"Dav, sini duduk! Minum kopi dulu sama Papi." Surya menepuk tempat kosong di sampingnya.
Resepsi hari pertama sudah selesai setengah jam yang lalu. Dan katanya, selama dua hari ke depan, akan diadakan resepsi lagi, dengan konsep yang berbeda, namun tetap diadakan di Bali. Meski sudah menolak untuk diadakan pesta besar-besaran, namun tetap saja, orangtua Kaori tetap mengadakannya dengan semangat yang menggelora. Davin sih pasrah, mau bagaimana lagi, orang kaya mah bebas.
"Ini kopi buat anak Mami yang paling ganteng," ucap Kintan, dan menaruh secangkir kopi hitam di hadapan Davin.
"Mi, Davin kan capek ya seharian duduk di pelaminan. Kenapa Mami malah bikinin Davin kopi, sih? Davin kan mau tidur, Mi," kata Davin lemas. Ternyata duduk di pelaminan seharian, membuat pantatnya terasa panas dan pinggangnya sakit. Davin butuh kasur sekarang juga.
"Udahlah, nggak apa-apa, sesekali doang. Kapan lagi kita bisa ngumpul bareng-bareng gini di Bali. Ya kan, Bel?"
Bella tersenyum. "Iya, Dav. Sebentar aja kok."
Lalu, dia dan Kintan saling pandang dan tersenyum penuh arti.
Davin akhirnya mengangguk dan meneguk kopi miliknya. "Kok, rasanya aneh, ya?"
Surya mengernyit. "Aneh gimana?"
"Iya, itu kopi asli sini, jadi rasanya agak beda gitu sama yang biasanya. Udahlah, habisin aja." Kintan buru-buru menimpali.
Tanpa rasa curiga, Davin lalu meneguk kopi itu sedikit demi sedikit. Setengah jam kemudian, Davin memutuskan untuk kembali ke kamarnya yang ada di lantai paling atas.
Tak lama kepergiannya, Bella dan Kintan lalu saling tos dan cekikikan.
"Semoga berhasil, ya. Biar kita cepet-cepet punya cucu, hihihihi."
"Iya, Kintan. Semoga adonannya langsung jadi, ya. Nggak sabar nih pengen nimang cucu, hihihihi."
***
Davin mengetuk pintu kamar beberapa kali sampai Kaori membukanya. Cewek itu tampaknya sudah sempat tertidur karena saat ia muncul, rambutnya berantakan dan matanya terlihat sayu.
"Lama banget, sih? Ngapain aja lo?" Kaori marah karena kesal harus bangun untuk membuka pintu di saat dia lagi enak-enaknya tidur.
Bukannya menjawab, Davin justru menabrak bahu Kaori dan masuk. Dia langsung naik ke atas ranjang dan tidur tengkurap.
Melihat itu, tentu saja Kaori langsung naik darah. "Ngapain lo di situ?"
"Menurut lo ngapain? Berenang?" Davin lalu menirukan gaya renang dengan cara menggerakan kedua tangan dan pinggulnya. "Ya mau tidurlah! Pake nanya!"
Kaori langsung menarik kaki Davin sehingga cowok itu terjatuh dari ranjang.
"Nggak boleh! Lo nggak boleh tidur di sini!"
Davin yang baru saja bertemu bantal, seketika harus mencium lantai akibat tarikan Kaori yang tak disangka-sangka.
"Aduh! Sakit, oi!" Davin kemudian bangkit lalu melompat lagi ke atas ranjang.
"Dav! Lo denger gue ngomong nggak sih? Lo nggak boleh tidur di sini!"
"Terus gue mau tidur di mana? Di lantai?"
"Ya di mana kek, terserah. Asal nggak seranjang sama gue!"
"Kenapa, sih? Lo takut khilaf?"
"Khilaf gigi lo! Lo tuh yang bahaya buat masa depan gue. Pokoknya, nggak mau tau, ya! Lo turun sekarang, dan tidur di sofa tuh!" Kaori menunjuk-nunjuk sofa panjang yang ada di dekat jendela.
"Kenapa nggak lo aja? Lo nggak mau kan seranjang sama gue? Ya udah, lo aja tuh yang tidur di sana." Davin merentangkan tangannya, mengambil alih seluruh permukaan ranjang.
Kaori mendecih. Dia pikir, Kaori akan mengalah? Tydack akan!
Kaori lantas mengambil kuda-kuda sebelum melompat ke atas ranjang dan menindih sebelah tangan Davin.
Davin otomatis menarik tangannya dan mengaduh kesakitan. "Gila ya nih cewek! Kalo tangan gue patah gimana?"
Kaori tidak menjawab, dia lalu mengambil bantal dan menaruhnya di tengah-tengah sebagai batas. "Kalau sampai lo lewatin ini, gue sedot tuh ubun-ubun!"
