🌷
Sinar matahari pagi menerobos masuk ke dalam kamar, membuat Kaori perlahan-lahan membuka mata dan mengambil posisi duduk. Dipandanginya sekitar, dan ia terkejut bukan main begitu melihat Davin tertidur pulas di sampingnya, sambil memeluk guling. Kontan, Kaori mengambil bantal dan melemparkannya ke wajah Davin.
"Nggak tau, kayaknya diangkut setan," jawab Davin asal.
"Lo pasti mau modusin gue, kan? Atau jangan-jangan, tadi malem lo udah grepe-grepe gue?"
Giliran Davin yang melempar bantal ke muka Kaori sambil tertawa mendengus. "Lo bisa nggak sih... sekali aja nggak buruk sangka sama gue?"
Kaori hanya mendelik dan bergegas turun dari ranjang. Ketika ia berjalan menuju kamar mandi, Davin sudah lebih dulu berlari dan masuk ke sana. Melihat itu, terang saja Kaori naik darah. Dia lantas meneriaki Davin sambil menggedor-gedor pintu dengan tak sabar.
"Woi! Curang ya lo! Buka, nggak? Gue mau mandi!"
Davin membuka pintu. Dia sengaja menanggalkan baju kaus yang tadi dikenakannya, dan hanya menyisakan celana berbahan katun bunga-bunga.
"Mau mandi bareng? Ayok!"
Kaori membuang muka, setelah sebelumnya sempat terpana dengan perut kotak-kotak milik Davin. "Kan, tadi gue duluan yang mau masuk!"
"Terus, gue peduli?" Davin mengangkat satu alisnya. "Enggak," lanjutnya dan tersenyum menyeringai. Puas membuat Koari kesal, Davin lalu menutup pintu.
"Ihhh! Nyebelin banget sih?!"
"Ngapain lo berdiri di situ? Lo nggak punya niat buat ngintip gue, kaaaan?" goda Davin dari dalam sana.
Cowok kampret!
Dengan jengkel, Kaori beranjak dari depan pintu dan memilih menunggu Davin selesai mandi di dekat jendela. Kaori membukanya dan tersenyum begitu melihat pemandangan pantai Kuta di ujung sana. Bukan hanya itu, langit biru yang menaunginya pun kian meninggalkan kesan di hati Kaori. Seketika ia merasa damai, meskipun ada beban berat yang sedang dipikulnya untuk satu tahun ke depan, yaitu kontrak pernikahannya dengan Davin. Belum lagi dia harus membohongi semua orang, terutama kedua orangtuanya dan orangtua Davin. Seandainya mereka tahu kalau pernikahan ini hanyalah kontrak semata, tanpa cinta, tanpa adanya ketulusan, Kaori tidak berani membayangkan betapa kecewanya mereka.
Akan tetapi, di sisi lain, Kaori merasa lelah jika terus-menerus diminta untuk menikah dengan Davin, satu-satunya cowok yang paling menyebalkan di muka bumi ini. Dan melihat bagaimana bahagianya kedua orangtua mereka akan pernikahan ini, sedikit banyaknya perasaan bersalah itu berkurang.
Mungkin, tidak ada salahnya berbohong demi kebaikan. Meski Kaori tahu pada akhirnya keputusan ini akan menciptakan kesedihan yang lebih besar suatu hari nanti.
"Jangan ngelamun, entar kesambet!" tegur Davin setelah keluar dari kamar mandi.
Kaori tidak membalas, dia berjalan menuju kamar mandi, seakan-akan dia tidak melihat keberadaan Davin di sana.
"Kenapa sih tuh anak?" gumam Davin seraya mengacak-acak rambutnya yang masih basah.
***
Hari kedua duduk di pelaminan, membuat Kaori dan Davin bosan setengah mati. Rasanya mereka ingin waktu ini cepat berlalu agar mereka bisa kembali ke Jakarta. Kaori capek harus berpura-pura bahagia berdiri di sana, tersenyum sepanjang hari kepada setiap tamu yang datang. Bahkan dia harus membiarkan Davin merangkulnya, mengusap kepalanya, atau bahkan menyelipkan tangannya di pinggang Kaori, demi menunjukkan kepada semua orang kalau mereka tengah berbahagia, meski kenyataannya tidak.
