Share

7. Malam Pertama

Author: Putri Cahaya
last update Last Updated: 2024-01-10 21:58:12

Di dalam sebuah kamar yang cukup luas, seorang gadis menatap sendu pantulan dirinya di depan cermin. Kemudian pandangannya beralih pada pakaian yang dikenakannya saat kumpul keluarga malam ini. 

Gamis berwarna putih dipadukan dengan pashmina putih masih melekat apik di tubuhnya. Terlintas dalam benaknya kejadian beberapa jam yang lalu, dimana seseorang dengan gagah mengucap janji suci di hadapan sang ayah, penghulu serta seluruh tamu undangan yang hadir. 

Mengingat itu, membuat dia semakin sesak entah karena apa. Air matanya pun menetes tanpa diminta, mengalir deras membasahi kedua pipi.

Tok tok tok

Suara ketukan pintu dari luar membuat gadis itu cepat-cepat menghapus air matanya. Tak lama, muncullah seseorang yang menjadi pemeran utama dalam perubahan hidupnya mulai sekarang.

Aufal Abrisam Ar-Rasyid.

Nama lengkap seseorang yang kini menjadi suaminya. Suami? Rasanya sangat aneh menyebut Aufal sebagai suami. Laki-laki yang sama sekali tidak dikenalnya. 

Azwa hanya mengenal sekilas lewat ta'aruf singkat sebelum lamaran resmi atau tunangan, itu pun terkesan ogah-ogahan. Dan sekarang sudah resmi menjadi suami-istri. 

Ya Allah, secepat itukah statusnya berubah? Hey! Dia masih sembilan belas tahun, usia yang menurutnya terlalu muda untuk membina rumah tangga. Lebih parahnya lagi, dia baru tahu nama lengkap suaminya saat akad tadi.

Aufal berdiri di ambang pintu menatap Azwa lewat pantulan kaca. Untuk beberapa saat pandangan keduanya bertemu. 

Laki-laki yang mengenakan baju koko putih itu melangkahkan kakinya mendekati sang istri. Namun, beberapa langkah sebelum sampai, Azwa melengos pergi mengambil baju ganti yang dibawakan bundanya.

"Mau kemana?" tanya Aufal.

"Ganti baju." Azwa menjawab dengan dingin lantas berlalu menuju kamar mandi yang ada di dalam kamar ini dengan susah payah karena gamis itu terlalu panjang untuk ukuran badannya yang kecil.

"Butuh bantuan?"

Tanpa menghentikan langkahnya Azwa menjawab, "nggak usah.”

Aufal menatap pintu kamar mandi yang tertutup itu dengan sendu. Dia tidak buta untuk mengetahui kalau istrinya belum bisa menerima pernikahan ini. Hatinya berdenyut nyeri melihat sikap Azwa yang dingin dan cuek terhadapnya. 

Aufal menghembuskan napas pelan sebelum memutuskan untuk ganti baju juga. Dalam hati, dia berjanji akan meluluhkan hati Azwa bagaimanapun caranya.

Sementara itu, Azwa yang berada di kamar mandi merasa sangat bersalah. Sungguh, dia tidak bermaksud bersikap seperti itu pada Aufal. Hanya saja hatinya masih belum bisa menerima kehadiran Aufal dalam hidupnya, apalagi sebagai suami. 

Ya Allah, beri Azwa keikhlasan untuk menerima pernikahan ini. Lapangkan hati Azwa, Ya Allah. Azwa nggak ingin menyakiti Mas Aufal dengan sikap Azwa. Azwa mohon, Ya Allah, bantu Azwa, doanya dalam hati.

Setelah mengganti gamisnya dengan piyama panjang serta hijab instan, Azwa pun keluar dari kamar mandi. Dia melihat Aufal tengah duduk bersandar di kepala ranjang sambil memainkan ponsel.

"Udah wudhu, Dek? Kita sholat sunnah dulu, yuk," ajak Aufal.

"Azwa masih halangan," jawab Azwa setelah menggantung gamis beserta hijabnya, kemudian mengambil satu bantal karena berencana untuk tidur di sofa.

“Kamu mau kemana, Dek? Kenapa bawa bantal?” tanya Aufal melihat Azwa yang akan membawa bantal itu pergi.

“Tidur di sofa.”

