“Mas sebenarnya juga nggak pengen kita nikah cepat-cepat kayak gini. Mas ingin mengenalmu lebih dalam sebelum menikah. Mas juga sanggup jika harus menunggumu sampai lulus, tapi Papa memaksa Mas untuk menikahimu secepatnya paling lambat satu bulan setelah lamaran.”
“Kalau nggak, Papa akan menjodohkan Mas dengan anak sahabat Papa dan memberikan ancaman lain yang membuat Mas sama sekali nggak bisa berkutik.”
“Papa nggak pernah main-main sama ucapannya. Jadi, Mas memilih menikahimu secepatnya,” jelas Aufal panjang lebar dengan tenang tanpa ada kemarahan.
“Kenapa Mas nggak pilih dijodohkan aja? Kan biar sama-sama sepadan, dibandingkan dengan Azwa yang nggak punya apa-apa.”
“Karena yang Mas inginkan itu kamu. Mas sangat ingin menjadikanmu istri dan ibu dari anak-anak Mas. Bukan yang lain.” Jeda sejenak sebelum Aufal kembali melanjutkan perkataannya.
“Mas menolak perjodohan itu karena Mas takut nggak bisa bahagiakan dia dan ujung-ujungnya malah saling menyakiti karena Mas sama sekali nggak mencintai perempuan itu.”
“Terus apa bedanya dengan pernikahan ini? Sama-sama nggak dilandasi dengan cinta kan?”
“Tentu aja beda karena di sini Mas cinta sama kamu,” tegas Aufal mengungkapkan perasaannya.
Azwa cukup terkejut mendengar itu. Namun, dia masih belum percaya sepenuhnya. Gadis itu yakin Aufal ikut terlibat dalam masalah yang menimpa keluarganya.
“Tapi Azwa yang nggak cinta sama Mas. Kita bahkan nggak saling mengenal satu sama lain. Jangankan kenal, ketemu aja nggak pernah. Bagi Azwa, Mas itu orang asing yang tiba-tiba masuk dalam kehidupan Azwa. Jujur, Azwa nggak bisa, Mas,” ungkapnya.
“Dek, sebenarnya Mas juga belum sepenuhnya mengenalmu. Ta'aruf sesingkat itu masih belum cukup, tapi kita bisa saling mengenal setelah menikah.”
“Sambil jalan, kita sama-sama mendalami karakter masing-masing. Banyak kok pasangan diluar sana yang menikah melalui ta'aruf. Kamu nggak menjalani sendirian, Dek. Ada Mas sebagai suamimu,” papar Aufal.
“Mas sendiri aja belum mengenal Azwa. Bagaimana bisa Mas menyebutnya cinta? Omong kosong!” balas Azwa tajam.
“Nggak ada yang namanya omong kosong dalam ucapan Mas. Mas sungguh-sungguh mencintaimu, Dek Azwa. Tatap mata Mas kalau nggak percaya.” Aufal memegang bahu Azwa lalu mengunci tatapannya ke dalam iris cokelat milik Azwa.
Gadis manis itu membalas tatapan suaminya, berusaha mencari kebohongan di sana. Namun, nihil. Dapat dia lihat kejujuran dan ketulusan dalam sorot mata itu.
Azwa lantas menepis pelan tangan Aufal dari bahunya. “Cinta macam apa yang menjebak Azwa dalam pernikahan ini? Itu bukan cinta, Mas, tapi obsesi Mas untuk menjadikan Azwa istri.”
“Astagfirullahaladzim, Ya Allah, Dek…. Kamu salah sangka.” Aufal memijat pangkal hidungnya lelah. Dia tidak menyangka Azwa yang dikenal sebagai perempuan yang kalem dan pendiam bisa bersikap seperti itu.
Entah ini memang sifat asli Azwa atau efek pernikahan yang belum bisa diterimanya.
“Udahlah, Mas, nggak perlu diperpanjang lagi. Azwa capek. Yang penting sekarang Azwa udah jadi istri Mas. Beres kan? Keluarga Azwa juga udah terbebas dari utang yang membelenggu bertahun-tahun.”
