Share

Bertemu Cinta Lama

Dita mengempaskan tubuhnya yang lelah di kasur setelah berbelanja berbagai macam sayur dan ikan juga memasak bersama kedua wanita yang ia panggil Mama. Ia tak menyangka kedua mamanya akan datang. Niatnya yang tadi ingin membeli pakaian dan sepatunya, malah jadi aneka bahan masakan yang memenuhi lemari esnya. Ia tak tahu akan jadi apa bahan makanan tersebut, sementara ia hanya seorang diri di rumah itu.

 

Memikirkan itu, Dita jadi teringat akan hadiah bulan madu yang akan diberikan oleh orang tua mereka. Pikirannya mulai berkelana, membayangkan Radit dengan genit menggodanya. Dita pun menggeleng-geleng cepat untuk menghalau pikiran tersebut. 

 

“Honeymoon? Oh My God! Bikin gue merinding aja!” Dita menepuk-nepuk pipinya, lalu menutup matanya untuk menjemput mimpi siang ini.

 

Tak lama, sebuah notifikasi di ponselnya muncul. Dengan mata berat menahan kantuk, Dita membuka pesan di sebuah grup W******p alumni kuliahnya. Kedua matanya langsung terbuka lebar tatkala ia membaca pesan dari beberapa temannya.

 

“Istri Kak Dani meninggal?”

 

Dita tak yakin dengan berita tersebut hingga ia berulang kali membaca semua chat teman-temannya di grup itu. Istri Danu dikabarkan meninggal setelah melahirkan bayinya yang juga tak terselamatkan.

 

“Kak Danu … sungguh berat cobaanmu. Ditinggal istri sekaligus anak yang kamu nantikan,” lirih Dita. Tanpa sadar air matanya mengalir. Hatinya ikut sedih mendengar kabar duka lelaki yang ia cintai sejak kuliah.

 

Danu Atmaja, seorang senior di kampus yang sama dengan Dita, yang telah mencuri hatinya sejak pertama kali mereka bertemu. Sayangnya, saat itu Danu sudah memiliki pacar, seorang wanita yang kini meninggalkan lelaki itu untuk selama-lamanya. Mengetahui lelaki idamannya sudah memiliki kekasih, cinta Dita tidak luntur. Ia terus menyimpan rasa itu dan hanya Radit yang mengetahuinya.

 

[Jam berapa kita ke rumah Kak Danu? Pulang kerja gimana?]

 

Teman-temannya membuat janji untuk pergi ke rumah duka bersamaan. 

 

[Oke!] Dita pun tak ingin ketinggalan. Ia memutuskan untuk ikut ke rumah Danu jam 7 malam nanti.

 

Rasa kantuk yang tadi menyerangnya, hilang sejak mengetahui berita duka itu dan berganti tangis. Namun, ia mendadak menghapus air matanya tatkala ponselnya berdering. Sebuah panggilan video dari Radit membuat Dita kelabakan. Dengan cepat ia cuci muka dan mengusapnya dengan handuk, lalu mengangkat telepon Radit setelah panggilan yang kedua.

 

“Lagi ngapain, Ta?” tanya Radit di seberang telepon begitu Dita mengangkatnya.

 

“Gue lagi mau tidur.”

 

“Elo nangis?” Radit memperhatikan wajah Dita dengan saksama.

 

“Enggak,” jawab Dita singkat.

 

“Jangan bo’ong. Gue tahu luar dalam diri lo.”

Mendengar ucapan Radit, mata dita langsung melotot. Pikirannya langsung melayang pada hal-hal yang sepatutnya dilakukan oleh sepasang suami istri.

 

“Lo pasti mikir macem-macem, ya? Melotot gitu,” goda Radit.

 

“Apaan, sih?” elak Dita. 

 

“Habis, ekspresi lo gitu amat pas gue bilang tahu lo luar dalem.” Radit menaikturunkan kedua alisnya.

 

“Mesum!”

 

“Ih, orang maksud gue luar dalem itu watak lo. Hayoo, lo mikir yang enggak-enggak, ya?” goda Radit lagi sambil tertawa kecil.

 

Melihat tingkah sahabat sekaligus suaminya itu, Dita yang tadinya sedih mendadak semakin kesal. 

 

“Lo gak ada kerjaan, ya, nelpon-nelpon gue?” Dita mengalihkan pembicaraan demi menutupi rasa malunya memikirkan hal yang disebutkan Radit.

 

“Banyak! Tapi, gue selalu ada waktu buat lo.” Lagi-lagi Radit tersenyum menampakkan deretan giginya yang putih sambil mengerlingkan mata.

