Share

8. Perdebatan

Author: Putri Cahaya
last update Last Updated: 2024-01-11 18:48:01

“Mas sebenarnya juga nggak pengen kita nikah cepat-cepat kayak gini. Mas ingin mengenalmu lebih dalam sebelum menikah. Mas juga sanggup jika harus menunggumu sampai lulus, tapi Papa memaksa Mas untuk menikahimu secepatnya paling lambat satu bulan setelah lamaran.”

“Kalau nggak, Papa akan menjodohkan Mas dengan anak sahabat Papa dan memberikan ancaman lain yang membuat Mas sama sekali nggak bisa berkutik.” 

“Papa nggak pernah main-main sama ucapannya. Jadi, Mas memilih menikahimu secepatnya,” jelas Aufal panjang lebar dengan tenang tanpa ada kemarahan.

“Kenapa Mas nggak pilih dijodohkan aja? Kan biar sama-sama sepadan, dibandingkan dengan Azwa yang nggak punya apa-apa.”

“Karena yang Mas inginkan itu kamu. Mas sangat ingin menjadikanmu istri dan ibu dari anak-anak Mas. Bukan yang lain.” Jeda sejenak sebelum Aufal kembali melanjutkan perkataannya.

“Mas menolak perjodohan itu karena Mas takut nggak bisa bahagiakan dia dan ujung-ujungnya malah saling menyakiti karena Mas sama sekali nggak mencintai perempuan itu.”

“Terus apa bedanya dengan pernikahan ini? Sama-sama nggak dilandasi dengan cinta kan?”

“Tentu aja beda karena di sini Mas cinta sama kamu,” tegas Aufal mengungkapkan perasaannya.

Azwa cukup terkejut mendengar itu. Namun, dia masih belum percaya sepenuhnya. Gadis itu yakin Aufal ikut terlibat dalam masalah yang menimpa keluarganya. 

“Tapi Azwa yang nggak cinta sama Mas. Kita bahkan nggak saling mengenal satu sama lain. Jangankan kenal, ketemu aja nggak pernah. Bagi Azwa, Mas itu orang asing yang tiba-tiba masuk dalam kehidupan Azwa. Jujur, Azwa nggak bisa, Mas,” ungkapnya.

“Dek, sebenarnya Mas juga belum sepenuhnya mengenalmu. Ta'aruf sesingkat itu masih belum cukup, tapi kita bisa saling mengenal setelah menikah.” 

“Sambil jalan, kita sama-sama mendalami karakter masing-masing. Banyak kok pasangan diluar sana yang menikah melalui ta'aruf. Kamu nggak menjalani sendirian, Dek. Ada Mas sebagai suamimu,” papar Aufal.

“Mas sendiri aja belum mengenal Azwa. Bagaimana bisa Mas menyebutnya cinta? Omong kosong!” balas Azwa tajam.

“Nggak ada yang namanya omong kosong dalam ucapan Mas. Mas sungguh-sungguh mencintaimu, Dek Azwa. Tatap mata Mas kalau nggak percaya.” Aufal memegang bahu Azwa lalu mengunci tatapannya ke dalam iris cokelat milik Azwa.

Gadis manis itu membalas tatapan suaminya, berusaha mencari kebohongan di sana. Namun, nihil. Dapat dia lihat kejujuran dan ketulusan dalam sorot mata itu. 

Azwa lantas menepis pelan tangan Aufal dari bahunya. “Cinta macam apa yang menjebak Azwa dalam pernikahan ini? Itu bukan cinta, Mas, tapi obsesi Mas untuk menjadikan Azwa istri.”

“Astagfirullahaladzim, Ya Allah, Dek…. Kamu salah sangka.” Aufal memijat pangkal hidungnya lelah. Dia tidak menyangka Azwa yang dikenal sebagai perempuan yang kalem dan pendiam bisa bersikap seperti itu. 

Entah ini memang sifat asli Azwa atau efek pernikahan yang belum bisa diterimanya.

“Udahlah, Mas, nggak perlu diperpanjang lagi. Azwa capek. Yang penting sekarang Azwa udah jadi istri Mas. Beres kan? Keluarga Azwa juga udah terbebas dari utang yang membelenggu bertahun-tahun.”

Aufal tersenyum miris. "Jadi kamu menganggap pernikahan ini cuma sebagai alat melunasi utang?"

“Iya! Emang kenyataannya kayak gitu kan? Azwa terpaksa menikah sama Mas demi keluarga Azwa agar nggak terjerat utang terus-menerus.”