Aufal tersenyum miris. "Jadi kamu menganggap pernikahan ini cuma sebagai alat melunasi utang?"
“Iya! Emang kenyataannya kayak gitu kan? Azwa terpaksa menikah sama Mas demi keluarga Azwa agar nggak terjerat utang terus-menerus.”
Jawaban Azwa mengenai ulu hati Aufal. Sakit rasanya mendengar pernyataan yang terucap langsung dari mulut sang istri. Bagaikan sabetan pedang tajam yang menghancurkannya hingga berkeping-keping.
Meskipun demikian, dia berusaha mengumpulkan stok kesabaran menghadapi karakter sang istri yang sangat jauh dari perkiraannya agar tidak ikut terpancing emosi juga.
Gadis yang mengenakan piyama panjang bergambar beruang itu menatap Aufal dengan mata berkaca-kaca. Satu kedipan saja air mata itu akan jatuh.
“Masih segar di ingatan Azwa waktu Ayah yang diseret secara paksa oleh dua orang suruhan Papa. Bunda yang menangis memohon agar Ayah nggak dibawa. Keluarga Azwa jadi tontonan dan gunjingan orang-orang,” tuturnya.
“Mas mungkin bisa mengelabui semua orang dengan serangkaian acara hari ini, tapi nggak denganku! Semewah apapun pesta pernikahan yang Mas siapkan, semahal apapun mahar dan gaun yang Mas berikan untukku, nggak akan pernah bisa menyembuhkan luka di hati ini melihat keluargaku yang menderita akibat ulah keluarga Mas!”
“Aku nggak akan pernah melupakan perlakuan semena-mena kalian terhadap keluargaku! Nggak akan pernah, Mas!” Suara Azwa naik beberapa oktaf.
Tumpah sudah segala emosi dan kekecewaan yang dipendamnya akhir-akhir ini. Mata bulat yang semula berkaca-kaca itu kini mengeluarkan laharnya.
Aufal menatap sendu istrinya yang menangis tersedu-sedu. Dia ikut merasakan sesak melihat gadis yang sangat dicintainya tersakiti. Sungguh berat beban keluarga Azwa akibat utang yang menurut ayahnya tidak seberapa.
Laki-laki yang mengenakan kaos putih itu menggenggam lembut tangan Azwa. “Dek, Mas minta maaf yang sebesar-besarnya atas nama keluarga khususnya buat Papa yang udah bikin keluargamu menderita.”
“Mas juga minta maaf membuatmu merasa terjebak dalam pernikahan ini. Mas minta maaf, Dek,” lontarnya.
Aufal terdiam sejenak, membiarkan Azwa menyelesaikan tangisannya lebih dulu. Saat dirasa sang istri mulai tenang, barulah dia kembali bersuara.
“Dek, nggak papa kalau kamu belum bisa menerima pernikahan ini dan menerima Mas sebagai suamimu. Tapi Mas minta tolong boleh?” tanyanya yang dibalas anggukan oleh Azwa.
“Tolong, bersikaplah layaknya suami-istri di hadapan keluarga kita. Mas nggak pengen melihat kesedihan dan kekhawatiran di raut wajah mereka terutama Ayah-Bunda. Kamu juga nggak mau kan pastinya? Mas nggak akan nuntut apapun dari kamu. Cuma itu yang Mas minta, boleh?”
Melihat Azwa yang menganggukkan kepalanya, Aufal langsung mencium kedua tangan sang istri. "Makasih, Dek. Makasih juga udah bertahan hingga detik ini.”
“Sekarang kamu istirahat, ya. Maaf, udah bikin kamu semakin lelah,” ujarnya seraya membantu Azwa berbaring dengan nyaman dan menyelimutinya.
“Kamu tidur di sini aja, ya. Mas yang tidur di sofa.” Aufal beranjak dari kasurnya dengan membawa satu bantal menuju sofa yang tak jauh dari ranjang.
“Mas.”
Aufal membalikkan badannya. “Ya? Kamu butuh sesuatu?”
Azwa menggeleng. “Maaf.”