Davin menggeleng tak percaya. "Nggak akan! Sekalipun lo bugil di depan gue, gue juga nggak bakalan nafsu."
Kaori menampar Davin sebelum dia merebahkan tubuhnya dan menutupi dirinya dengan selimut. "Lemes banget tuh mulut!" ucapnya dari balik selimut.
"Benar-benar nih cewek ya. Main gampar aja!" gerutu Davin sambil mengelus-elus pipinya yang terasa perih.
*
Dua jam kemudian....
Davin terbangun ketika merasakan ada sesuatu yang menempel di wajahnya. Ketika dia membuka mata lebar-lebar, barulah dia menyadari kalau sesuatu itu adalah sebelah kaki milik Kaori.
"Cuih!" Davin terduduk, dan menjauhkan kaki Kaori dari wajahnya. "Bau bangke!" tambahnya.
Davin menggeleng tak percaya begitu melihat posisi tidur Kaori yang berbeda dari sebelumnya. Bisa-bisanya, yang tadi posisi kepalanya di atas, sekarang justru pindah ke bawah. Mana mulutnya kebuka lebar gitu lagi. Sumpah ya, nggak ada cantik-cantiknya sama sekali.
Davin kemudian bangkit dan mencolek-colek Kaori. "Mbak, Mbak! Tidur yang bener dong!" katanya.
Kaori bergerak-gerak dan kembali tertidur pulas.
"Astaga nih cewek. Kebo banget."
Davin lalu mengangkat tubuh Kaori dan melemparkannya ke ranjang sampai cewek itu terbangun sambil meringis.
"Hah?!" Kaori menjerit kaget setelah sadar sepenuhnya dan melihat Davin berdiri di sisi kanannya dengan bertolak pinggang. "Lo mau ngapain? Lo mau perkosa gue?"
"Nggak usah ngarep."
Kaori menutup mulutnya ketika melihat sesuatu yang mengejutkan di diri Davin. Pandangannya horor dan seketika dia gemetar.
"Kenapa sih?" Davin lalu menunduk, mengikuti arah pandangan Kaori. Dan terkejutlah dia begitu melihat ada sesuatu yang menonjol di balik celananya. Seperti sedang berdiri tegak dan menantang. Davin buru-buru menutupinya dan membalikkan badan.
"Bu-burung lo bangun? Lo pasti mau menggerayangi tubuh gue, kan? Dasar cowok bejat!"
Davin berbalik, bertolak pinggang, namun ketika mata Kaori melihat ke anunya, segera ia membalikkan badannya lagi. "Nggak usah fitnah. Orang gue nggak ada ngebangunin kok!"
"Terus, kenapa bisa bangun? Lo pasti udah punya niat kan pengen menodai gue?" Kaori menarik selimut dan menutupi seluruh tubuhnya. "Gue nggak nyangka ya, Dav. Ternyata lo.... "
"Gue nggak punya niat sama sekali buat nidurin cewek gesrek kayak lo. Gue masih waras, belum gila." Davin membela diri.
"Pergi nggak lo! Pergi nggak!" Kaori melempar bantal ke arah Davin dengan membabi buta. "Sebelum lo khilaf nyerang gue, mendingan lo pergi keluar! Buruaaaan!"
Davin mendengus namun tetap beranjak. "Iyaaa!" kata Davin ketus.
Setelah Davin keluar dari kamar, Kaori langsung menutup mulutnya dengan kedua tangan. "Gila! Gila! Gila! Seumur hidup, baru kali ini gue lihat cowok turn on. Ternyata, punya si Davin gede juga. Eh? Apaan sih gue! Jijik tau nggak malah ngebayangin!"
*
Davin berjalan-jalan di pinggir pantai, sambil bertanya-tanya ada apa gerangan dengan anunya yang tiba-tiba hidup dan tak mau tidur setelah satu jam Davin keluar dari kamar.
"Astaga!" Davin mendecakkan lidah. "Ini tuh pasti gara-gara kopi tadi. Si Mami nih pasti biang keroknya."
Mana Kaori menuduhnya yang bukan-bukan lagi!
Davin menoleh menatap pantai yang berkilauan di bawah sinar bulan. Angin berhembus kencang, membuatnya merasa kedinginan. Davin lalu beranjak, memutuskan untuk kembali ke kamar.
Setibanya di dalam kamar, dia mendapati Kaori sudah tidur. Davin bingung, harus naik ke atas ranjang, atau tidur di sofa saja. Karena posisi tidur Kaori saat itu benar-benar memenuhi ranjang. Davin hanya mendengus, menarik selimut untuk menutupi sebagian tubuh Kaori.