"Haiiiii!" Putri muncul bersama beberapa teman mereka semasa kuliah dulu.
Kaori refleks jingkrak-jingkrak mengetahui teman-temannya baiknya di kampus akhirnya datang ke pesta pernikahannya. "Ya ampun, gaes! Gue kira kalian nggak bakalan datang tau nggak?"
Putri memeluk Kaori. "Sori yaaa, kita baru bisa dateng hari ini. Selamat, ya, Ri. Semoga jadi keluarga yang sakinah, mawadah, warahmah."
Kaori memeluk Putri erat-erat, seakan-akan pelukan itu mengisyaratkan sesuatu. "Thanks, Put."
"Amin dong yang kenceng," tukas Putri lagi.
Kaori tertawa dan berseru, "Aamiiiin."
"Nah, gitu dooong." Putri kemudian beralih pada Davin dan mengulurkan tangannya. "Selamat ya, Dav. Semoga kalian bisa bahagia sampai tua nanti. Oh, ya, yang sabar yang ngadepin Kaori, dia agak gila," ucap Putri dan terkikik.
"Okey, Put. Makasih, ya." Davin menyambut uluran tangan Putri dan tersenyum manis.
"Selamat, ya, Dav, Ri.... Nggak nyangka ya, kalian yang sering berantem di kelas, eh, akhirnya malah jadi suami-istri, hahaha." Yang lain mulai berkomentar.
"Iya, nggak nyangka, ya. Jodoh emang di tangan Tuhan. Nggak ada yang tahu siapa yang bakal bersanding sama kita nantinya di pelaminan."
"Namanya juga cinta, nggak ada yang tahu kapan dia akan datang."
Davin dan Kaori berpandangan sejenak. Dan kontak itu terputus ketika Putri berbicara lagi.
"Ada banyak orang yang mendoakan kalian untuk bahagia, semoga langgeng ya kalian. Aamin."
Kaori menarik napas dan mengembuskannya pelan-pelan. "Foto, yuk!" ujar Kaori, sengaja mengalihkan pembicaraan.
"Okeee." Teman-temannya menyahut semangat.
"Eh, bentar dong! Gue mau minta foto lo berdua ya, entar biar gue pamerin ke teman-teman yang lain, hehehe." Putri mengeluarkan ponselnya. "Dav, lo kejauhan deh! Yang mesra dikit dong! Gimana sih, kaku banget."
Davin kemudian meraih pinggang Kaori, merapatkan tubuh Kaori ke sisinya, dan memasang senyum terbaiknya. "Gimana look-nya? Udah oke?"
Putri tersenyum puas. "Iya, gitu, kan romantis banget kesannya. Sebentar, yaaa!"
Putri lalu mengambil langkah mundur dan mengarahkan kamera ponselnya pada Davin dan Kaori yang sedang tersenyum. "Satu, dua, tiga! Oke, sip! Bagus nih!"
"Mana? Coba lihat dong!"
"Ya ampun, kalian ini serasi banget sumpah."
"Couple goals ini mah."
Kaori dan Davin sama-sama tersenyum, meski mati-matian ingin saling menghujat satu sama lain.
"Nggak usah modus lo," bisik Kaori sengit.
Davin mendengus. "Biasa aja dong. Siapa juga yang mau modusin...."
Putri mengalihkan pandangannya dari layar ponsel. Dia mengernyit ketika menangkap momen di mana Kaori dan Davin seperti saling adu bacot meski dilakukan sambil bisik-bisik. Tiba-tiba saja, Putri merasa ada sesuatu yang disembunyikan oleh Kaori. Apa ya kira-kira?
*
🌷🌷Kaori tidak langsung menjawab, dia duduk di depan meja rias, memandangi pantulan dirinya di cermin. "Emangnya kalo enggak, kelihatan?"