Senyum manis terbit di wajah tampannya. Tanpa dijelaskan, laki-laki itu sudah paham maksud ucapan istrinya. “Nggak papa, Mas mengerti kok. Selamat tidur,” balasnya lalu kembali berjalan ke arah sofa dan membaringkan tubuh di sana.
Satu jam kemudian, Aufal kembali bangkit mendekati istrinya yang sudah tertidur pulas. Tangan besarnya mengusap lembut kepala gadis itu yang masih tertutup kerudung.
"Mas sayang kamu, Dek, sangat. Mas akan membayar semua perlakuan buruk terhadapmu dengan memberikan sejuta kebahagiaan sehingga kamu lupa rasanya menangis. Itu janji, Mas. Mas mencintaimu, Sayang." Dia lantas mencium kening Azwa lama.
—o0o—
Prang!
Aarrgh!
Suara pecahan kaca dan teriakan menjadi sambutan ketika seseorang yang masih memakai setelan kerja membuka pintu salah satu kamar. Suara ketukan sepatu pantofel yang terdengar di kesunyian malam mengakibatkan penghuni kamar menghentikan tindakannya.
Seorang perempuan dengan penampilan berantakan menatap tajam ke arahnya lewat cermin yang sudah pecah.
“Kenapa Ayah nggak membatalkan pernikahan itu?” tanya perempuan itu dingin.
“Ayah aja baru tau. Si Pak Tua itu sangat licik sampai-sampai kita dibuat kecolongan,” jawab sang ayah tenang.
“Terus bagaimana dengan perjodohanku dengannya?”
“Batal.”
Perempuan yang mengenakan kaos pendek dipadukan hotpants itu sontak membalikkan badannya. “Ayah! Nggak bisa gitu dong! Gimana sama semua rencana kita? Aku nggak mau sampai gagal.”
“Maka buatlah jangan sampai gagal.” Pria paruh baya itu berjalan mendekati putrinya.
“Sepertinya Pak Tua itu mulai mengibarkan bendera perang ke kita. Dia mulai melawan, tapi ada satu fakta menarik tentang pernikahan itu,” katanya kemudian membisikkan sesuatu di telinga sang anak.
“Wow! Sungguh mengejutkan.” Air muka perempuan itu menjadi berseri-seri. Dia dan ayahnya saling berpandangan seolah berbicara lewat mata.
“Kamu tau kan apa yang Ayah pikirkan?”
“Tentu saja. Aku tau apa yang harus aku lakukan setelah ini.” Perempuan itu tersenyum disertai seringai tajam dan menyeramkan.
Aufal Abrisam Ar-Rasyid, laki-laki berusia 24 tahun itu merupakan anak kedua dari tiga bersaudara. Kakaknya bernama Razan yang bekerja sebagai ASN yang ditugaskan di luar pulau dan menetap di sana. Sementara itu, adiknya bernama Syamil saat ini tengah menempuh pendidikan SMA kelas 12 di salah satu pesantren terkenal di Jawa Timur. Aufal sendiri sebelumnya bekerja di Jakarta tepatnya di perusahaan milik keluarga Kahfi, sahabat waktu kuliah, dengan jabatan terakhir sebagai kepala divisi IT. Karirnya akan semakin cemerlang ketika dia menjadi salah satu kandidat dalam promosi jabatan di level manajer, jika saja tidak menuruti perintah sang ayah untuk resign dan kembali ke perusahaan keluarganya. Kurang lebih seperti itu sedikit gambaran tentang Aufal. Kini, Azwa sedang membantu ibu mertua, kakak ipar, dan bibi membereskan meja makan usai sarapan. “Ada di rumah mertua itu harus tau diri. Bukannya malah enak-enakan di kamar. Mentang-mentang pengantin baru,” sindir Reana, istri Razan,