Entah bagaimana bisa, perasaan Davin mendadak gelisah ketika melihat bibir merah Kaori yang setengah terbuka. Hasratnya seperti muncul ke permukaan. Dan di bawah sana, miliknya menegang, seakan-akan menuntut sesuatu.
Davin menelan ludah, lalu menarik selimut berwarna biru itu dan menutupi seluruh tubuh Kaori sampai tak ada satu pun yang terlihat.
"Oke, aman," ucapnya lantas berjalan menuju sofa. Dia lalu merebahkan diri di sana dan mencoba memejamkan matanya untuk tidur.
***
🌷Sinar matahari pagi menerobos masuk ke dalam kamar, membuat Kaori perlahan-lahan membuka mata dan mengambil posisi duduk. Dipandanginya sekitar, dan ia terkejut bukan main begitu melihat Davin tertidur pulas di sampingnya, sambil memeluk guling. Kontan, Kaori mengambil bantal dan melemparkannya ke wajah Davin."Kok lo bisa tidur di sini?!" Kaori bertanya tepat ketika Davin membuka mata, menatapnya dengan malas."Nggak tau, kayaknya diangkut setan," jawab Davin asal."Lo pasti mau modusin gue, kan? Atau jangan-jangan, tadi malem lo udah grepe-grepe gue?"Giliran Davin yang melempar bantal ke muka Kaori sambil tertawa mendengus. "Lo bisa nggak sih... sekali aja nggak buruk sangka sama gue?"Kaori hanya mendelik dan bergegas turun dari ranjang. Ketika ia berjalan menuju kamar
"Kenapa lo nggak coba buka hati lo aja buat si Davin? Bukannya waktu SMA lo sempat naksir dia, ya?"Kaori menganga. "Wah! Gila lo! Dapat info dari mana tuh? Ngarang deh. Nggak mungkin gue naksir cowok kayak dia!"“Udahlah, Ri, ngapain sih lo harus bohong sama gue? Gue sempat baca sendiri kok buku diary lo yang lo bakar beberapa tahun yang lalu itu.”“Hah? Ngaco lo! Buku diary yang mana pula?”“Haduh, udah deh. Tinggal jujur aja sama gue apa salahnya sih? Di situ jelas-jelas lo tulis, lo suka sama dia.”Kaori terkesiap. Selama beberapa detik, dia terdiam, bingung harus mengatakan apa. “Kok lo baru bilang ini sama gue?” tanyanya.“Karena gue nggak mau aja bikin lo merasa malu. Dan gue tau lo pasti nggak bakalan ngaku. Tapi, sekarang gue beneran serius nanya, kenapa sih lo bisa benci sama dia? Emangnya ada hal apa sampai-sampai lo nggak suka banget sama dia?”Kaori ingin menjawab, namun tahu-tahu orang yang menjadi topik pembicaraan mereka munc
"Dav, bentar deh." Putri memanggil Davin yang hendak keluar kamar.Setelah Davin berhenti, Putri berjalan mendekat dan tak disangka-sangka, dia langsung mengancingkan jas navy yang dikenakan Davin sambil tersenyum manis. Davin menatap Putri sesaat, kemudian balas tersenyum. Di belakang mereka, Kaori mengamati sambil mendelik sebal.Apaan sih, Putri! Sok-sokan manis gitu ke Davin! Sori ya, bukannya cemburu atau apa. Kaori tidak mau saja kalau Putri dengan bodohnya ikut jatuh pada modusnya Davin, lalu bukan tak mungkin mereka akan berakhir di atas ranjang. Sebenarnya, tidak masalah Davin mau kencan dengan siapa saja, asalkan itu bukan sahabatnya."Okey, udah," kata Putri kemudian."Thanks," balas Davin sekenanya dan berlalu."Oi!" Kaori langsung mencolek pundak sahabatnya itu. "Ngapain lo ngurusin dia?""Kenapa, sih?" Putri mengedikkan bahunya acuh tak acuh. "Biar dia kelihatan ra
Setelah resepsi hari ketiga selesai diadakan dengan konsep yang sama dan berkesan mewah, rencananya mereka semua akan kembali ke Jakarta pada hari ini. Namun, sebelum itu, Kintan dan Bella meminta mereka semua untuk berkumpul. Katanya, ada sesuatu hal penting yang ingin mereka sampaikan. Entah apa.“Jadi, Mami mau kasih kejutan buat kalian berdua!” seru Kintan dengan semangat.“Kejutan apa, Mi?” tanya Davin, penasaran.Kintan tersenyum lebar, begitu pun dengan yang lainnya.“Mami sama Papi udah beliin tiket bulan madu ke sepuluh negara untuk kamu dan Kaori!”Kaori terbatuk-batuk, tersedak minuman yang sedang diteguknya ketika ibu mertuanya itu berbicara.“HA? Sepuluh negara?” seru Davin, terkejut.“Waaaah! Enak banget sih jalan-jalan gratis!” timpal Disha, adik perempuan Davin.“Aku juga mau dong!” Giliran Karel, adik laki-laki Kaori yang duduk di bangku tahun
