4. Perfect Wedding

*Masih sepi, nggak pa-pa. I'm fine 😌

***

Bab 3. Perfect Wedding

"Saya terima nikah dan kawinnya Kaori Larasati Binti Fatih Wicaksono dengan mas kawin tersebut dibayar tunai!" ucap Davin lantang dan mantap. Ia bahkan tak menyangka bahwa dirinya akan semudah itu melontarkan ijab kabul.

Davin kemudian menoleh menatap Kaori yang tampak termangu di sampingnya. Dia baru bereaksi ketika Davin menyenggol lengannya. Lalu, keduanya saling berpandangan, dan saat itulah Davin melihat ada kesedihan di matanya. Kesedihan yang merupakan gambaran hatinya. Davin tahu apa yang tengah dirasakan oleh Kaori saat ini, karena dia pun merasakan hal yang sama. Hanya saja, dia mampu menutupi rasa itu dibandingkan Kaori.

Pernikahan ini, bukanlah pernikahan impian mereka.

"Bella! Akhirnyaaa!" Kintan memeluk Bella dan mereka menangis bersama di hadapan Davin dan Kaori.

"Iya, Kintan! Akhirnya, anak-anak kita menikah juga." Kintan melerai pelukannya, lalu memegang pipi Kaori dengan penuh sayang. "Makasih, ya, Kaori, kamu mau nikah sama Davin. Mulai sekarang, kamu jangan panggil Tante lagi, ya? Panggil Mami aja, okey?"

Kaori menunjukkan senyum lebar. "Iya, Mami."

"Kamu juga, Dav, mulai sekarang, kamu panggil Mama, ya?" Bella mengusap pipi Davin dengan wajah berseri-seri.

"Selamat ya buat kalian, semoga kalian berdua bisa menjadi keluarga yang samawa. Mama senang banget tau nggak, karena akhirnya kalian mau terima perjodohan yang sudah kami rencanakan dari dua puluh empat tahun yang lalu."

Davin mengangguk sembari tersenyum. "Iya, Ma. Davin janji bakal jadi suami yang baik buat Kaori."

Kaori melirik Davin yang justru pura-pura tak melihat reaksinya. Apa-apaan itu pakai mengumbar janji segala?

"Alhamdulilah. Mama seneng dengernya. Mama yakin, seiring berjalannya waktu, cinta akan tumbuh begitu besar di hati kalian."

"Iya, Mami yakin, kalau keputusan kami untuk menjodohkan kalian nggak akan salah. Kalian akan saling mencintai selama-lamanya."

Davin dan Kaori sama-sama tersenyum, meski dalam hati keduanya berkata, "Nggak mungkin!"

*

Resepsi pernikahan yang diadakan di salah satu hotel berbintang di Bali pada hari Minggu itu tampak meriah. Resepsi tersebut dibuat semewah mungkin oleh orangtua Kaori, bahkan sampai mengundang artis papan atas. Para tamu undangan pun datang dari berbagai kalangan. Padahal, sebelumnya, Kaori dan Davin meminta agar pesta pernikahan mereka diadakan secara sederhana saja, akan tetapi Bella tetap memutuskan untuk merayakannya secara besar-besaran sebagai bentuk rasa syukurnya atas pernikahan mereka.

Di pelaminan, Kaori duduk manis dengan gaun pernikahan berwarna cokelat susu yang dikenakannya. Dia tampak bersinar, menawan, dan menganggumkan. Davin sendiri pun mengakuinya. Diam-diam, dia terus melirik Kaori. Meski pernikahan itu tidak sungguh-sungguh baginya, ia cukup bangga bersanding dengan perempuan secantik Kaori di pelaminan. Seandainya saja, mereka saling mencintai, ini pasti akan menjadi pernikahan yang sempurna untuknya.

"Ngapain lo ngelihatin gue kayak gitu?" tukas Kaori tiba-tiba. "Sampe segitunya ngelihat kecantikan gue yang paripurna."

Davin mendecih. "Nggak usah kepedean. Lo nggak secantik itu."

Kaori tertawa sumbang. "Ya, ya, terserah. Yang jelas, entar malam lo jangan coba-coba grepe gue!"

"Nggak bakalan!" tandas Davin cepat.

"Awas aja kalau sampe lo deket-deket gue ntar malam. Gue sedot ubun-ubun lo!"

"Iya, Nyai, iyaaa," ucap Davin penuh penekanan.

Koari mengangguk-angguk. "Bagus. Ternyata lo jinak juga."

Davin nyaris mengumpat tapi tak jadi karena tiba-tiba saja seorang wanita datang dan langsung menamparnya.

"Tega kamu, ya, Dav! Dua bulan ngilang nggak ada kabar, ternyata kamu mau nikah sama orang lain! Kenapa sih kamu ninggalin aku gitu aja? Pas aku lagi sayang-sayangnya kamu malah pergi," seru wanita berwajah bule tersebut.

Davin gelagapan, sementara Kaori nyaris menyemburkan tawa.

"A-aku minta maaf, Mel."

