belum selesai masalah keluarga, kini harus ditambah jadi istri orang. Azwa stres, Mas, mikirin semua itu,” ungkapnya.

Aufal diam membiarkan Azwa mengeluarkan semua unek-unek yang dipendamnya.

“Semua ini terlalu tiba-tiba buat Azwa, Mas. Oke, kalau memang Azwa ditakdirkan harus nikah sama Mas, Azwa akan terima. Tapi kenapa nggak nunggu Azwa lulus dulu sih, Mas? Kenapa harus secepat ini?”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status