“Tidur di sini aja. Tempat tidur ini terlalu luas untuk Mas tempati sendirian. Kamu berhak menempatinya, Dek, karena sekarang udah jadi milikmu juga.” 

Aufal tersenyum lantas menepuk tempat kosong di sampingnya. “Sini, ada yang ingin Mas bicarain sama kamu.”

Azwa memilih patuh dan mengurungkan niatnya. Gadis itu duduk di samping suaminya dengan tatapan lurus ke depan tanpa menoleh sedikitpun ke arah Aufal.

Hening beberapa saat. Baik Aufal maupun Azwa, sama-sama bungkam. Azwa masih menunggu apa yang akan dibicarakan oleh suaminya, sedangkan Aufal sendiri bingung harus memulai dari mana.

"Dek, Mas mau tanya, tapi kamu harus jawab jujur, ya." Aufal menarik napasnya dalam-dalam. "Apa kamu… bahagia nikah sama Mas?"

Azwa menoleh. "Kenapa Mas nanya gitu?" tanyanya berusaha tidak cuek.

Aufal menatap lekat mata Azwa. "Mas tau, kamu belum menerima pernikahan ini. Mata kamu mengatakan seperti itu."

“Kalau udah tau, ngapain tanya?” balas Azwa datar.

“Mas ingin mendengarnya langsung dari kamu sekaligus memastikan. Mungkin aja dugaan Mas yang salah.”

Azwa melengos pelan, tak kuasa membalas ucapan suaminya yang malah semakin melukai hati Aufal.

“Jawab, Dek. Mas nggak akan marah. Apapun jawabanmu, Mas siap menerimanya," kata Aufal lembut.

Azwa masih bungkam, tidak ingin bahas itu sekarang. Dia sangat lelah, ingin istirahat, bukan malah membahas masalah ini.

"Dek."

Desakan Aufal membuat emosi Azwa memuncak. Dia memang sulit mengontrol emosinya, apalagi disaat haid seperti ini, ditambah dengan rasa lelah yang menyerangnya. 

"Kalau iya, kenapa? Yang penting kan sekarang Mas berhasil menikahi Azwa, menjadikan Azwa istri Mas, udah cukup kan? Bahagia nggak bahagia itu urusan Azwa, bukan urusan Mas," marahnya.

"Tentu saja itu urusan Mas, Dek. Kebahagiaanmu udah jadi tanggung jawab Mas.”

Azwa tersenyum sinis. “Oh ya? Kalau kebahagiaan Azwa dengan pernikahan ini berakhir dan pisah sama Mas, apa Mas akan memenuhinya?” tanyanya seraya menatap Aufal serius.

Aufal menggelengkan kepalanya. “Nggak, Dek. Apapun permintaanmu akan Mas penuhi, tapi jangan pernah minta untuk berpisah. Mas nggak akan pernah mengabulkannya.”

“Yaudah, Mas yang minta pernikahan ini, jadi terima aja resikonya. Suka nggak suka seperti inilah Azwa.”

“Nggak papa. Semua yang ada dalam dirimu, Mas sanggup menerimanya.” Aufal tersenyum meski hatinya teriris. Dia juga baru tahu sisi lain dari istrinya.

“Jujur, Azwa capek harus berpura-pura bahagia di hadapan semua orang. Azwa nggak bisa lanjutin sandiwara itu lagi. Azwa lelah, Mas, dan sekarang Mas malah ingin bahas ini,” lanjut Azwa menyampaikan keluh kesahnya.

“Mas kan cuma pengen tau gimana perasaan istri Mas agar bisa menentukan langkah kedepannya seperti apa.”

“Pengen tau? Oke! Jangan salahkan Azwa bila Mas akan tersakiti mendengar semua pengakuan Azwa. Azwa nggak pengen sebenarnya, tapi Mas terus memaksa.” 

Azwa mengubah posisi menghadap Aufal sepenuhnya dengan tatapan mata yang mengarah tepat di kedua bola mata Aufal. “Azwa sama sekali nggak bahagia nikah sama Mas. Itu yang Azwa rasakan.”

Gadis itu menarik napas dalam-dalam sebelum melanjutkan, “Mas tau gimana rasanya jadi Azwa? Lagi fokus kuliah tiba-tiba disuruh pulang, lalu diminta menikah sama Mas demi melunasi utang.” 