"Udahlah nggak usah minta maaf segala! Kamu udah ngancurin hidup aku tau nggak? Kamu tuh, benar-benar! Aarrrgh!" Wanita itu lantas beranjak diiringi tatapan penuh tanya para tamu undangan.

Kaori berdeham, berusaha menyamarkan tawanya. "Sakit, yah?" tanya Kaori dengan senyum yang dibuat semanis mungkin.

"Enggak!"

"Sakit bilang, sini biar gue elus-elus." Kaori lantas mengusap-usap pipi kanan Davin yang tadi digampar. Bukannya mengelus, Kaori justru mencakar-cakarnya.

"Sakit, oi!" ringis Davin, serta merta menjauhkan wajahnya.

Kaori terkikik geli. "Emang enak...."

Tawa Kaori seketika berhenti begitu melihat kemunculan mama dan ibu mertuanya.

"Davin, perempuan itu siapa? Kok tadi Mami lihat dia nampar kamu?" tanya Kintan.

"Mantannya Davin, Mi." Kaori yang menjawab.

"Loh? Kok dia marah-marah sama kamu? Kenapa? Kamu nggak ngebuntingin dia, kan?"

Davin menggeleng. "Ya enggaklah, Mi. Gini-gini, Davin nggak pernah nidurin anak orang. Yang ada, nidurin kasur terus."

Cuih! Omong kosong! Batin Kaori.

"Terus tadi kenapa?"

"Biasalah, Ma. Dia marah gara-gara Davin ninggalin dia gitu aja demi Kaori yang...," Davin menoleh menatap Kaori dan mengacak-acak rambutnya dengan cukup kuat, "lucu ini."

"Pelan-pelan dong, Dav, ih!" seru Kaori kesal sambil menepis tangan Davin.

"Belum apa-apa udah berantem. Eh, jangan lupa ya, entar malam buatin cucu buat Mami, hikikiki." Kintan dan Bella kemudian tertawa cekikikan.

Kaori mendelik. Ya kali buat anak kayak bikin telur dadar. Tinggal kocok terus aduk rata.

Setelah keduanya berlalu, Kaori langsung memelototi Davin. Awas ya kalau lo macem-macem!"

"Ya ampun nih cewek. Iyaaa, gue nggak bakal nyentuh lo sedikit pun!"

"By the way, bener apa yang lo bilang tadi? Lo nggak pernah nidurin anak orang? Secara kan lo itu suka gonta-ganti pacar. Nggak mungkinlah...." Kaori sengaja menggantung ucapannya dan mengedikkan bahu sekaligus memasang ekspresi jijik.

"Emang gitu kenyataannya. Kenapa? Lo nggak percaya? Mau bukti?"

Kaori memutar bola matanya jengah. "Terserah lo deh. Nggak penting juga buat gue."

"Kalau nggak penting ngapain nanya?"

Kaori tak membalas lagi, ia membuang muka ke arah lain. Pada saat itulah, pandangannya tertuju pada seorang pria yang berjalan mendekati pelaminan.

Kaori rasa-rasanya sulit bernapas ketika melihat pria itu sudah berdiri di hadapannya dengan tangan terulur.

"Selamat, ya?"

Davin melirik Kaori yang tatapannya tampak berkaca-kaca. Davin mengenal orang ini. Namanya Kafka, mantan pacar Kaori semasa kuliah dulu. Kafka cukup berpengaruh di kampus dulunya. Selain ganteng, Kafka juga termasuk orang yang pintar dan disiplin. Pokoknya, idaman Kaori banget. Tapi, sayang, gara-gara harus nikah sama si Keong racun, mereka harus putus.

"Thanks, Ka," ujar Kaori dan menyambut uluran tangannya.

Davin mengulum senyum, lalu menarik tangan Kaori. "Thanks, Bro," katanya tanpa merasa bersalah.

Kaori mendesah malas. Namun tiba-tiba Kafka memberikannya sebuah pelukan. "Aku akan nunggu kamu," bisiknya di telinga Kaori.

Setelah Kafka menarik tubuhnya, ia lalu menoleh menatap Davin. "Selamat, ya."

"Okey," balas Davin tak berminat. Entah kenapa Davin merasa terganggu akan kehadiran Kafka di sini. Apalagi pada saat ia melihat Kaori dipeluk, rasanya Davin ingin mencubit ginjalnya.

Mungkin, Davin hanya merasa tersaingi lantaran Kafka jauh lebih tampan darinya.

"Dia tadi ngebisikin apa?" tanya Davin setelah kepergian Kafka.

"Kepo."

"Gue nggak salah denger, kan? Dia tau soal rahasia kita?"

Kaori tak langsung menjawab. Dua detik kemudian, dia mengangguk. "Iya, dia tau."

"Bagus! Lo kasih tau aja sama semua orang kalo kita cuma kawin kontrak!"

"Nggak usah ngegas jugalah. Lagian, gue udah bilang kok sama dia buat jangan kasih tau siapa-siapa soal ini."

"Terserah lo deh."

Sepertinya Davin benar-benar marah, jadi Kaori akhirnya memilih diam sampai acara resepsi itu selesai.

***