 

“Bucin banget lo!” Dita yang lelah duduk terus sejak tadi akhirnya berbaring telungkup dengan menyandarkan ponsel di kepala ranjang.

 

Dari layar, tampak Radit terdiam sejenak lalu kembali bersuara. “Lo sengaja, ya, Ta?”

 

“Sengaja apanya, sih? Lo tuh kalau ngomong yang jelas kenapa. Jangan sepotong-sepotong!” ketus Dita.

 

“Itu ….” Dari layar ponsel Radit mengarahkan telunjuknya secara perlahan ke bagian bawah leher Dita yang terekam kamera. Perlahan pandangan Dita mengikuti arah telunjuk Radit. Dengan posisi telungkup seperti itu, Dita tak menyadari kalau kerah bajunya sedikit ke bawah hingga memperlihatkan belahan dadanya.

 

Spontan Dita bangkit dan menelungkupkan ponselnya, lalu menempelkan kedua tangannya di dada. 

 

“RADIIIT!!!”

 

Terdengar suara tawa Radit dari panggilan video yang masih berlangsung.

 

“Sial lo, Dit! Dasar mesuuum!!!” teriak Dita yang semakin geram mendengar tawa Radit. Tawa itu pun seketika hilang seiring tangan Dita yang cekatan memutus sambungan telepon video.

 

“Radit sialan!” Dita memukul-mukul bantalnya, seolah-olah bantal itu adalah wajah Radit.

Sementara, di seberang sana, Radit tertawa lepas membayangkan wajah Dita yang memerah akibat menahan malu dan kesal padanya. 

 

“Dasar mesuuum! Awas aja lo kalau sampai rumah, gue jitak pala lo!” Dita terus meracau sambil memukuli bantalnya. 

 

Belum berkurang kekesalannya pada Radit, lelaki itu sudah kembali menghubunginya lewat panggilan video. Kesal, Dita menolak panggilan tersebut. Ia juga tak ingin Radit melihat wajahnya saat ini, yang sudah pasti akan kembali ditertawakan oleh lelaki yang sudah belasan tahun hadir di kehidupannya.

Ponselnya kembali berdering. Namun, kali ini Radit menghubunginya dengan panggilan suara. Dita mengangkatnya meski masih sangat kesal mengingat Radit menunjuk bagian dadanya beberapa saat lalu.

 

“Lo gak ada kerjaan, ya, neleponin gue mulu?” Belum sempat Radit bersuara, Dita langsung menodongnya dengan pertanyaan. Tawa Radit tak lagi terdengar. Kali ini suaranya lembut menjawab pertanyaan Dita yang sangat ketus.

 

“Gue lagi istirahat, Ta. Lagian, gue kangen sama si bawel. Baru sehari aja rasanya setahun.”

 

“Lebay lo!” 

 

Terdengar tawa kecil Radit menanggapi ucapan Dita.

 

“Ta ….”

“Apa?”

“Sorry, ya.”

 

Hening sejenak. Radit menjeda ucapannya. Sementara, Dita menerka-nerka apa yang akan dikatakan si tukang gombal itu.

 

“Sorry buat semuanya. Sorry karena gue gak ngasih tau lo pasal rumah. Sorry karena gue ninggalin lo sendiri. Sorry karena gue pergi tanpa bilang-bilang tadi pagi. Dan sorry, udah bikin lo kesel,” tutur Radit panjang lebar.

 

“Panjang bener. Udah kayak mau pergi jauh aja lo.”

 

Radit kembali tertawa kecil mendengar tanggapan Dita.

 

“Kalau gue pergi jauh, lo bakal rinduin gue gak, Ta?” tanya Radit, masih dengan intonasi lembut seperti sebelumnya.

 

“Menurut lo?”

 

“Menurut gue … lo bakal nangis-nangis sambil bilang ‘Radit … lo jangan tinggalin gue!’.” Radit menirukan suara perempuan.

 

“Ih, ge-er banget lo. Udah, ah, gue ngantuk!” 

“Ya udah, istirahat gih. Gue mau balik kerja.”

“Hm! Bye!”

“Ta!” 

 

Nyaris saja jempol Dita menekan ikon telepon berwarna merah sebelum akhirnya Radit kembali memanggilnya. 

 

“Apaan lagi, sih?” keluh Dita.

 

“Cukup gue aja. Jangan biarin orang lain ngeliat,” ucap Radit lembut, nyaris seperti orang berbisik. 

 

Namun, kelembutan suaranya itu justru bagai petir di telinga Dita. Ia langsung teringat kejadian beberapa menit lalu.

 

“RADIIIT!!!”

 

Lelaki di seberang telepon itu malah tertawa mendengar teriakan Dita, sekaligus menjauhkan ponselnya dari telinga. Dita pun segera memutuskan sambungan telepon dan melempar ponselnya ke bantal.

