Share

5. Bukan malam pertama

"Dav, sini duduk! Minum kopi dulu sama Papi." Surya menepuk tempat kosong di sampingnya.

Resepsi hari pertama sudah selesai setengah jam yang lalu. Dan katanya, selama dua hari ke depan, akan diadakan resepsi lagi, dengan konsep yang berbeda, namun tetap diadakan di Bali. Meski sudah menolak untuk diadakan pesta besar-besaran, namun tetap saja, orangtua Kaori tetap mengadakannya dengan semangat yang menggelora. Davin sih pasrah, mau bagaimana lagi, orang kaya mah bebas.

"Ini kopi buat anak Mami yang paling ganteng," ucap Kintan, dan menaruh secangkir kopi hitam di hadapan Davin.

"Mi, Davin kan capek ya seharian duduk di pelaminan. Kenapa Mami malah bikinin Davin kopi, sih? Davin kan mau tidur, Mi," kata Davin lemas. Ternyata duduk di pelaminan seharian, membuat pantatnya terasa panas dan pinggangnya sakit. Davin butuh kasur sekarang juga.

"Udahlah, nggak apa-apa, sesekali doang. Kapan lagi kita bisa ngumpul bareng-bareng gini di Bali. Ya kan, Bel?"

Bella tersenyum. "Iya, Dav. Sebentar aja kok."

Lalu, dia dan Kintan saling pandang dan tersenyum penuh arti.

Davin akhirnya mengangguk dan meneguk kopi miliknya. "Kok, rasanya aneh, ya?"

Surya mengernyit. "Aneh gimana?"

"Iya, itu kopi asli sini, jadi rasanya agak beda gitu sama yang biasanya. Udahlah, habisin aja." Kintan buru-buru menimpali.

Tanpa rasa curiga, Davin lalu meneguk kopi itu sedikit demi sedikit. Setengah jam kemudian, Davin memutuskan untuk kembali ke kamarnya yang ada di lantai paling atas.

Tak lama kepergiannya, Bella dan Kintan lalu saling tos dan cekikikan.

"Semoga berhasil, ya. Biar kita cepet-cepet punya cucu, hihihihi."

"Iya, Kintan. Semoga adonannya langsung jadi, ya. Nggak sabar nih pengen nimang cucu, hihihihi."

***

Davin mengetuk pintu kamar beberapa kali sampai Kaori membukanya. Cewek itu tampaknya sudah sempat tertidur karena saat ia muncul, rambutnya berantakan dan matanya terlihat sayu.

"Lama banget, sih? Ngapain aja lo?" Kaori marah karena kesal harus bangun untuk membuka pintu di saat dia lagi enak-enaknya tidur.

Bukannya menjawab, Davin justru menabrak bahu Kaori dan masuk. Dia langsung naik ke atas ranjang dan tidur tengkurap.

Melihat itu, tentu saja Kaori langsung naik darah. "Ngapain lo di situ?"

"Menurut lo ngapain? Berenang?" Davin lalu menirukan gaya renang dengan cara menggerakan kedua tangan dan pinggulnya. "Ya mau tidurlah! Pake nanya!"

Kaori langsung menarik kaki Davin sehingga cowok itu terjatuh dari ranjang.

"Nggak boleh! Lo nggak boleh tidur di sini!"

Davin yang baru saja bertemu bantal, seketika harus mencium lantai akibat tarikan Kaori yang tak disangka-sangka.

"Aduh! Sakit, oi!" Davin kemudian bangkit lalu melompat lagi ke atas ranjang.

"Dav! Lo denger gue ngomong nggak sih? Lo nggak boleh tidur di sini!"

"Terus gue mau tidur di mana? Di lantai?"

"Ya di mana kek, terserah. Asal nggak seranjang sama gue!"

"Kenapa, sih? Lo takut khilaf?"

"Khilaf gigi lo! Lo tuh yang bahaya buat masa depan gue. Pokoknya, nggak mau tau, ya! Lo turun sekarang, dan tidur di sofa tuh!" Kaori menunjuk-nunjuk sofa panjang yang ada di dekat jendela.

"Kenapa nggak lo aja? Lo nggak mau kan seranjang sama gue? Ya udah, lo aja tuh yang tidur di sana." Davin merentangkan tangannya, mengambil alih seluruh permukaan ranjang.

Kaori mendecih. Dia pikir, Kaori akan mengalah? Tydack akan!

Kaori lantas mengambil kuda-kuda sebelum melompat ke atas ranjang dan menindih sebelah tangan Davin.

Davin otomatis menarik tangannya dan mengaduh kesakitan. "Gila ya nih cewek! Kalo tangan gue patah gimana?"

Kaori tidak menjawab, dia lalu mengambil bantal dan menaruhnya di tengah-tengah sebagai batas. "Kalau sampai lo lewatin ini, gue sedot tuh ubun-ubun!"

Davin menggeleng tak percaya. "Nggak akan! Sekalipun lo bugil di depan gue, gue juga nggak bakalan nafsu."