Jawaban Azwa mengenai ulu hati Aufal. Sakit rasanya mendengar pernyataan yang terucap langsung dari mulut sang istri. Bagaikan sabetan pedang tajam yang menghancurkannya hingga berkeping-keping. 

Meskipun demikian, dia berusaha mengumpulkan stok kesabaran menghadapi karakter sang istri yang sangat jauh dari perkiraannya agar tidak ikut terpancing emosi juga.

Gadis yang mengenakan piyama panjang bergambar beruang itu menatap Aufal dengan mata berkaca-kaca. Satu kedipan saja air mata itu akan jatuh. 

“Masih segar di ingatan Azwa waktu Ayah yang diseret secara paksa oleh dua orang suruhan Papa. Bunda yang menangis memohon agar Ayah nggak dibawa. Keluarga Azwa jadi tontonan dan gunjingan orang-orang,” tuturnya.

“Mas mungkin bisa mengelabui semua orang dengan serangkaian acara hari ini, tapi nggak denganku! Semewah apapun pesta pernikahan yang Mas siapkan, semahal apapun mahar dan gaun yang Mas berikan untukku, nggak akan pernah bisa menyembuhkan luka di hati ini melihat keluargaku yang menderita akibat ulah keluarga Mas!”

“Aku nggak akan pernah melupakan perlakuan semena-mena kalian terhadap keluargaku! Nggak akan pernah, Mas!” Suara Azwa naik beberapa oktaf. 

Tumpah sudah segala emosi dan kekecewaan yang dipendamnya akhir-akhir ini. Mata bulat yang semula berkaca-kaca itu kini mengeluarkan laharnya.

Aufal menatap sendu istrinya yang menangis tersedu-sedu. Dia ikut merasakan sesak melihat gadis yang sangat dicintainya tersakiti. Sungguh berat beban keluarga Azwa akibat utang yang menurut ayahnya tidak seberapa.

Laki-laki yang mengenakan kaos putih itu menggenggam lembut tangan Azwa. “Dek, Mas minta maaf yang sebesar-besarnya atas nama keluarga khususnya buat Papa yang udah bikin keluargamu menderita.” 

“Mas juga minta maaf membuatmu merasa terjebak dalam pernikahan ini. Mas minta maaf, Dek,” lontarnya.

Aufal terdiam sejenak, membiarkan Azwa menyelesaikan tangisannya lebih dulu. Saat dirasa sang istri mulai tenang, barulah dia kembali bersuara. 

“Dek, nggak papa kalau kamu belum bisa menerima pernikahan ini dan menerima Mas sebagai suamimu. Tapi Mas minta tolong boleh?” tanyanya yang dibalas anggukan oleh Azwa.

“Tolong, bersikaplah layaknya suami-istri di hadapan keluarga kita. Mas nggak pengen melihat kesedihan dan kekhawatiran di raut wajah mereka terutama Ayah-Bunda. Kamu juga nggak mau kan pastinya? Mas nggak akan nuntut apapun dari kamu. Cuma itu yang Mas minta, boleh?”

Melihat Azwa yang menganggukkan kepalanya, Aufal langsung mencium kedua tangan sang istri. "Makasih, Dek. Makasih juga udah bertahan hingga detik ini.”

“Sekarang kamu istirahat, ya. Maaf, udah bikin kamu semakin lelah,” ujarnya seraya membantu Azwa berbaring dengan nyaman dan menyelimutinya.

“Kamu tidur di sini aja, ya. Mas yang tidur di sofa.” Aufal beranjak dari kasurnya dengan membawa satu bantal menuju sofa yang tak jauh dari ranjang.

“Mas.”

Aufal membalikkan badannya. “Ya? Kamu butuh sesuatu?”

Azwa menggeleng. “Maaf.”

Senyum manis terbit di wajah tampannya. Tanpa dijelaskan, laki-laki itu sudah paham maksud ucapan istrinya. “Nggak papa, Mas mengerti kok. Selamat tidur,” balasnya lalu kembali berjalan ke arah sofa dan membaringkan tubuh di sana.

Satu jam kemudian, Aufal kembali bangkit mendekati istrinya yang sudah tertidur pulas. Tangan besarnya mengusap lembut kepala gadis itu yang masih tertutup kerudung. 

"Mas sayang kamu, Dek, sangat. Mas akan membayar semua perlakuan buruk terhadapmu dengan memberikan sejuta kebahagiaan sehingga kamu lupa rasanya menangis. Itu janji, Mas. Mas mencintaimu, Sayang." Dia lantas mencium kening Azwa lama.

—o0o—

Prang!

Aarrgh!