 

“Mama … tolooong …!” teriaknya frustrasi. Ia telungkup dan membenamkan wajahnya di bantal. Memanggil mamanya membuat Dita teringat kedatangan wanita itu bersama mertuanya. Sebenarnya, ia ingin menceritakan perihal kedatangan mereka pada Radit. Namun, kelakuan Radit yang terus menggodanya membuat ia melupakan hal itu dan merasa sangat kesal pada Radit.

 

“Radit mesuuum …!”

 

Sementara, di seberang sana Radit menghentikan tawanya dan menghela napas panjang. 

 

“Gue harap lo gak ngerasa kesepian di rumah sendiri, Ta,” gumamnya sebelum kembali ke kantor.

 

***

 

Dita bersiap menuju rumah Danu bersama teman-temannya. Sebagian dari mereka masih berpakaian kerja. Ia naik mobil salah seorang teman bersama yang lainnya.

 

“Lo gak sama pasangan lo, Ta?” tanya salah seorang temannya.

 

“Pasangan gue?” Dita balik bertanya dengan tatapan heran.

 

“Itu, cowok tinggi yang selalu nempel sama lo ke mana aja waktu kuliah. Katanya kalian satu kantor,” jawab temannya yang lain.

 

Dita langsung paham siapa yang dimaksud. Benar memang, sejak dulu Radit dan Dita bagai amplop dan perangko yang tak pernah terpisahkan. Di mana ada Radit, di situ ada Dita. Sampai Dita terkadang kesal sendiri karena tak ada lelaki yang mau mendekatinya. Ia pun mengira kalau kehadiran Radit di sisinya yang menjadi sebab.

 

“Oh, Radit?”

 

Teman-temannya mengangguk. Mereka juga tahu kalau Radit dan Dita hanya berteman. Status teman yang membuat mereka tampak seperti pasangan.

 

“Ke luar kota dia, ngaudit.”

 

“Oh …,” jawab teman-temannya.

 

“Eh, kasihan ya Kak Danu.” Dita langsung mengalihkan pembicaraan agar teman-temannya tak lagi membahas Radit. Ia masih kesal dengan Radit akibat ulahnya di telepon siang tadi. Sekaligus, Dita ingin mengorek informasi mengenai Danu dari teman-temannya.

 

“Jadi duren, donk,” celetuk salah seorang temannya. 

 

“Kesempatan lo, Dit. Lo kan belum merid, kali aja lo mau jadi bini duren,” sambung yang lainnya dan disambut tawa oleh teman-teman Dita.

 

“Apaan, sih? Orang lagi berduka juga, malah kalian ledekin,” jawab Dita. Lain di mulut lain di hati. Dita justru mengiyakan kata-kata temannya. Meski turut sedih akan musibah yang menimpa Danu, tetapi Dita merasa ia kini bisa kembali mencintai lelaki itu tanpa merasa bersalah karena dianggap mencintai suami orang.

 

Mobil pun memasuki sebuah halaman yang telah ramai oleh para warga yang turut bertakziah ke rumah duka. Jantung Dita berdetak begitu cepat begitu ia turun dari mobil. Ia tak tahu perasaan apa yang kini menghinggapi hatinya. Memasuki ruangan, jantungnya semakin berdetak tak karuan. Terlebih saat ia melihat seorang pria berkemeja hitam sedang duduk menyandar di dinding sambil menopang keningnya dengan tangan. Beberapa orang lelaki tampak duduk di samping, menenangkannya.

 

Danu tampak sangat kehilangan. Sorot matanya memancarkan kesedihan dan cinta yang teramat dalam untuk sosok yang telah meninggalkannya dan dikebumikan siang tadi.

 

Melihat lelaki itu diluput duka dan lara, hati Dita terasa seperti diiris sembilu. Ia tak tahan melihat lelaki yang dicintainya menangis, terluka, dan merasa kehilangan. Tanpa sadar, air matanya mulai mengalir.

 

Tak ingin teman-temannya melihat tangisnya, ia segera permisi keluar rumah sebelum menyalami Danu seperti teman-temannya.

Di luar, Dita memilih menepi dan menjauh dari orang-orang. Ia tumpahkan tangisnya di sana. Beberapa saat menyendiri, ponselnya berdering. Dita segera menghapus air matanya dan mengambil ponsel dari dalam tas.

 

Tertulis nama Radit dalam panggilan suara tersebut.

 

“Dit, please, jangan telepon sekarang …,” gumam Dita seraya mematikan suara ponselnya tanpa mengangkat telepon Radit.

 

***

 

 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status