Ponsel Dita kembali berdering untuk kedua kalinya. Kali ini, Dita menolak panggilan tersebut dan mengaktifkan mode pesawat di ponselnya. Ia sedang tak ingin berdebat atau pun mendengar candaan dari sahabat sekaligus suaminya itu.
Hatinya dirundung duka melihat lelaki yang dicinta sedang ditimpa musibah. Ingin sekali ia mengusap air mata di pipi lelaki itu, tetapi Dita masih sadar bahwa itu tak mungkin di lakukannya. Ia pun menghapus air matanya sendiri hingga merasa benar-benar tak meninggalkan bekas di pipi. Ketika berbalik dan hendak melangkah ke dalam rumah Danu, Dita dikejutkan dengan satu sosok lelaki yang selama ini ia benci.
“Arya?” ucap Dita spontan kala lelaki itu berdiri tepat di hadapannya.
“Lo kaget banget ngeliat gue. Kayak ngeliat hantu,” kata Arya yang tak beranjak dari tempatnya berdiri.
Seminggu sudah Dita menjalani hari sebagai istri pura-pura. Selama itu pula ia menghabiskan waktunya yang membosankan di rumah Radit sendirian. Membosankan kala Radit sedang bekerja, tetapi menjengkelkan saat Radit meneleponnya. Dita tak punya tujuan untuk keluar rumah dan enggan pergi sendirian. Seperti orang bodoh, batinnya jika tak ada teman untuk sekadar berkeliling mal. Sedang ia tak mungkin mengajak rekan kerja karena sudah izin cuti dengan alasan keluar kota.Sedangkan Radit tak pernah absen menghabiskan waktu istirahat kerja dan sebelum tidur dengan menggoda Dita, baik lewat panggilan suara maupun panggilan video. Hari ini hari terakhir ia di Semarang. Rencananya Radit akan kembali ke Jakarta esok pagi.Sore ini pun, ketika Dita sedang mandi, Radit kembali meneleponnya. Ponselnya berdering berkali-kali sampai ia selesai mandi dan mengangkatnya."Lagi ngapain, Ta?""Baru siap mandi. Tumben lo nelepon sore-sore?"&nb
"Ngapain nyuri-nyuri kalau bisa terang-terangan? Yuuk? Gue udah gak sabar." Radit tersenyum manis dan mengerling. Ia lantas membuka jaketnya yang sedari tadi masih melekat di badan.Dita melotot. Apa yang Radit ucapkan dan lakukan benar-benar horor, membuatnya merinding. Ia lantas mengambil bantal dan mmemukukannya berkali-kali ke tubuh Radit."Ampun, Ta. Ampun!" teriak Radit diiringi tawa sambil tetap menangkis pukulan bantal Dita.Dita yang kesal terus saja memukul hingga Radit berada di depan kamarnya.Napas Dita memburu dengan mimik wajah yang sangat kesal. Sementara, Radit masih saja tertawa.Dita menutup pintu dan segera menguncinya. "Nyebeliiin!" pekiknya.Radit yang mendengar dari depan kamar semakin tertawa tanpa beranjak dari tempatnya.Dita mengambil jaket radit di ranjang dan membuka pintu. Radit yang masih berdiri di depan kamar lantas tersenyum.