"Gue sempat lihat lo sama Davin kayak berdebat gitu tadi. Dan jujur sih, gue ngerasa lo nggak bahagia sama pernikahan ini. Bener nggak sih gue?"
"Lo paling tau kan, Put, perasaan gue ke Davin selama ini? Nggak mungkin dong gue bisa cinta sama cowok yang setiap hari bikin gue emosi kayak dia. Gue sama dia itu sebenarnya nikah kontrak."
"Hah?!" Putri membelalak. "Nikah kontrak?! Kok bisa?"
Kaori mengembuskan napas, lalu menjelaskan, "Gue capek dipaksa-paksa mulu nikah sama Davin. Davin juga sama posisinya kayak gue. Ya udah, biar orangtua kita berdua seneng, gue sama dia mutusin buat nikah, tapi kontrak. Dan itu setahun doang. Setelah itu, kita bakalan pisah, supaya orangtua gue sama orangtuanya dia tahu, kalau yang namanya perjodohan itu nggak bakal berakhir bahagia."
Putri menggeleng tak percaya. "Iya gue tau lo capek dipaksa nikah terus. Tapi, lo sadar nggak kalau apa yang kalian lakukan ini, udah memberi harapan palsu ke orangtua kalian? Mereka pasti berharap kalau kalian bakal bahagia dan cepat-cepat kasih mereka cucu. Dan apa jadinya kalau sampai mereka tahu yang sebenarnya? Mereka pasti bakalan sedih banget, Ri. Jauh lebih sedih daripada lo tolak perjodohan ini...."
Karena Kaori tak memberikan respon apa-apa, Putri menambahi, "Kenapa lo nggak coba aja buka hati lo buat Davin? Toh, waktu SMA dulu, lo juga sempat naksir dia, kan?"
***
"Berapa kali gue bilang, jangan bawa sepatu ke dalam kamar!" Davin yang pagi menjelang siang itu masih berada di atas ranjang, perlahan membuka matanya karena samar-samar mendengar ada suara. Suara milik seseorang yang belakangan ini membuatnya sulit makan dan tidur. Seseorang yang dia rindukan siang dan malam. Dan satu-satunya orang yang mampu memporak-porandakan hatinya. "Itu juga isi lemari berantakan banget! Kalo ngambil apa-apa itu ditarik, jangan diangkat!" Suara itu terdengar semakin nyata. Davin sontak terduduk, kemudian melihat sekitar. Tepat di depan lemari pakaiannya, Kaori berdiri menghadapnya dengan bertolak pinggang. "Rumah berantakan! Sampah-sampah makanan berserakan! Bukannya dibersihin malah dibiarin!" Davin mengerjapkan matanya. Itu.... Kaori? "Habis pake handuk itu, digantung di tempatnya. Masa yang gitu-gitu harus diingetin mulu, sih?" Sesaat Davin terpelongo, mengucek mata berkali-kali lalu dengan tiba-tiba
"Ri.... Kamu kenapa? Mama perhatikan sudah seminggu ini kamu di kamar aja. Nggak mau keluar gitu jalan-jalan? Shopping, yuk, sama Mama?" bujuk Bella.Sudah seminggu Kaori terlihat murung. Dia lebih suka mengurung diri di dalam kamarnya sejak dia dan Davin bercerai. Hal itu tentu saja membuat Bella merasa khawatir, dia takut kalau lama-lama dibiarkan anaknya itu malah jadinya stres lantaran terlalu larut dalam kesedihan. Belum lagi Kaori juga jarang makan. Bagaimana kalau nanti dia sakit?Sampai sekarang pun, setiap ditanya apa alasan sebenarnya yang membuat mereka berpisah, Kaori tidak menjawabnya."Enggak pa-pa, Ma. Lagi males aja."Kaori juga sudah berhenti bekerja dan memutuskan untuk membuka usaha sendiri, yaitu membuat sebuah wedding organizer."Ri, tau nggak? Mama sama Papa dulu juga sempat berpisah, loh. Waktu itu kamu masih berumur dua tahun."Kaori terkesiap mendengarnya. "Mama serius?""Iya, Papamu itu jatuhkan talak ke Mama