Bab. 9 | Menyakitkan tapi terasa benarTiga minggu kemudian...."Mana nih, foto-foto kalian waktu di luar negeri? Mami mau lihat dong!"Davin mengangsurkan ponselnya yang menampilkan gambar dirinya dan Kaori yang sudah diedit sedemikian rupa dengan latar belakang berbagai macam tempat di sepuluh negara tujuan bulan madu mereka. Untung saja, semua hasil editan Davin terlihat sempurna, sehingga Kintan dan Bella percaya begitu saja."Wah, romantis banget sih kalian?""Iya dong, namanya juga pengantin baru, Mi," jawab Davin yang dibalas dengan tatapan ragu-ragu oleh Kaori."Terus, gimana?" tanya Bella."Eh? Gimana apanya, Ma?" Kaori justru balik nanya."Ya itunya...." Kintan dan Bella menjawab kompak, lalu cekikikan.Davin mengernyit. "Itunya apa, sih?""Itu loh, gimana sih. Cucu... cucu." Kintan memperjelas maksud ucap
*Jangan lupa klmmekoment ya gaks.Davin terkejut bukan main ketika dia masuk ke dalam kamar, sebuah underwear terbang ke wajahnya. Setelah dilihat-lihat, ternyata itu adalah pakaian dalam miliknya."Berapa kali sih gue harus bilang sama lo? Jangan taruh baju kotor sembarangan!" semprot Kaori, sebelum Davin sempat bertanya."Lo pikir nggak capek apa beresin kamar yang setiap hari berantakan gini? Itu juga tuh! Abu rokok di mana-mana!" Kaori terus mengomel sambil membersihkan ranjang dari buku-buku, charger, headset, dan bahkan beberapa sampah bungkus makanan ringan. Davin memang biasa makan camilan pada malam hari menjelang tidur.Sejak pindah ke rumah Davin, keduanya memang tidur terpisah. Kaori tidur di lantai atas, sementara Davin tidur di lantai bawah. Tapi, walaupun begitu, tetap saja yang membersihkan kamarnya Kaori. Menyewa asisten rumah tangga hanya
"Gue harus pastiin, kalau gue ngelepasin lo hanya pada orang yang tepat. Biar lo bahagia nantinya."Kaori tertegun mendengar ucapan Davin tersebut. Itu beneran dia yang ngomong? Kenapa dia jadi sok peduli gitu?"Makasih." Kaori membalas singkat lalu mengalihkan perhatiannya pada kendaraan di jalanan yang hilir mudik.Tak lama kemudian, mereka tiba di sebuah tempat yang pada malam itu ramai pengunjung. Begitu turun, mata Kaori langsung membaca tulisan yang ada di atas pintu masuk salah satu ruko bertingkat tiga tersebut."Ini bukannya coffee shop punya lo?"Davin mengangguk. "Iya.""Kok, di sini? Enggak ada tempat yang lebih bagusan dikit gitu?" tanya Kaori sinis.Sebenarnya, tempat ini cukup memukau dengan konsep bajak laut dan lukisan-lukisan pemandangan laut yang terpajang di dindingnya. Bahkan di meja kasir, ada sebuah peti antik berukuran sedang yang dipakai
Sepanjang perjalanan pulang, pikiran Kaori diganggu oleh pernyataan Davin mengenai Maya yang pernah menjadi pacarnya. Sebenarnya, mau dengan siapa pun Davin menjalin hubungan, itu tak masalah untuk Kaori, dia bahkan tidak peduli. Hanya saja, dia bertanya-tanya tentang Maya, sahabatnya semasa SMA dulu. Kenapa setelah pulang ke Indonesia, dia tidak mengabari Kaori sama sekali? Kenapa, ya? Apa dia lupa? Masa sih lupa. Atau mungkin, sebenarnya memang Maya merasa tidak perlu mengabarinya karena dia tak lagi penting.Setelah tiba di rumah, Kaori buru-buru masuk ke kamar, menyalakan laptop dan membuka email. Pesan-pesannya untuk Maya sejak bertahun-tahun yang lalu pun tak pernah dibalas. Mungkin, Maya sudah tidak memakai email itu lagi. Lalu, Kaori beralih ke media sosial Facebook, di mana dulu sewaktu SMA, baik dia dan Maya kerap kali menulis pesan wall to wall. Kaori mengarahkan kursornya ke profil Maya, demi mencari petunjuk. Dan benar saja, banyak sta