Share

6. Couple goals

🌷

Sinar matahari pagi menerobos masuk ke dalam kamar, membuat Kaori perlahan-lahan membuka mata dan mengambil posisi duduk. Dipandanginya sekitar, dan ia terkejut bukan main begitu melihat Davin tertidur pulas di sampingnya, sambil memeluk guling. Kontan, Kaori mengambil bantal dan melemparkannya ke wajah Davin.

"Kok lo bisa tidur di sini?!" Kaori bertanya tepat ketika Davin membuka mata, menatapnya dengan malas.

"Nggak tau, kayaknya diangkut setan," jawab Davin asal.

"Lo pasti mau modusin gue, kan? Atau jangan-jangan, tadi malem lo udah grepe-grepe gue?"

Giliran Davin yang melempar bantal ke muka Kaori sambil tertawa mendengus. "Lo bisa nggak sih... sekali aja nggak buruk sangka sama gue?"

Kaori hanya mendelik dan bergegas turun dari ranjang. Ketika ia berjalan menuju kamar mandi, Davin sudah lebih dulu berlari dan masuk ke sana. Melihat itu, terang saja Kaori naik darah. Dia lantas meneriaki Davin sambil menggedor-gedor pintu dengan tak sabar.

"Woi! Curang ya lo! Buka, nggak? Gue mau mandi!"

Davin membuka pintu. Dia sengaja menanggalkan baju kaus yang tadi dikenakannya, dan hanya menyisakan celana berbahan katun bunga-bunga.

"Mau mandi bareng? Ayok!"

Kaori membuang muka, setelah sebelumnya sempat terpana dengan perut kotak-kotak milik Davin. "Kan, tadi gue duluan yang mau masuk!"

"Terus, gue peduli?" Davin mengangkat satu alisnya. "Enggak," lanjutnya dan tersenyum menyeringai. Puas membuat Koari kesal, Davin lalu menutup pintu.

"Ihhh! Nyebelin banget sih?!"

"Ngapain lo berdiri di situ? Lo nggak punya niat buat ngintip gue, kaaaan?" goda Davin dari dalam sana.

Cowok kampret!

Dengan jengkel, Kaori beranjak dari depan pintu dan memilih menunggu Davin selesai mandi di dekat jendela. Kaori membukanya dan tersenyum begitu melihat pemandangan pantai Kuta di ujung sana. Bukan hanya itu, langit biru yang menaunginya pun kian meninggalkan kesan di hati Kaori. Seketika ia merasa damai, meskipun ada beban berat yang sedang dipikulnya untuk satu tahun ke depan, yaitu kontrak pernikahannya dengan Davin. Belum lagi dia harus membohongi semua orang, terutama kedua orangtuanya dan orangtua Davin. Seandainya mereka tahu kalau pernikahan ini hanyalah kontrak semata, tanpa cinta, tanpa adanya ketulusan, Kaori tidak berani membayangkan betapa kecewanya mereka.

Akan tetapi, di sisi lain, Kaori merasa lelah jika terus-menerus diminta untuk menikah dengan Davin, satu-satunya cowok yang paling menyebalkan di muka bumi ini. Dan melihat bagaimana bahagianya kedua orangtua mereka akan pernikahan ini, sedikit banyaknya perasaan bersalah itu berkurang.

Mungkin, tidak ada salahnya berbohong demi kebaikan. Meski Kaori tahu pada akhirnya keputusan ini akan menciptakan kesedihan yang lebih besar suatu hari nanti.

"Jangan ngelamun, entar kesambet!" tegur Davin setelah keluar dari kamar mandi.

Kaori tidak membalas, dia berjalan menuju kamar mandi, seakan-akan dia tidak melihat keberadaan Davin di sana.

"Kenapa sih tuh anak?" gumam Davin seraya mengacak-acak rambutnya yang masih basah.

***

Hari kedua duduk di pelaminan, membuat Kaori dan Davin bosan setengah mati. Rasanya mereka ingin waktu ini cepat berlalu agar mereka bisa kembali ke Jakarta. Kaori capek harus berpura-pura bahagia berdiri di sana, tersenyum sepanjang hari kepada setiap tamu yang datang. Bahkan dia harus membiarkan Davin merangkulnya, mengusap kepalanya, atau bahkan menyelipkan tangannya di pinggang Kaori, demi menunjukkan kepada semua orang kalau mereka tengah berbahagia, meski kenyataannya tidak.

"Haiiiii!" Putri muncul bersama beberapa teman mereka semasa kuliah dulu.

Kaori refleks jingkrak-jingkrak mengetahui teman-temannya baiknya di kampus akhirnya datang ke pesta pernikahannya. "Ya ampun, gaes! Gue kira kalian nggak bakalan datang tau nggak?"

Putri memeluk Kaori. "Sori yaaa, kita baru bisa dateng hari ini. Selamat, ya, Ri. Semoga jadi keluarga yang sakinah, mawadah, warahmah."

Kaori memeluk Putri erat-erat, seakan-akan pelukan itu mengisyaratkan sesuatu. "Thanks, Put."

"Amin dong yang kenceng," tukas Putri lagi.