Suara pecahan kaca dan teriakan menjadi sambutan ketika seseorang yang masih memakai setelan kerja membuka pintu salah satu kamar. Suara ketukan sepatu pantofel yang terdengar di kesunyian malam mengakibatkan penghuni kamar menghentikan tindakannya. 

Seorang perempuan dengan penampilan berantakan menatap tajam ke arahnya lewat cermin yang sudah pecah. 

“Kenapa Ayah nggak membatalkan pernikahan itu?” tanya perempuan itu dingin.

“Ayah aja baru tau. Si Pak Tua itu sangat licik sampai-sampai kita dibuat kecolongan,” jawab sang ayah tenang.

“Terus bagaimana dengan perjodohanku dengannya?”

“Batal.”

Perempuan yang mengenakan kaos pendek dipadukan hotpants itu sontak membalikkan badannya. “Ayah! Nggak bisa gitu dong! Gimana sama semua rencana kita? Aku nggak mau sampai gagal.”

“Maka buatlah jangan sampai gagal.” Pria paruh baya itu berjalan mendekati putrinya. 

“Sepertinya Pak Tua itu mulai mengibarkan bendera perang ke kita. Dia mulai melawan, tapi ada satu fakta menarik tentang pernikahan itu,” katanya kemudian membisikkan sesuatu di telinga sang anak.

“Wow! Sungguh mengejutkan.” Air muka perempuan itu menjadi berseri-seri. Dia dan ayahnya saling berpandangan seolah berbicara lewat mata.

“Kamu tau kan apa yang Ayah pikirkan?”

“Tentu saja. Aku tau apa yang harus aku lakukan setelah ini.” Perempuan itu tersenyum disertai seringai tajam dan menyeramkan.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Menikah Muda dengan Anak Rentenir   Extra Part 3 : Dadah, Aarash

    “Anak bungsu lo. Jadi, kami bisa mengasuhnya dari bayi biar berasa punya baby newborn,” jawab Kahfi seraya menatap intens ke arah Dedek Aya di pangkuan ibunya. “Nggak boleh!” sahut Azwa langsung. Dia memeluk bayi perempuannya posesif. “Dedek Aya nggak bisa jauh dari Azwa karena dia butuh banget ASI eksklusif.” “Putri gue ini kayak masnya Wafa yang punya alergi susu formula. Nutrisinya harus dari ASI, nggak boleh dari yang lain,” timpal Aufal ketika melihat Kahfi yang ingin bersuara. “Mungkin bisa pakai ASI perah, tapi kan rumah lo ada di Jakarta. Nggak mungkin lo bolak balik Jakarta-Semarang cuma untuk mengambil ASI perah doang.” “Gue tau, lo nggak segabut itu. Kalau misalnya lo tinggal di kota ini, mungkin permintaan lo bisa kami pertimbangkan. Ya kan, Dek?” Pria itu menoleh ke arah istrinya meminta pendapat. Azwa mengangguk setuju karena memang itulah alasan utamanya. “Dedek Aya punya alergi cukup serius, jadi nggak bisa makan atau minum sembarangan.” Kahfi menyandarkan tubuh

  • Menikah Muda dengan Anak Rentenir   Extra Part 2 : Permintaan Kahfi

    “Fal, lo kan udah punya empat anak, sedangkan gue, satu aja belum punya. Boleh nggak kalau gue adopsi salah satu anak lo?” tanya Kahfi.“Apa? Lo gila?!” Aufal membelalakkan mata terkejut. Tangannya mengepal geram mendengar permintaan tak masuk akal Kahfi. “Gue masih sangat sanggup membesarkan dan mengasuh anak gue sendiri,” balasnya ngegas.“Gue tau.” Kahfi mengalihkan pandangannya ke depan. “Gue benar-benar ingin mengasuh anak lo, Fal. Gue pengen banget ngerasain gimana rasanya menjadi orang tua.”“Kenapa lo tiba-tiba berpikiran kayak gitu?” tanya Aufal dengan nada lebih rendah. Dia merasa, permasalahan yang Kahfi hadapi tidak sesederhana itu.Kahfi menghela napas panjang dan kembali menatap Aufal. “Lo pasti tau, permasalahan yang selama ini gue hadapi itu apa. Tentang anak yang sampai detik ini belum hadir diantara kami.”“Dan sekarang muncul masalah baru. Khanza desak gue buat menikah lagi agar bisa mendapatkan keturunan. Padahal gue sama sekali nggak masalah kalau nggak ada anak,