Di kedai kopi miliknya, Davin duduk di meja paling pojok dekat jendela bersama Putri. Mereka memang sudah membuat janji untuk bertemu di sana sebelum jam makan siang.Davin memandangi undangan berwarna gold di tangannya lama-lama sambil tersenyum. Huruf inisial P & D jelas terpampang di bagian depannya, didesain sedemikian rupa sehingga tampak elegan.Davin tidak menyangka bahwa sebentar lagi Putri akan menjadi seorang istri, sementara dirinya baru saja menjadi duda. Kadang-kadang, takdir memang selucu itu.Diliriknya Putri yang tiba-tiba melepaskan cincin berlian yang melingkar di jari manisnya."Gue nggak bisa, Dav. Gue benar-benar nggak bisa," kata Putri sambil menggeleng kuat."Kenapa? Jangan dilepas cincinnya!" Davin menarik tangan Putri dan kembali memasukkan cincin tersebut ke jarinya. "Jangan sia-siakan orang yang sayang sama lo."Putri menarik napas dalam, memandangi jarinya yang tersemat cincin permata. "Tapi, gue nggak—"
Hari ini, adalah hari terakhir pernikahan Kaori dan Davin. Mereka menghabiskan waktu dengan bersenang-senang, persis seperti yang mereka lakukan beberapa bulan yang lalu. Pergi ke pantai, menonton film di bioskop, dan makan di tempat yang romantis.Namun, pada hari itu, Kaori tidak se-happy kemarin. Dia lebih banyak melamun, dan tentu saja hal itu membuat Davin bertanya-tanya. Meskipun kadang-kadang ada tawa yang keluar dari mulut Kaori, Davin bisa merasakan ada sesuatu di sana, tepat di matanya, yang seperti tidak sinkron dengan apa yang dilakukannya.Hingga malam pun tiba. Saat itu hujan lebat ketika mereka sampai di rumah. Keduanya sempat terkena hujan lantaran tadi berlari menuju mobil. Menunggu hujan reda punpasti akan memakan waktu yang lama, itu sebabnya mereka memilih menembus hujan demi tiba di dalam mobil lalu bergegas pulang.Di depan cermin besar di dalam kamarnya, Kaori bisa melihat kemunculan Davin yang
****Tepat jam sepuluh malam, Davin pulang ke rumah. Biasanya, jam-jam seperti itu Kaori sudah mengunci pintu jika Davin pulang agak telat. Namun tadi, sewaktu Davin memasukkan kunci cadangan, pintu itu justru membuka ketika Davin tak sengaja mendorongnya."Ck! Kebiasaan banget Kaori nggak ngunci pintu. Padahal ini kan udah malam," gerutu Davin lalu melangkah masuk.Disampirkannya kemejanya yang tadi dipakainya ke bahu lalu celingukan, mencari keberadaan Kaori.Sebelum memanggil nama Kaori, Davin sudah lebih dulu mendapati wanita itu tengah tertidur pulas di atas sofa tepat di depan TV."Tuh, kan! Kebiasaan banget tidur pas pintu nggak dikunci gitu. Kalau ada orang jahat, gimana coba?" ujar Davin lalu mengambil posisi bertimpuh di sisi Kaori dan memandangi wajahnya lama-lama."Semoga setelah semuanya berakhir, lo dipertemukan sama orang yang tepat.