Kaori menampar Davin sebelum dia merebahkan tubuhnya dan menutupi dirinya dengan selimut. "Lemes banget tuh mulut!" ucapnya dari balik selimut.

"Benar-benar nih cewek ya. Main gampar aja!" gerutu Davin sambil mengelus-elus pipinya yang terasa perih.

*

Dua jam kemudian....

Davin terbangun ketika merasakan ada sesuatu yang menempel di wajahnya. Ketika dia membuka mata lebar-lebar, barulah dia menyadari kalau sesuatu itu adalah sebelah kaki milik Kaori.

"Cuih!" Davin terduduk, dan menjauhkan kaki Kaori dari wajahnya. "Bau bangke!" tambahnya.

Davin menggeleng tak percaya begitu melihat posisi tidur Kaori yang berbeda dari sebelumnya. Bisa-bisanya, yang tadi posisi kepalanya di atas, sekarang justru pindah ke bawah. Mana mulutnya kebuka lebar gitu lagi. Sumpah ya, nggak ada cantik-cantiknya sama sekali.

Davin kemudian bangkit dan mencolek-colek Kaori. "Mbak, Mbak! Tidur yang bener dong!" katanya.

Kaori bergerak-gerak dan kembali tertidur pulas.

"Astaga nih cewek. Kebo banget."

Davin lalu mengangkat tubuh Kaori dan melemparkannya ke ranjang sampai cewek itu terbangun sambil meringis.

"Hah?!" Kaori menjerit kaget setelah sadar sepenuhnya dan melihat Davin berdiri di sisi kanannya dengan bertolak pinggang. "Lo mau ngapain? Lo mau perkosa gue?"

"Nggak usah ngarep."

Kaori menutup mulutnya ketika melihat sesuatu yang mengejutkan di diri Davin. Pandangannya horor dan seketika dia gemetar.

"Kenapa sih?" Davin lalu menunduk, mengikuti arah pandangan Kaori. Dan terkejutlah dia begitu melihat ada sesuatu yang menonjol di balik celananya. Seperti sedang berdiri tegak dan menantang. Davin buru-buru menutupinya dan membalikkan badan.

"Bu-burung lo bangun? Lo pasti mau menggerayangi tubuh gue, kan? Dasar cowok bejat!"

Davin berbalik, bertolak pinggang, namun ketika mata Kaori melihat ke anunya, segera ia membalikkan badannya lagi. "Nggak usah fitnah. Orang gue nggak ada ngebangunin kok!"

"Terus, kenapa bisa bangun? Lo pasti udah punya niat kan pengen menodai gue?" Kaori menarik selimut dan menutupi seluruh tubuhnya. "Gue nggak nyangka ya, Dav. Ternyata lo.... "

"Gue nggak punya niat sama sekali buat nidurin cewek gesrek kayak lo. Gue masih waras, belum gila." Davin membela diri.

"Pergi nggak lo! Pergi nggak!" Kaori melempar bantal ke arah Davin dengan membabi buta. "Sebelum lo khilaf nyerang gue, mendingan lo pergi keluar! Buruaaaan!"

Davin mendengus namun tetap beranjak. "Iyaaa!" kata Davin ketus.

Setelah Davin keluar dari kamar, Kaori langsung menutup mulutnya dengan kedua tangan. "Gila! Gila! Gila! Seumur hidup, baru kali ini gue lihat cowok turn on. Ternyata, punya si Davin gede juga. Eh? Apaan sih gue! Jijik tau nggak malah ngebayangin!"

*

Davin berjalan-jalan di pinggir pantai, sambil bertanya-tanya ada apa gerangan dengan anunya yang tiba-tiba hidup dan tak mau tidur setelah satu jam Davin keluar dari kamar.

"Astaga!" Davin mendecakkan lidah. "Ini tuh pasti gara-gara kopi tadi. Si Mami nih pasti biang keroknya."

Mana Kaori menuduhnya yang bukan-bukan lagi!

Davin menoleh menatap pantai yang berkilauan di bawah sinar bulan. Angin berhembus kencang, membuatnya merasa kedinginan. Davin lalu beranjak, memutuskan untuk kembali ke kamar.

Setibanya di dalam kamar, dia mendapati Kaori sudah tidur. Davin bingung, harus naik ke atas ranjang, atau tidur di sofa saja. Karena posisi tidur Kaori saat itu benar-benar memenuhi ranjang. Davin hanya mendengus, menarik selimut untuk menutupi sebagian tubuh Kaori.

Entah bagaimana bisa, perasaan Davin mendadak gelisah ketika melihat bibir merah Kaori yang setengah terbuka. Hasratnya seperti muncul ke permukaan. Dan di bawah sana, miliknya menegang, seakan-akan menuntut sesuatu.

Davin menelan ludah, lalu menarik selimut berwarna biru itu dan menutupi seluruh tubuh Kaori sampai tak ada satu pun yang terlihat.

"Oke, aman," ucapnya lantas berjalan menuju sofa. Dia lalu merebahkan diri di sana dan mencoba memejamkan matanya untuk tidur.

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status