  • Menikah Muda dengan Anak Rentenir   Extra Part 1 : Keluarga Kecil Aufal

    “Astaga! Kenapa kalian berantakin lagi?!” Azwa memekik terkejut melihat mainan yang kembali berserakan padahal sebelumnya sudah dibereskan agar mudah disapu. Baru ditinggal sebentar untuk menyapu halaman rumah, anak-anaknya kembali berulah. Dia menatap satu-persatu ketiga anaknya yang hanya diam mematung. “Bunda kan udah bilang sebelumnya, jangan diberantakin lagi. Mau Bunda sapu lantainya. Kalau ingin main lagi, nanti aja habis Bunda nyapu,” omelnya. “Kalau kayak gini, Bunda jadinya kerja dua kali. Kalian kan udah berkali-kali Bunda bilangin, habis main itu dibereskan mainannya biar rapi dan nggak kececeran.” Azwa masih terus mengomeli anak-anaknya yang kini menunduk takut. Wanita itu menyandarkan sapu di dinding. Dia hendak membereskan lagi mainan mereka dan memasukkannya ke dalam keranjang. Baru satu mainan yang masuk, terdengar suara tangisan bayi berasal dari dalam kamarnya. Azwa menghela napas lelah lalu menatap putra-putrinya. “Bunda nggak mau tau pokoknya kalian bereska

  • Menikah Muda dengan Anak Rentenir   155. Cinta Masa Depanku [End]

    “Kenapa, Sayang? Papa ingin peluk Aarash loh.” Azwa mengusap lembut rambut Aarash. Dia sangat mengerti bila putranya sudah seperti ini. “Aarash takut?” tanyanya yang dijawab anggukan oleh Aarash. “Nggak papa, Nak. Papa itu orangnya baik kok. Papa sayang banget sama Aarash.” Aarash tetap menggeleng dan malah berlari menuju opanya menyusul kedua saudaranya yang lebih dulu ke sana. Azwa menghela napas dan tersenyum tidak enak kepada Aufal. “Namanya Aarash Nazhief Putra Ar-Rasyid kembarannya Aresha. Dia memang begitu kalau sama orang baru. Harap maklum, ya, Mas,” ucapnya. “Nggak papa, Dek. Mas mengerti kok. Mereka pasti bingung dengan kehadiran Mas. Nggak pernah bertemu wajar kalau merasa asing dan takut,” balas Aufal. Azwa memandang sendu Aarash yang sedang bercanda dengan Papa Wirya. “Aarash mengalami yang namanya speech delay, Mas, membuat dia lebih banyak diam. Dia mengerti bahasa yang kita ucapkan.” “Tapi, untuk mengucapkannya sendiri dia agak kesulitan kalau nggak dipan

  • Menikah Muda dengan Anak Rentenir   154. Ini Papa, Nak

    Bukan hanya Azwa saja yang terkejut, melainkan orang tua Aufal pun tak kalah kagetnya. “Yang bener kamu, Andra? Sejak kapan?” tanya Mama Erina. “Beneran, Tante. Kami udah menikah empat tahun yang lalu,” jawab Andra. Aufal terkekeh kecil melihat respons mereka. “Aufal awalnya juga sangat kaget sama kayak kalian. Pasalnya setau Aufal, Andra ini benci banget sama Sheilla. Eh, nggak taunya malah udah nikah dan punya anak.” “Gue kemakan omongan sendiri, Fal. Dari yang mulanya benci banget berubah jadi cinta. Sekarang mah kami saling mencintai bahkan udah bucin. Iya kan, Sayang?” Andra mengedipkan sebelah matanya pada Sheilla bermaksud menggoda. Sheilla membalas dengan mata melotot sambil mencubit keras pinggang suaminya lalu kembali tersenyum ke arah semua orang. “Pernikahan kami ini sebenarnya masih ada kaitannya sama kondisi Aufal yang koma,” timpalnya. Dia berdehem sejenak dan memperbaiki posisi duduknya untuk memulai bercerita. “Jadi, gini. Kami sebetulnya udah dekat sejak Azwa

  • Menikah Muda dengan Anak Rentenir   153. Tentang Kecelakaan Itu

    “Nggak, Dek, nggak ada perceraian diantara kita.” Aufal masih terus membujuk Azwa agar bersedia mendengarkan penjelasannya. Dia bahkan sampai berlutut di depan pintu kamar Azwa dengan kening yang menyentuh daun pintu. “Mas mohon, buka pintunya, Sayang. Beri Mas kesempatan buat menjelaskan semuanya ke kamu. Tolong, Dek,” ucapnya dengan suara yang semakin parau. Di dalam kamar, Azwa yang duduk di balik pintu menutup mulutnya rapat-rapat guna meredam suara isaknya. Dia sebenarnya tidak tega mendengar nada melas dan parau milik Aufal. Namun, dirinya belum siap apabila penjelasan itu tidak sesuai harapannya. “Pergilah, Mas.” “Mas nggak akan pergi sebelum kamu membuka pintu. Mas akan menunggumu sampai kamu mau mendengarkan penjelasan Mas,” balas Aufal. Azwa tidak sampai hati membiarkan Aufal terus berada di sana dan memohon seperti itu. Dia mengusap air matanya, menarik napas dalam-dalam, sebelum bangkit berdiri. Tangannya memutar kunci lalu membuka pintu kamarnya. Aufal juga ikut be

