Share

Bukan Waktunya

Jasmine menelan saliva dengan susah payah. Ranti berhasil membuat Jasmine malu setengah mati. Sebab, saat Ranti berucap seperti itu, ia sembari memegang lehernya.

"Mama hanya bisa mendoakan agar kalian segera diberi momongan. Kasih adik untuk Arshi, cucu Mama satu-satunya."

Karena Kevin memang anak tunggal. Menjadi pewaris tunggal perusahaan milik sang papa, Edward. Namun, banyaknya harta yang Kevin miliki, tidak bisa mengembalikan Kevin seperti dulu lagi.

Menjadi dingin setelah perceraian dengan istri tercinta, tak ada satu pun orang yang bisa mencairkan hati Kevin yang sudah mengeras. Ranti hanya berharap kepada Jasmine, agar perempuan itu bisa mencairkan dinginnya sikap Kevin.

"Kalau begitu, kami pamit pulang. Sudah malam. Besok, sudah kembali kerja. Bulan madunya ditunda. Karena di kantor lagi banyak kerjaan," ucap Kevin. Padahal, dia memang tidak berniat pergi bulan madu dengan Jasmine.

Setibanya di rumah. Waktu sudah menunjuk anga tujuh malam.

"Mas. Mau makan malam dengan apa?" tanya Jasmine menawarkan makan malam kepada sang suami.

"Tanya Bibi saja. Saya mau mandi," ucapnya sembari masuk ke dalam kamar mandi.

Jasmine mengerucutkan bibirnya. 'Nasib punya suami dingin. Harus bisa menyesuaikan diri. Harus terbiasa dengan sikap dinginnya itu.' Jasmine berucap dalam hati.

Setibanya di dapur. Bi Ijah sudah menyiapkan makan malam untuk Kevin dan Jasmine.

"Oh, sudah disiapkan toh. Saya pikir, dia minta saya untuk masak," kata Jasmine menghampiri Bi Ijah.

Perempuan paruh baya itu mengulas senyumnya. "Tuan Kevin tidak membolehkan Nyonya Jasmine memasak. Jadi, biar Bibi saja yang menyiapkannya."

Kening Jasmine lantas berkerut. 'Apa peduli dia. Kenapa melarang aku untuk masak? Mungkin tidak percaya dengan masakanku. Dasar!' Jasmine hanya bisa menggerutu dalam hatinya.

Tak lama setelahnya, Kevin tiba. "Kamu mandi dulu. Saya tunggu!" titah Kevin kepada Jasmine.

Perempuan itu mengangguk, menuruti perintah sang suami. "Ba-baik, Mas." Lalu, berlari ke dalam kamar. Segera membersihkan diri sebelum nanti Kevin murka karena menunggu lama.

Sepuluh menit kemudian. Jasmine kembali. "Mau saya ambilkan nasinya, Mas?" Jasmine menawarkan bantuan.

Kevin hanya mengangguk. Matanya tengah fokus membuka email dari kliennya.

"Ini, Mas. Selamat makan," ucap Jasmine dengan sangat pelan. Dia benar-benar canggung. Makan malam hanya berdua. Dengan suasana yang sangat mencekam.

Kevin tak bersuara sedikit pun. Membuatnya merasa tak nyaman berada di sana. Makan pun sangat hati-hati. Khawatir mendapatkan komplain dari sang suami.

"Selesai makan, jangan dulu tidur. Saya mau bicara sama kamu," ucap Kevin yang akhirnya berbicara.

Jasmine mengangguk. "Baik, Mas." Hanya itu, dan selalu itu. Jasmine tidak bisa banyak bicara.

Acara makan malam selesai. Dengan suasana yang sangat mencekam itu, akhirnya Jasmine bisa bernapas lega. Perutnya kenyang, walau harus makan dengan hati-hati.

Tiba di dalam kamar. Kevin mengunci pintu kamar tersebut. Jasmine tengah duduk di tepi tempat tidur. Dengan kaki merapat, serta tangan yang sedari tadi ia mainkan.

Jantungnya berdebar sangat kencang. Ia merasa sedang berada di dalam tahanan. Bersama pria dingin, dengan AC yang menggebu-gebu. Membuat ruangan itu sudah seperti kutub utara.

'Kenapa hawanya dingin sekali. Seandainya sikap Pak Kevin seperti di rumah orang tuanya, pasti suasanya tidak seperti ini,' ucapnya dalam hati.

Kemudian, Kevin duduk di samping Jasmine. Menatap perempuan itu dengan lekat. Senyum tipis itu mengembang. Lalu, kembali menghilang.

"Saya sudah membayar kamu dengan harga fantantis. Sayang sekali jika saya tidak bisa menyentuh kamu. Lagi pula, kita sudah menjadi pasangan suami-istri."