Kaori tertawa dan berseru, "Aamiiiin."

"Nah, gitu dooong." Putri kemudian beralih pada Davin dan mengulurkan tangannya. "Selamat ya, Dav. Semoga kalian bisa bahagia sampai tua nanti. Oh, ya, yang sabar yang ngadepin Kaori, dia agak gila," ucap Putri dan terkikik.

"Okey, Put. Makasih, ya." Davin menyambut uluran tangan Putri dan tersenyum manis.

"Selamat, ya, Dav, Ri.... Nggak nyangka ya, kalian yang sering berantem di kelas, eh, akhirnya malah jadi suami-istri, hahaha." Yang lain mulai berkomentar.

"Iya, nggak nyangka, ya. Jodoh emang di tangan Tuhan. Nggak ada yang tahu siapa yang bakal bersanding sama kita nantinya di pelaminan."

"Namanya juga cinta, nggak ada yang tahu kapan dia akan datang."

Davin dan Kaori berpandangan sejenak. Dan kontak itu terputus ketika Putri berbicara lagi.

"Ada banyak orang yang mendoakan kalian untuk bahagia, semoga langgeng ya kalian. Aamin."

Kaori menarik napas dan mengembuskannya pelan-pelan. "Foto, yuk!" ujar Kaori, sengaja mengalihkan pembicaraan.

"Okeee." Teman-temannya menyahut semangat.

"Eh, bentar dong! Gue mau minta foto lo berdua ya, entar biar gue pamerin ke teman-teman yang lain, hehehe." Putri mengeluarkan ponselnya. "Dav, lo kejauhan deh! Yang mesra dikit dong! Gimana sih, kaku banget."

Davin kemudian meraih pinggang Kaori, merapatkan tubuh Kaori ke sisinya, dan memasang senyum terbaiknya. "Gimana look-nya? Udah oke?"

Putri tersenyum puas. "Iya, gitu, kan romantis banget kesannya. Sebentar, yaaa!"

Putri lalu mengambil langkah mundur dan mengarahkan kamera ponselnya pada Davin dan Kaori yang sedang tersenyum. "Satu, dua, tiga! Oke, sip! Bagus nih!"

"Mana? Coba lihat dong!"

"Ya ampun, kalian ini serasi banget sumpah."

"Couple goals ini mah."

Kaori dan Davin sama-sama tersenyum, meski mati-matian ingin saling menghujat satu sama lain.

"Nggak usah modus lo," bisik Kaori sengit.

Davin mendengus. "Biasa aja dong. Siapa juga yang mau modusin...."

Putri mengalihkan pandangannya dari layar ponsel. Dia mengernyit ketika menangkap momen di mana Kaori dan Davin seperti saling adu bacot meski dilakukan sambil bisik-bisik. Tiba-tiba saja, Putri merasa ada sesuatu yang disembunyikan oleh Kaori. Apa ya kira-kira?

*

🌷🌷

"Lo bahagia nggak sih, Ri?" tanya Putri, saat Kaori sedang beristirahat pada siang harinya. Dia menghampiri Kaori ke kamarnya, membantunya melepaskan gaun pengantin untuk diganti dengan gaun yang lainnya karena resepsi ini akan berakhir pada malam hari.

Kaori tidak langsung menjawab, dia duduk di depan meja rias, memandangi pantulan dirinya di cermin. "Emangnya kalo enggak, kelihatan?"

"Gue sempat lihat lo sama Davin kayak berdebat gitu tadi. Dan jujur sih, gue ngerasa lo nggak bahagia sama pernikahan ini. Bener nggak sih gue?"

"Lo paling tau kan, Put, perasaan gue ke Davin selama ini? Nggak mungkin dong gue bisa cinta sama cowok yang setiap hari bikin gue emosi kayak dia. Gue sama dia itu sebenarnya nikah kontrak."

"Hah?!" Putri membelalak. "Nikah kontrak?! Kok bisa?"

Kaori mengembuskan napas, lalu menjelaskan, "Gue capek dipaksa-paksa mulu nikah sama Davin. Davin juga sama posisinya kayak gue. Ya udah, biar orangtua kita berdua seneng, gue sama dia mutusin buat nikah, tapi kontrak. Dan itu setahun doang. Setelah itu, kita bakalan pisah, supaya orangtua gue sama orangtuanya dia tahu, kalau yang namanya perjodohan itu nggak bakal berakhir bahagia."

Putri menggeleng tak percaya. "Iya gue tau lo capek dipaksa nikah terus. Tapi, lo sadar nggak kalau apa yang kalian lakukan ini, udah memberi harapan palsu ke orangtua kalian? Mereka pasti berharap kalau kalian bakal bahagia dan cepat-cepat kasih mereka cucu. Dan apa jadinya kalau sampai mereka tahu yang sebenarnya? Mereka pasti bakalan sedih banget, Ri. Jauh lebih sedih daripada lo tolak perjodohan ini...."

Karena Kaori tak memberikan respon apa-apa, Putri menambahi, "Kenapa lo nggak coba aja buka hati lo buat Davin? Toh, waktu SMA dulu, lo juga sempat naksir dia, kan?"

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status