Azwa senantiasa menatap lantai sambil memainkan jemarinya yang berkeringat dingin. Jantungnya berdetak kencang tanpa bisa dikendalikan. Dia menahan rasa takut berhadapan langsung dengan ayah mertuanya. “Kamu takut sama Papa, Azwa?” tanya Papa Wirya tiba-tiba membuat Azwa tersentak kaget. Beliau terkekeh kecil melihat menantunya yang sangat gugup. “Tanpa kamu menjawab pun Papa udah tau jawabannya.” Pria yang usianya memasuki setengah abad itu menarik napas dalam-dalam sebelum berkata, “nggak banyak yang ingin Papa sampaikan ke kamu. Papa cuma mau bilang, tolong terima Aufal sebagai suamimu, ya. Dia sangat mencintaimu dengan tulus.” “Papa nggak pernah melihat Aufal jatuh cinta sedalam ini kecuali denganmu. Kamu lihat sendiri kan tadi? Aufal sangat protektif terhadapmu bahkan sama ayahnya sendiri. Padahal kan Papa niatnya cuma bicara berdua sama kamu,” jelasnya. Azwa diam berusaha mencerna ucapan Papa Wirya. Jadi, Aufal beneran mencintainya? Bukan hanya obsesi semata? Sudah dua orang
“Apa maksudmu, Diaz?” tanya Ayah Abyaz lantas bangkit dari duduknya diikuti oleh Aufal. “Diaz nggak setuju Adek dibawa pergi sama Aufal ke Jakarta,” jawab Diaz datar. “Kenapa memangnya? Aufal berhak membawa Adek kemanapun dia pergi.” “Diaz tetep nggak setuju!” Ayah Abyaz mengajak Diaz dan Aufal ke halaman rumah terlebih dahulu agar pembicaraan mereka tidak didengar oleh istri dan putrinya. Beliau merasa akan ada perdebatan diantara keduanya. “Setuju ndak setuju, kita harus menghargai keputusannya, Diaz. Mungkin mereka butuh privasi berdua yang ndak melibatkan keluarga di dalamnya. Ayah percaya Aufal bisa menjaga dan membahagiakan Adek,” ucapnya. “Segampang itu Ayah percaya?” Diaz terkekeh sinis. Matanya menatap tajam ke arah Aufal. “Bagaimana bisa Ayah mempercayakan Adek pada orang asing macam dia?” “Aufal bukan orang asing, Diaz. Dia kini udah jadi suami Adek. Kita memang belum saling mengenal sepenuhnya, tapi Ayah yakin Aufal ndak akan menyakiti Azwa. Ayah juga melihat Aufal
Aufal dan Azwa tengah bersantai di ruang tengah untuk melepas penat. Hari ini sungguh melelahkan. Sehabis perjalanan jauh, keduanya langsung diberikan kejutan oleh teman-teman Aufal yang berasal dari kontrakan lama. Mereka semua, laki-laki yang berjumlah sembilan orang itu, berkumpul menyambut kedatangan Aufal dengan suka cita karena sudah menganggap layaknya keluarga sendiri. Aufal pun tidak menyangka mereka menyempatkan hadir dengan formasi lengkap ditengah-tengah kesibukan, bahkan ada yang rela menunda jadwal pulang kampungnya. Ini benar-benar di luar rencana. Dia tidak tahu apapun tentang kejutan itu. “Anggaplah buat menggantikan kami yang nggak bisa hadir di pernikahan kalian,” jawab salah satu dari mereka ketika ditanya oleh Aufal. “Semua ini idenya Bang Andra. Kita, mah, cuma ngikut doang.” Tidak banyak acara yang mereka adakan. Hanya makan-makan bersama, lalu dilanjutkan sesi perkenalan dengan Azwa. Mereka juga mengucapkan selamat serta memberikan kado pernikahan kepada
Azwa tampak serius memainkan ponselnya untuk membalas pesan dari ibu dan kakaknya. Kemudian berlanjut membuka grup kelas. Ada lebih dari seratus pesan yang membahas tentang keluarnya nilai di semester ini, kalender akademik, surat edaran dari kampus, dan sisanya obrolan random mereka. Dia berdoa semoga nilainya naik atau paling tidak sama seperti semester kemarin. Yang terpenting lebih dari tiga agar beasiswanya tidak dicabut.Keluar dari room chat grup kelas, gadis itu lantas membuka grup bersama ketiga teman dekatnya yang diberi nama ‘Cecan Sukses Aamiin😍’. Wow! Cukup banyak, hampir menandingi pesan di grup kelas. Entah apa saja yang mereka bahas. Azwa pun membaca satu-persatu obrolan random dan absurd mereka sambil terkekeh kecil karena lucu. Hingga tibalah pada pesan yang dikirim dua hari lalu.Almeyra : [Breaking News! Azwa Aila Putri Adiba dikabarkan telah menikah dengan seorang laki-laki misterius pada tanggal 16 Januari kemarin. Tampaknya acara tersebut digelar di kediaman sa