“Belum selesai masalah keluarga, kini harus ditambah jadi istri orang. Azwa stres, Mas, mikirin semua itu,” ungkapnya.

Aufal diam membiarkan Azwa mengeluarkan semua unek-unek yang dipendamnya.

“Semua ini terlalu tiba-tiba buat Azwa, Mas. Oke, kalau memang Azwa ditakdirkan harus nikah sama Mas, Azwa akan terima. Tapi kenapa nggak nunggu Azwa lulus dulu sih, Mas? Kenapa harus secepat ini?”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Menikah Muda dengan Anak Rentenir   Extra Part 3 : Dadah, Aarash

    “Anak bungsu lo. Jadi, kami bisa mengasuhnya dari bayi biar berasa punya baby newborn,” jawab Kahfi seraya menatap intens ke arah Dedek Aya di pangkuan ibunya. “Nggak boleh!” sahut Azwa langsung. Dia memeluk bayi perempuannya posesif. “Dedek Aya nggak bisa jauh dari Azwa karena dia butuh banget ASI eksklusif.” “Putri gue ini kayak masnya Wafa yang punya alergi susu formula. Nutrisinya harus dari ASI, nggak boleh dari yang lain,” timpal Aufal ketika melihat Kahfi yang ingin bersuara. “Mungkin bisa pakai ASI perah, tapi kan rumah lo ada di Jakarta. Nggak mungkin lo bolak balik Jakarta-Semarang cuma untuk mengambil ASI perah doang.” “Gue tau, lo nggak segabut itu. Kalau misalnya lo tinggal di kota ini, mungkin permintaan lo bisa kami pertimbangkan. Ya kan, Dek?” Pria itu menoleh ke arah istrinya meminta pendapat. Azwa mengangguk setuju karena memang itulah alasan utamanya. “Dedek Aya punya alergi cukup serius, jadi nggak bisa makan atau minum sembarangan.” Kahfi menyandarkan tubuh

  • Menikah Muda dengan Anak Rentenir   Extra Part 2 : Permintaan Kahfi

    “Fal, lo kan udah punya empat anak, sedangkan gue, satu aja belum punya. Boleh nggak kalau gue adopsi salah satu anak lo?” tanya Kahfi.“Apa? Lo gila?!” Aufal membelalakkan mata terkejut. Tangannya mengepal geram mendengar permintaan tak masuk akal Kahfi. “Gue masih sangat sanggup membesarkan dan mengasuh anak gue sendiri,” balasnya ngegas.“Gue tau.” Kahfi mengalihkan pandangannya ke depan. “Gue benar-benar ingin mengasuh anak lo, Fal. Gue pengen banget ngerasain gimana rasanya menjadi orang tua.”“Kenapa lo tiba-tiba berpikiran kayak gitu?” tanya Aufal dengan nada lebih rendah. Dia merasa, permasalahan yang Kahfi hadapi tidak sesederhana itu.Kahfi menghela napas panjang dan kembali menatap Aufal. “Lo pasti tau, permasalahan yang selama ini gue hadapi itu apa. Tentang anak yang sampai detik ini belum hadir diantara kami.”“Dan sekarang muncul masalah baru. Khanza desak gue buat menikah lagi agar bisa mendapatkan keturunan. Padahal gue sama sekali nggak masalah kalau nggak ada anak,

  • Menikah Muda dengan Anak Rentenir   Extra Part 1 : Keluarga Kecil Aufal

    “Astaga! Kenapa kalian berantakin lagi?!” Azwa memekik terkejut melihat mainan yang kembali berserakan padahal sebelumnya sudah dibereskan agar mudah disapu. Baru ditinggal sebentar untuk menyapu halaman rumah, anak-anaknya kembali berulah. Dia menatap satu-persatu ketiga anaknya yang hanya diam mematung. “Bunda kan udah bilang sebelumnya, jangan diberantakin lagi. Mau Bunda sapu lantainya. Kalau ingin main lagi, nanti aja habis Bunda nyapu,” omelnya. “Kalau kayak gini, Bunda jadinya kerja dua kali. Kalian kan udah berkali-kali Bunda bilangin, habis main itu dibereskan mainannya biar rapi dan nggak kececeran.” Azwa masih terus mengomeli anak-anaknya yang kini menunduk takut. Wanita itu menyandarkan sapu di dinding. Dia hendak membereskan lagi mainan mereka dan memasukkannya ke dalam keranjang. Baru satu mainan yang masuk, terdengar suara tangisan bayi berasal dari dalam kamarnya. Azwa menghela napas lelah lalu menatap putra-putrinya. “Bunda nggak mau tau pokoknya kalian bereska