Jasmine mengadahkan wajahnya. Mendengar ucapan Kevin membuatnya berpikir, jika Kevin akan meminta haknya malam itu juga.

"Lalu?" tanya Jasmine dengan sangat hati-hati.

Kevin menghela napas berat. "Bukan waktunya. Kamu masih takut. Saya tidak akan memaksa. Saya hanya ingin kamu nurut. Turuti semua perintah yang saya berikan pada kamu. Jangan membantah.

"Tetap menjadi Jasmine yang seperti biasanya. Jangan terlihat tertekan karena sudah menikah dengan saya. Jika kamu ingin menyerah, kembalikan uang yang sudah saya berikan ke kamu!"

Jasmine mengangguk antusias. Uang dari mana dia, untuk mengembalikannya. Sebisa mungkin, Jasmine harus tegar dan sabar menghadapi situasi ini.

"I-iya, Mas. Saya akan menuruti semua perintah Mas Kevin. Saya janji, tidak akan mengecewakan Mas Kevin. Soal itu ... seolah kita saling mencintai, akan selalu saya perlihatkan. Saya janji, Mas." Jasmine berusaha meyakinkan suaminya, jika ia bisa melakukan apa yang diminta Kevin.

Pria itu mengangguk. "Anggap saja kamu menolong saya, dan saya menolong kamu. Simbiosis mutualisme. Setidaknya, saya bisa membuktikan, jika saya bisa mencintai wanita lagi, setelah gagal mencintai wanita sebelumnya."

Jasmine terdiam sejenak. Ia tak paham dengan ucapan Kevin. Soal cinta. Mana mungkin Kevin mencintainya. Pikirnya begitu.

"Mas Kevin tidak perlu memaksakan diri agar bisa mencintai wanita lagi," kata Jasmine dengan pelan.

Kevin mengangguk. "Ya. Tapi, karena saya tidak ingin gagal dalam pernikahan lagi, saya akan belajar untuk mencintai kamu."

Glek!

Jasmine menelan salivanya. Rasanya tidak mungkin, jika Kevin bisa mencintainya.

**

Pagi hari telah tiba.

Kevin dan Jasmine berangkat bersama. Dijemput oleh Andrian. Namun, ketiga orang tersebut saling terdiam. Tak ada satu pun yang mengeluarkan suara.

Hingga tiba di kantor. Andrian keluar terlebih dahulu. Membukakan pintu untuk sang majikan. Setelahnya, Kevin menggenggam tangan istrinya itu. Masuk ke dalam kantor tanpa ada rasa malu sedikit pun.

Jasmine yang merasa malu. Sebab, banyaknya para staff yang memperhatikannya. Tak menyangka, anak baru itu rupanya istri dari pemilik perusahaan tersebut.

"Saya tidak bisa menemani kamu makan siang nanti. Karena ada meeting di resto dengan clien saya," kata Kevin setelah tiba di ruang kerjanya.

"Iya, Mas. Nggak apa-apa. Saya makan siang dengan para staff saja."

Kevin mengangguk. Setelahnya, masuk ke dalam ruangannya. Pun dengan Jasmine. Berlari menuju ruang kerjanya. Di mana para staff devisi itu tengah menunggu dirinya untuk mencari tahu, kenapa dia bisa menjadi istri Kevin.

Hingga jam makan siang telah tiba. Jasmine serta kedua teman kantornya, tengah berada di kantin yang ada di perusahaan tersebut. Mereka sangat ingin tahu, kenapa Jasmine bisa menikah dengan Kevin.

"Namanya juga jodoh. Siapa yang tahu, bakal berjodoh dengan siapa," kata Jasmine menjawab pertanyaan kedua temannya itu, Dewi dan Rani.

"Yaa kamu, gak bilang-bilang kalau udah pacaran sama Pak Kevin. Terus, kenapa kamu lamar kerja di sini? Biar bisa ketemu sama dia, tiap hari?" tanya Dewi kembali.

Jasmine menerbitkan cengiran pada kedua temannya itu. "Yaa ... gitu deh. Kalian udah tahu juga. Masih aja nanya." Jasmine menghela napas kasar.

"Ya udahlah. Udah jadi bininya juga. Aku mau ke toilet bentar. Mules perutku."

"Ikut, ikut. Aku juga sama." Rani pun mengikuti Dewi menuju toilet.

Kini, Jasmine hanya sendiri. Menunggu kedua temannya yang sedang berada di toilet.

Lima menit kemudian. Ada seorang pria yang menghampiri Jasmine. "Boleh duduk di sini? Kursi yang lainnya penuh."

Jasmine mengadahkan wajahnya. Mulutnya menganga kala melihat wajah tampan di depannya. Lalu, menganggukkan kepalanya. "Boleh, boleh. Silakan!"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status