“Aku kurang tau cerita lengkapnya seperti apa. Intinya papaku tuh punya sahabat yang ada di Semarang, terus mereka sepakat buat menjalin kerjasama dengan mendirikan sebuah perusahaan yang dikelola bersama. Dan jadilah perusahaan ini. Papa bilang, mulai pergantian tahun ini aku harus ikut membantu mengelola, nggak mungkin lepas tangan terus,” jelas gadis cantik itu panjang lebar. Aufal sangat terkejut. Jadi ini seseorang selain Danang yang kata ayahnya akan membantunya mengelola perusahaan? Dia sudah tahu bahwa perusahaan ini bukan sepenuhnya milik keluarganya melainkan atas hasil kerjasama antara sang ayah dengan sahabatnya. Dengan kata lain, gadis mengesalkan ini adalah anak dari sahabat ayahnya? “Aku kesini karena diminta Papa buat melakukan pengecekan bulanan. Katanya hari ini kedatangan pemimpin baru anak sahabatnya Papa. Sayang banget, aku nggak sempat ketemu. Aku tadi datang pas habis jam istirahat makan siang, jadi nggak ikut rapat besar. Waktu sampai sini, dia udah pergi yan
Aufal tersenyum lantas memperbaiki duduknya agar lebih nyaman. “Karena di mata Mas kamu itu istimewa, Dek. Mas memilihmu karena akhlak dan agamamu.” “Mas yakin kamu orang yang tepat untuk menjadi pendamping hidup serta melengkapi kekurangan Mas yang sangat jauh dari kata sholeh ini.” “Kamu memang bukan berasal dari keluarga kaya maupun terpandang, tapi hati dan akhlakmu jauh lebih kaya yang menjadikanmu perempuan terhormat,” jelasnya. Azwa tertegun, tidak menyangka Aufal memandang dirinya seperti itu. “Tapi, Mas. Azwa nggak sebaik yang Mas kira. Azwa belum sesholehah itu.” “Mas tau sendiri kan sikap Azwa ke Mas seperti apa? Apalagi saat malam pertama waktu itu. Azwa marah sama Mas, Azwa bahkan meninggikan suara dihadapan Mas.” “Nggak ada manusia yang sempurna di dunia ini, begitupun denganmu, Dek. Saat Mas mengucapkan janji suci, disitulah Mas berkomitmen untuk menerima semua yang ada dalam dirimu, baik kelebihan maupun kekurangan.” “Jujur, Mas juga kaget banget melihat sikapmu
“Mas Ofa?” Azwa mengerutkan keningnya mencoba mengingat-ingat siapa gerangan pemilik nama Ofa. Dia merasa tidak asing dengan nama itu dan pernah mendengarnya, tapi dimana? “Iya, kita bertemu lagi di bawah pohon besar dekat belakang perkampungan. Saat itu kamu masih mengenakan seragam SD entah dari mana. Kamu ingat?” Kerutan di dahi Azwa semakin dalam dan semakin mengorek ingatan masa lalunya. Samar-samar, ada bayangan saat dia bertemu seorang anak laki-laki bertubuh gempal memakai seragam SMP sedang duduk lesehan di bawah pohon besar yang terkenal angker. Lalu bayangan beralih ketika dirinya berjalan bersama sambil memberitahu arah jalan raya kepada Mas Ofa yang katanya tersesat. Dia juga menunjukkan letak rumahnya yang memang dilewati. “Oh…. Mas itu Mas Ofa! Kenapa Mas bohong?” “Mas nggak bohong. Itu nama Mas waktu kecil saat Mas baru belajar ngomong, kata Mama.” “Tapi kok Mas beda?” Azwa memicingkan matanya memperhatikan penampilan Aufal dengan seksama. Seingatnya, Aufal yan