"Gak cukup cuma ucapan terima kasih. Gue mau ...." Wajah Radit semakin mendekat. Bibirnya nyaris menyentuh bibir Dita. Semakin dekat dan ....‘Bugh!’ Dita menghantamkan keningnya ke kening Radit.“Aak!” Radit meringis. Dita segera bangkit dari pangkuannya.“Sukurin!” Dita langsung berlari ke depan kompor dan mengaduk supnya yang nyaris saja ia lupakan.“Gagal maning ... gagal maning, Son!”Dita pura-pura tak mendengar dan terus mengaduk sup. Ia merasakan ada sesuatu yang berdesir di dadanya. Belum sempat Dita menguasai gejolak yang tak ia pahami, tiba-tiba Radit menariknya pelan hingga mereka berhadapan.Tanpa kata, Radit memakaikan celemek dari kepala Dita, lalu mengikatkan tali di belakang pinggangnya hingga posis
“APA?!” Pekik Radit dan Dita bersamaan. Sangking terkejutnya, Radit sampai mengempaskan begitu saja kaki Dita hingga wanita di sampingnya itu nyaris terjatuh.“Kamu gak apa-apa, Ta?” tanya Radit.Dita mencebik dan menatapnya jengkel.“Kalian kenapa kaget gitu?” tanya Bu Meri yang heran melihat sikap anak dan menantunya saat ia bilang akan tidur di sini.“E-eh, enggak, kok, Ma. Cuma … Mama kok gak bilang mau tidur di sini. Mama, Papa, dan Dito apa udah bawa pakaian?” tanya Dita.“Udah. Tuh di mobil,” jawab Bu Meri.Dita dan Radit saling berpandangan. Mereka panik. Takut ketahuan kalau Radit dan Dita tidak tidur satu kamar. Bahkan, bisa ketahuan sandiwara yang mereka lakoni. Sebab, semua barang-bara
Dita memperhatikan wajah Radit yang tampak sudah tertidur. Ada banyak tanya yang berkecamuk di dadanya. Perubahan sikap Radit yang signifikan sejak mereka menikah membuat Dita merasa serba salah. Ingin ia bertanya, ada apa dengan Radit sebenarnya. Namun, separuh hatinya menolak. Entah mengapa, Dita tak mengerti.‘Apa lo lagi ada masalah di kantor, Dit?’ pikirnya. Perkiraannya kini mengarah pada hasil audit Radit, yang mungkin saja ditemukan beberapa masalah dalam laporan keuangan perusahaan tempat mereka bekerja.‘Gue siap jadi tempat curhat lo, Dit,’ batinnya.Dita terus menatap Radit dan berusaha menerka apa yang sedang dialami lelaki yang berbaring di sampingnya itu. Namun, tiba-tiba Radit mengangkat kepalanya dan mendekat ke wajah Dita.“Gue gak bisa tidur kalau lo liatin terus.”
“Cinta itu selalu ingin menjaganya, melindunginya, membuatnya nyaman, dan merasa aman kala dia di dekat lo. Sekalipun dia sadar, hanya dia yang mencinta.”Angin membawa kalimat Radit memasuki gendang telinga Dita. Tatapan lelaki itu kala menatapnya menusuk dalam hingga membuat Dita merasakan sesuatu, yang berbeda di sorot matanya. Hening sesaat menyelimuti keduanya. Ada rasa canggung yang tercipta, membuat Dita memalingkan wajah, menatapi ombak-ombak yang tak pernah berhenti berkejaran.Sementara, Radit masih terus memandangnya meski hanya dari samping wajah Dita. Tangannya perlahan naik hingga sejajar dengan kepala wanita itu. Nyaris saja telapak tangan lebar Radit menyentuh rambut Dita. Dengan cepat ia turunkan lagi sebelum Dita menoleh.“Ada seseorang yang lo suka, Dit?” tanya Dita tiba-tiba sambil berjalan pelan.
Tepat pukul sepuluh malam, terdengar deru mobil Radit memasuki halaman rumah. Dita yang masih berbaring sambil menonton drama Korea di kamarnya segera mengintip dari jendela untuk memastikan bahwa itu benar-benar Radit. Radit pun keluar dari dalam mobil dengan wajah yang tampak lesu di bawah sinar rembulan dan terpaan cahaya lampu taman. Lelah terlihat jelas dari cara ia berjalan.Dita segera berbaring di kasurnya begitu Radit hendak membuka pintu. Ia berpura-pura tidur demi menghindari sahabatnya itu. Dita masih kesal akibat Radit meninggalkannya begitu saja di kantin.Radit masuk rumah dan mengunci pintu kembali. Ia lalu berjalan menuju kamarnya. Langkahnya terhenti saat berada tepat di depan kamar Dita. Ia memandangi pintu kamar bercat cokelat tua itu. Perlahan tangannya memutar handle pintu dan mendorongnya sedikit. Tampak Dita sedang tertidur.Radit menar
Dita kembali menerima pesan singkat dari Radit saat ia membereskan barang-barangnya sebelum pulang kerja. Lagi-lagi Radit lembur hari ini dan tak bisa pulang bersamanya. Dita menghela napas. Dilihatnya cincin di jari manis yang melingkar. Sebuah permata menghias indah lingkaran emas tersebut.‘Haruskah gue lepas cincin ini biar gak ada yang tahu kalau gue udah nikah?’ batinnya. ‘Tapi … gimana dengan Radit? Pasti dia marah kalau gue lepas nih cincin. Gue capek berdebat sama dia. Dia ngediemin gue dua hari ini aja gue rasanya sepi banget ….’ Dita terus bermonolog.‘Apa bener Radit suka sama gue? Gimana caranya gue cari tahu kalau dia emang beneran suka ke gue?’ tanyanya dalam hati.“Duuh …! Napa pikiran gue malah jadi ke situ, sih?” gerutunya. Ia pun berg