DAVIN penggemar film action, tetapi pada saat Kaori memintanya untuk menonton film komedi romantis, Davin mengiyakannya. Davin sebenarnya sudah akan menolak, namun tidak mungkin juga merusak suasana hati Kaori yang sedang baik hari ini. Lagipula, sebelum ke sini, Kaori juga sudah bilang kalau dia akan menonton film dengan genre itu. Jadi, ya sudahlah, tujuan liburan kilat ini kan juga buat Kaori….Tapi, masalahnya…. Davin tidak mengira kalau akan ada banyak adegan mantap-mantap di film yang akan mereka tonton itu. Bukan hanya memperlihatkan kedua pasangan yang nyaris telanjang, juga adegan ranjang yang benar-benar membuat darah Davin berdesir dan setika dia merasa suhu di ruang bioskop itu menjadi meningkat. Belum lagi suara desahan yang membuat Davin berkali-kali menahan napasnya.Davin melirik Kaori yang tampak serius menyaksikan adegan ciuman yang sedang berlangsung. Matanya tidak berkedip sama sekali dan dia tampak terkag
"Mama sakit apa, Ma? Kok baru bilang sama Kaori kalau Mama lagi sakit?" Kaori duduk di sisi ranjang ibunya dan menangis."Kolesterol Mama kemarin tinggi, Ri. Tapi, sekarang udah nggak lagi, kok. Kamu ngapain malam-malam ke sini? Pasti disuruh papa, ya?"Kaori berhenti menangis lalu menggenggam jemari ibunya yang mulai keriput meski wajahnya masih menawan."Maaf, ya, Ma, belakangan ini Kaori sibuk kerja dan jarang ke sini. Kaori jarang perhatiin Mama dan Papa.""Kamu kok ngomongnya gitu sih, Ri? Kamu kan sekarang udah jadi seorang istri, kamu harus lebih memprioritaskan suami kamu.""Tapi, kalau lihat Mama sakit gini, Kaori nggak tega. Rasanya nggak mau jauh-jauh dari Mama.""Namanya Mama ini sudah tua, Ri. Ya wajarlah kalau sakit-sakit sedikit.""Mana pasti makannya sembarangan, ya? Kaori kan udah bilang, jangan sering makan-makanan yang mengandung koleste
Cafe milik Evan terlihat ramai selama lima bulan terakhir ini. Setelah melakukan renovasi dan menambah beberapa menu baru seperti yang disarankan Kaori, cafe ini menunjukkan kemajuan yang signifikan. Evan benar-benar berterima kasih pada Kaori karena sudah membawa angin segar untuk cafenya yang sudah dirintisnya sejak dua tahun lalu itu."Ri, thanks, ya? Gara-gara lo cafe gue jadi rame lagi, hehehe," kata Evan dengan wajah sumringah. "Gue juga udah naikin gaji kalian. Nih, gaji lo bulan ini!" Evan mengangsurkan sebuah amplop pada Kaori.Namun, seperti biasanya, Kaori justru mengembalikan amplop berisi upahnya itu ke hadapan Evan."Gue titip buat Sista, ya? Tapi seperti biasa, jangan bilang kalo itu dari gue.""Ri, sejak lo kerja sama gue, lo nggak pernah mau terima gaji dari gue. Lagian, lo kok baik banget sih sama Sista?"Apa yang dikatakan Evan, benar adanya. Sudah hampir setengah tahun
Kaori sedang mengambil minum di dapur ketika dia mendengar suara pintu diketuk. Ditaruhnya cangkir yang sudah kosong ke atas meja makan lalu dia berjalan menuju pintu sambil mengira-ngira siapa yang datang.Itu pasti Davin, siapa lagi, pikirnya."Davin?" seru Kaori, memastikan. Namun anehnya tidak ada jawaban.Kaori mulai deg-degan, apalagi mengingat obrolannya dan Davin beberapa saat yang lalu di telepon. Mana Davin sempat menakut-nakutinya pula.Meskipun tidak ada jawaban, pintu itu masih diketuk dari luar. Kali ini agak keras dan tidak sabaran."Davin, itu elo, kan?!" tanya Kaori dengan nada tinggi sambil menempelkan telinganya ke pintu.Kok nggak ada yang jawab, sih? Jangan-jangan....Maling?Tapi, mana ada maling yang ngetuk pintu targetnya sebelum ngerampok.Ini pasti....Kaori memberanikan diri untuk mengintip ke luar melalui jendela kaca di sisi pintu. Di depan pagar rumahnya tampak ada sebuah gerobak baks