  • Menikah Muda dengan Anak Rentenir   155. Cinta Masa Depanku [End]

    “Kenapa, Sayang? Papa ingin peluk Aarash loh.” Azwa mengusap lembut rambut Aarash. Dia sangat mengerti bila putranya sudah seperti ini. “Aarash takut?” tanyanya yang dijawab anggukan oleh Aarash. “Nggak papa, Nak. Papa itu orangnya baik kok. Papa sayang banget sama Aarash.” Aarash tetap menggeleng dan malah berlari menuju opanya menyusul kedua saudaranya yang lebih dulu ke sana. Azwa menghela napas dan tersenyum tidak enak kepada Aufal. “Namanya Aarash Nazhief Putra Ar-Rasyid kembarannya Aresha. Dia memang begitu kalau sama orang baru. Harap maklum, ya, Mas,” ucapnya. “Nggak papa, Dek. Mas mengerti kok. Mereka pasti bingung dengan kehadiran Mas. Nggak pernah bertemu wajar kalau merasa asing dan takut,” balas Aufal. Azwa memandang sendu Aarash yang sedang bercanda dengan Papa Wirya. “Aarash mengalami yang namanya speech delay, Mas, membuat dia lebih banyak diam. Dia mengerti bahasa yang kita ucapkan.” “Tapi, untuk mengucapkannya sendiri dia agak kesulitan kalau nggak dipan

  • Menikah Muda dengan Anak Rentenir   154. Ini Papa, Nak

    Bukan hanya Azwa saja yang terkejut, melainkan orang tua Aufal pun tak kalah kagetnya. “Yang bener kamu, Andra? Sejak kapan?” tanya Mama Erina. “Beneran, Tante. Kami udah menikah empat tahun yang lalu,” jawab Andra. Aufal terkekeh kecil melihat respons mereka. “Aufal awalnya juga sangat kaget sama kayak kalian. Pasalnya setau Aufal, Andra ini benci banget sama Sheilla. Eh, nggak taunya malah udah nikah dan punya anak.” “Gue kemakan omongan sendiri, Fal. Dari yang mulanya benci banget berubah jadi cinta. Sekarang mah kami saling mencintai bahkan udah bucin. Iya kan, Sayang?” Andra mengedipkan sebelah matanya pada Sheilla bermaksud menggoda. Sheilla membalas dengan mata melotot sambil mencubit keras pinggang suaminya lalu kembali tersenyum ke arah semua orang. “Pernikahan kami ini sebenarnya masih ada kaitannya sama kondisi Aufal yang koma,” timpalnya. Dia berdehem sejenak dan memperbaiki posisi duduknya untuk memulai bercerita. “Jadi, gini. Kami sebetulnya udah dekat sejak Azwa

  • Menikah Muda dengan Anak Rentenir   153. Tentang Kecelakaan Itu

    “Nggak, Dek, nggak ada perceraian diantara kita.” Aufal masih terus membujuk Azwa agar bersedia mendengarkan penjelasannya. Dia bahkan sampai berlutut di depan pintu kamar Azwa dengan kening yang menyentuh daun pintu. “Mas mohon, buka pintunya, Sayang. Beri Mas kesempatan buat menjelaskan semuanya ke kamu. Tolong, Dek,” ucapnya dengan suara yang semakin parau. Di dalam kamar, Azwa yang duduk di balik pintu menutup mulutnya rapat-rapat guna meredam suara isaknya. Dia sebenarnya tidak tega mendengar nada melas dan parau milik Aufal. Namun, dirinya belum siap apabila penjelasan itu tidak sesuai harapannya. “Pergilah, Mas.” “Mas nggak akan pergi sebelum kamu membuka pintu. Mas akan menunggumu sampai kamu mau mendengarkan penjelasan Mas,” balas Aufal. Azwa tidak sampai hati membiarkan Aufal terus berada di sana dan memohon seperti itu. Dia mengusap air matanya, menarik napas dalam-dalam, sebelum bangkit berdiri. Tangannya memutar kunci lalu membuka pintu kamarnya. Aufal juga ikut be

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status