  • Menikah Muda dengan Anak Rentenir   152. Keluarga Baru

    “Kita ini sebenarnya mau kemana, Ma?” “Ke acara ulang tahun cucu teman Papa yang tahun ini dirayakan di sini.” Azwa bersama Mama Erina sedang dalam perjalanan menuju lokasi berlangsungnya acara. Beberapa menit kemudian, mobil yang mereka tumpangi berhenti di parkiran sebuah restoran cukup mewah. Keduanya turun lalu berjalan beriringan memasuki area restoran yang sudah di reservasi penuh untuk acara ulang tahun ini. Di dekat pintu masuk terdapat stand banner berwarna biru bertuliskan, Happy 3th Birthday Haisha Raveline Andriana Disertai dengan foto seorang anak perempuan yang tampak sangat cantik dan menggemaskan. Acara ini bertemakan Frozen terlihat dari hiasannya berwarna biru dan putih disertai karakter Elsa. “Lihat, Ma. Ternyata anak yang ulang tahun seumuran dengan si kembar. Azwa kira anak remaja,” komentar Azwa setelah membaca isi banner. “Mama juga ngiranya begitu. Papa nggak memberitahu Mama siapa yang berulang tahun. Untung kadonya udah disiapin Papa sebelumnya,” bal

  • Menikah Muda dengan Anak Rentenir   151. Kembali Menolak

    “Buna, mau itu.” Echa menunjuk ke arah salah satu kotak bekal. “Iya, Sayang.” Azwa mengambil roti yang sudah diolesi selai lantas menyerahkan pada putrinya. “Ini untuk Echa. Aarash mau?” tanyanya dengan menatap kembaran Echa lalu dibalas anggukan oleh Aarash. Dia juga memberikan roti itu untuk kedua putranya. “Ayah mau juga nggak?” Wafa menawarkan rotinya kepada Nazhan. “Buat Wafa aja. Nanti Ayah bakal minta sama Buna,” balas Nazhan melirik Azwa yang sibuk menata barang bawaannya. Hari libur, Azwa mengajak anak-anaknya melakukan piknik kecil-kecilan di sebuah taman. Saat akan berangkat tadi, tiba-tiba Nazhan datang dan memaksa ikut. Kini, mereka semua duduk di karpet dengan berbagai macam cemilan berada di tengah-tengah. Orang lain yang melihat pasti akan mengira mereka adalah keluarga kecil yang bahagia dan harmonis. “Nazhan!” Dua orang dewasa itu menoleh dan mendapati seorang wanita paruh baya yang mengenakan baju batik formal serta hijab segi empat berjalan mendekat. “Ib

  • Menikah Muda dengan Anak Rentenir   150. Calon Ayah Baru

    “Sampai Mas Aufal ditemukan, baik dalam keadaan hidup maupun meninggal. Selama apapun itu Adek akan setia menunggunya, Bun,” jawab Azwa.Bunda Nawa merasa prihatin dengan nasib putrinya. “Ya Allah, Dek, jangan gitu. Udah saatnya Adek buka hati untuk orang lain yang ingin mendekat. Adek jangan menutup diri seperti ini. Udah empat tahun loh, Dek.”Azwa menghela napas panjang. Memang benar, sudah empat tahun berlalu dan Aufal belum juga ditemukan bahkan pencariannya dihentikan sejak tiga tahun lalu. Aufal menghilang tanpa jejak bagaikan ditelan bumi. Entah masih hidup ataupun sudah meninggal, Azwa pun tak tahu. Namun, dia tetap meyakini bahwa suaminya masih hidup dan pasti akan kembali lagi suatu saat nanti.“Bagaimana bisa Adek buka hati sementara hati Adek udah terpaut sempurna sama Mas Aufal, Bun? Adek nggak bisa menggantikan posisi Mas Aufal,” balasnya pelan.Bunda Nawa masih setia mengusap kepalanya. “Bunda paham. Tapi kita ndak tau, keadaan Mas Aufal itu gimana. Apakah masih hidup

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status